PENDAFTARAN PEMILIH
PILKADA
Khoirunnisa Agustyati
ABSTRAK
Tulisan ini berusaha untuk memetakan persoalan- persoalan apa saja yang banyak terjadi dalam proses pendaftaran pemilih di Pilkada Serentak 2015. Sebagai elemen teknis untuk memastikan setiap orang yang sudah berhak memberikan suaranya dapat terfasilitasi, baik dan buruknya proses pendaftaran pemilh berpengaruh pada hak politik individu warga negara. Data adiminstrasi kependudukan nampaknya masih menjadi persoalan mendasar dari tingkat akurasi daftar pemilu. Sehingga perlu ada konsolidasi data kependudukan yang sepenuhnya dikelola oleh KPU.
Kata Kunci: Pendaftaran Pemilih dan Hak Politik.
PENGANTAR
Pendaftaran pemilih merupakan hal penting dalam proses penyelenggaraan pemilu. Melalui pendaftaran pemilih hak politik setiap warga negara untuk memberikan suaran dalam
agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi
syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun
proses demokrasi perwakilan akan ditentutukan. Dalam hal ini terfasilitasi atau tidaknya setiap wagra negara untuk memberikan suara dalam pemungutan suara pada saat pemilu tergantung pada keberhasilan pendaftaran pemilih.
Hak memilih bagi setiap warga negara adalah hak politik yang harus dilindungi. Hak pilih sendiri memperoleh jaminan hukum yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusai (DUHAM). Pasal 21 DUHAM menyatakan: (1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negrinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantara wakil-wakil yang dipilih secara bebas; (2) Setiap orang berhak atas kesempatasan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negrinya; (3) Kemauan rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kemauan ini harus dinyatak dalam pemilihan-pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara yang lain yang juga menjamin kebebasan mengeluaran suara.
Hak pilih warga negara Indonesia secara tegas diatur kedalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Pasal 27 ayat 1: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Selanjutnya Pasal 28D ayat (1) menyatkan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Lalu ayat (3) menyatkan, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan”.
Secara lebih spesifik, Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No 39/1999) Pasal 43 menyatakan “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan pesamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.” Bahkan Mahkamah Konstitusi juga memperhatikan betul hak pilih setiap warga negara sebagaimana terlihat dalam Putusan perkara MK No 011-017/ PUU-I/2003 yang menyatkan, “bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan memilih adalah hak yang dijamin konstitiusi, undang-undang, maupun konvensi internasional, sehingga pembatasan penyimpangan dan penghapusan hak akan hak tersebut adalah pelangagran terhadap hak asasi manusia.”
Meskipun kerangka hukum internasional dan nasional, menempatkan betapa pentingya hak pilih seorang warga negara, tetapi dalam perjalanannya, penyusunan dan pemutakhiran daftar pemilih dalam setiap pemilu di Indonesia selalu menghadapi masalah. Hasil audit daftar pemilh yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Pendidikan Penerapan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) terhadap DPS pada Juli-Agustus 2008 misalnya, menunjukkan sekitar 20,8% warga negara yang memiliki hak pilih tidak masuk dalam daftar pemilih. Selain itu laporan dari Tim Penyelidikan Pemenuhan Hak Sipil dan Politik dalam Pemilu Legislatif 2009 oleh Komnas HAM menunjukkan terdapat sekitar 25- 40% pemilih kehilangan hak pilihnya karena tidak masuk
agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi
syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun
dalam daftar pemilih. Putusan MK No 102/PUU-VII/2009 yang menyatakan bahwa warga negara yang tidak masuk dalam daftar pemilih diberikan kesempatan untuk memilih menggunakan KTP, menunjukkan bahwa jumlah pemilih
yang belum terdaftar cukup siginifikan sehingga perlu
diberikan ruang khusus agar hak pilih warga negara yang tidak terdaftar tersebut tidak hilang. (Ramlan Surbakti, 2012, p. 4)
Mengapa pendaftaran pemilih sulit menjangkau semua warga negara yang memiliki hak pilih dalam setiap pemilu? Salah satu sebabnya adalah masih ditemukan ketidakpastian penggunaan prinsip de jure maupun de facto dalam mendaftar pemilih. Prinsip de jure mengacu pada penggunaan alamat yang terdapat dalam KK atau KTP, sementara de facto menggunakan alamat faktual di mana pemilih tersebut tinggal. Selain itu, penduduk yang tinggal di pemukiman “liar”, pekerja, mahasiswa, dan warga kota yang tinggal di pemukiman eksklusif, dan pemilih yang tinggal di wilayah pedesaan, masih banyak belum terdaftar karena tidak mengetahui adanya tahapan pemutakhiran daftar pemilih. (Ramlan Surbakti, 2012, pp. 19-20). Selain
itu hal yang menjadi masalah adalah masih ada warga yang tidak melaporkan peristiwa kependudukan yang dialami seperti kelahiran, kematian, dan kepindahan. Kedua hal ini adalah yang menjadi penyebab data kependudukan menjadi tidak termutakhirkan. Padahal data kependudukan adalah sumber utama dalam pemutakhiran daftar pemilih. Karena sumber DP4 bermasalah, maka ketika KPU melakukan pemutahiran data juga mengalami banyak masalah, sehingga
Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) juga tetap menyisakan masalah.
Tidak hanya soal pengadministrasian pemilih yang menjadi sumber masalah daftar pemilih, tetapi juga soal ketentuan siapa yang berhak memilih. Meskipun setiap undang-undang pemilu memiliki kesamaan syarat untuk menjadi pemilih (yaitu minimal berusia 17 tahun atau sudah/pernah menikah, dan tidak sedang berstatus dicabut hak pilihnya), tetapi perbedaan muncul ketika mengatur hak pilih disabilitas mental. UU 8/2012 misalnya, memberikan ruang bagi penderita disabilitas mental untuk memilih dengan syarat dapat menunjukan surat dokter; sementara UU 8/2015 tidak memberi kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk menyelurkan hak pilihnya. Lalu apa yang membedakan antara pemilu legislatif dengan pilkada sehingga pemilu jenis terakhir ini mengeksklusi hak pilih penyandang disabilitas mental?