• Tidak ada hasil yang ditemukan

Maharddhika dan Heroik M Pratama

Dalam dokumen TRANSPARANSI, PARTISIPASI, DAN DEMOKRASI (Halaman 117-122)

ABSTRAK

Pelaksanaan pilkada yang hanya diikuti satu pasang calon tidak didukung oleh pengaturan yang memadai. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/ PUU-XIII/2015 hanya mengatur ketentuan mekanisme plebisit yang meminta pemilih menentukan pilihan setuju atau tidak setuju atas satu pasangan calon yang ditawarkan. Pengaturan mengenai desain surat suara, metode pemberian suara, dan metode kampanye belum terharmonisasi dengan putusan tersebut. Pengaturan mengenai desain surat suara dan metode pemberian suara perlu dibuat dengan berlandaskan pada prinsip kemudahan bagi pemilih. Pengaturan mengenai metode kampanye perlu menekankan prinsip equal playing battlefield dan independensi.

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi

syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun

Kata Kunci: pilkada calon tunggal, desain surat suara, metode pemberian suara, dan metode kampanye

PENGANTAR

Fenomena calon tunggal—pilkada hanya diikuti satu pasang calon—tak disangka-sangka muncul dalam perhelatan Pilkada Serentak 2015. Pilkada di Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Timor Tengah Utara hanya diikuti oleh satu pasangan calon. Awalnya, pada penutupan pendaftaran calon sesi pertama 26—28 Juli 2015, terdapat 13 daerah dengan calon tunggal. Setelah melalui proses perpanjangan pencalonan yang berlarut-larut, hanya terdapat tiga daerah tetap bercalon tunggal.

Semakin ketatnya persyaratan pencalonan menjadi konsekuensi logis hadirnya calon tunggal. Untuk maju sebagai calon independen, pasangan calon perseorangan mesti menunjukkan dukungan penduduk sebesar 6,5 hingga 10 persen yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk. Persyaratan pencalonan dari jalur (gabungan) partai politik juga kian berat. Pasangan calon kepala daerah dapat dicalonkan oleh (gabungan) partai politik yang memiliki minimal 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara dalam pemilu legislatif.

Untuk pilkada bercalon tunggal ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemudian mengatur bahwa pelaksanaan pilkada mesti ditunda ke pilkada serentak gelombang selanjutnya, yaitu Pilkada Serentak 2017. Solusi ini dinilai sebagai penyelesaian temporer. KPU berasumsi bahwa

penundaan akan mampu membuka ruang pencalonan pasangan baru. Padahal tidak ada yang bisa menjamin hal tersebut. Solusi ini justru akan meniadakan kepastian hukum bagi pasangan calon yang telah berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mencalonkan diri.

KPU mendasarkan pengaturan ini pada UU 8/2015 yang menghendaki pilkada diikuti oleh dua pasangan calon atau lebih. Kehendak itu dapat dibaca pada ketentuan Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2) dan Pasal 54 ayat (4), (5), dan (6). Selanjutnya, KPU kemudian mengacu ke Pasal 120 UU 8/2015. KPU menempatkan keadaan calon tunggal ini sebagai gangguan lain yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan tidak dapat dilaksanakan dan konsekuensinya adalah pelaksanaan pemilihan lanjutan. Pasal-pasal ini pula lah yang kemudian diuji materi di

Mahkamah Konstitusi (MK) oleh pemohon Effendi Gazali

dengan nomor permohonan 100/PUU-XIII/2015.

Dalam salah satu persidangan permohonan ini, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengakui keadaan calon tunggal merupakan kondisi yang tidak terprediksi pembuat regulasi ketika merumuskan UU 8/2015. Jika dua pasang calon tidak terpenuhi, solusi yang ditawarkan UU hanya menunda penetapan dan membuka kembali pendaftaran. Tidak ada solusi jika pembukaan pendaftaran kedua kalinya ternyata masih menghasilkan calon tunggal.

Hakim MK, I Dewa Gede Palguna, mengatakan, rumusan norma UU 8/2015 jika diterjemahkan secara sistematis

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi

syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun

terlihat nyata mengharuskan adanya dua pasang calon. Akan tetapi UU tidak memberi jalan keluar jika dua pasang calon tidak terpenuhi. Sehingga hal ini berpotensi menimbulkan kekosongan hukum apabila terjadi kondisi calon tunggal. Kekosongan hukum yang terjadi mengancam hak dipilih dan memilih masyarakat sebab pilkada tidak akan berlanjut. Majelis hakim menganggap bahwa kondisi ini bukanlah yang dikehendaki UU, sebab semangat dihadirkannya UU tersebut adalah untuk menjamin terselenggaranya hak warga negara.

Oleh karena itu, MK menilai pilkada harus tetap dilaksanakan meskipun hanya terdapat satu pasangan calon. Namun pilkada bercalon tunggal ini harus ditempatkan sebagai upaya terakhir, semata-mata demi memenuhi hak konstitusional warga negara, setelah sebelumnya diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk menemukan paling sedikit dua pasangan calon.MK juga menilai manifestasi kontestasi pilkada bercalon tunggal lebih tepat dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat (pemilih) untuk menentukan pilihannya apakah setuju atau tidak setuju dengan pasangan calon tersebut.

Dua ketentuan dalam putusan ini kemudian berkonsekuensi pada pengaturan hal lain yang bersangkut- paut dengan ketentuan dalam putusan tersebut. Pengaturan tersebut di antaranya adalah pengaturan mengenai desain surat suara, metode pemberian suara; metode kampanye; saksi dalam tahapan pemungutan suara dan rekapitulasi; serta sengketa hasil. Berangkat dari hal tersebut studi ini hanya akan mengulas dua pengaturan turunan dari putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015.

Pertama, MK memutuskan pilkada bercalon tunggal dilaksanakan dengan mekanisme plebisit yang meminta pemilih menentukan pilihan setuju atau tidak setuju atas satu pasangan calon yang ditawarkan. Putusan ini berkonsekuensi pada pengaturan mengenai desain surat suara beserta metode pemberian suara. KPU mengatur desain surat suara beserta metode pemberian suara melalui PKPU 14/2015. Surat suara yang didesain ini telah menimbulkan jumlah surat suara tidak sah yang cukup

signifikan di tiga daerah Pilkada 2015 bercalon tunggal.

Desain surat suara beserta metode pemberian suara tersebut harus dirumuskan kembali agar dapat membuat pemilih lebih mudah menggunakan hak memilihnya

Kedua, pengaturan hal lain mesti terharmonisasi dengan mekanisme plebisit ini. Soal sosialisasi dan metode kampanye belum diatur harmonis menyesuaikan dengan mekanisme ini. KPU kerap terjebak dalam posisi keberpihakan saat melakukan penyebaran alat peraga kampanye. Metode-metode kampanye harus didesain agar selaras dengan mekanisme pilkada bercalon tunggal ini.

Untuk itu studi ini bertujuan untuk, pertama, melahirkan rumusan desain surat suara beserta metode pemberian suara yang lebih ramah bagi pemilih. Kedua, riset ini bertujuan melahirkan rumusan desain kampanye yang selaras dengan mekanisme plebisit memilih setuju/tidak setuju dalam pilkada bercalon tunggal.

Dalam mencapai tujuan tersebut, studi ini menggunakan beberapa pendekatan. Pertama, riset menggunakan pendekatan komparatif. Perbandingan ini dilakukan untuk

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi

syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun

memeriksa persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta- fakta dan sifat-sifat objek yang diteliti. Pendekatan ini membandingkan pengaturan calon tunggal di satu negara dengan negara lainnya.

Kedua, menggunakan pendekatan studi lapangan. Melalui pendekatan ini, peneliti mengamati dan berpartisipasi secara langsung dalam penelitian skala sosial kecil dan mengamati budaya setempat. Pendekatan ini digunakan di Tasikmalaya pada tanggal 8 Desember 2015 hingga 13 Desember 2015 untuk mengamati bagaimana implementasi peraturan yang berkaitan dengan desain surat suara, metode pemberian suara, dan metode kampanye. Ketiga, menggunakan pendekatan literatur. Pendekatan ini dipakai untuk menghimpun data-data atau sumber-sumber yang berhubungan dengan pemilu dengan satu pasang calon. Studi literatur ini dilakukan melalu berbagai sumber seperti jurnal, buku dokumentasi, internet dan pustaka.

Dalam dokumen TRANSPARANSI, PARTISIPASI, DAN DEMOKRASI (Halaman 117-122)