• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGUJI INDEPENDENSI KPU

Dalam dokumen TRANSPARANSI, PARTISIPASI, DAN DEMOKRASI (Halaman 83-91)

Dalam perjalanan sengketa kepengurusan Partai Golkar dan PPP, salah satu sisi menarik yang patut untuk dilihat adalah sejauh mana pengaruh sengketa kepengurusan partai ini dalam proses pilkada, serta pengaruhnya dalam independensi KPU. Dalam batas penalaran yang wajar, sangat sulit untuk tidak mengatakan bahwa sengketa kepengurusan partai politik Golkar dan PPP, berpengaruh kepada independensi KPU dalam menjalankan tahapan pelaksanaan pilkada.

Sebagaimana sudah disinggung pada bagian awal, Peraturan KPU No. 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota sudah mengantisipasi

bagaimana KPU memverifikasi SK Kemenkum HAM untuk

melihat kepengruusan DPP partai politk yang sah, jika terdapat sengketa kepengurusan.

Jika SK kepengurusan partai politik sedang disengketakan di pengadilan, maka KPU akan menunggu keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Keputusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetaplah nanti yang akan dipedomani oleh KPU dalam

melakukan verifikasi kepengurusan partai politik. Artinya,

jika sampai masa pencalonan tidak ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka konsekuensi yang harus diterima oleh partai politik yang bersengketa adalah tidak dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah dalam kontestasi pilkada.

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi

syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun

Namun pada perkembangannya, pengaturan yang ada di dalam Peraturan KPU ini “digugat” oleh beberapa partai politik, terutama Partai Golkar dan PPP. Mereka pada intinya menginginkan meskipun kedua partai politik ini sedang bersengketa, mereka tetap bisa mengajukan pasangan calon kepala daerah. KPU berkali-kali dipanggil oleh Komisi II DPR untuk melakukan “penyesuaian” tentang Peraturan KPU yang dapat memberikan ruang kepada partai politik bersengketa untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah.

Pada awalnya, KPU bersikukuh tidak akan mengubah Peraturan KPU, karena regulasi yang sudah mampu menjawab kondisi yang ada. Artinya, Peraturan KPU sudah cukup menjawab kondisi sengketa pengurus partai politik untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah.

Namun, pada perkembangannya, mendekati proses pencalonan kepala daerah, KPU justru menunjukkan langkah kompromi untuk dapat memfasilitasi kepentingan dua partai politik (Patai Golkar dan PPP) untuk tetap dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah, meskipun dalam posisi bersengketa.2

Akhirnya KPU memang mengubah Peraturan KPU No. 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota, berubah menjadi Peraturan KPU No. 12 Tahun 2015 Tentang Perubahan Peraturan KPU No. 9 Tahun 2015

2 http://www.cnnindonesia.com/politik/20150714133454-32-66303/jk- inisiasi-pertemuan-golkar-ppp-akhirnya-bisa-ikut-pilkada/, diakses pada Sabtu, 20 Februari 2016.

Tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota. Inti yang diubah jelas. Memberikan legalisasi kepada partai politik bersengketa untuk dapat mengajukan pencalonan kepala daerah, dengan syarat dua kubu yang bersengketa mengajukan pasangan calon yang sama. Hal inilah kemudian menjadi momentum kekhawatiran rusaknya independensi KPU dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah.

PENUTUP

Berdasarakan dengan uraian diatas, maka dapat disimpulkan beberapahal sebagai berikut:

1. Mekanisme pencalonan kepala daerah dengan mewajibkan adanya rekomendasi dari pengurus pusat partai politik telah menyebabkan pencalonan kepala daerah menjadi sangat tersentralisasi. Hal ini tentu saja mematikan proses demokrasi internal partai, di dalam pengajuan bakal calon kepala daerah. Kondisi ini juga kemudian yang menegasikan peran dan keberadaan pengurus daerah partai politik, khususnya tingkatan pengurus yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah;

2. Sengketa kepengurusan partai politik yang terjadi di tubuh Partai Golkar dan PPP, berkorelasi dengan proses dan tahapan pencalonan kepala daerah 2015. Kepentingan dua partai politik “lama” ini yang terancam tidak bisa mencalonakan kepala daerah karena belum ada pengurus pusat yang defenitif, serta disahkan secara hukum, tanpa proses sengketa,

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi

syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun

menjadikan kendala dalam proses pencalonan kepala daerah;

3. Proses sengketa kepengurusan partai politik yang terjadi di tubuh Partai Golkar dan PPP menjadi berlarut karena tidak diselesaikan dengan mekanisme yang sudah disediakan dan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Proses sengketa kepengurusan partai politik yang semestinya tidak diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara, justru menjadi berlama-lama karena Kementrian Hukum dan HAM juga “terlibat” di dalam proses sengketa kepengurusan Partai Golkar dan PPP. Padahal, jika sengketa kepengurusan yang terjadi di dalam tubuh Partai Golkar dan PPP di selesaikan sesuai dengan mekanisme yang ada, maka maksimal hanya akan memakan waktu selama 120 hari;

4. Pada fase akhir proses penyelesaian sengketa kepengurusan Partai Golkar dan PPP, cara penyelesaiannya sangat berpengaruh kepada proses pencalonan kepala daerah 2015. Sebagian besar kelompok di DPR menginginkan perubahan dari peraturan KPU yang menghendaki dapat memberikan kepastian, meskipun Partai Golkar dan PPP sedang bersengketa kepengurusan, tetapi mereka tetap dapat mengajuakan pasangan calon kepala daerah.

Pilihan KPU yang akhirnya merubah Peraturan KPU terkait dengan pencalonan dengan memperbolehkan

Partai Politik yang sedang bersengketa kepengurusan untuk mengajukan pasangan calon, telah sangat dirasa merusak kemandirian KPU. Satu hal yang dirasa sangat tidak fair adalah, KPU merubah peraturan hanya untuk mengakomodir kepentingan pencalonan kepala daerah bagi dua partai politik yang bersengketa kepengurusan. Padahal, Peraturan KPU tentang pencalonan sebelum diubah, telah sangat baik mengatur bagaimana menyikapi partai politik yang sedang bersengketa kepengurusan;

Berdasarkan dengan kesimpulan yang disampaikan diatas, maka diberikan saran sebagai berikut:

1. Syarat proses pencalonan kepala daerah dengan didahului oleh persetujuan Dewan Pengurus Pusat mesti dihilangkan. Dengan dihilangkannya persetujuan dari DPP, maka mekanisme demokrasi internal di partai politik akan semakin hidup. Mekanisme pencalonan kepala daerah bisa ditentukan dengan rapat pengurus partai politik sesuai dengan tingkatan penyelenggaraan pemilihan kepala daerahnya, dengan melibatkan pemgurus partai politik ditingkatan bawahnya. Misalnya, untuk menentukan pemilihan bakal calon Gubernur, ditentukan oleh rapat pengurus partai politik tingkat provinsi, dengan melibatkan pengurus partai politik dewan pimpinan cabang, pengurus partai politik tingkat kecamatan, bahkan pengurus partai politik tingkat ranting.

2. Sengketa kepengurusan partai politik ditingkat pusat seharusnya tidak boleh mempengaruhi proses

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi

syarat verifikasi faktual untuk menjadi peserta pemilu. UU No. 8 Tahun

pencalonan kepala daerah, khususnya ditingkatan daerah pemilihan yang akan melaksanakan pemilihan. Oleh sebab itu, poin ini sangat berkorelasi dengan saran pada poin 1. Agar porses pencalonan kepala daerah tidak terhambat oleh sengketa kepengurusan partai politik tingkat pusat, maka proses pencalonan kepala daerah tidak perlu persetujuan dari dewan pimpinan pusat. Karena jika menggunakan terminologi persetujuan akan sangat mengikat, maka cukup diganti dengan pemberitahuan saja;

3. Proses penyelesaian sengketa kepengurusan partai politik mesti dibenahi dan dipastikan berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada. Hal pertama yang mesti diperbaiki adalah terkait dengan komposisi Mahkamah Kehormatan Partai Politik, yang perlu memasukkan pihak atau individu eksternal untuk menjaga intergitas dan independensi Mahkamah Partai Politik dalam menyelesaiakan sengketa kepengurusan partai politik. Selain itu, jika memang masih ada pihak yang tidak puas dengan putusan Mahkamah Partai Politik, maka jalan yang akan ditempuh adalah melalui gugatan ke pengadilan negeri, dan terakhir kasasi ke Mahkamah Agung.

Hal kedua yang perlu ditambahkan adalah, memberikan perintah di dalam UU Partai Politik, bahwa kepada Kementrian Hukum dan HAM untuk tidak terburu-buru mengesahkan suatu kepengurusan partai politik, sebelum memastikan sudah tidak ada lagi proses sengketa kepengurusan

yang terjadi di dalam tubuh partai politik.

4. KPU mesti segera mencabut dan merevisi kembali Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Ketentuan yang paling krusial adalah, memberikan ruang dan kesempatan kepada partai politik bersengketa, atau dua partai politik yang punya kepengurusan bisa mencalonkan kepala daerah. Hal ini tentu saja merusak prinsip institusionalisasi partai yang harusnya punya satu kepengurusan, dan itu memiliki akibat hukum yang tidak sederhana. Hal ini sekaligus memberikan pembelajaran kepada partai politik, bahwa berlarut-larut proses sengketa kepengurusan mengakibatkan mereka kehilangan hak elektoral, di dalam sautu proses pemilihan, dalam hal ini pemilihan kepala daerah.

agregat maupun secara spesifik pada tahun-tahun Pemilu, terkonfirmasi

PENYELESAIAN

SENGKETA PENCALONAN

Dalam dokumen TRANSPARANSI, PARTISIPASI, DAN DEMOKRASI (Halaman 83-91)