• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. Penerapan Diplomasi Indonesia dalam Coral Triangle Initiative

ISU CORAL TRIANGLE DAN ANCAMAN TERHADAP SUMBER DAYA LAUT DAN PESISIR

A. Ancaman Terhadap Sumber Daya Laut Coral Triangle

Ekosistem terumbu karang merupakan habitat bagi biota laut. Global warming telah membawa dampak penurunan kondisi dan kerusakan terumbu karang sehingga memiliki efek domino terhadap ekosistem biota laut. Salah satu kerusakan terumbu karang yang banyak terjadi akibat efek global warming adalah pemutihan karang (coral bleaching). Terumbu karang telah terpengaruh dengan naiknya tingkat kemunculan dan kerusakan karena pemutihan karang (Coral Bleaching), yaitu suatu fenomena pigmen karang yang semakin memudar akibat kurangnya asupan makanan

38 karena tidak adanya prses ftosinyesis. Hal ini berhubungan dengan adanya buangan gas rumah kaca di atmosfer sehingga meningkatkan suhu bumi, khususnya kenaikan suhu air laut.

Pemutihan yang parah dan lama dapat memperluasan kematian karang dan peristiwa kematian dan pemutihan terumbu di tahun 1998 telah mempengaruhi sebagian besar daerah terumbu karang di kawasan Indo-Pasifik (Westmacott, Teleki, Wells, & West, 2000). Tahun 1998 merupakan terjadinya kasus coral bleaching terparah akibat kombinasi badai El Nino dengan perubahan iklim yang dibarengi dengan kenaikan suhu air laut, setidaknya 15% terumbu karang di dunia mati (Novina, 2014). Penelitian menunjukkan coral bleaching secara keseluruhan ditandai kematian massal terumbu karang pada skala global, hal ini terjadi karena sebagai respon perlindungan karang dari penurunan suhu, salinitas air laut, peningkatan sedimentasi atau turdibitas, infeksi bakteri, infeksi protozoa dan paparan sinar UV dan pencemaran logam logam berat (Riegl, 2002).

Bleaching yang terjadi dalam waktu pendek umumnya tidak menyebabkan kematian pada binatang karang. Namun paling tidak hal ini sudah menyebabkan lambatnya kemampuan pembentukan kerangka kapur. Sedangkan jika bleaching

39 terjadi secara berkepanjangan akan menyebabkan kematian pada binatang karang dan lingkungan terumbu karang akan hancur. Kerusakan terumbu karang, seperti telah dijelaskan sebelumnya akan mempengaruhi kehidupan dan penyediaan sumberdaya bagi masyarakat pesisir

Tahun 1998, Konferensi CBD ke-4 menyatakan keprihatinan yang mendalam terhadap peristiwa pemutihan karang yang meningkat tajam dan ekstensif dengan hubungannya kepada perubahan iklim dunia. Sebagai jawabannya, Sekretaris Eksekutif CBD menyelenggarakan Konsultasi Ahli untuk Pemutihan Terumbu Karang bulan Oktober 1999. Mereka menghasilkan suatu laporan dan seperangkat usulan bagi daerah-daerah prioritas untuk ditindak. Laporan ini disajikan pada Badan

Tambahan CBD untuk Usulan Ilmiah, Tehnik dan Teknologi/ CBD’s Subsidiary

Body on Scientific, Technical and Technological Advice (SBSTTA-5) yang selanjutnya berkembang menjadi rancangan tindakan. SBSTTA kemudian menyampaikan usulan mereka kepada Konferensi Kelima Pihak-Pihak dalam CBD (COP-5) (Westmacott, Teleki, Wells, & West, 2000)

Pemutihan akibat perubahan iklim bukanlah satu-satunya ancaman bagi terumbu karang. Meningkatnya kegiatan manusia juga memberikan dampak besar

40 sehingga menurunkan kondisi terumbu karang dunia. Kegiatan manusia tersebut sebagian besar merupakan kegiatan penggunaan sumber daya laut dan pesisir yang berlebihan serta ditunjang oleh perencanaan dan pengelolaan yang kurang tepat. Di negara kepulauan berkembang seperti Komoro, Fiji, Grenada, Haiti, Indonesia, Kiribati, Filipina, Tanzania, dan Vanuatu paling rentan terhadap pengaruh kerusakan terumbu karang. Di negara tersebut, terumbu karang menghadapi ancaman tingkat tinggi, penduduk sangat tergantung pada terumbu karang tetapi kemampuan penduduknya terbatas dalam beradaptasi terhadap kematian terumbu karang.

Pembangunan di wilayah pesisir biasanya terkait dengan proyek reklamasi, permukiman penduduk, industri, budidaya perikanan, prasarana pariwisata dan penambangan karang dapat memberikan pengaruh sangat besar terhadap ekosistem di sekitar pantai. Penambangan karang seperti di Nusa Tenggara Timur, Wakatobi dan sebagian wilayah Papua masih melakukan pengambilan terumbu karang untuk tujuan yang beragam. Penambangan karang yang resmi tersebut secara terbatas dengan ijin pemerintah untuk beberapa perusahaan yang melakukan pengambilan terumbu karang. Jumlah pengambilan ditentukan berdasarkan kuota per wilayah. Meskipun ada pembatasan kuota tetapi pada kenyataannnya penambangan karang dilakukan

41 secara besar-besaran dan eksploitatif. Dampak dari pembangunan pesisir ini telah mengancam lebih dari 30% terumbu karang.

Pencemaran laut baik dari aktivitas di laut maupun darat menyumbang kerusakan 25% terumbu karang. Pencemaran yang berasal dari DAS biasanya bersumber dari kegiatan pertanian yang menggunakan bahan-bahan kimia sebagai pupuk atau anti hama yang larut dalam air sehingga terbawa aliran air. Penggunaan tata guna lahan darat dan sistem pertanian yang tidak berkelanjutan di wilayah DAS berdampak pada pencemaran dan proses sedimentasi hingga ke muara sungai dan pantai. Pencemaran ini terjadi terutama di banyak daerah di Filipina, Indonesia bagian tengah, Timor-Leste, dan sebagian Kepulauan Solomon (Burke, Reytar, Spalding, & Perry, 2012). Pembuangan limbah baik dari limbah rumah tangga maupun industri juga turut menyumbang pencemaran laut. Di Kepulauan Seribu misalnya, hasil kajian dari Walhi tahun 2014 menjelaskan bahwa kerusakan terumbu karang sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan sebagai akibat pembuangan berton-ton limbah dan sampah yang mengalir ke Teluk Jakarta, 80% lingkungan di perairan Teluk Jakarta tercemar berat karena karena limbah industry dan rumah tangga (Nasrul, 2014). Pencemaran dari aktivitas laut biasanya dari aktivitas

42 transportasi dan industri yang berada di laut seperti lambung kapal yang tercemar, kebocoran bahan bakar, limbah cair yang tidak diolah terlebih dahulu, limbah padat, dan tumpahan minyak.

Overfishing dan destructivefishing adalah kegiatan penangkapan ikan berlebihan dan penangkapan tidak ramah lingkungan yang merupakan ancaman yang paling besar dan merusak yang mempengaruhi hampir 85% terumbu karang. Penangkapan yang merusak, penggunaan bahan peledak dan racun untuk membunuh atau menangkap ikan merupakan lazim di banyak bagian dari kawasan CT, khususnya di Malaysia Timur, Filipina, dan Indonesia sehingga mengancam hampir 60% terumbu karang di kawasan CT (Burke, Reytar, Spalding, & Perry, 2012). Pertambahan penduduk dan permintaan konsumen atas produk hasil laut mendorong nelayan untuk menggunakan jalan pintas agar memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak dan dalam waktu yang relative cepat. Hampir semua terumbu karang di Filipina, Malaysia, dan Timor Leste dinilai terancam oleh penangkapan yang tidak lestari. Hanya Papua Nugini dan Kepulauan Solomon memiliki terumbu karang luas dengan ancaman tingkat rendah dari penangkapan yang tidak lestari karena letak

43 terumbu karang yang jauh dari pusat permukiman berpenduduk banyak (Burke, Reytar, Spalding, & Perry, 2012).

Coral Triangle yang mencakup sebagian Asia Tenggara dan Pasifik Barat merupakan pusat keanekaragaman hayati laut dunia. kawasan ini mempunyai kekayaan spesies karang dan ikan karang yang lebih besar dibandingkan dengan tempat lain mana pun di muka bumi ini. Alasan kekayaan yang luar biasa dari Segitiga Karang mencakup keadaan geologi, lingkungan fisik dan berbagai proses ekologi. Temuan ini didukung oleh penyebaran paralel ikan karang dan biota laut lainnya, hal memberikan pembenaran ilmiah yang jelas untuk Coral Triangle Initiative yang dapat dikatakan salah satu usaha konservasi terumbu karang yang paling signifikan di dunia (Veron, et al., 2009).

Dokumen terkait