• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. Penerapan Diplomasi Indonesia dalam Coral Triangle Initiative

KONSERVASI CORAL TRIANGLE DAN KOLABORASI CTI-CFF PARTNERSHIP

A. Upaya Konservasi Laut dan Pesisir Regional

Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran akan masalah kemaritian tersebut telah meningkat, pemerintah kawasan tersebut menetapkan seperangkat mekanisme kerjasama multilateral baru yang lebih fokus pada sumber daya laut dan pesisir, seperti Tri-national agreements on the Sulu-Sulawesi Seas Marine Ecoregion and the Bismarck Solomon Seas Marine Ecoregion, dan Arafura and Timor Seas Experts Forum (ATSEF). Namun dengan lahirnya berbagai forum, organisasi dan banyak perjanjian, belum cukup untuk mengembalikan kelestarian lingkungan laut dan pesisir dalam kawasan. Pengelolaan isu terumbu karang selama ini hanya fokus pada ekologi saja tanpa memikirkan kelangsunga hidup masyarakat yang bergantung pada sumber daya laut tersebut. Maka dibentuklah kemitraan multilateral CTI yang tidak hanya fokus dalam program pelestarian alam tetapi juga konservasi, pemberdayaan masyarakat dan gender serta ketahanan pangan kelautan. CT6 menyadari bahwa ancaman-ancaman terhadap sumber daya laut dan pesisir dapat berlanjut keada ancaman kesejahteraan dan keamanan kawasan.

52 Keenam kepala negara CT6 berpendapat bahwa kekayaan laut dan ekosistem yang terdapat di wilayah segitiga karang Indo Pasifik mampu menunjang kebutuhan pangan bagi masyarakat luas. Namun, disadari pula, ekosistem laut, pantai dan kepulauan kecil di wilayah segitiga karang saat ini berada di bawah ancaman kerusakan. Cara yang paling efektif untuk mengurangi dan menghindari ancaman-ancaman tersebut harus melalui kemitraan dan kesepakatan global yang komprehensif berdasarkan dasar hukum internasional yang telah ada. Melalui pembentukan CTI-CFF ini dimaksudkan untuk mengatasi ancaman terhadap ekosistem laut, pantai, dan kepulauan kecil di dalam wilayah segitiga karang, melalui tindakan kolaborasi dan akselerasi, yang melibatkan partisipasi multistakeholder dari enam negara.

Dalam pembentukan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) tidak terlepas dari tahapan-tahapan penting untuk memperoleh dukungan dari berbagai pihak, pertama saat penyelenggaraan APEC Summit pada September 2007, 21 kepala negara Asia Pasifik menyambut baik gagasan pembentukan CTI oleh Indonesia. Ke-21 kepala Negara secara resmi memasukkan CTI di dalam APEC Leader Declaration. Sebelum masuk kedalam APEC Leader Declaration, Presiden SBY telah melakukan pertemuan bilateral

53 dengan Presiden Bush (Amerika Serikat), Perdana Menteri John Howard (Australia) dan Perdana Menteri Somare (PNG) kemudian disahkan oleh para kepala negara ASEAN dan BIMPEAGA pada November 2007. 1st CTI Senior Officials Meeting (SOM-1) merupakan pertemuan resmi pertama CT6 pada Desember 2007 di Bali yang juga turut dihadari oleh Amerika Serikat dan Australia serta 3 NGO Internasional yang focus pada kajian CT.

Sebagai institusi konservasi laut kawasan, tidak terlepas dari kebutuhan dana untuk melancarkan pelaksaan program konservasi dan pemberdayaan masyarakat pesisir. CTI telah menarik investasi dari berbagai pihak seperti negara, organisasi lingkungan, maupun donatur lainnya. Pada April 2008, Global Environment Facility Funding bersama ADB sebagai badan pelaksananya, menyetujui untuk memberikan dana US$ 72 juta dan medukung program-program CTI selama 5 tahun awal dengan bantuan US$300 juta sebagai pinjaman dan hibah. Pemerintah AS juga turut membantu sebagai negara partnership dengan mendanai US$40 juta selama 5 tahun untuk mendukung CTI dengan dana yang disalurkan melalui konsorsium NGO (CTI-CFF, Regional Plan of Action Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security, 2011).

54 Pemerintah Australia yang juga sebagai negara partnership turut ambil bagian dalam memberikan fasilitas forum lokakarya. Townsville Workshop oleh pemerintah Australia pada November 2008 merupakan forum diskusi antar pemerintah dan NGO dalam menemukan permasalahan, kendala utama, kesenjangan, dan peluang di sekitar pelaksanaan tujuan CTI. Hasil dari lokakarya tersebut berlanjut ke 3rd CTI Senior Officials Meeting (SOM-3) dan 1st Ministerial Meeting (MM-1) pada Maret 2009 yang menghasilkan draf akhir CTI RPoA dan para Menteri Negara CT6 sepakat untuk menerima Joint Ministerial Statement.

Puncak dari serangkaian pertemuan-pertemuan tersebut, dilaksanakannya CTI-CFF Summit pada Mei 2009 di Bali. Pertemuan tingkat tinggi CT6 mendeklarasikan CTI Leaders Declaration yang berisi kesepakatan untuk mengadopsi CTI RPoA ke dalam undang-undang negara masing-masing. Dalam deklarasi tersebut dinyatakan bahwa, CTI RPoA merupakan dokumen yang dapat diperbaharui dan tidak mengikat secara hukum untuk mengkonservasi dan mengelola secara berkelanjutan sumber daya pesisir dan laut di kawasan CT dengan mempertimbangkan peraturan dan kebijakan yang berlaku di masing-masing negara (CTI-CFF, 2015).

55 B. Rencana Aksi Nasional (Regional Plan of Action)

Kerjasama CTI memiliki kebutuhan untuk bergerak melalui serangkaian tindakan yang dibutuhkan dalam waktu jangka panjang untuk memastikan keberkelanjutan dari pemanfaatan dari sumber daya kelautan dan pesisir untuk saat ini dan untuk masa mendatang. Keenam negara di wilayah CT saat ini telah mempersiapkan rencana kerja dengan tema perlindungan terumbu karang, perikanan dan ketersediaan pangan. Rencana Kerja Nasional (National Plan Of Action: NPOA) dari masing-masing negara dibahas pada tingkat Senior Official dan dicetuskan pada World Ocean Conference (WOC) pada bulan Mei 2009 di Manado, Indonesia. Dalam CTI-CFF, enam negara di Segitiga Terumbu Karang secara bersama-sama menyusun Rencana Aksi Regional, yang segera dilanjutkan dengan penyusunan Rencana Aksi Nasional CTI-CFF oleh setiap negara yang selaras dengan sasaran rencana regional tersebut. Rencana adaptasi pembangunan wilayah pesisir dan kelautan/Rencana Aksi Regional terhadap dampak perubahan iklim global memiliki 5 sasaran utama yaitu pengelolaan bentang laut (sea scape management), pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, penerapan resilient principles dalam pembangunan jejaring

56 kawasan konservasi laut, mitigasi bencana, rehabilitasi pesisir dan perlindungan spesies yang terancam punah, dan status spesies ikan yang terancam punah membaik.

Semua komponen sasaran dalam rencana kerja ditujukan untuk melindungi ketersedian sumberdaya hayati laut dan mengurangi dampak kerusakan dari pengaruh perubahan iklim global (Muhammad, Wiadnya, & Sutjipto, 2009). Rencana Aksi CTI dilaksanakan di bawah yurisdiksi nasional dari masing-masing pemerintah negara CT sesuai dengan hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional, hukum yang berlaku, aturan dan peraturan masing-masing negara. Ruang lingkup penerapan CTI tidak mengurangi hak berdaulat pihak atas sumber daya kelautan dan batas maritim dalam yurisdiksi nasional.

CT6 telah mulai mengembangkan rencana 10 tahun RPoA untuk masa mendatang dari prioritas komitmen bersama. Pada pertemuan CBD (COP7) 2004, negara-negara penandatangan konvensi telah menetapkan target untuk COP8 yang mengharuskan adanya konservasi efektif minimal 10% dari masing-masing kawasan ekologi pada tahun 2006. Tahun 2010, CBD menyepakati target 10 % dari wilayah laut yang harus dilindungi secara efektif dalam jaringan KKL untuk tahun 2020 ( CBD 2010). Sekarang, CT6 telah mendukung CTMPAs Framework & Action Plan

57 yang menetapkan target ( 10 % dari habitat laut kritis dilarang untuk megadakan aktivitas penangkapan laut pada tahun 2020 dan 20 % dari habitat laut kritis dalam beberapa bentuk MPA 2020. Dalam kawasan CT, Indonesia , Malaysia, dan Filipina memiliki perjanjian formal dan rencana yang telah disetujui untuk menerapkan manajemen Sulu Sulawesi Marine Eco - Region ( SSME ) & Seascape (Alan T. White, 2014). Dari CTMPAs tersebut diharapkan memberi rangsangan kepada setiap negara anggota untuk menaikan standard pengelolaan KKP sehingga memenuhi syarat sistem yang berlaku.

Keberhasilan pelaksanaan RPoA dalam ruang lingkup yang luas membutuhkan satu set mekanisme koordinasi yang terstruktur dan sangat efektif di berbagai tingkat organisasi. Selain itu, pelaksanaan program membutuhkan kelompok besar dan beragam kemitraan yang diimplementasikan dari dalam dan luar daerah termasuk pemerintah daerah, masyarakat lokal, LSM, lembaga pendanaan utama, organisasi multilateral dan bilateral, perusahaan swasta, dan lain-lain.

Dokumen terkait