• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISTILAH/GLOSSARY

4.2 Angka Buta Huruf

Buku adalah gudang ilmu yang menjadi solusi memecahkan suatu kebodohan, jadi tepat bila dikatakan buku adalah jendela

dunia dan membaca adalah kuncinya. Kegiatan membaca merupakan kunci memasuki dunia pengetahuan yang maha luas. Membaca merupakan proses awal dalam sebuah perubahan menuju masyarakat bangsa yang maju dan madani. Dalam “EFA

Global Monitoring Report, Literacy for Life” (2006), UNESCO

menyimpulkan terdapat korelasi yang kuat antara kemampuan membaca dengan investasi dan kinerja seseorang. Membaca (keaksaraan) akan mempermudah seseorang untuk memahami informasi terkait bidang kerja dan berbagai aspek lain menyangkut peningkatan kualitas hidup. Laporan tersebut menilai bahwa buta aksara merupakan masalah yang dimiliki oleh sebagian besar negara-negara dunia yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Buta aksara sangat terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan serta ketidakberdayaan masyarakat. Penduduk buta aksara tidak hanya terdapat di negara berkembang dan berpenduduk besar tetapi juga di negara maju termasuk Inggris dan Amerika Serikat. (Fauziah Rahmah Lubis, Agustus 2008).

Buta aksara atau buta huruf dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan membaca, lawan katanya adalah melek aksara (juga disebut dengan melek huruf) yaitu kemampuan membaca. Biasanya, tingkat melek aksara dihitung dari persentase populasi dewasa yang bisa membaca dan menulis. Dalam perkembangan modern kata melek aksara diartikan sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis pada tingkat yang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain, atau dalam taraf bahwa seseorang dapat menyampaikan idenya dalam masyarakat yang mampu baca-tulis.

Penyajian Data & Informasi Statistik Kepemudaan 2010 43 Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) memiliki definisi sebagai berikut:

“ Melek aksara adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks yang terdapat pada bahan-bahan cetak dan tulisan yang berkaitan dengan berbagai situasi. “

Kemampuan baca-tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dimana hal ini berkaitan langsung bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas.

Angka melek aksara adalah tolok ukur penting dalam mempertimbangkan kemampuan sumber daya manusia di suatu daerah. Hal ini didasarkan pada pemikiran yang berdalih bahwa melatih orang yang mampu baca-tulis jauh lebih murah daripada melatih orang yang buta aksara, dan umumnya orang-orang yang mampu baca-tulis memiliki status sosial ekonomi, kesehatan, dan prospek meraih peluang kerja yang lebih baik. (Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).

Tingkat buta aksara di Indonesia masih tinggi. Lima penyebab utama, yakni 1) tingginya angka putus Sekolah Dasar (SD), 2) beratnya kondisi geografis Indonesia, 3) munculnya penyandang buta aksara baru, 4) pengaruh faktor sosiologis

masyarakat, 5) serta kembalinya seseorang menjadi penderita buta aksara. Hal ini memperlihatkan bahwa pemberantasan buta aksara merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Berbagai upaya dalam pemberantasan buta aksara telah dilakukan oleh pemerintah. Keseriusan dan komitmen pemerintah terhadap buta aksara atau kemelekaksaraan tertuang dalam PP No. 7 Tahun 2005 tentang RPJM 2004-2009 bahwa salah satu target pembangunan pendidikan adalah menurunnya angka buta aksara penduduk 15 tahun ke atas menjadi 5 persen pada tahun 2009.

Secara operasional perhatian khusus mengenai buta aksara ditindaklanjuti dalam Inpres RI No. 5 Tahun 2006 tentang Penuntasan Wajib Belajar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara serta berbagai program yang telah dijalankan, diantaranya adalah kursus A-B-C, Program Pemberantasan Buta Huruf Fungsional, Kejar Paket A, dan saat ini yang paling populer yaitu program Keaksaraan Fungsional (KF) yang dijalankan oleh pemerintah sejak tahun 1995. Program ini dimaksudkan untuk memberantas kebutaaksaraan dengan fokus kegiatan melalui diskusi, membaca, menulis, berhitung dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam aktivitas yang berkaitan dengan kebutuhan keseharian. Bentuk penghargaan atas mereka yang mengikuti kegiatan keaksaraan dan dinyatakan lulus, diberikan sertifikat “SUKMA” (Surat Keterangan Melek Aksara).

Pada Tabel 4.2.1 ditampilkan persentase pemuda buta huruf menurut tipe daerah dan jenis kelamin dari tahun 2005, 2007 dan 2009. Dari tabel tersebut terlihat bahwa persentase pemuda yang buta huruf selama kurun waktu 2005 hingga 2009 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada tahun 2005, pemuda yang

Penyajian Data & Informasi Statistik Kepemudaan 2010 45 buta huruf tercatat sebesar 1,56 persen, angka tersebut turun menjadi 1,51 persen pada tahun 2007, kemudian pada tahun 2009 menjadi sebesar 0,90 persen. Rendahnya angka buta huruf pemuda menunjukkan semakin membaiknya kualitas sumber daya pemuda. Pola yang sama terjadi baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Jika dibandingkan menurut jenis kelamin, pada tahun 2005 persentase pemuda laki-laki yang buta huruf sebesar 1,33 persen, sedikit mengalami penurunan pada tahun 2007 menjadi 1,29 persen dan pada tahun 2009 menjadi 0,72 persen. Demikian pula halnya dengan pemuda perempuan pada tahun 2005 sebesar 1,78 persen, pada tahun 2007 turun menjadi sebesar 1,73 persen dan pada tahun 2009 menjadi 1,08 persen.

Pada Tabel 4.2.1 juga terlihat bahwa persentase pemuda perempuan yang buta huruf lebih tinggi dibandingkan pemuda laki-laki. Kondisi ini terjadi baik di daerah perkotaan maupun perdesaan.

Tabel 4.2.1

Persentase Pemuda yang Buta Huruf menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin, 2005, 2007 dan 2009

Tipe Daerah 2005 2007 2009 L P L+P L P L+P L P L+P (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) Perkotaan (K) 0,52 0,71 0,61 0,44 0,62 0,53 0,22 0,40 0,31 Perdesaan (D) 2,06 2,77 2,41 2,05 2,75 2,40 1,26 1,80 1,53 K+D 1,33 1,78 1,56 1,29 1,73 1,51 0,72 1,08 0,90 Sumber: BPS RI – Susenas 2005, 2007, 2009

Umur pemuda merupakan salah satu faktor yang juga turut mempengaruhi pola angka buta huruf pemuda. Seperti yang terlihat pada Tabel 4.2.2, angka buta huruf pemuda cenderung semakin meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya umur pemuda. Angka buta huruf pemuda pada kelompok umur 16-18 tahun adalah sebesar 0,36 persen, kelompok umur 19-24 tahun sebesar 0,68 persen dan pada kelompok umur 25-30 tahun sebesar 1,39 persen. Kecenderungan semakin meningkatnya angka buta huruf pemuda pada usia yang semakin tinggi ini terjadi di daerah perkotaan maupun perdesaan serta untuk pemuda laki-laki maupun pemuda perempuan.

Tabel 4.2.2

Persentase Pemuda yang Buta Huruf menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Umur, 2009

Tipe Daerah/ Jenis Kelamin

Kelompok Umur (Tahun)

16-18 19-24 25-30 16-30 (1) (2) (3) (4) (5) Perkotaan (K) Laki-laki 0,10 0,15 0,34 0,22 Perempuan 0,07 0,30 0,66 0,40 L+P 0,09 0,23 0,50 0,31 Perdesaan (D) Laki-laki 0,61 1,00 1,88 1,26 Perempuan 0,63 1,36 2,75 1,80 L+P 0,62 1,18 2,34 1,53 K + D Laki-laki 0,36 0,56 1,07 0,72 Perempuan 0,35 0,80 1,69 1,08 L+P 0,36 0,68 1,39 0,90 Sumber: BPS RI – Susenas 2009

Penyajian Data & Informasi Statistik Kepemudaan 2010 47

Dokumen terkait