• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISTILAH/GLOSSARY

4.1 Partisipasi Pendidikan

Faktor utama keberhasilan pembangunan di suatu negara diantaranya adalah ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas terutama generasi mudanya. Pendidikan merupakan salah satu jalan bagi peningkatan kualitas SDM tersebut. Oleh sebab itu pemerintah secara terus menerus berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dimulai dengan pemberian kesempatan yang seluas-luasnya kepada penduduk khususnya generasi muda sebagai penerus kepemimpinan untuk mengecap pendidikan dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi

Indikator partisipasi sekolah, memberikan indikasi peran serta dan kontribusi pemuda dalam kegiatan pendidikan. Besarnya akses pemuda pada kegiatan sekolah ditunjukkan oleh persentase pemuda yang tidak pernah sekolah terhadap populasi pemuda

secara keseluruhan. Semakin tinggi persentase pemuda yang tidak pernah sekolah menunjukkan akses pemuda pada kegiatan sekolah yang semakin rendah, dan sebaliknya. Sementara itu, persentase pemuda yang masih sekolah menunjukkan tingkat perluasan kesempatan bagi pemuda untuk memperoleh pendidikan di sekolah. Semakin tinggi persentase pemuda yang masih bersekolah menunjukkan semakin luasnya kesempatan bagi para pemuda untuk memperoleh pendidikan.

Tabel 4.1.1 menyajikan persentase pemuda menurut tipe daerah, Jenis kelamin serta partisipasi sekolah untuk pendidikan formal + non formal. Masih sekolah adalah mereka yang terdaftar dan aktif mengikuti pendidikan baik di suatu jenjang pendidikan formal (pendidikan dasar yaitu SD/MI dan SMP/MTs, pendidikan menengah yaitu SMA/SMK/MA dan pendidikan tinggi yaitu PT) maupun pendidikan non formal (Paket A setara SD, paket B setara SMP dan paket C setara SMA) yang berada di bawah pengawasan Kemdiknas, Kementerian Agama (Kemenag), Instansi Negeri lain maupun Instansi Swasta. Dari tabel tersebut terlihat bahwa pemuda yang tidak/belum pernah sekolah sebesar 1,25 persen, yang masih sekolah sebesar 17,07 persen dan pemuda yang sudah tidak bersekolah lagi sebesar 81,68 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat pemuda yang belum/tidak pernah menikmati pendidikan.

Tabel 4.1.1 juga menunjukkan bahwa persentase pemuda yang masih bersekolah di daerah perkotaan (20,47 persen) lebih besar dibandingkan perdesaan yang hanya sebesar 13,45 persen. Hal ini diduga karena akses pendidikan pemuda di daerah perkotaan jauh lebih baik dibandingkan dengan di daerah perdesaan, dan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan di perkotaan yang

Penyajian Data & Informasi Statistik Kepemudaan 2010 37 lebih lengkap dan lebih memadai dibandingkan dengan di perdesaan. Selanjutnya pada Tabel 4.1.1 juga terlihat, persentase pemuda perkotaan yang tidak/belum pernah sekolah sebesar 0,47 persen, sedangkan persentase di perdesaan hampir dua kali lipat lebih tinggi yaitu sebesar 2,09 persen.

Tabel 4.1.1

Persentase Pemuda menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Partisipasi Sekolah, 2009

Tipe Daerah/ Jenis Kelamin

Formal + Non Formal

Jumlah Tidak/ Belum Sekolah Masih Sekolah Tidak Sekolah lagi (1) (2) (3) (4) (5) Perkotaan (K) Laki-laki 0,38 21,32 78,30 100,00 Perempuan 0,55 19,64 79,81 100,00 L+P 0,47 20,47 79,06 100,00 Perdesaan (D) Laki-laki 1,71 14,26 84,02 100,00 Perempuan 2,46 12,66 84,88 100,00 L+P 2,09 13,45 84,46 100,00 K + D Laki-laki 1,03 17,90 81,07 100,00 Perempuan 1,48 16,25 82,27 100,00 L+P 1,25 17,07 81,68 100,00 Sumber: BPS RI – Susenas 2009

Akses pemuda pada pendidikan juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. Pada Tabel 4.1.1, terlihat bahwa persentase pemuda perempuan yang tidak/belum pernah sekolah lebih tinggi dari

pemuda laki-laki. Persentase pemuda perempuan yang tidak/belum pernah sekolah secara keseluruhan tercatat sebesar 1,48 persen, sedangkan untuk pemuda laki-laki sebesar 1,03 persen. Kesenjangan terhadap akses pendidikan antar jenis kelamin ditemukan baik di perkotaan maupun perdesaan. Di daerah perkotaan persentase pemuda perempuan yang tidak/belum pernah sekolah tercatat sebesar 0,55 persen dan laki-laki sebesar 0,38 persen. Di daerah perdesaan persentase pemuda perempuan yang tidak/belum pernah sekolah sebesar 2,46 persen dan 1,71 persen untuk pemuda laki-laki.

Faktor demografis lain yang juga sangat mempengaruhi akses generasi muda pada pendidikan antara lain adalah umur. Semakin tinggi kelompok umur semakin rendah tingkat partisipasi sekolahnya. Pada Tabel 4.1.2 terlihat bahwa terdapat pemuda usia 16-18 tahun yang saat ini tidak/belum bersekolah sebesar 0,85 persen dan tidak sekolah lagi sebesar 43,99 pesen. Meskipun di usia ini bukan merupakan usia wajib sekolah, namun hal ini menunjukan bahwa masih terdapat pemuda usia produktif yang tidak meneruskan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Pada Tabel 4.1.2 juga menunjukan semakin rendah kelompok umur semakin rendah persentase yang tidak pernah sekolah. Persentase pemuda yang tidak pernah sekolah kelompok umur 16-18 tahun sebesar 0,85 persen, 19-24 tahun sebesar 1,07 persen dan kelompok umur 25-30 tahun sebesar 1,63 persen. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa kesadaran masyarakat akan pendidikan menunjukan kondisi kearah yang lebih baik dan pemerataan pendidikan semakin meluas.

Penyajian Data & Informasi Statistik Kepemudaan 2010 39

Tabel 4.1.2

Persentase Pemuda menurut Kelompok Umur dan Partisipasi Sekolah, 2009

Kelompok Umur (Tahun)

Formal + Non Formal

Jumlah Tidak/Belum Sekolah Masih Sekolah Tidak Sekolah lagi (1) (2) (3) (4) (5) 16 – 18 0,85 55,16 43,99 100,00 19 – 24 1,07 12,72 86,21 100,00 25 – 30 1,63 1,35 97,02 100,00 16 – 30 1,25 17,07 81,68 100,00 Sumber: BPS RI – Susenas 2009

Dilihat berdasarkan distribusi sebarannya, partisipasi pendidikan pemuda di berbagai provinsi bervariasi (Lampiran Tabel 4.2.3). Persentase pemuda yang tidak/belum pernah sekolah berkisar antara 0,31 persen hingga 3,40 persen kecuali di Provinsi Papua yang persentasenya mencapai 28,37 persen. Persentase pemuda yang tidak sekolah lagi diberbagai provinsi sebarannya berkisar antara 57,40 persen hingga 85,85 persen, dengan persentase terendah terdapat di Provinsi Papua dan tertinggi terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Untuk melihat seberapa banyak penduduk yang saat ini memanfaatkan fasilitas pendidikan, dapat dilihat dari penduduk yang masih sekolah. Indikator ini dikenal dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Angka partisipasi sekolah merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. Partisipasi sekolah merupakan indikator dasar yang digunakan

untuk melihat akses pada pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. Indikator ini juga dapat digunakan untuk melihat struktur kegiatan penduduk yang berkaitan dengan sekolah. Dalam kajian berikut, Angka Partisipasi Sekolah (APS) didefinisikan sebagai persentase pemuda yang masih bersekolah terhadap jumlah populasi pemuda secara keseluruhan tanpa memperhatikan jenjang atau tingkat pendidikan yang sedang dijalaninya.

Tabel 4.1.3

Angka Partisipasi Sekolah Formal dan Formal + Nonformal Pemuda menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan

Kelompok Umur, 2009

Tipe Daerah/ Jenis Kelamin

Formal Formal + Non Formal 16-18 19-24 25-30 16-30 16-18 19-24 25-30 16-30 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) Perkotaan (K) Laki-laki 64,49 18,21 2,28 21,28 64,63 18,24 2,28 21,32 Perempuan 61,15 17,83 1,34 19,59 61,26 17,87 1,36 19,64 L+P 62,84 18,02 1,80 20,43 62,97 18,05 1,81 20,47 Perdesaan (D) Laki-laki 47,64 7,14 0,86 14,18 47,72 7,26 0,92 14,26 Perempuan 47,39 6,15 0,78 12,60 47,50 6,20 0,80 12,66 L+P 47,52 6,64 0,82 13,38 47,61 6,72 0,86 13,45 K + D Laki-laki 55,80 12,97 1,60 17,84 55,90 13,04 1,63 17,90 Perempuan 54,25 12,37 1,07 16,20 54,37 12,41 1,09 16,25 L+P 55,05 12,66 1,32 17,01 55,16 12,72 1,35 17,07 Sumber: BPS RI – Susenas 2009

Tabel 4.1.3 secara rinci menyajikan APS pendidikan formal pemuda dan APS pendidikan formal + non formal pemuda menurut

Penyajian Data & Informasi Statistik Kepemudaan 2010 41 tipe daerah, jenis kelamin, dan kelompok umur. APS kelompok usia sekolah (16-18 tahun dan 19-24 tahun) lebih tinggi dibandingkan kelompok diatas usia sekolah (25-30 tahun). Dari tabel tersebut juga terlihat bahwa baik pada kelompok umur 16-18 tahun, 19-24 tahun dan 25-30 tahun, APS pemuda laki-laki sedikit lebih tinggi dibandingkan APS perempuan. Pada APS pemuda perempuan seiring dengan peningkatan kelompok usia terjadi penurunan yang cukup signifikan. Kecenderungan makin menurunnya APS penduduk perempuan pada usia yang semakin tinggi diduga berkaitan dengan kurang tersedianya sarana maupun prasarana untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi di lokasi sekitar tempat tinggal mereka dan faktor “sex preference” yaitu kecenderungan mengutamakan anak laki-laki untuk bersekolah dibandingkan anak perempuan. Kondisi ini juga sejalan dengan Tabel 3.4.1 yang menggambarkan bahwa status pemuda perempuan yang kawin lebih tinggi dibandingkan dengan pemuda laki-laki.

Pada Tabel 4.1.3 juga ditampilkan APS pemuda di daerah perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan. Pola tersebut terlihat baik bagi pemuda laki-laki maupun perempuan. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pemuda di daerah perkotaan memiliki kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah perdesaan.

Dokumen terkait