51
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
seorang khalifah atau Imam kaum muslimin.
Secara garis besar kewajiban seorang
khalifah tertuang dalam ungkapan “Iqamatud Din wa Siyasatud Dunya bihi” (menegakkan agama dan mengatur urusan dunia manusia berdasarkan agama). Dua hal ini merupakan
Maqashidul Imamah (tujuan adanya khilafah). Syakih Abdullah bin Umar ad
Dumaiji membagi kewajiban dasar seorang
imam ke dalam dua pokok ini, dan di antara pokok yang paling urgen adalah : Iqomatud Din (menegakkan agama) ,terwujud dalam 2
hal :
1
Hifdzud Din ( Menjaga Agama ).Bentuk penjagaan agama seorang khalifah kepada rakyatnya bisa diwujudkan dengan beberapa hal :
l Menyebarkan dan mendakwahkan agama
ini dengan berbagai sarana, baik dengan tulisan, lisan bahkan pedang.
Kewajiban dakwah merupakan kewajiban
setiap rasul dan utusan Allah. Di
samping hal ini juga menjadi kewajiban setiap muslim. Rasulullah
n
bersabda,“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat “(HR. Bukhari).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dan
Hal ini (dakwah) yang disebut oleh para
ulama’ fardhu kifayah. Yang jika sebagian kelompok umat Islam mengerjakannya,
maka kewajiban menjadi gugur bagi sebagian yang lain (Majmu’ Fatawa 15/165).
Melihat khalifah adalah sebagai wakil dari umat maka kewajiban dakwah dan menyebarkan islam tentunya lebih dititik beratkan kepada khalifah.
l Menangkal syubhat dan memerangi setiap kebatilan.
Kalau umat Islam beserta khalifahnya
diibaratkan sebagai sebuah tubuh, maka
setiap syubhat-syubhat yang ada adalah
virus dan penyakit. Maka demi terjaganya
kesehatan umat Islam penting bagi seorang khalifah untuk membentengi rakyatnya dari upaya pembusukan dan
pencemaran dari luar. Hal ini disebutkan oleh Abu Ya’la, “Merupakan kewajiban
bagi seorang imam untuk menjaga rakyat supaya tetap berada pada pokok-pokok ajaran Islam yang telah disepakati oleh para salaf. Dan jika ada yang menyeleweng karena syubhat maka wajib bagi imam untuk menyingkap syubhat itu dan
menjelaskan yang benar “. (Al-Ahkam As- Sulthaniyah li Abi Ya’la hal 27 ).
Sarana untuk menjaga dan membentengi umat dari syubhat dan penyelengan amat
beragam. Bisa dengan cara menggiatkan halaqoh-halaqoh ilmu, membenahi kurikulum pendidikan, mengadakan
penyuluhan-penyuluhan keagamaan dan
cara-cara lainnya yang bisa berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman.
l Menjaga daerah kekuasaan dan perbatasan.
Di antara tujuan ditegakkannya khilafah
adalah agar terciptanya keamanan bagi
kaum muslimin. Sehingga mewujudkan keamanan bagi rakyatnya adalah tugas
utama seorang khalifah baik aman secara
jasmani maupun rohani.
Demi terjaminnya keamanan, seorang
muslim harus berada dalam kawasan yang menjadi kekuasaan seorang khalifah. Hal ini sudah disinyalir jauh jauh hari
52
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
oleh Rasulullah dalam sabdanya, ” Saya
berlepas diri dari setiap muslim yang
tinggal di negeri orang musyrik.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi).
Di sini, jelas Rasulullah hanya menjamin
keamanan orang-orang yang masuk dan
tinggal di bawah kekuasaannya. Adapun
di wilayah yang tidak menjadi kekuasaan Rasulullah maka Rasulullah berlepas diri dari orang tersebut dengan tidak menjanjikan keamanan bagi mereka. Sebagai gantinya Rasul memerintahkan
setiap muslim yang tinggal tidak dibawah kekuasannya untuk berhijrah ke daerah kekuasaanya. Hal ini menjadi penegas bahwa walaupun Rasulullah sebagai pemimpin tertinggi umat islam (khalifah) akan tetapi rasul juga menyadari bahwa
daerah kekuasaannya terbatas, sehingga
beliau tidak bisa menjamin keamanan setiap muslim yang berada di luar kekuasaan beliau.
Imam Al Mawardi dalam Al-Ahkam
Sulthaniyah sewaktu menyebutkan tugas-
tugas Imam, “Yang ke tiga : Menjaga daerah
kekuasaan dan membela kehormatan
agar manusia bisa leluasa beraktiitas
dan bebas berkeliaran di kota-kota tanpa
khawatir akan jiwa dan hartanya “ (Al- Ahkam As-Sulthaniyah hal 16).
2
Tanidz Ad-Din (menerapkanagama dalam pemerintahan). Hal ini terdiri dari beberapa tugas pokok yaitu :
l Menegakkan syariat, hudud (pidana
Islam).
l Menegakkan syariat adalah sebuah istilah
yang memiliki cakupan yang amat sangat
luas. Semisal menagih zakat kepada para
wajib zakat, menegakkan amar makruf nahi mungkar, menerapkan undang- undang pidana (hudud), dan lain-lain.
l Mengajak manusia untuk beriltizam
dengan syariat baik dengan motivasi ataupun ancaman.
Sebagaimana diketahui bersama Imamah/khilafah adalah sarana dan bukan tujuan. Imamah adalah sarana agar manusia tunduk dan hidup teratur dibawah naungan Islam. Selain dengan
adanya hukuman-hukuman hudud, cara
lain agar umat Islam selalu berada di bawah nauangan Islam adalah dengan
cara mengajak mereka untuk senantiasa
berada di bawah naungan Islam. Bisa
dengan ajakan yang bersifat motivasi
bisa juga dengan sesuatu yang bersifat
ancaman.
l Disarikan dari kitab Al Imamatul Udzma, karya Abdullah bin Umar bin Sulaiman Ad Dumaiji, oleh : Miftahul Ihsan, Lc.
53
AL-QOTHI
Ramadhan 1435 h kiblatRamadhan 1434 h 53
AL-QOTHI
I
slam mengenal dua mekanisme pengangkatan khalifah atau imamkaum muslimin, yaitu ikhtiar dan istikhlaf. Namun, kepemimpinan Islam juga bisa terwujud dengan imamah mutaghallibah. Deinisi imamah mutaghalabah dijelaskan oleh Ibnu Qudamah dengan ungkapan, “Seandainya ada orang keluar dari ketaatan kepada imam, lalu memaksanya dan menguasai rakyat dengan pedangnya hingga rakyat mengakui, tunduk dalam ketaatan kepadanya, serta mengikutinya, maka ia menjadi imam yang haram diperangi. Tidak halal keluar darinya.” (Al-Mughni, V/9).
Cara ini bukanlah suksesi kepemimpinan Islam yang didasarkan kepada
nash ataupun atsar yang qath’i, melainkan berdasarkan ijtihad para ulama. Ya, sebab secara hukum dasar, kepemimpinan Islam hanya satu, dan bila ada pihak lain yang berusaha merusak, perintahnya ialah dibunuh. Rasulullah n
bersabda:
َقِرَفُي ْوَا ،ْمُكا َصَع َقُشَي ْنَا ُديِرُي ،ٍد ِحاَو ٍلُجَر ىَلَع ٌعيِمَج ْمُكُرْمَاَو ْمُكاَتَا ْنَم
IMAMAH
54
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
ُهوُلُتْقاَف ،ْمُكَتَعاَم َج
“Barang siapa datang kepada kalian sedangkan urusan kalian itu bersatu di bawah kepemimpinan seorang pria, dan ia ingin membelah tongkat (kepemimpinan) kalian atau memecah barisan kalian, maka bunuhlah.”
(Riwayat Muslim).
Pendapat ulama tentang wajibnya taat kepada imam yang didapat dengan cara
pemberontakan ini adalah:
Ibnu Hajar berkata, “Para fuqaha’ telah bersepakat (ijma’) berkenaan kewajiban
menaati penguasa yang menang dalam perebutan kekuasaan (sulthan mutaghalib), dan berjihad bersamanya. Sebab, ketaatan
kepadanya lebih baik daripada keluar
meninggalkan ketaatan kepadanya, yang
dengannya mampu menjaga darah (nyawa) dan menenangkan masyarakat. Tidak ada
pengecualian dalam perkara ini, kecuali bila penguasa tersebut melakukan kekairan yang nyata.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari, 13/7).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan, “Para imam dari setiap
mazhab sepakat bahwa siapa yang merebut kekuasaan dari suatu negeri atau beberapa
negeri, ia berhak ditetapkan sebagai imam dalam segala urusan.” (Ad-Durar As-Saniyah, VII/239).
Abu Hasan Al-Asy’ari mengatakan, “Mereka (para ulama) sepakat atas wajibnya
mendengar dan taat kepada para pemimpin
umat Islam, dan siapa saja yang memegang kepemimpinan dalam urusan mereka,
dengan kerelaan atau menang dalam
perebutan kekuasaan.” (Risalah ila Ahli Ats-
Tsughur, 296).
Syaikh Utsaimin mengatakan, “Anggaplah
bahwa ada seorang penguasa yang merebut kekuasaan atas rakyat dan memegang
otoritas kekuasaan, dan ia bukan dari bangsa Arab, melainkan seorang budak hitam dari Habasyah, maka kita wajib mendengar dan taat.” (Syarh Riyadhus Shalihin, VI/385).
Imam Ahmad mengatakan, “Siapa yang
menguasai rakyat dengan pedang hingga
menjadi khalifah dan dinamai Amirul Mukminin, maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk
tidur malam sebelum mengakuinya sebagai
imam.” (Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, Abu Ya’la, 23).
Imam Syai’i mengatakan, “Setiap aorang
yang menang atas seorang khalifah dengan pedang hingga disebut khalifah dan rakyat
bersatu padanya, maka ia adalah khalifah (yang sah).” (Al-Manaqib Asy-Syai’i, Al- Baihaqi, I/449). Dan masih banyak ungkapan
ulama lain yang substansinya tidaklah berbeda.
Ada tiga hal penting yang bisa
digarisbawahi dari penjelasan para ulama tersebut:
P
ertama, kepemimpinan modelini sah bila diakui rakyat, rakyat tunduk kepada kekuasannya, disebut (baca: memenuhi syarat dan
layak) khalifah. Kekuatan dan otoritas
yang diperoleh menjadi ciri utama.
Inilah yang membedakannya dengan
bughat dan qutha’ thaqiq atau
pembegal.
K
edua, ketaatan kepada imam mutaghalib berlaku bila melaksanakan tugas-tugas yang menjadi tujuan imamah dan tidak55
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
dasar menaati imam, seperti sabda
Nabi n, “Mendengar dan taatlah
kalian walaupun yang memimpin kalian adalah bekas budak dari Habasyah
yang kepalanya seperti kismis, selama
menegakkan Kitabullah di antara
kalian.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya). Atau seperti dijelaskan ulama, sejalan dengan tujuan imamah, yaitu
menegakkan dien dan mengatur dunia dengan Islam.
K
etiga, deinisi imamah mutaghalib ini tidak mencakuppenggulingan terhadap
penguasa yang kair. Hal ini tampak dalam ungkapan Ibnu Qudamah dan
persyaratan ketaatan kepada imam mutaghalib.
Dengan demikian, orang yang merebut
kekuasaan tidak selalu menjadi penguasa yang sah. Ketika kekuasaannya terwujud
pun, tidak mutlak langsung ditaati. Sejarah
telah mengabadikan peristiwa yang jelas
dalam dua hal ini. Abdul Malik bin Marwan
mendapatkan kekuasaan dengan memerangi kekhilafan Ibnu Zubair. Setelah Ibnu Zubair
terbunuh, kaum muslimin menaati Abdul
Malik bin Marwan.
Hal itu berbeda dengan bangsa Tartar yang merebut kekuasaan kaum muslimin di Baghdad dan Syam. Ibnu Taimiyyah telah menjadi pelopor dalam meyakinkan umat Islam untuk memerangi mereka.
Jadi, tolok ukurnya bukan siapa yang menang, maka ketaatan dan loyalitas langsung
diberikan. Kudeta yang menghasilkan
pemimpin yang menghancurkan syariat dan menampakan kekairan yang nyata, maka
jelas tidak wajib ditaati.
Seperti perkataan Al-Mawardi ketika
menjelaskan dua proses hilangnya
otoritas pemimpin, “Maksud disingkirkan
ialah bahwa kekuasaannya (imam yang sedang memerintah) diambil alih oleh para pegawainya saat itu .... Maka kepemimpinannya (pihak yang merebut) tidaklah terlarang dan keabsahan wilayahnya
tidaklah tercela.
Akan tetapi, tindakan orang yang
berwenang dalam urusan-urusannya harus
dilihat, bila berjalan sesuai hukum-hukum din dan tuntutan keadilan, kekuasaannya boleh
diakui dan dilaksanakan agar urusan-urusan agama tidak mandeg hingga menyebabkan kerusakan bagi umat.
Namun, bila tindakannya keluar dari aturan agama dan tuntutan keadilan,
maka ia tidak boleh diakui. Orang yang
disingkirkaannya harus ditolong, sedangkan
dominasi pemimpin baru tersebut harus
dilawan.” (Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, 24). Beliau menambahkan, “Bila imam yang
telah sah itu dipenjara setelah dinobatkan
menjadi imam, maka seluruh umat
harus menyelamatkannya karena hak kepemimpinannya mewajibkan rakyat untuk menolongnya. Dan posisinya tetap seorang
imam selama ada harapan bisa dibebaskan, dengan perang maupun tebusan.” (Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, 24).
Dapat disimpulkan bahwa imamah mutaghalabah tidaklah disyariatkan. Ini terlihat dalam ungkapan para ulama bahwa
mereka tidak memakai kata masyru’iyah imamah mutaghalib. Syaikh Utsaimin dan Ibnu Qudamah memakai kata “anggaplah” dan “seandainya (itu terjadi)”. Sedangkan
56
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
kasus seperti ini terjadi.
Artinya bukan dibolehkan apalagi dianjurkan, melainkan kepastian hukum ketika terjadi kasus seperti itu. Pertimbangan ulama, seperti dijelaskan oleh Ibnu Hajar dan lainnya adalah maslahat, karena
ketaatan kepadanya lebih baik daripada
melawannya, yang dengan itu pertumpahan
darah terhindari dan kehidupan masyarakat menjadi aman.
Sekali lagi, hukum dasar melawan
penguasa yang sah adalah haram. Namun
dalam kenyataan, imam yang sah bisa digulingkan oleh pihak lain dengan kekuatan, seperti Abdul Malik bin Marwan terhadap
pemerintahan Ibnu Zubair. Demikian pula kisah perebutan kekuasaan antara Bani
Umayyah dan Bani Abbasiyah, seperti kasus Abu Abdullah As-Saffah, dari Bani Abbasiyah dan Marwan bin Muhammad, dari Bani Umayyah.
Dan sejarah menunjukkan bahwa kaum muslimin terlibat dalam pertumpahan darah yang sangat mengerikan dalam perebutan
kekuasaan. Itulah sebabnya, hikmah ulama
menjatuhkan hukum wajib taat adalah ketika terjadi kasus perebutan kekuasaan
dengan kekuatan. Bila dibolehkan,
maka pertumpahan darah yang menjadi pertimbangan maslahat menjadi hilang.
Sebab, kebanyakan yang terjadi, kekuasaan
dengan perebutan kekuasaan diperoleh dengan membunuh khilafah sebelumnya.
Pada praktiknya, imam yang digulingkan pasti memiliki pendukung, sebab ketaatan kepadanya wajib secara syar’i.
57
MANHAJ
Ramadhan 1435 h kiblatKHILAFAH ALA
MINHAJIN
NUBUWWAH
R
asulullah n telah mengabarkan kepemimpinan Islam hingga akhirzaman. Hal ini disebutkan dalam banyak hadis, di antara riwayat dari Hudzaifah bin Zaman yang berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Akan berlangsung nubuwwah (kenabian) di tengah-tengah kalian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki, lalu
Dia mengangkatnya (berakhir) bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung kekhilafahan menurut sistem kenabian (‘ala manhaj
nubuwwah) selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia
mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung kerajaan yang otoriter (mulkan ‘aazhan) selama kurun waktu
tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki
58
MANHAJ
Ramadhan 1435 h kiblat
diktator (mulkan jabariyan) selama kurun
waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu
Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian akan berlangsung kembali kekhalifahan menurut sistem kenabian (‘ala manhaj nubuwwah).
Kemudian beliau diam”. (H.R. Ahmad no hadits. 17680)
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh
Imam Ath-Thayalisi, Al-Baihaqi dan Imam Ath-Thabari. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits tersebut shahih, sedangkan Al- Arnauth menyatakan hasan.
Penjelasan tentang Urutan Kejadian di Dalam Hadits Khilafah
Urutan masa kepemimpinan tersebut
sebagian telah terjadi dan ada hadits lain yang menguatkan kepastiannya. Misalnya
masa kekhalifahan pertama, yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan dinilai hasan oleh Al Arnauth yang lain.
ُةَنيِفَس ينثدح َلاَق َناَهْمُج ِنْب ِديِعَس ْنَع
ىلص ِهللا ُلوُسَر َلاَق َلاَق هنع هللا يضر
َنوُثَالَث يِتَمُا يِف ُةَفَال ِخْلا ملسو هيلع هللا
ُةَنيِفَس يِل َلاَق َمُث َكِلَذ َدْعَب ٌكْلُم َمُث ًةَنَس
َرَمُع َةَفَال ِخَو َلاَق َمُث ٍرْكَب يِبَا َةَفَال ِخ ْك ِسْمَا
َةَفَال ِخ ْك ِسْمَا يِل َلاَق َمُث َناَمْثُع َةَفَال ِخَو
ًةَنَس َنيِثَالَث اَهاَنْدَجَوَف َلاَق ّيِلَع
“Sa’id bin Jumhan berkata, “Sainah
menyampaikan hadits kepadaku, bahwa
Rasulullah n bersabda, ‘Pemerintahan Khilafah pada umatku selama tiga puluh tahun, kemudian setelah itu dipimpin oleh pemerintahan kerajaan.” Lalu
Sainah berkata kepadaku, “Hitunglah
masa kekhilafahan Abu Bakar (2 tahun), Umar (10 tahun) dan Utsman (12
tahun).” Sainah berkata lagi kepadaku,
‘Tambahkan dengan masa khilafahnya Ali (6 tahun). Ternyata semuanya tiga puluh tahun.” (HR. Ahmad dan al-
Tirmidzi).
Namun, masa selanjutnya sampai khilafah ‘ala minhaj nubuwah diperdepatkan oleh
para ulama, terkait kapan waktunya. Sebagian
ulama salaf menyatakan bahwa semuanya telah berlalu dan terjadi. Khilafah terakhir yang sesuai dengan manhaj nubuwah adalah
Khilafah ketika masa Umar bin Abdul Aziz. Namun, Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah mengatakan bahwa kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz
terlalu dekat dengan masa-masa Khulafaur Rasyidin dan bukan setelah masa raja-raja yang otoriter dan diktator.
Maka dari itu, terlalu dekat untuk
mengambil kesimpulan bahwa masa khilafah ala manhaj nubuwah terakhir di hadits
tersebut adalah di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Hadits di atas sejatinya memberi kabar akan datangnya khilafah ‘ala minhaj
nubuwwah. Namun, tidak membatasi pada masa tertentu secara pasti. Syaikh Al-Albani
memperkirakan bahwa masa kekhilafahan ala minhaj nubuwwah telah dekat. Hal ini karena kehidupan dunia Islam saat ini adalah masa
kerajaan-kerajaan diktator, sebagaimana
perkataan ahli ilmu.
Menurut salah satu pendapat, Khilafah
di akhir zaman ialah masa kekuasaan Imam
Mahdi, yang berasal dari keturunan ahlul
bait Rasulullah n. Beliau bersabda:
“Kiamat tidak akan terjadi sampai semua manusia dipimpin oleh seseorang dari Ahlul baitku. Namanya sama dengan
59
MANHAJ
Ramadhan 1435 h kiblat
namaku, nama ayahnya sama dengan nama ayahku. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan.”
ىَلَع يِتَمُا يِف ُثَعْبُي ِيِدْهَمْلاِب ْمُكُرِشَبُا
َضْرَاْلا ُاَلْمَيَف َلِزاَلَزَو ِساَنلا ْنِم ٍفاَلِت ْخا
اًمْلُظَو اًرْوَج ْتَئِلُم اَمَك اًلْدَعَو اًطْسِق
“Aku kabarkan berita gembira mengenai Al-Mahdi yang diutus Allah ta’aala ke tengah ummatku ketika banyak terjadi perselisihan antar-manusia dan gempa-gempa. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan dan kejujuran sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kesewenang-wenangan dan kezaliman.” (HR Ahmad 10898)
ُهَنِإاَف ِجْلَثلا ىَلَع اًوْب َح ْوَلَو ُهوُعِياَبَف ُهوُمُتْيَاَر اَذِإاَف
ُيِدْهَمْلا ِهَللا ُةَفيِل َخ
“Ketika kalian melihatnya maka berbai’atlah dengannya walaupun harus merangkak-rangkak di atas salju karena sesungguhnya dia adalah Khalifatullah Al-Mahdi.” (HR Ibnu Majah 4074)
Bagaimana Menyikapi Hadits Khilafah Akhir Zaman?
Berdasarkan hadits-hadits nubuwwah
akhir zaman, umat Islam meyakini bahwa Islam akan bangkit sekali lagi di akhir zaman,
sebelum peristiwa-peristiwa besar menjelang kiamat. Ini adalah kabar gembira sekaligus
harapan bagi umat Islam. Namun, sebagian orang terjerumus ke dalam khurafat, dengan mencocok-cocokkan suatu peristiwa dengan
kabar-kabar dari Rasulullah n.
Perlu ditegaskan bahwa mencocok- cocokkan hadits-hadits akhir zaman dengan
tokoh atau peristiwa-peristiwa tertentu adalah tindakan yang membahayakan iman.
Sebab, perkara gaib itu ilmunya ada di tangan Allah. Nabi n pun tidak mengetahui kecuali
apa yang diwahyukan kepada beliau. Kita sebagai pengikut beliau tidak meyakini atau
menafsirkan perkara gaib kecuali dengan
ayat atau hadits Rasulullah n. Ini penting
agar umat Islam tidak mengikuti cara-cara
paranormal.
Kita tentu masih ingat kehebohan kabar
kiamat 2012 lalu, dan bagaimana sebagian umat Islam terpengaruh olehnya. Pun
demikian dengan kepemimpinan Islam akhir zaman. Kelompok mana pun tidak pantas mengaku-aku sebagai pemilik kepemimpinan
akhir zaman, lalu menganggap yang lain
sesat.
Di sisi lain, tenggelam dalam penantian munculnya tanda-tanda hari akhir tersebut,
seperti Imam Mahdi merupakan gejala
negatif. Ini mencerminkan penyimpangan
dalam memahami hubungan antara hal-hal
alami yang ditakdirkan Allah dan hal-hal syar’i yang dikehendaki Allah. Hal-hal alami dan permasalahan takdir—yang termasuk di
dalamnya masalah-masalah gaib yang terjadi
di masa datang—pasti terjadi. Kewajiban kita
terhadapnya sebelum hal itu terjadi hanyalah
mempercayainya.
Lantas setelah itu, kita wajib melaksanakan hukum-hukum syar’i yang terkait dengannya,
jika waktunya telah tiba. Sementara
hukum-hukum syar’i yang dikehendaki dan diwajibkan Allah, kita dituntut untuk
beribadah dengannya di setiap waktu dengan terus melaksanakannya.
Para shahabat memahami bahwa Allah
memiliki sunnatullah (hukum-hukum) di
alam dan dalam kehidupan manusia. Aturan tidak berubah. Meskipun Allah mempunyai hukum yang keluar dari logika manusia, dan
60
MANHAJ
Ramadhan 1435 h kiblat
tidak dapat dipatahkan oleh sesuatu pun, namun Allah sudah menetapkan bahwa
sunnatullah-lah yang menjadi patokan dalam kehidupan dunia. Sementara itu kejadian yang sifatnya di luar kebiasaan manusia
menjadi pengecualian dari patokan tersebut.
Kedua sunnah tersebut tetap terkait
dengan kehendak Allah. Oleh karena itu, para sahabat sangat menjaga sunnatullah itu,
namun mereka juga tetap menempuh jalan
usaha, dengan tidak menggantungkan hati atau pasrah dengannya. Sebab, begitulah yang Allah ajarkan kepada mereka. Dia (Allah) mengajarkan kepada mereka bahwa kesuksesan dalam mencapai suatu hasil tertentu dalam realitas kehidupan mereka, sangat terkait dengan usaha yang mengacu
padanya. Demikianlah sunnatullah berjalan di atas makhluk-Nya.
Terakhir, ada beberapa hal yang hendaknya diperhatikan ketika muncul indikasi-indikasi dari tanda-tanda hari akhir. Ini menjadi acuan
sebagai bentuk kehati-hatian dalam masalah tersebut agar tidak terjebak pada khurafat
dan salah tafsir. Ada tiga hal sebagaimana
yang dipaparkan oleh DR. Muhammad al-
Muqaddam di dalam Fiqh Asyratis Saa’ah:
1
Tanda-tanda yang muncul kitatempatkan dalam ranah prediksi yang bersifat dugaan dan tidak bersusah payah membuktikannya dengan tindakan-tindakan dari diri kita. Karena tanda-tanda tersebut termasuk
alamiah, sudah ditakdirkan dan pasti terjadi. Dalam hal ini, kita tidak diminta
mengeluarkannya dari alam gaib ke alam nyata.
2
Memerhatikan periodesasi dan urutan waktu pada rangkaian tanda-tanda kiamat yang terjadi sesuai dengan nash wahyu. Bukanberdalil pada dugaan dan rekaan.
3
Penantian tersebut tidakberpengaruh negatif terhadap pelaksanaan tuntutan zaman dan
kewajiban syar’i.
Berdasarkan kaedah-kaedah di atas,
kita perlu berhati-hati dalam menisbatkan dan memastikan sebuah hal atau peristiwa sebagai rangkaian pertanda akhir zaman. Ini agar seseorang tidak terjebak pada penetuan yang tergesa-gesa dan jauh dari landasan
yang benar, terlebih menyimpang.
Namun demikian, ketika memang ada sebuah ciri-ciri atau tanda-tanda pasti dan sesuai nash syar’i akan suatu hal atau peristiwa, maka seorang muslim berharap
dengan keyakinannya bahwa hal tersebut memang benar adanya. Misalnya ketika
nantinya muncul sebuah kelompok yang sesuai dengan ciri-ciri khas—sesuai yang digambarkan Rasul, maka bisa jadi hal tersebut memang benar adanya, tanpa
langsung membuat sebuah kepastian haqqul yaqin bahwa munculnya kelompok itu adalah
salah satu urutan peristiwa akhir zaman.
Perlu benar-benar diyakini, khilafah yang
bermanhaj nubuwah menurut janji Nabi n
pasti akan datang, tidak diragukan lagi. Karena
Nabi n tidaklah bersabda berdasarkan hawa
nafsu. Akan tetapi bagaimanakah datangnya khilafah tersebut dan di mana bermulanya,
tidak ada jawaban tentangnya.
Perkara ini adalah merupakan kabar yang gaib, tidak bisa dipastikan kecuali adanya wahyu. Al-Quran dan As-Sunnah tidak menerangkan tentang hal itu. Umat Islam
hendaknya berusaha untuk mewujudkannya dengan mengambil sebab-sebab agar khilafah dapat tegak. Bukan menunggu tegaknya dengan sebab-sebab yang tidak masuk akal dan di luar kebiasaan. Wallahu a’lam. (Bashir)