Ramadhan 1435 h 2
SALAM
kiblat
F
okus umat Islam terhadap krisis Suriah terbelah. Belum kering darahyang ditumpahkan rezim kair Bashar Asad, itnah muncul dalam bentuk
perselisihan yang tajam di antara elemen Mujahidin. Menentukan siapa
benar siapa keliru, bukan semudah membalik tangan. Fitnah yang
rumit dan lebih ruwet ketimbang menentukan jawaban mana lebih duluan; telur atau ayam.
Masing-masing pihak memiliki landasan dan argumen tersendiri atas sikap
dan tindakan yang diambilnya. Belum kelar mentas dari keprihatinan ini, muncul lagi keprihatinan yang tak kalah memilukan. Sebagian aktivis jihad Indonesia hari ini terjebak dalam pengkubuan, larut dalam klaim membenarkan satu kelompok dengan mencela kelompok lain—meski kelompok-kelompok
tersebut sama-sama mujahidin.
Internet menjadi lahan pergunjingan. Vonis-vonis keji seperti “kair” dan “murtad” begitu mudah diucapkan ketika tak dicapai kata sepakat dalam berdebat. Cepat reaksi, instan berpikir dan gampang berkesimpulan, adalah wabah yang diakibatkan oleh sindrom debat kusir internet ini. Kita pun terbius, dan tak lagi tertarik untuk mendalami masalah dan peristiwa secara lebih adil,
bijak dan ilmiah.
Sebagai bagian dari media umat Islam, kiblat.net merasa berkewajiban untuk memberikan informasi yang utuh, tak berpihak dan yang tak kalah penting
memiliki pijakan ilmiah. Kami memandang titik krusial yang menjadi pemantik
itnah ini adalah perbedaan pendapat dalam masalah status kepemimpinan
dan konsekuensi baiat kepadanya.
Rancangan penulisan majalah ini sudah kami susun sebulan lalu, sebelum juru bicara ISIS Syaikh Abu Muhammad Al-Adnani mendeklarasikan pendirian khilafah oleh ISIS. Meski pengakuan statusnya telah berubah dari “daulah” menjadi “khilafah,” tulisan dalam majalah ini tetap relevan sebagai pijakan dasar
untuk memahami bagaimana konsep Islam dalam imamah (kepemimpinan)
tersebut. Selamat membaca!
Redaktur Ahli : Abu Zahrah, Abu Abdurrahman Pimpinan Redaksi : Tony Syarqi Redaksi : Agus Abdullah, Fahruddin, Dhani el-Ashimi, Bashirudin R, Miftahul Ihsan MAJALAH DIGITAL KIBLAT adalah salah satu konten dari situs berita Islam www.kiblat.net. Dapat diunduh dan sebarluaskan secara cuma-cuma.
3
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
BAIAT
KEWAJIBAN,
APLIKASI &
PENYELEWENGAN
D
eklarasi Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) April 2013—yang kemudian disusul pendeklarasian khilafah pada 29 Juni 2014 lalu—menyisakan polemik. Seruan baiat kepada Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi, pemimpin ISIS yang menyusul deklarasi tersebut mendapat berbagai tanggapan. Ada yang disambut dan ada yang ditolak. Dihantar kecanggihan sarana teknologi informasi dan komunikasi,polemik itu pun sampai juga ke Indonesia. Seseorang yang menyebut dirinya
Ikhwan yang taat kepada Allah disebut-sebut sebagai orang pertama yang
menyatakan baiat kepada ISIS.1
Namun, tidak sedikit ulama yang menganggap baiat Syaikh Al-Baghdadi tidak sah. Salah satu contohnya, Syaikh Sulaiman bin Nashir Al-Ulwan mengatakan, “Daulah maupun Al-Baghdadi tidak berhak atas baiat umum kaum muslimin, karena salah satu syarat baiat umum adalah dipilih oleh Ahlu Halli wal ‘Aqdi, dan Al-Baghdadi tidak dipilih oleh siapa pun. Bila Dr. Ayman
Az-Zhawahiri yang merupakan amir dan penanggung jawabnya saja tidak setuju
dengan sikapnya, bagaimana ia menuntut orang lain untuk membaiatnya?”2
4
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
Banyak atau sedikitnya dukungan kepada sesuatu pada dasarnya tidak bisa menjadi dasar untuk menentukan sikap. Dasar bagi orang beriman untuk berbuat adalah
ilmu yang benar, karena ilmu mendahului
perkataan dan perbuatan.
Ada ungkapan salaf, “Bila engkau mampu untuk tidak menggaruk kepala kecuali dengan dalil, maka lakukanlah.” Artinya, dalam urusan agama, kita tidak boleh ikut-ikutan. Orang ke utara kita ke utara, orang ke selatan kita pun nurut! Boleh saja ikut ke utara, tetapi apa dasarnya? Maka dalam urusan ini, berbaiat atau tidak, semua harus
dilandasi dengan ilmu yang benar.
Baiat adalah salah satu elemen dalam sebuah jamaah yang mengikat antara
pemimpin dan jamaahnya. Maknanya,
tujuan baiat adalah mempersatukan umat Islam dalam satu pemimpin dan jamaah. Sebab esensi dari baiat adalah ketaatan dan kesetiaan kepada pemimpin selama tidak dalam maksiat.
Berjamaah adalah perintah Islam, “Dan berpeganglah kalian kepada tali (agama) Allah dan janganlah berpecah belah.” (Ali Imran: 103). Banyaknya perselisihan dan
perbedaan manhaj akibat pemahaman yang keliru tentang Islam maka lahirlah Manhaj
Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Ulama salaf menjelaskan bahwa berjamaah
adalah: mengikuti sunnah meskipun engkau
sendirian. Maka, ketika ada dua orang yang mengikuti sunnah, keduanya harus
bergabung dalam satu jamaah sebagai pelaksanaan perintah berjamaah dalam
Al-Qur’an. Bila tidak, yang terjadi adalah perpecahan. Sebab masing-masing pihak
akan mengklaim kebenaran. Ini baru dua orang.
Bagaimana bila dari dua ini berkembang
dan banyak pengikut?
Tulisan ini mengajak pembaca untuk
berdiskusi tentang baiat sebagai elemen
untuk mewujudkan kehidupan berjamaah,
yang kemudian dalam praktiknya justru
perpecahan yang terjadi. Kemudian, kita akan mencoba mengurai di manakah kesalahan
itu dan bagaimana perbaikan yang mesti kita
lakukan untuk kembali kepada tujuan awal,
yaitu berjamaah dalam kebenaran.
Deinisi Baiat
Ibnu Al-Atsir mengatakan, “Baiat ialah ungkapan tentang akad dan perjanjian,
seolah-olah masing-masing pihak menjual apa yang ada pada dirinya dan memberikan
jiwa dan ketaatannya secara tulus dari dasar hatinya.” 3
Ibnu Khaldun mengatakan, “Baiat ialah janji
untuk taat. Orang yang berbaiat itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan tentang
urusan dirinya dan urusan kaum muslimin,
sedikit pun tanpa menentangnya; serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan
kepadanya, suka maupun tidak.”4
Baiat adalah bagian dari syariat Islam sudah dilaksanakan sejak masa Rasulullah.
Bahkan diabadikan di dalam Al-Qur’an.
ِهَللا ُدَي َهَللا َنوعِيابُي امَنِإا َكَنوعِيابُي َنيذَلا َنِإا
ٰىلَع ُثُكنَي امَنِإاَف َثَكَن نَمَف مِهيديَا َقوَف
ِهيتؤُيَسَف َهَللا ُهيَلَع َدَهٰع امِب ٰىفوَا نَمَو ِهِسفَن
اًميظَع اًرجَا
3. Baiah i Al-Islam; Mafhumuha, Ahammiyatuha, wa syurutuha, Dr. Raghib As-Sirjani.
5
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
"Bahwasanya orang-orang yang berbaiat kepada kamu, mereka berbaiat kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar." (Al-Fath:10)
Sepeninggal beliau, umat Islam membaiat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah dan
pemimpin umum bagi umat Islam. Maka dengan proses ini umat Islam bersatu dalam barisan.
Baiat Sughra dan Kubra
Dari peristiwa sejarah dan dalil-dalil nash, para ulama membagi baiat menjadi dua,
yaitu baiat kubra dan sughra.
Baiat kubra adalah baiat kepada pemimpin kaum muslimin (khalifah). Sedangkan baiat sughra adalah baiat untuk tetap setia dalam perkara tertentu yang tidak bisa dikuasakan kepada orang lain. Baiat ini berlaku terhadap
penguasa dan juga terhadap selain mereka.5
Banyak orang belum memahami tentang
syariat baiat sughra ini, terutama dalam amal
berjamaah.
Baiat sughra adalah baiat atau ‘ahdun
(perjanjian) yang diambil atas amal makruf
syar’i. Dalam ungkapan lain, merupakan akad, janji, dan ikatan yang bersyarat. Termasuk
jenis ini adalah baiat untuk melakukan bentuk amal saleh apa saja.6
Di antara dalil yang menunjukkan adanya
baiat sughra adalah irman Allah dalam surat Al-Fath: 10 dan 18.
“Bahwasanya orang yang berjanji setia
kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji
setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibatnya akan
menimpa diri sendiri dan barang siapa
menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
(Al-5 Yahya Ismail, Manhaj As-Sunnah i Al-‘Alaqoh
baina Al-Haakim wal Mahkum, terj.Andi Suherman (Jakarta:Gema Insani Press,1995), p.153
6 Lihat kitab Al-Mausu’ah Al-Muyassarah i Al-Adyan
wa Al-Madzahib wa Al-Ahzab Al-Mu’ashirah (II/1000-1006) yang diterbitkan oleh WAMY (World Assembly
6
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
Fath: 10)
Peristiwa baiat yang disebutkan dalam
ayat di atas adalah Baiatur Ridwan yang terjadi pada tahun 6 Hijriah. Tidak diragukan lagi–sebagaimana yang disebutkan para sejarah Muslim–bahwa baiat tersebut bukanlah baiat dalam rangka mendaulat Rasulullah n sebagai pimpinan tertinggi kaum muslimin.
Baiat tersebut merupakan sikap
pembelaan para sahabat terhadap Utsman bin Affan yang diisukan telah dibunuh oleh kair Quraisy. Baiat untuk membela darah Utsman bin Affan sampai titik darah
penghabisan. 7
Selain itu ada juga Baiatun Nisa
sebagaimana diterangkan dalam irman Allah Surat Al-Mumtahanah ayat 12.
Selain ayat Al-Qur’an di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah juga mendukung adanya baiat sughra secara eksplisit, Rasulullah n
bersabda:
ْمِهْيَلَع اْوُرِمَؤُيْلاَف ٍرَفَس ىِف ٌةَثَالَث َناَك اَذِا
ْمُهَد َحَا
“Apabila ada tiga orang dalam safar maka hendaknya mereka mengangkat amir (pimpinan) salah satu di antara mereka.” (Sunan Abu Dawud no. 2608) Ibnu Taimiyyah berkata, “Apabila telah
diwajibkan mengangkat seorang amir dalam perkumpulan dan masyarakat yang paling
kecil dan bersifat sementara (dalam safar),
maka hal ini menunjukkan lebih wajibnya mengangkat amir dalam skala yang lebih
besar darinya.”
7 Lihat: Ar-Rahiq Al-Makhtum hlm. 298
Qiyas Imam Safar?
Jika ada yang mengatakan bahwa imarah safar tidak dapat diqiyaskan dengan imarah amal islami yang lain, maka dapat
diterangkan sebagai berikut:
1
Imarah jamaah-jamaah Islam tidak hanya bersandar pada haditssafar, namun ada dalil-dalil lain.
2
Qiyas imarah jamaah-jamaahIslam terhadap imarah safar
merupakan qiyas shahih (benar)
lantaran kesamaan ‘illat (sebab).
3
Sesungguhnya jamaah yang berlangsung terus menerus lebih utama untuk menyelenggarakan imarah untuk menata kerapian dan ketertibannya daripada jamaah yang bersifat sementara sebagaimana safar. 84
Baiat sughra/baiat amal jama’ijuga tidak berlaku untuk selamanya meskipun rentang waktunya lebih lama dari imarah safar.
Imarah amal jama’i juga akan berakhir, yaitu ketika seorang khalifah syar’i
telah dibaiat.
Di antara dalil lebih khusus dan spesiik
yang menunjukkan adanya baiat ini adalah
hadits Jabir bin Abdillah ra. yang diriwayatkan Imam Muslim. Jabir a berkata:
َمَل َس َو ِهْيَلَع هَللا ىَل َص َيِبَنلا َعَياَبَف ٌدْبَع َءاَج
ِةَرْجِهْلا ىَلَع
“Datang seorang hamba sahaya lalu berbaiat kepada Nabi saw atas hijrah.” (Shahih Muslim no. 4113)
7
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
BOLEHKAH MELAKUKAN BAIAT AMAL?
B
eberapa kalangan menilai bahwa baiat hanya berlaku dari rakyat untuk khalifah. Sedangkan baiat amal dalam sebuah jamaahminal Muslimin, dianggap bid'ah.
Pemahaman ini bisa ditanggapi dari
beberapa sisi:
Pertama, anggapan bahwa tidak ada baiat jenis ini pada masa dakwah Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab bertolak
belakang dengan kenyataan yang
ada. Justru, para ulama dan ahli tarikh menyebutkan adanya pernyataan “saling setia” antara Muhammad bin Suud— pelopor Daulah Saudi I—dan Syaikh Muhammad rahimahumallah. Bahkan, Syaikh Abdul Aziz bin Baz menukilnya dalam risalah beliau yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab: Da’watuhu wa Siratuhu, hlm. 38-39, Cet. Kerajaan Arab Saudi.
Ibnu Suud berkata, “Wahai Syaikh, saya
akan berbaiat (menyatakan setia) kepada
Anda untuk membela agama Allah dan
Rasul-Nya dan untuk berjihad di jalan
Allah. Namun, saya khawatir, jika Anda kami dukung dan kami bela lalu Allah memenangkan Anda atas musuh-musuh Islam, jangan-jangan Anda akan memilih
negeri lain untuk berpindah ke sana dan
meninggalkan negeri kami.”.
Syaikh menjawab, “Saya tidak berbaiat kepada Anda untuk tujuan semacam itu. Saya berbaiat kepada Anda untuk
menegaskan tekad bahwa darah harus
dibayar dengan darah, penghancuran harus dibalas penghancuran. Saya tidak akan keluar dari negeri Anda selamanya.”
Kedua, perbuatan atau perkataan para ulama dan dai pada dasarnya bukanlah
dalil syar’i yang bisa dijadikan hujjah dalam permasalahan syar’i. Pendapat
mereka diikuti sepanjang kesesuaiannya
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Atau sebagaimana perkataan Imam Malik, “Setiap perkataan seseorang bisa diterima dan ditolak kecuali pemilik kubur ini
(Rasulullah) n.” 1
Berargumen dengan sikap dan perbuatan ulama dan para dai untuk mendukung pendapat tidak adanya baiat shugra/amal jelas telah bertentangan
dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits yang dikemukakan di atas. Bahkan, bertentangan
dengan perbuatan sahabat ketika perang
Yarmuk yang terjadi pada tahun 13 H. Saat itu, pasukan muslim yang berjumlah 40.000 orang menghadapi 240.000 pasukan Romawi. Setelah pecah pertempuran dengan dahsyatnya, Ikrimah a membaiat 400 pasukan muslim ‘alal
maut (siap untuk mati). Kemudian pasukan ini menyerbu musuh hinggga seluruh pasukan ini mendapatkan gugur atau dalam keadaan luka parah. Sedang korban
di ihak musuh ada 120.000 orang.2
Perlu kita tegaskan pula bahwa
jumlah sahabat yang ikut dalam perang
ini berjumlah sekitar seribu, namun
tidak seorang pun di antara mereka
yang mengingkari perbuatan Ikrimah,
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir.3(Fahruddin)
1 Siyaru A’lamin Nubala’, Adz-Dzahabi: VIII/93 2 Lihat: Fathul Bari: XIII/63
8
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
Karakter Baiat Sughra dan Kubra
• Baiat Sughra
Dalam baiat sughra, orang yang dibaiat (mubaya’) bisa saja khalifah atau kaum muslimin sebagian dengan sebagian lainnya.9 Ini adalah baiat yang dilakukan
sebagian manusia, baik tiga orang maupun
lebih banyak untuk berjanji dan menaati dalam urusan ketaatan. Tidak terbatas pada
Ahlul Halli wal ‘Aqdi, tetapi siapa saja yang
terlibat dalam suatu perjanjian.
Baiat ini berlaku bagi mereka untuk berjanji dalam ketaatan apapun tanpa
adanya batas, seperti jihad, dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, menyelamatkan orang
yang teraniaya dan menolong orang yang dizalimi. Bahkan menyingkirkan duri dari
jalan—bila menuntut ikatan baiat—maka ini
termasuk Baiat Sughra.
Komitmen terhadap Baiat Sughra sifatnya wajib bagi orang yang telah suka rela
bergabung di dalamnya, dan tidak mengikat orang di luar baiat tersebut. Jika seseorang telah mengikat janji setia, maka wajib baginya
untuk memenuhi ikatan janji tersebut.10
9 Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu ie
Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235
10 Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu ie
Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235
Keluar dari Baiat Sughra
adalah maksiat karena telah
mengingkari janji yang
mengikat antara sesama
muslim. Dan ini telah jelas
dalam syariat tentang
hukum mengingkari janji
dalam perkara ketaatan.
Berdasarkan sifat tersebut, maka dalam
satu wilayah bisa terjadi banyak baiat dengan arah masing-masing. Maka ketika
ada dua jamaah —atau lebih— dari sebagian umat Islam dengan baiat masing-masing,
hubungannya bersifat kerja sama dan
nasihat, bukan perintah dari atas ke bawah. Jamaah-jamaah ini bisa mengarah kepada
penggabungan (tansik) untuk membentuk
jamaah umat Islam yang satu bila terjadi
kesepakatan. Atau terbentuk jamaah yang
memiliki kekuatan (syaukah) sehingga jamaah yang menyelisihi tunduk di bawahnya.
Hal ini telah ditunjukkan oleh sejarah.
Setelah kaum Anshar dan Muhajirin bersatu
di bawah kepemimpinan Rasulullah n. Kekuatan (syaukah) pun terwujud. Sampai
9
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
atau orang-orang munaik tetap ada, tetapi syaukah tidak ada pada mereka, sehingga
tunduk di bawah otoritas kaum muslimin,
yakni Daulah Nabawiyah n.
• Baiat Kubra
Dalam Baiat Kubra, orang yang dibaiat
adalah Imam A'dham (khalifah).11 Pihak yang membaiat adalah Ahlul Halli wal Aqdi dari umat ini atau seorang khalifah sebelumnya setelah melakukan pertimbangan dan syura di antara kaum muslimin.
Orang yang dibaiat atau dinobatkan menjadi khalifah wajib memenuhi syarat-syarat baiat.12
Baiat Kubra mengharuskan
orang yang dibaiat untuk
menerapkan segala
ketentuan syariat bagi kaum
muslimin.
13Di sisi lain, umat wajib mendengar dan
taat kepada imam serta menolongnya selama tidak dalam maksiat.
Kewajiban dan komitmen baiat kubra
Imam Al-Qurtubi berkata, “Dan jika
imamah (khilafah) telah terwujud dengan
kesepakatan Ahlul Halli wal Aqdi atau dengan salah satu seperti penjelasan yang lalu, maka
wajib bagi seluruh rakyat membaiatnya untuk mendengar dan taat dan untuk menegakkan
kitab Allah
k
dan sunnah Rasulullah n.11 Abdurrahman Bin Mu'alla Al-Waihaqi, Al-Ghullu ie
Dien, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1992), cet. I, p. 235
12 Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 7.
13 Imam Al-Mawardi menyebutkan sepuluh kewajiban,
lihat Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 15-17.
Barang siapa tidak berbaiat karena ada
uzur, ia diberi uzur (maaf). Barang siapa tidak
berbaiat tanpa uzur maka dia dipaksa (untuk
berbaiat), agar kesatuan kaum muslimin tidak terpecah.”14
Setiap muslim wajib memegang teguh baiatnya. Berdasarkan hadits:
ًةَتيِم َتاَم ،ٌةَعْيَب ِهِقُنُع يِف َسْيَلَو َتاَم ْنَمَو
ًةَيِلِهاَج
“Barang siapa mati dan belum berbaiat, maka matinya seperti mati dalam keadaan jahiliah.” (HR. Muslim dari
Ibnu Umar).
Dan hadits, “Wajib beriltizam terhadap jamaah dan imamnya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih
dari Hudzifah).15
Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz berkata, “Kesimpulannya, bahwa baiat imam kaum muslimin adalah wajib menurut syar’i.”16
Setelah berbaiat, komitmen selanjutnya ialah mendengar dan taat, serta tidak melepaskan baiatnya kecuali dengan alasan
yang telah ditetapkan syariat. Rasulullah n
bersabda:
ِةَماَيِقْلا َمْوَي َهللا َيِقَل ،ٍةَعاَط ْنِم اًدَي َعَلَخ ْنَم
ُهَل َةَجُح اَل
"Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan (kepada Amir), maka dia berjumpa dengan Allah di hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah."
(HR. Muslim dari Ibnu Umar).
14 Al-Qurthubi, Jami’ li-Ahkam al-Qur’an, juz 1, hal: 302, Maktabah Syamilah
15 Lihat dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 20-23.
16 Lihat: Abdul Qadir bin Abdul Aziz, al-Umdah ii I’dadil
10
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
Maksud tidak ada hujjah, seperti dijelaskan oleh Imam Nawawi, ialah tidak ada alasan
baginya di dunia dengan tindakannya itu. Sedangkan maksud tidak ada ‘uzur adalah tidak ada alasan yang berguna baginya
untuk menyelamatkan dari ancaman Allah
pada hari kiamat.17
Al Hafidz Ibnu Hajar
(wafat 852 H) dalam Fathul
Bari mengatakan, “Yang
dimaksud dengan al miitah
al jaahiliyyah (mati dalam
keadaan jahiliah) adalah
keadaan mati seperti
matinya orang jahiliah.
Yakni mati dalam kesesatan;
tidak mempunyai imam yang
ditaati karena mereka dulu
tidak tahu yang demikian. Ia
tidak mati kafir, namun mati
dalam keadaan maksiat.”
Beliau melanjutkan, “(Ungkapan al miitah al jahiliah) mengandung makna tasybih (penyerupaan) atas zahirnya, yang maknanya
dia mati seperti mati jahiliah walaupun dia
bukan orang jahiliah.”18
Imam Ahmad ditanya tentang makna hadits “Barang siapa mati, sedang dia tidak memiliki imam, maka matinya seperti mati dalam keadaan jahiliah.”
Beliau bertanya, “Tahukah kamu, siapakah imam itu?” Yaitu imam yang telah disepakati
oleh kaum muslimin. Mereka semua
menyatakan, “Ini imam,” Inilah maknanya.”19
17 An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, vol. 6, p. 323. 18 Ibnu Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari, (Beirut: Dar
Ma'rifah, ), vol. 13, p. 7
19 Dinukil dari al-Wajiz ii Fiqhil Khilafah, hal. 77-78, lihat ats-Tsawabit wal Mutaghayyirat, hal. 230.
Dengan memahami perbedaan antara
Baiat Kubra dan Baiat Sughra, maka
jelaslah bahwa imam kaum muslimin yang dimaksudkan dalam hadits tersebut bukan pemimpin kelompok atau jamaah yang
ada saat ini. Akan tetapi maksud imam di
sini adalah pemimpin yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin dengan memenuhi segala syarat yang ada. Dan yang menjadi titik tekan juga adalah pemimpin tersebut merupakan pemimpin yang menjalankan syariat islam.
Jadi, kedudukannya
benar-benar menjadi
khalifah yang menjalankan
fungsi kepemimpinan,
yaitu menjaga agama
(menjalankan hukum islam)
dan mengatur kemaslahatan
dunia.
20Karena pemimpin yang demikianlah yang wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin n
(Fahruddin)
11
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
I
slam menghendaki umatnya bersatu dalam jamaah dan satu pemimpin.Karena itulah, Islam melalui lisan Nabi
n memberikan sanksi berat terhadap upaya yang mengarah kepada dualisme kepemimpinan. Hal ini tampak dalam hadits-hadits berikut:
َةَرَمَثَو ،ِهِدَي َةَقْف َص ُهاَطْعَاَف اًماَمِإا َعَياَب ْنَمَو
ُر َخآا َءا َج ْنِإاَف ،َعاَطَت ْسا ِنِإا ُهْعِطُيْلَف ،ِهِبْلَق
ِر َخآاْلا َقُنُع اوُبِر ْضاَف ُهُعِزاَنُي
"Barang siapa telah membaiat imam serta memberikan kesetiaan dan loyalitas kepadanya, maka hendaklah dia menaatinya semampu mungkin, kemudian bila datang orang lain yang menyainginya maka penggallah lehernya." (Riwayat Muslim).
اَمُهْنِم َرَخآاْلا اوُلُتْقاَف ،ِنْيَتَفيِلَخِل َعِيوُب اَذِإا
"Bila dilakukan baiat kepada dua khalifah, maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya." (Riwayat Muslim).
َقِرُفي
ْنَا
َداَرَا
ْنَمَف
ٌتاَنَهَو
ٌتاَنَه
ُنوُكَتَس
ِفْيَسلاِب
هوُبِر ْضاَف
ٌعيِمج
َيِهَو
ِةَمُاْلا
ِهِذَه
َناَك
ْنَم
اًنِئاَك
"Akan terjadi kekacauan dan kekacauan, barang siapa ingin memecah persatuan umat ini sedangkan umat itu sedang bersatu, maka penggallah lehernya dengan pedang siapa pun orangnya."
(Riwayat Muslim).
،ٍد ِحاَو ٍلُجَر ىَلَع ٌعيِمَج ْمُكُرْمَاَو ْمُكاَتَا ْنَم
،ْمُكَتَعاَمَج َقِرَفُي ْوَا ،ْمُكا َصَع َقُشَي ْنَا ُديِرُي
ُهوُلُتْقاَف
"Barang siapa datang kepada kalian sedangkan urusan kalian itu bersatu di bawah kepemimpinan seorang pria, dan ia ingin membelah tongkat (kepemimpinan) kalian atau memecah barisan kalian, maka bunuhlah."
(Riwayat Muslim).
lll
Bagaimana
Menyikapi
Dualisme
Kepemimpinan
12
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
Para ulama menetapkan kaidah-kaidah
yang jelas pula dalam perkara ini.
Al-Mawardi Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, "Dan
bila kepemimpinan disematkan kepada dua
imam di dua negeri, maka kepemimpinan mereka itu tidak sah, dikarenakan tidak boleh
bagi umat ini ada dua imam di waktu yang
sama." (Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, hal: 9).
Al-Qurthubi menjelaskan alasan pelarangan tersebut, “Ini adalah dalil
yang paling jelas menunjukkan larangan
pengangkatan dua imam, karena itu bisa menyebabkan timbulnya kemunaikan, perselisihan, perpecahan, kekacauan dan lenyapnya kenikmatan.” (Tafsir Al Qurthubi, 1/273).
Namun, menurut
Al-Qurtubi juga dan beberapa
ulama lain, dualisme
kepemimpinan dibolehkan
bila wilayahnya berjauhan
dan dipisahkan oleh
perjalanan yang jauh.
Tetapi, Al-Juwaini melihat
kebolehan ini berada di luar
permasalahan yang telah
pasti hukumnya.
"Para ulama mazhab kami berpendapat
pelarangan penyematan imamah kepada dua
orang di semua penjuru dunia, sedangkan
menurut saya bahwa penyematan imamah kepada dua orang di satu wilayah yang berdekatan itu tidak boleh dan ijma telah terjalin terhadap hal itu.
Adapun bila jaraknya berjauhan dan
dua imam itu dipisahkan oleh perjalanan
yang sangat jauh, maka di dalam hal itu
ada kemungkinan (boleh). Dan ini di luar
permasalahan yang qath'i." (Lihat Al Irsyaad Ilaa Qawathii'il Adillah Fi Ushulil I'tiqad).
Baiat dalam Kondisi Imam Belum Pasti
Ada yang menarik dalam hal ini. Abdullah bin Umar adalah sahabat yang meriwayatkan hadits ancaman mati jahiliyah bagi orang
yang tidak berbaiat kepada imam kaum
muslimin, seperti disebutkan sebelumnya.
Namun bagaimana sikapnya ketika
kekhilafahan belum jelas? Mari kita lihat!
Diriwayatkan bahwa Muawiyah
menunaikan ibadah haji pada tahun 51 H.
Selain itu ia juga berkeinginan mengambil
baiat kaum muslimin untuk anaknya, Yazid.
Lalu ia mengirim utusan untuk memanggil
Ibnu Umar. Setelah bertemu, Muawiyah mengucapkan syahadat dan berkata, “Wahai Ibnu Umar! Kamu pernah berkata kepadaku
bahwa kamu tidak ingin tidur satu malam
13
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
ingatkan kepadamu agar kamu mencegah perselisihan kaum muslimin, atau kamu akan menyebabkan pertikaian di antara mereka!
Ibnu Umar mengucapkan tahmid dan memuji Allah, lalu berkata, "Amma ba’du, sebelum dirimu, banyak khalifah yang mempunyai anak, dan anakmu tidak lebih baik daripada anak-anak mereka. Akan
tetapi mereka tidak melakukan untuk anak-anak mereka sebagaimana yang kamu lakukan untuk anakmu. Mereka membiarkan kaum muslimin untuk memilih orang pilihan mereka.
Engkau mengingatkan agar aku
mencegah perselisihan kaum muslimin. Aku tidak akan melakukan hal itu. Aku hanyalah seorang dari kalangan kaum muslimin. Jika mereka telah sepakat akan suatu perkara,
maka kau sepakat dengan mereka. Semoga
kamu dirahmati oleh Allah!’ Lalu Ibnu Umar keluar.”1
Hal yang sama juga terjadi pada masa
lain. Abdullah bin Umar, pada mulanya tidak berbaiat kepada Abdullah bin Zubair ataupun Abdul Malik bin Marwan. namun ketika umat sepakat kepada Abdul Malik bin Marwan,
beliau pun berbaiat kepadanya. Diriwayatkan
dari Abdullah bin Dinar, ia berkata, "Aku melihat —pada saat umat berkumpul untuk berbaiat kepada Abdul Malik bin Marwan sebagai khalifah— Ibnu Umar berkata, “Sesungguhnya aku menyatakan mendengar dan taat kepada hamba Allah Jalla wa ‘ala, Abdul Malik, Amirul Mukminin, di atas ketetapan Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla dan Sunnah Rasul-Nya selama aku mampu,
dan sesungguhnya anak-anakku telah
menyatakan hal yang sama.”(HR. Al-Bukhari no. 7203 dan 7205).
1 Imam Suyuti, Tarikh khulafa, hal: 150
Kisah lebih lengkap tentang baiat Abdullah bin Umar RA ini, baca halaman 16.
lll
Menurut DR. Yahya Ismail, salah
satu karakteristik syariat Islam adalah menghilangkan segala kesempitan dan kesulitan dalam beribadah. Begitu juga halnya dalam urusan baiat.
Seseorang tidak boleh
dipaksa untuk berbaiat
kepada salah seorang
imam jika mayoritas rakyat
belum setuju dengan
kepemimpinan tersebut.
Lebih lanjut beliau mengungkapkan beberapa alasan bahwa Islam membolehkan seorang muslim untuk meninggalkan baiat
dan kepatuhan, apabila berada dalam kondisi
sebagai berikut:
1
Terjadi perebutan kekuasaan antara dua penguasa yang sah dan belum jelas siapakah di antara keduanya yang lebih berhak menerima baiat.2
Terjadi itnah peperangan internalumat Islam dan diyakini bahwa hal itu bisa diredakan jika tidak ada baiat.2
Baiat Zaman Fitnah
Sudah hampir satu abad, kaum muslimin
kehilangan kepimpinan Islam yang dikenal
14
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
dengan kekhilafahan. Ahli hadits Basrah
dan yang lainnya menyatakan bahwa ketika tidak ada pemimpin umum bagi umat Islam
maka zaman itu disebut zaman itnah.3 Dalam masa itnah, perintah Nabi n adalah,
“Hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin setelahku.”
Dari uraian sebelumnya, terlihat jelas
bagaimana petunjuk Islam dalam perkara ini. Tidak ada perdebatan dalam baiat ketika imam (khalifah) benar-benar ada dan diakui
3 Ibnu Taimiyah, Minhajus sunnah, Riyadh:Jami’ah Imam Muhammad bin Su’ud Al-Islamiyah, 1986, vol 1, 144.
di tengah-tengah kaum muslimin. Namun yang menjadi polemik adalah bagaimana menyikapi seruan baiat dari suatu jamaah.
Apalagi ketika seruan baiat itu dikuatkan dengan dalil-dalil baiat kubra, baik kewajiban berbaiat maupun ancaman bagi yang enggan melakukannya, seperti disebutkan sebelumnya. Walhasil, yang terjadi ialah klaim
kebenaran dan kepemimpinan. Dampaknya
ialah perpecahan dan perselisihan. Maka
tujuan baiat sebagai elemen jamaah menuju persatuan tidaklah terwujud n
(Fahruddin)
Baiat memang disyariatkan, baik
sughra apalagi kubra. Namun seringkali baiat disalahgunakan. Di antara bentuk penyelewengan dalam persoalan baiat ini adalah:
Pertama, menyalahgunakan hadits baiat kubra untuk melegitimasi baiat
sughra, ditambah lagi kesalahan
dalam mengartikan kalimat “mitatan jahiliyyatan”. Hasilnya, orang yang tidak bergabung dianggap kair dan
syahadatnya tidak berguna. Tidak jarang terjadi permusuhan antara orang tua dan anak karena kesalahan ini. Orang
tua dikairkan karena tidak bergabung
dengan jamaahnya.
Tahun 2011 lalu, umat Islam
dihebohkan oleh banyaknya korban
baiat NII KW-9. Sejarah juga mencatat
jamaah LDII yang menganggap orang
tua, saudara, dan siapa pun di luar jamaah mereka diyakini sebagai orang kair yang najis. Maka, bekas tempat duduknya pun
dipel karena kenajisannya.
penyelewengan baiat
Karena pihak di luar jamaahnya
diyakini kair, maka harta dan properti
mereka halal diambil dan tidak ada dosa. Kesalahan ini pun semakin kompleks
karena menggunakan dalil-dalil fa’i untuk
mengambil harta orang lain.
Kedua, memaksa kelompok lain agar mau bergabung dan berbaiat kepada pimpinannya. Baiat tidak boleh dipaksakan
kecuali dalam baiat kubra kepada imam
yang telah disepakati oleh Ahlul Halli wal Aqdi maupun cara lain sesuai syariat. Sedangkan dalam baiat kubra, sifatnya
adalah ajakan dan nasihat.
Pada dasarnya suatu kepemimpinan
akan sah jika telah diakui oleh mayoritas umat karena salah satu syarat mutlak dalam kepemimpinan adalah adanya
syaukah (kekuatan). Dan itu akan terwujud jika mayoritas telah menyetujuinya.1
15
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
Dalam kasus baiat dan proyek Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) di Suriah
maupun di Irak, kelompok maupun faksi-faksi jihad lain, seperti Ahrar Syam, Liwa Tauhid dan lainnya, juga memiliki syaukah
(kekuatan). Maka pendekatan yang terbaik
adalah persuasif, selain bahwa baiat yang
diserukan adalah baiat sughra.2
Selain itu, ketika persetujuan mayoritas
umat tidak terwujud dalam kepemimpinan
tersebut maka akan timbul kekacauan dan itnah di tengah-tengah umat. Dan
ini jelas terjadi di Suriah. Banyak tokoh dari kedua pihak yang dibunuh tanpa ada
penyelesaian, dengan salah satu alasan
menolak tahkim karena daulah tidak mungkin bertahkim kepada organisasi.3
Jadi prinsip Islam dalam pengangkatan
imam adalah adanya persetujuan mayoritas
umat —terukur dengan terwujudnya syaukah— yang ditempuh melalui jalur
musyawarah bukan dengan pemaksaan.
Umar bin Khattab berkata, “Barang siapa
membaiat seseorang tanpa musyawarah dari kaum muslimin maka ia tidak boleh
diikuti, dan tidak pula mengikuti para
terwujud dengan kekuatan dan kekuasaan. Maka jika seseorang dibai’at dan bersamaan dengan itu terwujud kekuatan dan kekuasaan, maka dia menjadi pemimpin (yang sah). Oleh karenanya berkata para imam salaf: ‘Siapa yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, yang dengan keduanya terwujud tujuan kepemimpinan, maka dia menjadi ulil amri yang Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla perintahkan taat kepada mereka selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat kepada Allah Jalla wa ‘ala Azza wa Jalla’.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 1/527. Lihat pula pada hal. 553, 550, jilid 4/388)
2 Syaikh Abu Ja'far Al-Haththab, Anggota Lajnah Syar'iyyah Pada Anshar Syari'ah Tunisia, dalam bukunya Bai'atul Amshaar Lil Imaam Al Mukhtaar, menyimpulkan bahwa baiat kepada Syaikh Al-Baghdadi adalah baiat umum (baiat kubra). Namun pendapat ini lemah dan dibantah oleh kenyataan dan para ulama. Salah satunya ialah Syaikh Abu Laits Al-Anshari dalam bukunya Tabyin Az-Zaif wal Jahl wa izhharul Awar.
3 Lihat kembali catatan Syaikh Al-Maqdisi tentang ISIS di mimbar tauhid dan jihad.
pendukungnya, karena khawatir mereka
akan dibunuh (yang berbaiat dan yang
dibaiat).” (HR. Al-Bukhari no. 6442)
Bahkan lebih tegas lagi Umar a
berkata, “Barang siapa membaiat seorang
laki-laki tanpa didahului musyawarah
dengan umat Islam, maka tidak halal bagi kalian kecuali membunuhnya.” Pada hajinya yang terakhir, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Bukhari, Umar berkata, “Sesungguhnya, sore ini
aku berdiri dan mengingatkan umat Islam tentang orang-orang yang hendak
merampas pemerintahan mereka”. Umar
menganggap baiat yang dilakukan oleh sebagian sahabat kepada sebagian
yang lain, tanpa didahului musyawarah
dengan umat adalah merupakan bentuk perampasan hak umat. Tidak ada istilah
baiat kepada orang yang merampas,
apalagi kalau merampasnya dengan
pedang bukan dengan baiat, meskipun
hanya baiat minoritas.
Adalah Umar bin Abdul Aziz, ketika
beliau diangkat menjadi khalifah beliau
berkata, “Wahai manusia aku telah diuji
dengan jabatan ini tanpa pernah dimintai
pendapatku tentangnya, bukan juga
karena aku yang memintanya dan bukan juga berdasarkan hasil musyawarah kaum muslimin. Sesungguhnya aku tidak memaksa kalian untuk membaiatku. Oleh
karena itu, pilihlah orang yang pantas memimpin kalian.”
Maka seketika itu juga mereka berkata, “Sungguh kami telah memilih engkau
wahai amirul mukminin dan kami ridha dengan kepemimpinanmu. Oleh karena
itu pimpinlah kami dengan adil dan baik.”4
(Fahruddin)
4 Ali Muhammad Ash-Sholabi, Umar bin Abdul Aziz,
16
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblatRamadhan 1434 h 16
J E D A
Kisah ini lebih lengkap diceritakan oleh
Ibnu Hajar sebagai berikut:
Dahulu dua pihak yang masing-masing mengklaim dirinya sebagai yang berhak memegang tampuk kekhilafahan.
Keduanya adalah Abdul Malik bin Marwan dan Abdullah bin Zubair. Pada saat itu,
Ibnu Zubair tinggal di kota Mekkah dan berlindung di sana setelah Muawiyah wafat.
Karena Ibnu Zubair menolak berbaiat
kepada Yazid bin Muawiyah, Yazid
mengirimkan tentaranya beberapa kali untuk menyerang. Ketika tentaranya masih
dalam posisi mengepung Ibnu Zubair,
Yazid meninggal dunia pada bulan Rabiul
Awal 64 H. Menyusul kematian Yazid, umat
Islam berbaiat kepada Ibnu Zubair (dengan
wilayah kekuasaan di Hijaz), sedangkan
penduduk daerah-daerah lain berbaiat kepada Muawiyah bin Yazid bin Muawiyah (Muawiyah II).
Kira-kira 40 hari kemudian, Muawiyah
II meninggal dunia. Maka sebagian besar penduduk wilayah kekuasaan Muawiyah II kemudian berbaiat pada Ibnu Zubair dengan wilayah kekhalifahan meliputi
Hijaz, Yaman, Mesir, Irak, seluruh bagian timur dan seluruh negeri Syam, termasuk
Damaskus. Semua berbaiat kepada Ibnu
Zubair kecuali seluruh keturunan bani Umayyah dan orang-orang yang masih setia kepada mereka di Palestina. Dengan serentak, mereka berbaiat kepada Marwan
bin Hakam untuk memegang kekuasaan.
Selanjutnya, orang-orang yang setia
kepada Marwan menyerang pengikut
Ibnu Zubair di Damaskus, sehingga terjadi
saling bunuh antara dua golongan di tanah lapang. Setelah berhasil menguasai
Syam, Marwan menyerang Mesir dan mengepung Abdurrahman bin Jahdar, gubernur Ibnu Zubair di sana, dan berhasil menguasai Mesir pada bulan Rabiul Akhir tahun 65 H. Namun, pada tahun itu juga
Marwan wafat (memegang kekuasaan
hanya 6 bulan) dan digantikan putranya, Abdul Malik bin Marwan dengan wilayah kekuasaan meliputi Syam, Mesir dan Maroko. Sementara itu, wilayah Hijaz, Irak
dan negeri bagian timur berada dalam kekuasaan Ibnu Zubair.
Hanya kota Kufah yang dikuasai Mukhtar
bin Abu Ubaid, sang pemberontak yang
mengajak orang untuk setia pada Imam
Mahdi dan Ahlu Bait. Mukhtar memerintah
di sana selama kurang lebih dua tahun.
Kemudian Mus’ab bin Zubair dari pihak
17
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblatRamadhan 1434 h 17
J E D A
(Ibnu Zubair) menyerang Mukhtar
pada bukan Ramadhan 71 H yang
mengakibatkan terbununya Mukhtar.
Namun, keadaan segera berubah. Abdul Malik bin Marwan menyerang Mus’ab bin Zubair dan mengepungnya sehingga Mus’ab gugur pada bulan Jumadil Akhir tahun itu. Karena kekalahan
yang diderita dan wilayah yang mulai
menyusut dan hanya terdiri dari Hijaz, Yaman dan wilayah timur. Puncaknya, Abdul Malik menyiapkan pasukan di
bawah pimpinan Hajjaj bin Yusuf dan
mengepung serta menyerang Hijaz selama
dua tahun. Pada April 73 H Ibnu Zubair
terbunuh.
Selama pertentangan itulah Ibnu Umar
menolak berbaiat pada Ibnu Zubair atau
Abdul Malik bin Marwan, sebagaimana ia juga menolak berbaiat pada Ali atau
Muawiyah. Setelah Ibnu Zubair terbunuh dan semua wilayah kerajaan berada di bawah
kekuasaan Abdul Malik, barulah Ibnu Umar
berbaiat kepada Ibnu Malik.1
1 Yahya Ismail, Manhaj As-Sunnah i Al-‘Alaqoh
baina Al-Haakim wal Mahkum, terj.Andi Suherman (Jakarta:Gema Insani Press,1995), p.181-182
18
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
I S I S
DAULAH, KHILAFAH ATAU JAMAAH?
S
yaikh Abu Humam Bakar bin Abdul Aziz Al-Atsari, dalam bukunya Maddul Ayaadi bi Bai’ah Al-Baghdadi,1 menguatkan legalitas syar’i Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai Amir Daulah Islam Irak. Setelah menampilkan berbagai argumentasi mengenai urgensi, faktor-faktor mendorong berdirinya Daulah Islam Irak, serta tinjauan syar’i berdirinya dan realitas sejarah berdirinya sebuah negara, maka disimpulkan bahwa Daulah Islam Irak sah secara syar’i.Syaikh Abu Humam mengulas kelayakan Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai Amirul Mukminin, sahnya baiat sebagian orang dan sebagian Ahlul Halli wal Aqdi, sahnya disebut Daulah meskipun belum mendapatkan wilayah
yang aman (tamkin), menjawab syubhat imam majhul, dan semua hal yang menguatkan bahwa Syaikh Al-Baghdadi adalah amir sebuah Daulah Islam memimpin jamaah muslimin, bukan amir sebuah imarah (kepemimpinan Islam) dalam arti organisasi atau tanzim jihad.
Di lapangan dan media, hal tersebut dikuatkan oleh tentara dan ulama pendukung ISIS bahwa baiat Syaikh Al-Baghdadi adalah baiat pemimpin
19
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
tertinggi dalam Islam, sehingga siapa
yang menolak wajib diperangi. Dalil-dalil yang dipakai adalah dalil-dalil Imamatul Uzhma dan konsekuensi-konsekuensi yang diterapkan pun berdasarkan pemahaman ini.
Contohnya hadits, “Barang siapa yang mati, sedangkan ia tidak memiliki baiat di pundaknya, maka ia mati dalam keadaan jahiliah.” (HR Muslim).
Juga sabda Rasulullah n, “Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang Khalifah, kemudian dia ingin memecah-belah kesatuan jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.”
(HR. Muslim)
Untuk mendudukkan masalah ini, kita
akan melihatnya dari pengertian Daulah dan Khilafah terlebih dahulu.
Daulah, Imarah dan Khilafah
Secara bahasa kalimat Daulah oleh para
ulama diartikan: Sesuatu yang kadang dihasilkan dari tangan ini atau dari tangan
lain, atau balasan dalam hal kekayaan atau
peperangan.2
Penggunaan kata daulah digunakan sebagai kata istilah, belum begitu merata dipakai oleh para fuqaha zaman dulu, hanya
beberapa kitab yang sudah memakainya seperti kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah.
Namun oleh para fuqaha zaman dulu,
pembahasan Daulah Islamiyah dalam kitab
iqh-iqh turats sudah dimasukkan ke dalam
sub tema kepemimpinan negara (al-ahkam al-imamiyah) dengan menegaskan bahwa Daulah adalah representasi dari sosok
kepemimpinan tinggi, atau istilah lainnya
Khalifah.
Imamah secara bahasa bisa diartikan
setiap orang yang harus diikuti baik dia itu adalah seorang pemimpin atau tidak. Dalam
Lisanul Arab juga dikatakan bahwa yang dimaksud dengan imamah dan imam itu adalah orang yang diikuti oleh suatu kaum baik mereka berada di jalan yang lurus maupun yang sesat.
20
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
Sementara yang dimaksud dengan
imamah secara istilah ulama memberikan deinisi secara beragam akan tetapi
semuanya itu bermuara pada satu tujuan.
Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan imamah adalah posisi khilafah nubuwwah–pengganti Nabi–untuk menjaga agama serta mengatur dunia dengan agama tersebut.3
Oleh para fuqaha tata negara Daulah Islam dideinisikan sebagai:
ِةَداَيِسلا ِقْيِقْحَتِل ُعِمَتْجَت ِتاَلْيِإاْلا ُةَعْوُمْجَم
اَهْوُنِطْوَتْسُمَو اُهُدْوُدُح اَهَل ٍةَنَيَعُم ٍمْيِلاَقَا ىَلَع
َنْيِنِمْؤُمْلا ُرْيِمَا ْوَا ُةَفْيِل َخْلا ِوَا ُمِكا َحْلا ُنْوُكَيَف
ِتاَطْلُسلا ِهِذه ِسْأاَر ىَلَع
“Gabungan kelompok masyarakat yang menguasai kawasan tertentu, mempunyai wilayah dan anggota masyarakat tertentu, dan hakim atau khalifah atau amirul mukminin yang bertindak sebagai pucuk pimpinan kekuasaan ini.”4
Dari definisi di atas dapat
diambil kesimpulan
bahwa daulah atau negara
terdiri dari tiga unsur,
yaitu wilayah, rakyat dan
pemerintahan.
Dalam mengkaji ketiga unsur pokok
sebuah negara tersebut, para fuqaha ahli
tata negara telah menjabarkannya di dalam
3 http://id.shvoong.com/humanities/religion- studies/2171993-pengertian-imamah-imaroh-khilafah-dan/#ixzz34g72bqoP
4 Ibid.
tema hukum Darul Islam. Dr. Wahbah Zuhaili
berkata:
“Hijrahnya Nabi n dari kota Mekkah menuju kota Madinah yang merupakan titik awal berdirinya sebuah Daulah
Islamiyah oleh kalangan fuqaha di masa
awal-awal Islam belum digunakan sebagai
sebuah terminologi umum, melainkan
mengungkapkannya dengan istilah Darul
Islam, karena kalimat daulah belum banyak
digunakan ulama saat itu. Di sisi lain terdapat korelasi makna yang bersifat talazum antara istilah kalimat daulah dan Darul Islam.5
Para fuqaha menyatakan bahwa tugas
khilafah adalah menegakkan din Islam dan
melaksanakan hukum-hukumnya, serta
menegakkan politik Daulah di perbatasan Islam.
Dalam aspek ini, Al-Mawardi menjelaskan bahwa, “Apabila imam (kepala negara)
telah menjalankan semua tugas-tugasnya dalam memenuhi hak-hak rakyatnya
dan menegakkan hak-hak Allah SWT di antara mereka, maka wajib bagi rakyatnya memenuhi dua hak sang imam, yaitu hak menaatinya dan hak membantu tugasnya.”6
21
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
Bagaimana dengan Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS)?7
Daulah Islam Irak dan Syam (ISIS) mengklaim sebagai daulah Islam dan memakai dalil-dalil baiat kubra untuk
menguatkannya. Syaikh Abu Bakar Al-Baghadi juga dijuluki Amirul Mukminin. Namun, pihak lain menyebutnya dengan
kata jamaah atau tanzim Daulah. Bahkan
Syaikh Aiman Al-Zawahiri juga menyebut
demikian.
Banyak hal yang menguatkan bahwa ISIS
adalah organisasi. Namun sebelumnya, kita
perlu memahami perbedaan antara tanzhim
dan daulah, terutama konsekuensi baiatnya.
Ini perkara mendasar yang membedakan antara keduanya dan konsekuensi-konsekuensi di baliknya. Tabel berikut merupakan beberapa konsekuensi baiat keduanya:
Pemahaman dasar tersebut menjadi
penting untuk melihat apa yang harus dilakukan Daulah Islam ketika ada pihak yang
keluar maupun menolak berbaiat, dalam
kapasitas Daulah sebagai tanzim maupun
7 Sebagaimana telah kami sebutkan dalam Pengantar,
makalah ini dirancang ketika ISIS masih menjadi "Daulah," belum mendeklarasikan diri sebagai "Khilafah."
daulah Islam dalam makna kepemimpinan tertinggi Islam. Demikian pula menjadi pandangan setiap umat Islam dalam masalah ini.
Kembali ke persoalan sebelumnya, ISIS tanzim ataukah daulah? Syaikh Athiyatullah Al-Libbi ketika ditanya tentang Daulah Islam Irak (ISI): Mengapa namanya Daulah, bukan Imarah, apa bedanya? Beliau menjawab:
“Nama ’Daulah Islam Irak’ adalah julukan
bagi entitas politik dan sosial bagi mujahidin dan kaum muslimin ahli sunnah di wilayah ini sebagai bagian dari negeri-negeri Islam lainnya. Ini hendaknya tidak hilang dari
ingatan kita.”
Beliau menjelaskan bahwa pemilihan nama dan julukan itu sifatnya ijtihad. Makna sesungguhnya berhubungan erat dengan fakta dan kenyataan yang ada.
Contohnya, julukan Amirul Mukminin
dalam sebuah nama daulah. Maksudnya adalah pemimpin dan pemegang otoritas
politik “Daulah”. Julukan ini sifatnya ijtihadi,
yaitu nama pemimpin dalam Daulah ini.
Tetapi, maksudnya bukanlah pemimpin
22
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
muslimin atau oleh Ahlul Halli wal Aqdi, atau
melakukan kudeta atas suatu negeri Islam
sampai akhirnya disebut Amirul Mukminin
dalam arti pemimpin tertinggi atau khalifah. Meskipun penamaan dan julukan seperti
itu dibolehkan sesuai konteks ijtihad tadi, Syaikh Athiyatullah Al-Libbi melihat bahwa
memilih nama lain lebih utama dan lebih
baik. Termasuk sebutan Amirul Mukminin bagi Mulla Muhammad Umar sebelumnya.
Menurutnya, nama Amir saja tanpa
tambahan mukminin lebih baik sebab kesannya lebih jelas. Yakni dialah pemimpin
suatu Daulah atau Imarah, dalam makna
bukan daulah khilafah. Mengapa bukan
Amirul Mukminin?
Sebab, masih menurut Syaikh, ini bisa
menimbulkan ilusi bahwa ia adalah imam
tertinggi (khalifah). “Itu bisa membuat kerancuan bagi saudara-saudara kita, mungkin akan mengira bahwa itu khalifah! Sebab julukan Amirul Mukminin ini sudah
tertanam dalam benak kaum muslimin sejak
Umar bin Khathab
a
bahwa julukan AmirulMukminin ini adalah untuk imam tertinggi
dan khalifah.”
Hal itu, menurut beliau, lebih menambah kerancuan dengan kondisinya (Abu Bakar Al-Baghdadi)—semoga Allah menjaganya— adalah dari suku Quraisy8 dan keturunan Husain. Ilusinya semakin kuat!9
Syaikh Athiyatullah termasuk ulama yang menyetujui proyek Daulah Islam Irak, dan
tampak jelas bahwa beliau juga mendoakan
kebaikan bagi Syaikh Al-Baghdadi. Namun
beliau memahami bahwa Daulah Islam Irak adalah imarah Islam yang tidak berbeda dengan makna tanzhim.
Baiat Al-Baghdadi kepada Al-Zawahiri
Banyak kalangan mempertanyakan hubungan antara Daulah Islam Irak dan
Syam (ISIS) dan Al-Qaidah serta status baiat antara pemimpinnya. Bukan kalangan awam, bahkan para ulama seperti Dr Thariq Abdul Halim, Dr Hani As-Sibai dan lainnya juga
mempertanyakannya.
Pertanyaan Dr Thariq dan Dr Habi As-Sibai tidak berbeda, yaitu urusan baiat Syaikh Al-Baghdadi kepada Syaikh Al-Zawahiri merupakan baiat yang belum ada kepastian,
baik sifat maupun hakikatnya.
Padahal jawaban tersebut sangat penting. Untuk mendudukkan perkara sebenarnya.
Sekurang-kurangnya pertanyaan-pertanyaan berikut akan terjawab.
Penolakan Al-Jaulani atas deklarasi Daulah
Islam Irak dan Syam adalah penolakan yang
salah bila alasannya hanyalah karena Al-Jaulani tidak diajak bermusyawarah lebih
8 Lihat kembali syarat-syarat imam tertinggi.
9 http://www.muslm.org/vb/showthread.php?516157- لمـاذا-الدولة-اإسامية-ولماذا-أمير-المؤمنين-وما-حدودهـا-%28الشيخ-عطية-ه-رحمه-ه
Nama "Amir" saja tanpa
tambahan mukminin lebih
baik sebab kesannya lebih
jelas. Yakni dialah pemimpin
suatu Daulah atau
Imarah, dalam
makna bukan
daulah khilafah.
23
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
dahulu, seperti disebutkan dalam pidatonya.10 Al-Jaulani juga (bisa dianggap) berdosa karena telah melepaskan baiat dari
Al-Baghadi dengan alasan yang tidak dibenarkan.
Semua arahan Syaikh Aiman, termasuk
perintah membekukan ISIS tidak mengikat sebab hubungannya hanyalah kerja sama
dan saling menasihati sesama tanzim, bukan perintah. Demikian, dan masih banyak lagi.
Ini adalah persoalan besar. Namun, saat
banyak pihak mempertanyakan hakikat
hubungan tersebut, Abu Mu’adz Asy-Syar’i mengomentari pertanyaan Dr Habi As-Sibai
dan menyatakan bahwa esensinya bukan pada masalah baiat. Tetapi ada persoalan lain yang tidak diperdebatkan lagi yang menjadi
akar masalah antara JN dan ISIS, yaitu penyimpangan manhaj Al-Qaidah. Al-Qaidah
(dianggap) kesusupan akidah sururiyah dan lima poin lainnya tanpa menyebutkan bukti apa pun.11
Dr. Thariq Abdul Halim menilai Abu Mu’adz Asy-Syar’i telah menelanjangi Dr Aiman dan
Dr Hani Sibai sebagai tokoh yang dalam
10 Rabu, 29 Jumadil Ula 1434 /10 April 2013 M, yang diterbitkan oleh Media Al-Manarah al-Baidha’. 11 Lihat http://alplatformmedia.com/vb/showthread.
php?t=42298
sejarah panjang telah mengabdikan diri dalam pertarungan dengan thaghut dengan
lisan dan perbuatan. “Nama, rupa, sejarah dan pengalaman keduanya telah dikenal, sedangkan lainnya tidaklah kita kenal rupa, sejarah, dan tulisannya kecuali penambahan kata “Asy-Syar’i” yang tidak pernah kita kenal sebelumnya kecuali setelah muncul
perkataan-perkataan mereka di justpaste. it12 sejak pengumumam “Daulah Islam” beberapa bulan lalu,” ungkapnya.
Dr Thariq mengapresiasi upaya para
pendukung Daulah dalam menjawab setiap
persoalan. Namun, “sangat disayangkan,
tindakan ini dinilai sebagian orang telah
menjadi ciri umum Daulah, yaitu menghantam
siapa dan apa saja yang sifatnya menyelisihi
Daulah.”
Dan itu berimbas kepada para pendukung mereka di twitter dan facebook. Mereka
seolah-olah telah memenangkan al-haq secara keseluruhan dan tidak terbantahkan lagi; bebas dari kesalahan secara keseluruhan.
Merekalah yang benar dalam setiap hal yang
mengingatkan mereka.”
24
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
Ya, permasalahan baiat
antara Syaikh Al-Zawahiri
dan Syaikh al-Baghdadi
adalah jantung dari masalah
ini. Itulah sebabnya jawaban
dari kedua pihak sangat
ditunggu-tunggu.
Sebenarnya, Dr Thariq telah memiliki persepsi bahwa Al-Baghdadi berbaiat kepada Al-Zawahiri. Ia memiliki kesaksian
dari orang yang dikenal sebagai orang adil dan kesaksiannya tidak patut didustakan.
Di sisi lain, berdasarkan upaya penyelesaian masalah antara ISIS dan JN, Dr. Thariq Abdul Halim melihat bahwa Abu Bakar Al-Baghdadi sebenarnya menerima Syaikh Aiman menjadi hakim bagi dirinya dan Al-Jaulani.13 Hanya saja, ketika keputusannya tidak sesuai dengan keinginan Daulah, Al-Baghdadi
tidak melaksanakannya. Ini menguatkan
bahwa Al-Zawahiri adalah amir Al-Baghdadi. Karena itulah, beliau menginginkan pihak
Daulah memberikan penjelasan tegas dalam masalah ini.14
Pertanyaan-pertanyaan para ulama tersebut akhirnya dijawab oleh Syaikh Aiman. Surat Syaikh Aiman menjawab pertanyaan-pertanyaan Dr. Thariq Abdul Halim, Dr. Hani As-Siba’i, Dr. Iyadh Qunaibi, Dr. Abdullah Al-Muhaisini, Syaikh Muhammad Al-Hashmi dan Dr. Sami Al-Uraidi.15
"Adapun pertanyaan kalian tentang
jamaah Daulah Islamiyah di Irak dan
Syam (ISIS), sebelum dan sesudah
13 Lihat http://www.tariqabdelhaleem.net/new/ Artical-72557
14 Ibid.
15 h t t p : / / w w w . a l m a q r e z e . n e t / a r / n e w s . php?readmore=2445
pengumuman ekspansi serta persoalan
baiat, maka saya telah menjelaskan
dalam tulisan saya berjudul: Kesaksian untuk menghentikan pertumpahan darah mujahidin di Suriah. Yaitu bahwa
Daulah Islam Irak (ISIS) adalah cabang jamaah Al-Qaidah. Amir dan tentara
ISIS memiliki kewajiban baiat di pundak
mereka terhadap jamaah Al-Qaidah. Amir mereka adalah Usamah bin Ladin—semoga Allah mengasihinya— kemudian saya yang lemah ini.”
Salah satu buktinya ialah surat Syaikh Al-Baghdadi kepada Syaikh Aiman pada 7 Dzul Hijjah 1433. Di dalamnya, Syaikh Al-Baghdadi
mengatakan:
“Syaikh kami yang diberkati, kami
ingin menjelaskan dan mengumumkan kepadamu bahwa kami adalah bagian darimu. Kami adalah dari dan untukmu.
Kami berhutang kepada Allah bahwa
engkau adalah pemegang otoritas urusan kami. Engkau memiliki hak ketaatan (sam’u wa tha’ah) selama kami hidup. Dan bahwa nasihat dan peringatanmu untuk kami adalah hak kami untuk menerimanya darimu.
Perintahmu mengikat bagi kami.
Akan tetapi, beberapa masalah
adakalanya memerlukan beberapa penjelasan untuk menangani kenyataan yang terjadi di lapangan kami. Kami berharap engkau lapang dada untuk mendengar sudut pandang
kami. Setelah itu, engkau berhak
mengeluarkan perintah karena kami ini
25
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
tentang hubungan ISIS dan Al-Qaidah16 dan ini juga diakui oleh Juru Bicara ISIS Syaikh Al-Adnani dalam pidatonya yang berjudul “Maaf wahai Amir Al-Qaidah”:
“Sesungguhnya semua kesaksianmu
yang engkau sebutkan itu adalah
benar”.17
Di antara kesaksian Syaikh Aiman saat ISIS
masih di Irak ialah:
“Syaikh Abu Hamzah t mengirimkan
surat kepada kepemimpinan pusat (Al-Qaidah) yang isinya membenarkan
pembentukan Daulah. Ia menegaskan di dalamnya bahwa loyalitas Daulah
adalah kepada jamaah Al-Qaidah dan
bahwa saudara-saudara di Dewan Syuro telah mengambil janji kepada
Syaikh Asy-Syahid—seperti yang kami harapkan—Abu Umar Al-Baghdadi bahwa amirnya adalah Syaikh Usamah
bin Ladin t. Dan bahwa Daulah
berada di bawah jamaah Al-Qaidah. Akan tetapi, Dewan Syuro memandang saudara-saudara harus diberitahu itu, namun tidak diberitahukan secara
luas dengan beberapa pertimbangan
politik, yang mereka lihat di Irak saat itu.”
“Delegasi Dewan Syuro Daulah Islam Irak menanggapinya pada awal Dzul Qa’dah 1431, sebagai berikut: '... Seluruh ikhwah di sini, yang dipimpin oleh Syaikh Abu Bakar, semoga Allah melindunginya
dan Dewan Syura sepakat bahwa tidak ada keberatan bila imarah (daulah) ini bersifat sementara. Dan kalian boleh mengirimkan seseorang kepada kami bila kalian melihat keputusan sebagai bagian dari perwujudan maslahat
16 http://www.tawhed.ws/r?i=26051401
17 Lihat transkripnya di http://www.dawaalhaq. com/?p=12828
untuk menyerahkan imarah ini. Kami tidak keberatan dan kami semua di
sini adalah prajuritnya (Syaikh Usamah)
yang di pundak mereka ada beban mendengar dan taat. Kewajiban ini adalah hasil kesepakatan dari Majelis
Syuro dan Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi, semoga Allah melindungi mereka.”18
Hal yang sama juga dilakukan saat
kepemimpinan Al-Qaidah dipercayakan kepada Syaikh Aiman, sepeninggal Syaikh Usamah bin Ladin. Syaikh
Al-Baghdadi meminta kepastian apakah
18 http://www.tawhed.ws/r?i=26051401
Transkrip penjelasan Al-Zawahiri tentang hubungan Al-Qaidah dan ISIS. Terjemahnya dapat dilihat di :
26
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
harus memperbarui baiat secara terang-terangan atau cukup secara rahasia seperti
sebelumnya. Disebutkan juga dalam surat Dr
Aiman, menukil dari surat yang dikirimkan
kepada beliau dari Daulah:
“… dan ia (Syaikh Al-Baghdadi)
menanyakan posisinya dari sudut
pandang kalian (organisasi Al-Qaidah),
ketika ada pengumuman amir baru
di organisasi (Al-Qaidah). Apakah
Daulah harus memperbarui baiatnya
secara terang-terangan atau secara rahasia saja, seperti yang dilakukan
sebelumnya. Ini penting sebab saudara-saudara di sini adalah anak panah di
busurmu.”19
Semua proses tersebut dilakukan secara
rahasia antara dua pihak. Maka wajar bila sekelas tokoh senior dalam dunia jihad pun tidak mengetahui hubungan sebenarnya
antara Al-Baghdadi dan Al-Zawahiri.
Dengan demikian semua pertanyaan seputar status ISIS dan hubungannya dengan
Al-Qaidah terjawablah sudah.
Daulah adalah bagian dari Al-Qaidah.
Sejak awal berdirinya adalah bagian dari
Al-Qaidah pusat. Pembubaran tanzim
Al-Qaidah i Bilad Raidhain oleh Syaikh AIman Al-Zawahiri dan diumumkan bergabung
dengan Daulah adalah langkah yang benar. Ini bukan berarti tidak adanya baiat
kepada Al-Qaidah pusat. Sebab sifatnya diintegrasikan, bukan independen.
Pernyataan-pernyataan Syaikh Al-Zawahiri dan Syaikh Usamah dalam memuji Daulah
adalah wujud apresiasi kepemimpinan pusat
kepada organisasi cabang. Azh-Zhawahiri
pernah menyatakan:
19 http://www.tawhed.ws/r?i=26051401
“... Dan pada hari ini (2007) Daulah Islam Irak telah didirikan di Irak. Para
mujahidin merayakan (berdirinya) di
jalan-jalan Irak, masyarakat juga ikut
berdemonstrasi untuk mendukungnya
di kota-kota dan desa-desa Irak, dukungannya diumumkan, dan baiat
terhadapnya (Daulah Islam Irak)
dilakukan di masjid-masjid Baghdad.”20 Maka tidak salah bila Syaikh Aiman pernah
menyatakan:
“Saya ingin menjelaskan bahwa pada
hari ini tidak ada kelompok yang
bernama Al-Qaidah di Irak. Sebagai gantinya Al-Qaidah yang berada di
Irak menyatukan diri dengan Daulah
Islamiyah Irak— semoga Allah menjaganya – bersama jama’ah-jama’ah jihad lainnya. Daulah Islam Iraq adalah Imarah Syar’iyah yang berdiri di atas manhaj syar’i yang benar dan
didirikan melalui Syura (musyawarah)
dan membai’at sebagian besar Mujahidin dan suku-suku di Irak.”
Adalah sikap yang tepat sebagai pemimpin
untuk menengahi dan mendudukkan masalahnya ketika bagian dari organisasinya mendapatkan tuduhan. Daulah Islam Irak dituduh menjadi penyebab berbagai perang saudara dan dituding telah membunuh orang-orang sipil dan menumpahkan darah.
Syaikh Aiman pada saat itu menjawab: “Ini merupakan suatu tuduhan,
dan tuduhan memerlukan bukti. Sebagaimana halnya Daulah Islamiyah Irak mengumumkan kesiapannya
untuk menanggapi setiap keluhan….
27
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
Saya tidak memiliki kewenangan untuk berlepas diri maupun membela berbagai bentuk urusan sebelum saya mendengar dari dua sisi urusan
tersebut.”21
Prospek Daulah Islam Akhir Zaman
Bagaimanapun Daulah Islam Irak awalnya adalah tanzim yang disetujui dan dipuji oleh para ulama jihad dan proyek Daulah Islam
yang digadang-gadang menjadi cikal-bakal khilafah ala manhaj nubuwwah. Ini adalah
harapan para pemimpin pergerakan jihad,
terlebih lagi para pemimpin Daulah.
Syaikh Al-Adnani misalnya dalam
pernyataan berjudul “La yadzurrukum illa adza” mengatakan, ‘Proyek kami adalah
proyek umat. Tujuannya adalah menegakkan
daulah Islam ala manhaj nubuwwah, yang tidak mengenal batas (teritorial), tidak membedakan Arab dan non-Arab, tidak pula timur dan barat, kecuali ketakwaan dan loyalitasnya yang tulus kepada Allah.”22
Dalam dalam salah satu pesannya, Azh-Zhawahiri berkata, “... Dan pada hari ini (2007) Daulah Islam Irak telah didirikan di Irak. Para mujahidin merayakan (berdirinya) di jalan-jalan Irak, masyarakat juga ikut
berdemonstrasi untuk mendukungnya di
kota-kota dan desa-desa Irak, dukungannya diumumkan, dan baiat terhadapnya (Daulah
Islam Irak) dilakukan di masjid-masjid
Baghdad.”23
23 Simak pesan Aiman Azh-Zhawahiri, Nashiihah Musyaffaq, yang dirilis pada Juni 2007. http://archive. org/download/The-Advice-of-One-Concerned3b/ The-Advice-of-One-Concerned3b_512kb.mp4
Pernyataan Aiman Azh-Zhawahiri menarik untuk dicermati: “Sungguh, Al-Qaidah ingin
agar umat Islam memiliki seorang khalifah
yang mereka pilih sendiri dengan kerelaan, keputusan bulat, atau dengan kesepakatan
mayoritas mereka.
Dan seandainya umat Islam memungkinkan untuk menjalankan hukum
Allah di manapun wilayah tersebut sebelum tegaknya khilafah, maka orang yang diridai
(direstui) oleh umat Islam di wilayah tersebut sebagai imam (pemimpin) yang memenuhi
syarat-syarat syar’i dan akan memimpin umat dengan Al-Quran dan As-Sunnah,
maka kami merupakan orang pertama yang akan merestuinya. Karena kami bukan
menginginkan kekuasaan, namun hanya menginginkan (tegaknya) hukum Islam.”24
Apakah daulah atau imarah kecil tidak bisa menjadi Daulah Islam? Apakah baiat amal atau baiat jihad dalam taraf tertentu tidak bisa menjadi baiat kubra?
Tentu bisa. Sebab sebuah daulah, bila berkaca kepada perjuangan Nabi n
menegakkan Daulah di Madinah, merupakan
proses yang tidak lepas dari kekurangan
dan kesabaran. Ya, meskipun kondisi Daulah Islam, menurut beberapa analisis, tidak layak
dianalogikan dengan Madinah.
Sebagian karya dan tulisan ulama yang
menguatkan baiat Syaikh Al-Baghdadi telah kami baca dan teliti dan telah dibantah pula oleh banyak pihak. Ada yang kuat di satu
bagian namun ada juga kelemahan di bagian lain. Namun satu hal yang harus menjadi
catatan adalah pengakuan terhadap ISIS dan baiat Syaikh Al-Baghdadi. Ya, pengakuan
kaum muslimin.
28
MUNAQOSYAH
Ramadhan 1435 h kiblat
Misalnya baiat kepada imam yang tidak dikenal (majhul), bantahannya kemungkinan lebih kuat, namun yang dibantah juga tidak bisa ditolak secara total. Majhul bagi sebagian
orang, belum tentu majhul bagi sebagian
lain. Demikian pula persoalan lainnya.
Tetapi, perdebatan itu tidak
berlaku untuk pengakuan.
Sebuah daulah maupun
baiat tidak akan berlaku
tanpa pengakuan kaum
muslimin.
Apakah pengakuan tersebut harus datang dari seluruh manusia?
Tentu saja tidak, tetapi umat Islam secara
umum atau sebuah proses yang dengan itu kepemimpinan dan kekuasaan bisa berjalan.
Ibnu Khaldun di Mukadimah mengatakan, “Yaitu baiat dari Ahlul Halli wal Aqdi yang dengan mereka tercapailah kekuatan dan pembelaan.”
Imam Al-Ghazali berkata, “Seandainya yang membaiat Abu Bakar
a
hanyaUmar
a
, sementara umat Islam secara keseluruhan tidak mau melakukannya, atau mereka terpecah belah dan tidak bisadibedakan mana kelompok mayoritas dan
mana kelompok minoritas, niscaya tidak ada pengukuhan imamah.”25
Ketika kubu Muawiyah dan Ali tidak mau
memberikan kesepakatan untuk menaati
salah satu pihak, maka Muawiyah—sesuai riwayat Ziyad bin Abdullah dari Abu Ishaq—menulis surat kepada Ali, “Bila engkau bersedia, ambillah Irak, dan Syam untuk saya. Dengan demikian, berhentilah ancaman pedang terhadap umat ini dan
25 Fathaih Al-Bathiniyah, 176-177.
pertumpahan darah di antara umat Islam.” Maka Ali menyetujuinya. Keduanya rela
dengan kesepakatan tersebut. Muawiyah tinggal di Syam dengan pasukannya dan
demikian pula Ali di Irak.
Manhaj Nabi dalam Menegakkan Daulah
Intinya adalah membangun kepercayaan.
Manhaj Nabi n dalam membentuk kedaulatan Madinah telah mewariskan strategi yang sangat baik. Langkah awal setelah menyatukan barisan internal dengan membangun masjid dan mempersaudarakan
antara muhajirin dan Anshar ialah menjalin
perjanjian dengan Yahudi dan suku-suku di
sekitarnya untuk menciptakan keamanan di
Madinah.
Allah bahkan memberikan kelonggaran yang jelas bagi pembela kebenaran, “Dan bila mereka cenderung kepada perdamaian, maka cenderunglah kepada perdamaian itu. Dan bertawakallah kepada Allah.” (QS. Al Anfal: 61)
Nabi n mengirimkan surat kepada
orang-orang kair, mengajak mereka untuk bertobat
dan masuk Islam. Nabi juga menerima hadiah
dari mereka, dan juga meminta bantuan. Maka tidaklah salah ketika Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi berpesan untuk
amal jihad di Suriah:
"Kami ingatkan mereka akan urgensi memperhatikan siyasah syar’iyyah yang
ditempuh Nabi n, khususnya pada awal-awal