• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk mendapatkan ekstrak biji teratai yang memiliki aktivitas antimikroba, pertama-tama biji teratai diolah dalam bentuk tepung, selanjutnya tepung diekstrak secara bertingkat berdasarkan tingkat polaritasnya yaitu dengan pelarut heksana (tidak polar), kemudian dilanjutkan dengan etil asetat (semi polar) dan etanol (polar) secara maserasi masing-masing selama 24 jam.

Tahapan ekstraksi pada umbi teratai sama dengan biji teratai. Sebelum diekstrak dengan pelarut, umbi terlebih dahulu dikeringbekukan. Rendemen dan sifat fisik dari masing-masing ekstrak dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Sifat fisik dan rendemen ekstrak biji dan umbi teratai

Jenis ekstrak Fisik ekstrak Rendemen (%)

Biji

Ekstrak heksana Jingga, cair (oily) 0.84

Ekstrak etilasetat Jingga kecoklatan, kental 0.95

Ekstrak etanol Coklat kemerahan, kental 7.34

Umbi

Ekstrak heksana Kuning kecoklatan, cair (oily) 0.46

Ekstrak etil asetat Kuning jingga, cair 0.70

Ekstrak etanol Jingga kecoklatan, cair 6.69

Keterangan : kadar air tepung umbi (kering beku) = 8% Kadar air tepung biji = 13%

Aktivitas antimikroba dari ekstrak (etil asetat) biji dan umbi teratai terhadap EPEC K.1.1 dan S.Typhimurium dengan metode difusi sumur pada Nutrient agar ditunjukkan pada Gambar 10 dan 11. Hasil pengukuran diameter penghambatan terhadap EPEC K.1.1 dan S. Typhimurium dari ekstrak heksana, etil asetat dan etanol biji dan umbi teratai ditunjukkan pada Tabel 8. Secara umum ekstrak etil asetat mempunyai penghambatan lebih tinggi daripada ekstrak heksana dan etanol terhadap kedua bakteri uji.

Ekstraksi dengan menggunakan heksana biasanya untuk menghilangkan senyawa-senyawa non polar alami, terutama senyawa-senyawa lilin tanaman, lemak-minyak nabati dan/atau sebagian minyak atsiri (Houghton dan Raman, 1998). Tabel 11 menunjukkan bahwa ekstrak heksana biji dan umbi teratai mengandung alkaloid yang umumnya memiliki aktivitas antimikroba.

Gambar 10. Penghambatan ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai dengan konsentrasi 10, 20 dan 30% terhadap S. Typhimurium. K= kontrol pelarut

20%

Gambar 11. Penghambatan ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai dengan konsentrasi 5, 10, 20 dan 30% terhadap EPEC K1.1

K= kontrol pelarut 10% 20% 30% 10% 30% K K Biji Umbi 20% 30% 20% 10% 5% K 30% 20% K 5% 10% Biji Umbi

Menurut Kanasawa et al.(1995) senyawa minyak dan lipida lainnya mempunyai ukuran molekul besar sehingga tidak dapat masuk ke dalam dinding sel dan menjadi penghalang masuknya minyak atsiri dan komponen fitokimia lainnya ke dalam sel bakteri uji, akibatnya sel tetap akan tumbuh. Hal yang sama juga terjadi pada ekstrak heksana Helianthemum glomeratum yang menunjukkan tidak adanya aktivitas penghambatan terhadap bakteri patogen penyebab diare seperti Shigella sp, Salmonella sp., Vibrio cholera, E.coli EIEC dan ETEC (Meckes et al. 1997). Demikian pula pada ekstrak heksana andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC) terhadap B. cereus, S. Typhimurium, S. aureus

(Parhusip 2006) dan ekstrak heksana bunga kecombrang terhadap B. cereus, S. Typhimurium, L. monocytogenes, E. coli, A. hydrophila dan P. aeruginosa

(Naufalin 2005).

Pada Tabel 8 terlihat ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antimikroba yang lebih tinggi dibanding ekstrak etanol dan heksana, baik pada biji maupun umbi. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif yang berperan sebagai antimikroba adalah senyawa semi polar. Ekstrak etil asetat memberikan penghambatan yang tinggi (Gambar 10 dan 11). Kemampuan senyawa semi polar untuk menghambat pertumbuhan bakteri berkaitan dengan komponen dinding sel bakteri yang tidak bersifat absolut hidrofobik maupun absolut hidrofilik. Kanazawa et al.(1995) menyatakan bahwa suatu senyawa yang mempunyai polaritas optimum akan mempunyai aktivitas antimikroba yang maksimum, karena untuk interaksi suatu senyawa antimikroba dengan bakteri diperlukan imbangan hidrofilik-hidrofobik. Diduga senyawa semi polar mempunyai afinitas lebih tinggi untuk berinteraksi dengan dinding sel, sehingga ekstrak semi polar lebih efektif menghambat pertumbuhan EPEC K1.1 dan S.Typhimurium daripada ekstrak etanol (polar) dan heksana (non polar).

Pada mikroba gram negatif seperti pada E.coli dan S.Typhimurium, memiliki struktur dinding sel yang kompleks. Lapisan luar dinding selnya mengandung 5-10% peptidoglikan, selebihnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan lipoprotein. Lapisan ini merupakan lapisan lipid kedua, yang disebut lapisan lipopolisakarida (LPS). LPS merupakan lapisan tambahan yang merupakan membran terluar dari dinding sel bakteri gram negatif. Lapisan LPS ini terikat satu sama lain dengan kation divalent Ca2+ dan Mg2+ (Murray et al.

1998).. Membran luar ini berfungsi sebagai penghalang masuknya senyawa-senyawa yang tidak diperlukan sel (seperti bakteriosin, enzim dan senyawa-senyawa hidrofobik).

Asam-asam organik seperti EDTA (etilen diamin tetraacetic acid), asam sitrat, asam malat, asam laktat dan asam klorida dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif dengan cara mengkelat kation bivalen tersebut. Selain itu, molekul tanin juga dapat mengkelat ion-ion bivalen (Scalbert 1991). Terlepasnya kation-kation tersebut dari membran terluar bakteri, akan memudahkan masuknya senyawa antibakteri ke dalam sel (Stratford 2000). Sebagai upaya mencapai sasaran, senyawa antibakteri dapat menembus LPS dinding sel bakteri tersebut, molekul-molekul yang bersifat hidrofilik lebih mudah melewati LPS dibandingkan yang hidrofobik. Meskipun demikian pada bakteri gram negatif terdapat pula sisi hidrofilik yaitu karboksil, asam amino dan hidroksil (Gorman 1991), sehingga senyawa hidrofobik pun dapat menembus dinding sel.

Lapisan LPS ini tidak semata-mata tersusun oleh fosfolipid saja, seperti pada membran sitoplasma, tetapi juga mengandung polisakarida dan protein (Madigan 2000). Lipopolisakarida dinding sel gram negatif terdiri atas lipid kompleks yang disebut lipid A. Lipid A ini terdiri atas suatu rantai satuan disakarida glukosamin yang dihubungkan dengan ikatan pirofosfat, tempat melekatnya sejumlah asam lemak rantai panjang. Mikroba gram negatif juga memiliki selaput khusus berupa molekul protein (porin) yang memudahkan difusi pasif senyawa hidrofilik dengan berat molekul rendah, sepeti gula, asam amino dan ion-ion tertentu. Porin pada S.Typhimurium dan E. coli yaitu OmpC, D dan F dan PhoE, merupakan protein trimer yang menembus kedua permukaan membran luar (Moat et al. 2002). Protein ini membentuk pori-pori yang relatif tidak spesifik yang memungkinkan difusi bebas zat-zat hidrofil kecil menembus membran. Porin dari spesies yang berbeda mempunyai kemampuan berdifusi yang berbeda pula, dari berat molekul 600 kda pada E.coli dan S. Typhimurium

sampai lebih dari 3000 kda pada P aeruginosa (Jawetz et al. 1996; Murray et al. 1998). Semakin tinggi berat molekul protein semakin sulit menembus permukaan membran luar. Umumnya dinding sel bakteri gram negatif mengandung membran luar yang dapat menghalangi lewatnya molekul-molekul besar (Jawetz et al. 1996).

Tabel 8. Diameter penghambatan (mm) ekstrak heksana, etil asetat dan etanol biji dan umbi teratai

Jenis ekstrak Konsentrasi (% b/v) Diameter penghambatan (mm) EPEC K1.1 S. Typhimurium B. bifidum Lactobacillus acidophilus Biji Heksana 0 0 0 - - 10 0 0 - - 20 0 0 - - 30 0 0 - - Etil asetat 0 0 0 0 0 10 19.33±0.91 17.90±1.08 0 0 20 25.50±1.27 23.18±0.23 0 0 30 29.57±1.00 26.40±0.48 0 0 Etanol 0 0 0 0 0 10 12.36±0.28 12.47±2.38 0 0 20 14.08±1.02 13.43±1.10 0 0 30 15.79±0.53 15.49±0.21 0 0 Umbi Heksana 0 0 0 - - 10 0 0 - - 20 0 0 - - 30 0 0 - - Etil asetat 0 0 0 0 0 10 15.30±0.12 11.60±0.28 0 0 20 19.68±0.59 14.63±0.13 0 0 30 23.01±0.67 19.65±0.51 0 0 Etanol 0 0 0 0 0 10 8.88±1.52 9.14±1.04 0 0 20 11.23±0.07 10.38±2.37 0 0 30 14.40±0.85 11.81±1.94 0 0

Keterangan : 0% = tanpa ekstrak (hanya pelarut yang digunakan) 0 = tidak ada penghambatan

- = tidak diamati

Pada ekstrak etanol yang bersifat polar baik pada biji maupun umbi terlihat aktivitas antimikroba lebih rendah dibandingkan ekstrak etil asetat terhadap EPEC K1.1 dan S. Typhimurium. Beberapa peneliti melapokan bahwa keberadaan minyak dalam ekstrak non polar dan protein dalam ekstrak polar merupakan faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba dari senyawa fenolik (Nychas,

1995). Pada Tabel 11 terlihat bahwa ekstrak etanol biji mengandung tanin, dimana tanin dapat berikatan dengan protein biji sehingga aktivitas tanin sebagai antimikroba menjadi terganggu.

Ekstrak etil asetat dan etanol, baik biji maupun umbi, tidak menunjukkan penghambatan pada bakteri asam laktat (Lactobacillus acidophilus) dan Bifidobacterium. Hal ini diduga karena permukaan dinding selnya mengandung asam teikoat yang terdiri dari satu polimer glukosilgliserol fosfat dan dua polimer diglukosilgliserol fosfat dengan gugus alkil berupa alanin, sehingga bersifat non polar (Moat et al. 2002). Lavlinesia (2004) dan Naufalin (2005) juga melaporkan bahwa Lactobacillus plantarum merupakan bakteri yang paling resisten terhadap ekstrak etil asetat biji atung dan bunga kecombrang.

Ekstrak etil asetat, baik pada biji maupun umbi, memiliki aktivitas penghambatan yang lebih tinggi dibanding ekstrak heksana dan etanol. Oleh karena itu penelitian aktivitas antimikroba dari biji dan umbi teratai selanjutnya diarahkan kepada ekstrak etil asetat. Pengujian aktivitas antimikroba dari ekstrak etil asetat biji dan umbi dilakukan menggunakan metode kontak langsung antara bakteri uji dengan ekstrak. Metode ini dilakukan untuk mendapatkan nilai MIC dan MBC dari suatu ekstrak antimikroba. Nilai MIC dan MBC ekstrak etil asetat biji dan umbi terhadap pertumbuhan bakteri EPEC K1.1 dan S. Typhimurium

dapat dilihat pada Tabel 9.

Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa nilai MIC ekstrak etil asetat biji terhadap EPEC K1.1 dan S. Typhimurium adalah 0.1% (b/v) ekstrak dengan pelarut etil asetat atau 0,89 mg/ml, sedangkan nilai MBC ekstrak terhadap EPEC K1.1 adalah 0.150% (b/v) atau 1.33 mg/ml. Nilai MIC dan MBC terhadap S. Typhimurium adalah 0.125% (b/v) atau 1.11 mg/ml dan 0.150% (b/v) atau 1.33 mg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa EPEC K1.1 lebih sensitif terhadap ekstrak etil asetat biji dibandingkan dengan S.Typhimurium.

Pada ekstrak etil asetat umbi, terlihat pengaruh ekstrak terhadap pertumbuhan EPEC K1.1 dan S. Typhimurium adalah sama dilihat dari nilai MIC yaitu sebesar 0.125% (b/v) atau 1.11 mg/ml dan MBC 0.175% (b/v) atau 1.55 mg/ml terhadap S.Typhimurium. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri uji lebih tahan terhadap ekstrak etil asetat umbi dibandingkan ekstrak etil asetat biji. Nilai MIC dan MBC senyawa antimikroba ekstrak tanaman berbeda-beda tergantung

pada jenis mikroba. Nilai MIC senyawa antimikroba yang lebih rendah menunjukkan bakteri lebih rentan terhadap komponen tersebut.

Tabel 9. Pertumbuhan bakteri EPEC K1.1 dan Salmonella Typhimurium pada media NB yang mengandung ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai

Jenis

ekstrak Jenis bakteri

Konsentrasi Ekstrak etil asetat (% b/v) Jumlah bakteri (CFU/ml) % Penghambatan relatif terhadap jumlah bakteri awal

[100-(Ntx100/No)] Log pengham-batan Inkubasi 0 jam (No) Inkubasi 24 jam (Nt) Ekstrak etil asetat biji EPEC K1.1 0 4.1x105 3.3x109 - -3.91 0.075 4.1x105 3.4x105 17.07 0.83 0.1* 4.1x105 3.0x104 92.68 1.14 0.125 4.1x105 1.4x101 99.99 4.47 0.150** 4.1x105 0 100 5.61 0.175 4.1x105 0 100 5.61 S.Typhimurium 0 4.9x105 3.3x109 - -3.83 0.075 4.9x105 9.7x104 80.20 0.70 0.1 4.9x105 7.0x104 85.71 0.84 0.125* 4.9x105 3.8x102 99.92 3.11 0.150** 4.9x105 0 100 5.69 0.175 4.9x105 0 100 5.69 Ekstrak etil asetat umbi EPEC K1.1 0 4.1x105 2.8x109 - -3.79 0.100 4.1x105 6.9x104 83.17 0.81 0.125* 4.1x105 3.9x104 90.49 1.06 0.150 4.1x105 7.7x102 99.81 2.77 0.175 4.1x105 4.1x101 99.99 4.04 S.Typhimurium 0 5.2x105 3.1x109 - -3.78 0.100 5.2x105 8.1x104 84.42 0.81 0.125* 5.2x105 1.4x104 97.31 1.57 0.150 5.2x105 3.1x101 99.99 4.22 0.175** 5.2x105 0 100.00 5.72 Keterangan : * MIC ekstrak etil asetat

**MBC ekstrak etil asetat

Jika dibandingkan dengan nilai MIC ekstrak tanaman lain, seperti ekstrak etil asetat bunga kecombrang nilai MIC ekstrak terhadap E. coli dan

S.Typhimurium adalah 4 mg/ml (Naufalin 2005); ekstrak jahe terhadap E. coli dan

S.Typhi adalah 10 mg/ml (Radiati 2002),dan ekstrak daun sirih terhadap E. coli

dan S.Typhimurium adalah 2 mg/ml (Sugiastuti 2002).

Aktivitas antimikroba ekstrak etil asetat biji dan umbi dibandingkan dengan aktivitas beberapa antibiotik terhadap S.Typhimurium dan terhadap EPEC K1.1., diameter penghambatannya disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Diameter penghambatan (mm) ekstrak etil asetat biji dan umbi teratai

dibandingkan dengan antibiotik terhadap EPEC K1.1 dan S.Typhimurium

Diameter penghambatan (mm) EPEC K1.1 S.Typhimurium Antibiotik (2% b/v) Amoksilin 0 23.94±0.78 Ampisilin 0 23.65±1.48 Kloramfenikol 1.72±0.39 25.14±2.49

Ekstrak etil asetat (2% b/v)

Biji 14.98±0.60 14.00±1.20

Umbi 13.68±0.81 13.43±0.60

Keterangan : 0 = tidak ada penghambatan

Pada Tabel 10, terlihat bahwa dengan konsentrasi yang sama (2%) aktivitas antimikroba ekstrak biji dan umbi terhadap S. Typhimurium lebih kecil dibandingkan dengan antibiotik (kloramfenicol, amoksilin dan ampisilin). Akan tetapi terhadap EPEC K1.1, aktivitas antimikroba dari antibiotik lebih rendah dibanding ekstrak biji dan umbi. Diketahui bahwa EPEC K1.1 resisten terhadap ketiga antibiotik yang diuji, sedangkan terhadap ekstrak biji dan umbi teratai dengan konsentrasi yang sama terlihat adanya penghambatan.

Diduga ekstrak biji dan umbi mempunyai mekanisme penghambatan yang berbeda dengan ketiga antibiotik yang diuji terhadap mikroba uji. Beragamnya komponen antimikroba yang berperan pada ekstrak mengakibatkan cara penghambatannya terhadap bakteri juga berbeda. Berbeda dengan antibiotik yang memiliki senyawa tunggal dengan mekanisme penghambatan terhadap bakteri yang spesifik. Jika antibiotik diberikan terus-menerus atau secara berlebihan maka bakteri akan membuat pertahanan diri terhadap senyawa tersebut, yang akhirnya membuat bakteri tersebut menjadi resisten. Menurut Madigan (2000), beberapa mikroorganisme secara alami resisten untuk beberapa antibiotik, yang disebabkan karena : (1) mikroorganisme tersebut tidak mempunyai struktur yang dapat dihambat antibiotik (tidak mempunyai dinding sel bakteri dan tahan terhadap penicilin, seperti mycoplasma); (2) mikroorganisme tersebut mungkin tidak permeabel terhadap antibiotik (sebagian bakteri gram negatif tidak permeabel terhadap penicilin); (3) mikroorganisme tersebut mungkin dapat merubah antibiotik menjadi bentuk yang tidak aktif (seperti Staphylococcus

mikroorganisme tersebut mungkin memodifikasi target dari antibiotik; (5) terjadi perubahan genetik pada mikroorganisme tersebut sehingga dapat bertahan terhadap kerja antibiotik; dan (6) mikroorganisme tersebut dapat memompa keluar antibiotik yang masuk ke dalam sel (efflux).

Kloramfenikol adalah antibiotik yang bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein mikroba. Yang dihambat adalah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein mikroba. Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik, tetapi pada konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisidal terhadap mikroba yang peka (Gan et al. 1980). Menurut Gan et al. (1980), E.coli dapat resisten terhadap kloramfenikol dengan mengasetilasi antibiotik tersebut. Ampisilin dan amoksilin adalah jenis penisilin yang berspektrum antimikroba luas, efektif terhadap mikroba gram positif dan negatif. Kejadian resistensi terhadap penisilin pada umumnya didasarkan pada produksi penisilinase, yang dapat memecah ikatan atom N dengan C pada cicin laktam, dengan menghasilkan asam penisiloat. Asam penisiloat, tidak memiliki lagi sifat antibakteri (Gan et al.1980).