• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

B. Aparat Penegak Hukum

Dalam upaya penegakan hukum peran aparat sangatlah menentukan oleh karena implementasi dari instrumen hukum yang ada sangat bergantung dari struktur hukum tersebut. Sebagus-bagusnya suatu instrumen hukum, tidak akan bermanfaat apabila aparat penegak hukumnya tidak mengaplikasikan dengan baik di lapangan. Seperti yang dikatakan Herman

Manheim bahwa: “It is not the formula that dicide the issue, but the man who

have to apply the formula” (betapapun baiknya perangkat perundang-undangan jika para penegaknya berwatak buruk, maka hasilnya akan buruk

pula.152

Bertitik tolak dari pernyataan diatas, maka dalam peneranpan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 ini juga diperlukan aparat penegak hukum yang memahami substansi dari Undang-Undang tersebut dan memiliki dedikasi tinggi untuk bertujuan menghadirkan keadilan bagi korban. Dalam prakteknya, prilaku dan kinerja aparat dalam menterjemahkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini justru

151 Ibid. 152

Herman Manheim, Criminal Justice and Social Reconstruction, (New York: Oxford University, 1946), hal. 131.

menimbulkan suatu hambatan bagi penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Sebelum membahas lebih jauh tentang aparat penegak hukum sebagai salah satu faktor yang menentukan dalam penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan maka akan

dijelaskan terlebih dahulu tentang Sistem Peradilan Pidana (criminal justice

system) dan posisi kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana. Purpura menyatakan Pengertian Peradilan Pidana sebagai berikut:

“Criminal justice focuses on the criminal law, the law of criminal procedure, and the enforcement of these laws, in an effort to treat fairly all persons accused of a crime. Fairness in criminal justice means that an accused person receives equeal tretment, impartiality, and the due process of constitutional protections. In reality, criminal justice does not always live up to its ideals and is subject to much criticism as our society strunggles to improve it.”153

Uraian Purpura di atas menggambarkan bahwa peradilan pidana

(criminal justice) mempunyai tiga titik perhatian, yaitu hukum pidana secara

materiil (crimal law), hukum pidana formiil (the law of criminal procedure), dan

hukum pelaksanaan pidana (the enforcement of criminal laws). Semua ini

ditujukan sebagai usaha untuk memberikan perlakuan yang adil kepada semua orang yang dituduh telah melakukan kejahatan. Keadilan dalam hukum pidana yang dimaksudkan bahwa orang yang dituduh melakukan kejahatan harus diperlakukan secara wajar dan sama, netral, dan hak-haknya

153

Philip P. Purpura, Criminal Justice an Introduction, (Boston: Butterworth-Heinemann, 1997), hal. 3-4.

diberikan perlindungan oleh undang-undang. Namun demikian, secara realitas pelaksanaannya terkadang belum seperti yang diharapkan dan masih banyak mengundang kritikan. Oleh karena itu, masyarakat harus mau berjuang untuk menggapai cita-cita keadilan dalam proses peradilan pidana ini.

Istilah sistem menurut Anatol Rapport, memberi pengertian sistem

adalah whole which function as a shole by vertue of the interdependence of

its parts. Sedangkan menurut R.L. Ackoff, sistem sebagai entity, conceptual or physical, which concists of interdependent parts.154

Menurut Lili Rasjidi ciri suatu sistem155 adalah:

a. Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses).

b. Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu

sama lain saling bergantung (interdependence of its parts).

c. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih

besar, yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is

more that the sum of its parts).

d. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the

whole determines the nature of its parts).

154

Phillips DC, Holistic Thought in Social Science, (California: Standford University Press, 1988), hal. 60.

155

Lili Rasjidi, I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 43-44.

e. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau

dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be

understood if considered in isolation from the whole).

f. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu.

Sistem peradilan dapat ditinjau dari beberapa segi. Pertama; segala

sesuatu berkenaan dengan penyelenggaraan peradilan. Di sini, sistem peradilan akan mencakup – seperti diutarakan di muka – kelembagaan,

sumber daya, tata cara, prasarana dan sarana, dan lain-lain. Kedua; sistem

peradilan diartikan sebagai proses mengadili (memeriksa dan memutus

perkara).156

Peradilan pidana dikatakan sebagai sistem karena di dalam sistem tersebut bekerja subsistem-subsistem yang mendukung jalannya peradilan pidana, yaitu suatu pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan terpidana.157

Dalam kerangka pemahaman sistem tersebut maka kepolisian, kejaksaan, advokat, pengadilan dan pemasyarakatan, merupakan unsur-unsur yang membangun sistem tersebut. Masing-masing memang berdiri sendiri dan menjalankan pekerjaan yang berbeda-beda, tetapi semuanya tetap merupakan unser saja dari satu sistem, yaitu Sistem Peradilan Pidana.

156

Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), (Yogyakarta: FH UII Press, 2005), hal. 14-15.

157

Bahkan kalau Sistem Peradilan Pidana diibaratkan mesin, maka kiranya kita juga dapat mengatakan, bahwa masing-masing bidang itu adalah ibarat

sekrup-sekrup saja dari mesin tersebut.158

Langkah yang penting untuk menjadikan sistem tersebut dapat bekerja sebagai sistem adalah menanamkan (1) kesadaran sistem, (2) perilaku sistem, dan (3) kultur sistem. Hal-hal ini perlu ditekankan, oleh karena pada akhirnya sistem (dan unsur-unsurnya) hanya dapat beroperasi melalui (tindakan) manusia. Sejak kita mengetahui, bahwa manusia bukan robot dan mereka mampu membuat pilihan-pilihan, maka pembinaan kultur penting sekali untuk dilakukan. Perilaku mereka yang mendukung unsur-unsur sistem tersebut perlu diusahakan untuk berangkat dari nilai dan persepsi yang sama

mengenai tujuan dan bekerjanya sistem.159

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah sistem

dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.160

Menanggulangi adalah usaha mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dengan menyelesaikan sebagian besar laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana disamping itu ada hal lain yang tidak kalah penting adalah

158

Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial,&Kemasyarakatan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), hal. 222.

159 Ibid 160

mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku untuk mengulangi kejahatannya.

Dari uraian diatas dapat dirinci bahwa tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro sebagai berikut:

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

2. Menyelesaikan kasus-kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah dipidana sehingga masyarakat merasa puas;

3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya.161

Muladi menerjemahkan sistem peradilan pidana (criminal justice system)

sebagai suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formiil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) ini terkandung gerak sistemik dari komponen-komponen pendukungnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Gerak sistemik ini secara keseluruhan dan totalitas berusaha mentransformasikan masukan (input)

menjadi keluaran (output) yang menjadi sasaran kerja sistem peradilan pidana

(criminal justice system) ini, yaitu sasaran jangka pendek adalah resosialisasi pelaku

161

kejahatan, sasaran jangka menengah adalah pencegahan kejahatan, serta tujuan jangka panjang sebagai tujuan akhir adalah kesejahteraan masyarakat.162

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) mempunyai komponen-komponen, yaitu Kepolisin, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang diharapkan dapat bekerja secara integratif sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dalam mekanisme peradilan pidana.163

Fungsi utama dari polisi adalah menegakkan hukum dan melayani kepentingan masyarakat umum. oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tugas polisi adalah melakukan pencegahan terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Sebagai usaha pemberian perlindungan kepada masyarakat, maka polisi melibatkan keikutsertaan masyarakat melalui berbagai program pemberian informasi yang luas tentang kejahatan di lingkungan tempat tinggal masyarakat, melakukan pendidikan tentang tanggung jawab masyarakat terhadap upaya pencegahan kejahatan dan pemberian informasi terkini tentang upaya penanggulangan kejahatan dengan melakukan pengamanan swadaya masyarakat. Selain itu juga, secara formal tugas polisi memainkan peranan penting dalam mekanisme sistem peradilan pidana, yaitu dengan memproses tersangka pelaku kejahatan dan mengajukannya ke proses penuntutan di pengadilan.164

162

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hal. Vii.

163

Ronald J. Waldron, TheCriminal Justice System, (New York: Harper & Row Publisher, 1984), hal. 59.

164

Tugas jaksa penuntut umum dalam proses peradilan pidana adalah melakukan penuntutan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku kejahatan. Fungsi ini membawa jaksa penuntut umum ke dalam proses peradilan pidana dari penahanan ke pemidanaan. Sedangkan pengadilan melalui tingkatannya (Lower Courts, Trial

Courts, Appellate Courts and Supreme Court) merupakan lembaga yang fokus pada

penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan. Proses yang berjalan di pengadilan diharapkan mencapai tujuannya, yaitu menentukan batasan bersalah dan tidaknya terdakwa. Putusan akhir pengadilan ini akan membawa konsekuensi apakah terdakwa masuk hukuman percobaan (probation) atau hukuman penjara di lembaga pemasyarakatan (correctional institution) sebelum akhirnya terdakwa dibebaskan kembali ke tengah kehidupan masyarakat.165

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Indonesia yang dikenal dengan KUHAP, tidak saja memuat tentang hak dan kewajiban yang terkait dalam suatu proses pidana, tetapi juga memuat tentang tata cara proses pidana yang menjadi tugas dan kewenangan masing-masing institusi penegak hukum.

Proses penegakan hukum berdasarkan KUHAP yang kita miliki selama

ini menganut asas division of function atau sistem kompartemen, yang

memisahkan secara tegas tugas dan kewenangan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan dan penetapan pengadilan yang terintegrasi, menuju kepada sistem peradilan

165

pidana terpadu (integrated criminal justice system), tetapi di dalam praktek

belum memunculkan sinergi antar institusi terkait.166

Munculnya permasalahan-permasalahan di dalam praktek tersebut

selain adanya perbedaan persepsi, seringkali juga akibat adanya ego sektoral sehingga menjadi penghalang untuk menjalin kerja sama antar komponen dalam sistem peradilan pidana, karena KUHAP sendiri belum merumuskan secara tegas tentang apa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana terpadu.

Ironisnya meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengeliminir permasalahan di dalam praktek, nampaknya kendala tersebut tetap saja muncul. Lebih-lebih di era reformasi karena adanya sorotan dan kritik tajam dari berbagai kalangan terhadap kesepakatan-kesepakatan tersebut karena dipandang sebagai wadah yang dapat memberikan peluang terjadinya kolusi antar para penegak hukum.

Sebagai suatu sistem, maka semua komponen dalam sistem peradilan pidana harus mempunyai kesamaan tujuan secara holistik, sehingga akan saling mendukung dalam pelaksanaan tugasnya, bukan untuk saling bertentangan. Dalam kenyataannya masing-masing subsistem sering berkerja sendiri-sendiri dengan motivasi kerja yang beragam. Hal ini menyebabkan tidak diindahkannya adanya suatu keperluan untuk memperoleh satu kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy). Kondisi ini

166

memiliki dampak yang sangat menentukan bagi berfungsinya proses penegakan hukum dan keadilan.167

Oleh karena itulah menurut Mardjono Reksodiputro168 bahwa

komponen-komponen sistem peradilan pidana ini harus bekerja secara

terpadu (integrated) untuk menanggulangi kejahatan. Tidak tercapainya

keterpaduan dalam kinerja komponen sistem peradilan pidana ini, maka akan mendatangkan kerugian, yaitu:

1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka;

2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (ssebagai subsistem); dan

3. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.

Untuk memahami konsep sistem peradilan pidana terpadu maka V.N.Pillai menyatakan:

It is necessary to be clear about what we mean by an “integrated” criminal justice administration. Greater Integration does not envisage the entire system working as one unit or department or as different sections of one unified service. Rather, it might be said to work on the principle of unity in diversity, some what like that under which the armed forces function. Each of three main armed services, the army, navy and airforce, in most states has its

167

Philip P. Purpura, op. cit., hal. 5. 168

Mardjono Reksodiputro, Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana (Suatu Pemikiran Awal). dalam Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku Kedua, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Lembaga Kriminologi UI, 1997), hal. 142.

own distintive roles in the defence of a country, each its own operational methods. However, in times of need all of them have a common purpose and work towards a common objective. They are able to combine their operations to achive this end without conpromissing their individual roles. Perhaps the war against crime could be considered in a somewhat similar light as a combined operation by all the branches of the criminal justice system, each component playing a specific part with its own personnel and its own resources, but concerned essentially with carrying out over-all criminal policies for a common national objective.”169

Berdasarkan uraian Pillai di atas, maka makna keterpaduan dalam sistem peradilan pidana bukanlah diterjemahkan sebagai suatu sistem yang bekerjasama dalam satu unit atau departemen atau menyatu dalam lembaga tersendiri. Keterpaduan dalam sistem peradilan pidana lebih ditujukan sebagai kerjasama dan koordinasi antara sub sistem yang satu dengan sub

sistem lainnya dengan prinsip unity in diversity. Setiap sub sistem dalam

sistem peradilan pidana memainkan peranan yang spesifik dalam penanggulangan kejahatan, dengan mengerahkan segenap potensi (anggota dan sumberdaya) yang ada di lembaga masing-masing. Namun, aktivitas sub sistem ini harus diarahkan pada pencapaian tujuan bersama sebagaimana yang telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan kejahatan

(criminal policy).

Pendekatan keterpaduan ini bertujuan untuk menciptakan strategi supaya setiap elemen dapat meningkatkan efektivitas kerjanya dan sekaligus bersatu padu dengan elemen yang lainnya untuk mencapai tujuan bersama.

169

V.N. Pillai, The Administration of Criminal Justice: Unity in Deversity: dalam Criminal Justice in Asia: The Quest for an Integrative Approach, (Tokyo, UNAFEI, 1982), hal. 20.

Konsekuensi logisnya adalah elemen yang satu dengan elemen lainnya harus saling berhubungan secara structural dan mempertahankan kesinambungan tugas mereka. Tidak terjalinnya kerjasama yang erat dan tidak ditemukannya satu persepsi yang sama mengenai tujuan yang ingin dicapai bersama, maka sistem peradilan pidana terpadu tidak akan dapat

menanggulangi kejahatan.170

Berdasarkan uraian di atas, pendekatan sistem yang dipergunakan

untuk mengkaji peradilan pidana ini mempunyai implikasi sebagai berikut:171

1. Semua sub sistem akan saling tergantung (interdependent), karena

produk (output) suatu sub sistem merupakan masukan (input) bagi sub

sistem lainnya;

2. Pendekatan sistem mendorong adanya konsultasi dan kerjasama antar sub sistem yang akhirnya akan meningkatkan upaya penyusunan strategi sistem tersebut secara keseluruhan;

3. Kebijakan yang diputuskan dan dijalankan oleh satu sub sistem akan berpengaruh pada sub sistem lainnya.

Kepolisian yang merupakan salah satu komponen dari Sistem

Peradilan Pidana, sering disebut sebagai the arm of the law (tangan hukum),

tetapi ia melaksanakannya dari suatu posisi yang unik, yaitu sebagai pekerjaan yang bergelimang dengan fakta dan realita bukan dengan hukum

170

Harkristuti Harkrisnowo, “Mendorong Kinerja Polri Melalui Pendekatan Sistem Managemen Terpadu”. Pidato Dies Natalis ke-57 PTIK Dalam Rangka Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan XXXVIII / Arygya Hwardaya, Jakarta: 2003, hal. 4.

171 Ibid.

semata. Adanya perbedaan posisi yang cukup mendasar antara kepolisian dan komponen lainnya dalam Sistem Peradilan Pidana menyangkut obyek dan metodologi kerja. Dalam istilah yang sekarang sudah menjadi populer, polisi disebut “penegak hukum jalanan” sedangkan jaksa dan hakim masuk dalam kategori “penegak hukum gedongan.” Sebagai penegak hukum jaksa dan hakim bekerja dan berhadapan dengan peraturan sedangkan polisi lebih berurusan dengan kenyataan. Jaksa bergumul dengan hukum, sedangkan

polisi dengan kenyataan telanjang (brute facts).172

Sebagai ujung tombak dari Sistem Peradilan Pidana, kepolisian dalam melaksanakan tugasnya selalu berinteraksi dengan masyarakat. Karena posisinya yang unik itu, polisi langsung menerima dampak dari lingkungan tempatnya bekerja. Antara polisi dan rakyat, penjahat, orang baik-baik tidak ada tirai pembatas. Konsekuensi logis sebagai penegak hukum yang berada langsung di tengah masyarakat, mengakibatkan polisi menjadi pusat perhatian dan sorotan masyarakat bahkan kecaman sudah termasuk makanan sehari-hari.

Dari kedekatan eksistensi polisi dengan masyarakat sebenarnya dapat diambil manfaatnya sebagai sarana untuk memperlancar tugas polisi dalam urusan pencegahan kejahatan. Apabila polisi dapat merangkul masyarakat dengan citranya maka keberhasilan kerja polisi tidak bisa terbantahkan lagi, karena polisi dan masyarakat merupakan suatu konfigurasi yang tak dapat

172

dipisahkan. Dalam hal ini berlaku kerjasama yang saling menguntungkan

(simbiosis mutualisme), karena di satu sisi polisi dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan masyarakat mendapatkan rasa aman dari keberhasilan keberhasilan tugas polisi.

Menurut Mardjono Reksodiputro, dengan mengacu pada gambaran ideal dan publik, pada intinya nenyatakan bahwa peranan utama dari polisi adalah sebagai penegak hukum pidana, di samping itu sebagai peranan tambahan adalah juga sebagai penjaga ketertiban. Karena makin kompleksnya masyarakat perkotaan maka fungsi petugas polisi juga bertambah, polisi juga harus menegakkan peraturan administratif selain itu terdapat tugas-tugas lanjutan (tambahan); yaitu melakukan kegiatan

pencegahan kejahatan (preventif dan pre-emtif) melalui kegiatan-kegiatan

kemasyarakatan. Akhirnya disimpulkan, bahwa fungsi dan tugas polisi yang

dimulai sebagai penjaga keamanan (watchman) yang pasif dan reaktif telah

berubah menjadi pemberantas kejahatan” (crime fighter) yang agresif dan

reaktif serta penegak hukum (law enforcer) yang agresif dan pro-aktif.173

Sedangkan menurut Parsudi Suparlan,174 fungsi polisi adalah sebagai

berikut:

173

Mardjono Reksodiputro, Program Kajian Ilmu Kepolisian Suatu Refleksi, Makalah disampaikan pada Diskusi dengan mahasiswa Angkatan I Kajian Ilmu Kepolisian pada Program Pascasarjana UI, (Jakarta: 6 Agustus 1997), hal. 2.

174

Chryshnanda DL, Pemolisian Komuniti (Communitu Policing) Dalam Menciptakan Keamanan Dan Ketertiban dalam Parsudi Suparlan, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2004), hal. 99.

(1) Polisi menegakkan hukum dan bersamaan dengan itu menegakkan keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu menegakkan keadilan dalam konflik kepentingan yang dihasilkan dari hubungan antara individu, masyarakat dan negara (yang diwakili oleh pemerintah), dan antar individu

serta antar masyarakat;

(2) Memerangi kejahatan yang mengganggu dan merugikan masyarakat, warga masyarakat dan negara;

(3) Mengayomi warga masyarakat, masyarakat, dan negara dari ancaman dan tindak kejahatan yang mengganggu dan merugikan.

Tiga fungsi polisi tersebut harus dilihat dalam perspektif individu, masyarakat dan negara. Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik konklusi bahwa Fungsi Polri adalah untuk menegakkan hukum, memelihara keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, mendeteksi dan mencegah terjadinya kejahatan serta memeranginya.

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan: “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.”

Tujuan Polri dalam Pasal 4 dijelaskan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan

tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.

Sedangkan tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 13 adalah:

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum, dan

c. memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat.

Tugas pokok Polri sebenarnya secara universal dapat dijabarkan dalam fungsi-fungsi yaitu: represif, preventif dan pre-emptif. Dahulu istilah untuk pre-emptif adalah pembinaan masyarakat, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 memasukkannya ke dalam tugas Pasal 14 ayat (1)c yang berbunyi: membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum, masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundangan. Istilah “pembinaan masyarakat” sering pula menggunakan “preventif tidak langsung” dan “pre-emptif” yang tujuannya

adalah agar anggota masyarakat menjadi “law abiding citizen”.175

175

Awaloedin Djamin, Eksistensi Polri dan Polisi Pamong Praja/PPNS dalam Perspektif Sejarah Nasional RI Untuk Mewujudkan Budaya Hukum, Disampaikan dalam Semiloka Regional Polisi Pamong Praja/PPNS di Lingkungan Pemerintah Daerah dan Fungsionaris Hukum lainnya, tentang: Revitalisasi dan Pemberdayaan Polisi Pamong Praja/Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah di Era Otonomi Daerah dlam Supremasi Hukum”, (Padang: 27 Maret 2002), hal. 6.

Fungsi Kepolisian dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, adalah luas sekali. Karena itu, pengaturan keikutsertaan instansi pemerintah lainnya serta partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara tepat, agar keamanan dan ketertiban masyarakat tercipta kondisi dinamis sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional dapat dilaksanakan

secara efisien dan efektif.176

Dalam bidang represif, tugas Polri menyangkut tentang wewenang penyidikan yang dilakukan oleh Unit Reserse dengan pejabat Polri tertentu yang ditetapkan oleh Kapolri. Dalam melaksanakan tugas di bidang represif, peran Polri sangat besar, karena peran tersebut sangat dominan dibandingkan dengan peran instansi lainnya. Polri terlibat kurang lebih 80% dan 20% oleh Penyidik Pegawai Negri Sipil (PPNS). Di bidang preventif

Dokumen terkait