• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana

BAB I : PENDAHULUAN

B. Kebijakan Penerapan Hukum Pidana

1. Peran Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana

Penegakan Hukum Pidana merupakan tugas komponen-komponen aparat penegak hukum yang tergabung dalam Sistem Peradilan Pidana.

Institusi Polri merupakan aparat dari komponen SPP (criminal justice system)

yang terikat pada KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau Undang-Undang No.8/1981). Dalam menjalankan tugas sebagai hamba hukum, polisi senantiasa harus menghormati hukum dan hak asasi manusia. Secara garis besar tugas polisi disamping sebagai agen penegak

hukum (law enforcement agency), juga sebagai pemelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat (order maintenance officer). Dalam model yang lain,

tugas polisi dapat dipilah ke dalam upaya preventif dan represif. Upaya preventif dilakukan dengan maksud mencegah terjadinya kejahatan yang meresahkan masyarakat, sedangkan upaya represif dilakukan polisi melalui serangkaian tindakan penyidikan kasus kejahatan. Tujuannya agar pelaku kejahatan dapat diseret ke Pengadilan dan dijatuhi hukuman setimpal (jika terbukti). Tindakan represif dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang

goncang akibat dicabik-cabik perilaku para penjahat (restitutio in integrum).99

Sebagai bagian dari integrated criminal justice system, polisi

merupakan organ paling depan bagi tegaknya hukum. Polisi bertugas mengurai benang ruwetnya kejahatan dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan. Dalam pelaksanaan tugas ini, diperlukan profesionalisme polisi, agar mampu menangkap pelaku kejahatan. Sebab bila tidak, masyarakat

akan tetap terancam oleh perilaku menyimpang dari penjahat.100

99

M.Khoidin & Sadjijono,Mengenal Figur Polisi Kita,(Yogyakarta:LaksBang, 2007),hal. 58. 100

Dua tugas Polisi diatas menurut Mardjono Reksodiputro merupakan dua sisi dari fungsi polisi. Dalam mengkaji pola penanggulangan kejahatan kekerasan melalui mekanisme peradilan pidana, polisi memerankan fungsi penegakan hukum. Fungsi polisi sebagai penegakan hukum ini secara umum

yang diharapkan masyarakat adalah penegakan hukum pidana (enforcing the

criminal law), dengan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan dan menyelesaikan kejahatan yang terjadi dengan menangkap serta menghadapkan pelakunya ke pengadilan. Upaya menanggulangi kejahatan

kekerasan dan kejahatan yang serius (violent and serious crimes) ini, polisi

didesak masyarakat untuk bergerak cepat melaksanakan tugas penegakan

hukum.101

Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di

Kota Medan selama ini dilakukan polisi dengan memberkas perkara Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga melalui proses penyelidikan dan penyidikan serta meneruskannya ke tingkat selanjutnya. Penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, supaya bisa menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Sedangkan penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti

101

tersebut bisa membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya.102

Berdasarkan hasil wawancara dengan kepolisian di kota Medan,

ditemukan data tentang adanya unsur kekerasan oleh polisi terhadap pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada proses penyidikan. Hal ini tergambar pada Tabel 5 berikut :

Tabel 5 : Pendapat Kepolisian tentang Kekerasan dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

N o

Kekerasan oleh aparat dalam proses penyidikan Jumlah informasi Persenta se 1 Ada 3 60 2 Tidak Ada 2 40 J u m l a h 5 100

Sumber: Data primer hasil wawancara dengan aparat kepolisian di wilayah hukum Poltabes Medan

Berdasarkan Tabel 5 di atas, maka tiga orang aparat polisi

menyatakan adanya unsur kekerasan dalam proses memberkas perkara. Sedangkan dua orang informan kepolisian menyatakan tidak ada unsur kekerasan dalam proses pemberkasan perkara Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebanyakan proses pemeriksaan pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga selama ini di Kepolisian terdapat unsur kekerasan (60%).

102

Peristiwa penyiksaan tersangka nampaknya sudah merupakan hal biasa dalam proses penyidikan. Tidak mengherankan jika kita mendapati tersangka babak belur setelah “dikerjai” polisi. KUHAP merupakan aturan hukum bagi pelaksanaan peradilan pidana, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan bahkan sampai pelaksanaan putusan pengadilan. KUHAP memberi wewenang untuk melaksanakan penyidikan hanya kepada polisi. Tidak ada kekuasan lain yang berwenang melaksanakan penyidikan (penangkapan, penyitaan barang, penggeledahan dan penahanan) selain polisi. Tersangka berhak untuk memberikan keterangan secara bebas, dan wajib dijauhkan dari perasaan takut (akibat intimidasi dan penyiksaan) saat menjalani pemeriksaan. Jika terjadi kekeliruan dalam proses peradilan, tersangka berhak menuntut ganti

rugi dan rehabilitasi (Pasal 50-68 KUHAP).103

Kepolisian punya wewenang melakukan penahanan untuk kepentingan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Kepolisian Kota Besar Medan selama ini melakukan penahanan terhadap pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Berdasarkan wawancara dengan informan kepolisian di wilayah Poltabes Medan, diperoleh data sebagai berikut:

103

Tabel 6 : Penahanan terhadap pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan oleh aparat kepolisian

N o

Penahanan pelaku TP KDRT oleh kepolisian Jumlah informasi Persenta se 1 Ditahan 3 60 2 Ditangguhkan 2 40 J u m l a h 5 100

Sumber: Data primer hasil wawancara dengan aparat kepolisian di wilayah hukum Poltabes Medan

Berdasarkan Tabel 6 diatas, diketahui bahwa 3 orang (60%) informan menyatakan selalu dilakukan penahanan terhadap pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan 2 orang (40%) menyatakan penahanan masih bisa ditangguhkan. Artinya dalam proses penyidikan, mayoritas pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga selalu dikenakan penahanan oleh aparat kepolisian.

Alasan dilakukannya penahanan terhadap pelaku Tindak Pidana

Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan ini menurut aparat kepolisian adalah sebagai berikut :

a. Sesuai dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP;

b. Adanya keinginan memberikan efek jera kepada pelaku sehingga dengan ditahan, maka pelaku akan berpikir dua kali untuk melakukan kejahatan; c. Memberikan kepuasan bahwa dengan ditahannya pelaku, maka korban

d. Memberikan rasa aman dan tentram di hati masyarakat.104

Alasan penahanan terhadap pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebenarnya sudah diatur secara jelas di dalam KUHAP. Pasal 21 Ayat (1) menyatakan alasan penahanan terhadap pelaku bila ada dugaan pelaku akan mengulangi melakukan tindak pidana. Sedangkan Pasal 21 Ayat (4) huruf (a) bahwa penahanan dikenakan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Semua ini merupakan alasan yudisial mengapa terhadap seorang tersangka pelaku Tindak Pidana

Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilakukan penahanan.105

Dua orang aparat kepolisian menyatakan tersangka pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga bisa tidak dikenakan penahanan dengan syarat harus ada nota perdamaian antara pelaku dan korban. Nota perdamaian ini sifatnya tidak menghentikan proses pelimpahan perkara ke tahap selanjutnya, melainkan hanya menjadi unsur yang meringankan dalam

pertimbangan jaksa dan hakim di proses pemeriksaan perkara.106

Pemidanaan dalam persepsi kepolisian diharapkan masih mampu

sebagai salah satu alat dalam penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7 berikut :

104

Wawancara dengan 3 orang polisi di Sat Reskrim Unit PPA Poltabes Medan pada tanggal 24 Juli 2008, pukul 12.00-12.30 wib.

105 Ibid. 106

Wawancara dengan 2 orang polisi di Sat Reskrim Unit PPA Poltabes Medan pada tanggal 24 Juli 2008, pukul 12.30-13.00 wib.

Tabel 7 : Tujuan Pemidanaan menurut Aparat Kepolisian di Kota Medan

N o

Tujuan pemidanaan menurut kepolisian Jumlah informasi Persenta se 1 Retributif 1 20 2 Deterrence 3 60 3 Treatment 1 20 J u m l a h 5 100

Sumber: Data primer hasil wawancara dengan aparat kepolisian di wilayah hukum Poltabes Medan

Berdasarkan Tabel 7 diatas maka 20% aparat kepolisian menyatakan

bahwa tujuan pemidanaan masih bersifat retributif (pembalasan), 60% aparat

kepolisian sepakat bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk deterrence

(pencegahan), dan 20% aparat memahami bahwa tujuan pemidanaan adalah

untuk pembinaan (treatment). Tujuan pemidanaan selama ini menurut

persepsi aparat kepolisian di atas dominan untuk deterrence (pencegahan).

Pemidanaan diharapkan menjadi deterrence effect bagi pelaku untuk tidak

mengulangi kejahatannya kembali, serta masyarakat diharapkan tidak mencontoh kejahatan tersebut.

Fungsi utama dari Kepolisian adalah menegakkan hukum dan melayani kepentingan masyarakat umum. Dapat dikatakan tugas polisi adalah melakukan pencegahan terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Kepolisian Kotabesar Medan selama ini berusaha melakukan pelayanan yang terbaik kepada korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Berdasarkan dengan informasi dari LBH APIK Medan diperoleh data sebagai berikut :

Tabel 8 : Pendapat LBH APIK tentang Pelayanan Kepolisian terhadap korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

N o

Layanan Kepolisian terhadap korban TP KDRT Jumlah informasi Persenta se 1 Baik 3 75 2 Kurang Baik 1 25 J u m l a h 4 100

Sumber: Data primer hasil wawancara dengan 4 orang anggota LBH APIK Medan.

Berdasarkan Tabel 8 diatas bahwa 75% informan menyatakan bahwa

pelayanan kepolisian terhadap korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga sudah cukup baik. Artinya dalam melayani korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga pihak Kepolisian berusaha melakukan pelayanan yang terbaik. Hal ini diwujudkan dengan merespon Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No.Pol.:10 Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian Republik Indonesia telah membuka Unit untuk kelompok Perempuan dan Anak yang disebut Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) yang merupakan bagian dari Satuan Reserse Kriminil yang berada di setiap tingkat kepolisian.

Penugasan polisi wanita di Ruang Pelayanan Khusus. Lebih berempati terhadap masalah korban dan sensitif gender. Pelayanan tersebut membuat

korban merasa nyaman dalam melapor.107 Untuk pelayanan terbaiknya bagi

107

Wawancara dengan 3 orang informan dari LBH APIK Medan pada tanggal 28 Juli 2008, pukul 10.00-11.30 wib.Lihat juga Herti Sudinar.S,”Crisis Centre Ditinjau dari Perspektif POLRI”, dari Diskusi Terbatas Mitra Perempuan tentang “Status Hukum dan Sosial Women’s Crisis Center di Indonesia (Penguatan Antar Lembaga)”,Hotel Atlet Century Park, Jakarta, 7 September 2001 yang menyatakan bahwa sejak tanggal 6 April 1999 kepolisian mulai membuka police women desk atau di Indonesia disebut sebagai RPK (Ruang Pelayanan Khusus). RPK didirikan di kantor-kantor polisi,

kelompok perempuan dan anak korban kekerasan Kepolisian RI juga menyediakan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan ruang konseling. Keberadaan ruang konseling dimaksudkan agar sebelum membuat laporan tentang Tindak Kekerasan yang dialaminya, korban perempuan dan anak diberikan kesempatan untuk mengadakan konseling yang dibimbing oleh petugas polisi wanita dari Unit PPA yang selalu setia melayani selama 24 jam sehari.

Untuk membangun sinergi dalam upaya penanggulangan Tindak

Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga bersama dengan aparat kepolisian,

LBH APIK menyediakan rumah aman atau shelter kepada korban Tindak

Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga sehingga memungkinkan si korban

atau saksi untuk sementara waktu tinggal di shelter sambil melakukan

konseling secara terus menerus. Pendirian rumah aman atau shelter ini

didasari pertimbangan bahwa ketika kasus tersebut dilaporkan dan kemudian ditindaklanjuti sampai diputus oleh pengadilan bagi korban umumnya akan

terutama dimaksudkan untuk menerima pengaduan kasus-kasus kriminal dan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Usaha pendirian RPK dirintis oleh sekelompok mantan Polwan yang tergabung dalam LBPP (Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan) DERAP Warapsari. RPK adalah suatu ruangan khusus yang aman dan nyaman untuk melayani serta menangani perempuan dan anak korban kekerasan. Petugas RPK terdiri dari Polwan-polwan yang terlatih dalam pelayanan terhadap korban kekerasan. Kebanyakan kasus yang diterima samapi saat ini adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sayangnya pembentukan RPK-RPK tersebut belum menasional sampai pada tingkat Kepolisian Sektor (Polsek) mengingat jumlah Polwan yang tidak memadai. Perkembangan RPK-RPK harus dilihat sangat positif, dan perlu memperoleh dukungan banyak pihak. Satu dukungan yang diperlukan tentu saja adalah adanya jumlah Polwan yang memadai, serta dukungan dana dan kebijakan internal Polri.

tetap meninggalkan persoalan-persoalan yang menyangkut psikis yang harus

diselesaikan.108

Melihat kondisi di atas terlihat bahwa kebutuhan tersedianya RPK yang didukung sumber daya manusia petugas kepolisian yang memiliki pengetahuan tentang konsep kekerasan gender, instrumen hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut, serta berperspektif gender dan memiliki empati mutlak diperlukan di setiap tingkat kepolisian. Sayangnya, penurut penuturan petugas terkait keberadaan RPK masih belum merata di seluruh Polres di Indonesia (karena di beberapa daerah masih kesulitan SDM dan biaya operasional). Selain itu RPK yang sudah ada biaya operasionalnya

sering berasal dari inisiatif pribadi Kapolres atau petugas RPK sendiri.109

Selain itu pelayanan dari pihak kepolisian terhadap korban dianggap

cepat dalam merespon laporan tentang terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang datangnya dari korban. Dalam hal kewajiban kepolisian untuk melindungi korban juga telah diupayakan dengan baik dari pihak kepolisian Kotabesar Medan seperti yang diamanatkan dalam Pasal 20

ayat c Undang-undang No.23 Tahun 2004.110

Berbeda dengan pendapat bahwa pelayanan pihak kepolisian sudah

baik (sebanyak 75%) informan, ada juga satu orang (25%) informan yang

108

Wawancara dengan Cut Bietty, SH, Direktur LBH APIK Medan, pada tanggal 28 Juli 2008, pukul 11.30-13.00 wib.

109

Sulistyowati Irianto & Lidwina Inge Nurtjahyo, Perempuan di Persidangan Pemantauan Peradilan Berperspektif Perempuan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia dan NZAID, 2006), hal. 140.

110

Wawancara dengan 3 orang anggota LBH APIK Medan pada tanggal 28 Juli 2008, pukul 10.00-11.30 wib.

mengatakan bahwa selama melakukan pedampingan terhadap korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pelayanan yang diberikan kepolisian terhadap korban kurang baik. Hal ini menyangkut dalam menerapkan peraturan yang dijadikan landasan dalam penyidikan.

Sebagai salah satu ujung tombak penegakan hukum di Indonesia sangat penting bagi aparat kepolisian untuk memiliki pengetahuan seluas mungkin mengenai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pengetahuan yang luas ini penting agar penegak hukum tersebut dalam menangani suatu kasus kejahatan atau pelanggaran hukum dapat bertindak tepat dengan mengetahui pasal mana dari peraturan manakah yang dapat dijadikan landasan penyidikannya. Untuk itulah penting juga bagi aparat kepolisian untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan masalah kekerasan, gender, dan instrumen hukumnya terutama dalam menangani kasus-kasus yang menyangkut Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah

Tangga.111

Pada pemantauan dari LBH APIK di Medan, sebetulnya petugas RPK sudah mempunyai keinginan untuk menggunakan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri atau anak, tetapi karena ditolak oleh pihak Kejaksaan penggunaan Undang-undang tersebut sebagai landasan hukum tidak jadi dipergunakan. Alasannya UUP KDRT belum bisa

111

berdiri sendiri, sehingga harus di-junctokan dengan pasal KUHP. Alasan Jaksa Undang-undang tersebut belum tersosialisasi di kalangan Jaksa. Dan kalaupun Jaksa sudah mengetahui keberadaan Undang-undang ini, jaksa belum yakin untuk menggunakannya. Akibatnya sulit untuk memasukkan Pasal-pasal dalam Undang-undang tersebut ke dalam laporan hasil

penyidikan yang akan diserahkan ke Kejaksaan.112

Dari keterangan tadi nampak tidak ada koordinasi antara aparat penegak hukum dalam memasukkan pemikiran baru, termasuk introduksi instrumen hukum yang baru dan inisiatif dalam menciptakan terobosan, bagi kepentingan perempuan korban. Alasan yang sering dikemukakan penegak hukum berkaitan dengan penolakan untuk menggunakan suatu peraturan di luar KUHP baik dalam pemeriksaan maupun penyidikan adalah peraturan yang bersangkutan belum disosialisasikan, atau peraturan yang bersangkutan belum ada hukum acaranya.

Berbagai pandangan dari sikap aparat kepolisian dalam menangani

kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Harus diakui aparat kepolisian selalu berusaha untuk memperbaiki upaya pelayanan terhadap masyarakat. Proses menuju perbaikan tersebut sudah tentu membutuhkan waktu untuk pencapaian hasil yang maksimal. Untuk mengetahui kinerja aparat kepolisian dalam menangani kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini:

112

Tabel 9 : Pendapat korban terhadap kinerja Kepolisian dalam menangani

Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di

Kota Medan

N o

Kinerja Kepolisian Jumlah informasi Persenta se 1 Baik 1 33,3 2 Kurang Baik 2 66,6 J u m l a h 3 100

Sumber: Data primer hasil wawancara dengan 3 orang korban TP KDRT di Medan.

Tabel 9 di atas menunjukkan bagaimana penilaian dari pihak korban mengenai kinerja kepolisian dalam menangani kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hasilnya adalah 33,3% informan yang menyatakan kinerja kepolisian sudah baik dan 66,6% informan yang menyatakan bahwa kinerja kepolisian dalam menangani kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga kurang baik.

Kurang baiknya kinerja kepolisian menurut korban berkaitan dengan masalah penerimaan kompensasi dalam bentuk barang (uang) dari salah

satu pihak yang berperkara.113 Penerimaan kompensasi tersebut selain

mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap citra polisi untuk bertindak objektif dalam menangani suatu perkara. Kesulitan untuk bertindak objektif ini disebabkan karena pihak pemberi dana tersebut pasti mengharapkan suatu tindakan sebagai suatu timbal balik dari apa yang mereka berikan. Akan tetapi selama pengawasan terhadap kinerja kepolisian dan dana operasional

113

Wawancara dengan 2 orang korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada tanggal 29 Juli 2008, pukul 10.30-11.30 wib.

bagi tugas kepolisian masih kurang, maka kejadian-kejadian di atas masih

akan selalu dialami para pihak yang berperkara.114

Selain itu, aparat Kepolisian dinilai oleh 66,6% informan, kurang serius memperhatikan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Aparat Kepolisian sering memiliki persepsi yang cenderung menyalahkan korban sebagai penyebab suami melakukan kekerasan. Dalam menangani laporan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sering kali aparat bersikap pasif atau berupaya mendamaikan para pihak (pelaku dan korban), terkadang meskipun keadaan korban sudah mengalami trauma terhadap kekerasan yang dialaminya.

Cara pandang masyarakat terhadap Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai hal internal, oleh karena itu terhadap pihak yang bertikai dalam masalah tersebut selalu diajukan saran untuk berdamai. Saran tersebut berasal dari tokoh masyarakat atau Kepolisian, sekalipun salah satu pihak sudah mengalami cacat fisik secara permanen atau gangguan psikologis karena trauma. Selain merupakan urusan internal, oleh sebagian

114

Dari hasil cross check wawancara informal pada tanggal 25 Juli 2008, pukul 10.45-11.30 wib dengan seorang petugas kepolisian yang berpangkat Bripda (yang bersangkutan menolak dirinci indentitasnya) bahwa penerimaan kompensasi yang diberikan oleh masyarakat yang perkaranya ditangani polisi, dirasa kurang baik. Dalam kenyataannya, biaya operasional polisi dalam menyidik suatu kasus sangatlah tinggi. Misalnya untuk mengejar tersangka atau menyisir TKP untuk mencari barang bukti, sering diperlukan waktu berhari-hari, kadang harus pergi ke tempat yang jauh dan terpencil, dan untuk itu dibutuhkan biaya transport dan perbekalan. Dana untuk biaya operasional inilah yang sering didapatkan dari anggota masyarakat.

masyarakat masih dianggap sebagai upaya pembelajaran karena tindakan

istri atau anak yang dianggap kurang tepat.115

Suami sebagai kepala keluarga berhak memberi hukuman kepada istri atau anaknya yang dianggap bersalah itu. Hal ini terjadi karena masih dianutnya pola pikir patriarkis oleh sebagian anggota masyarakat. Masyarakat yang dipengaruhi pola pikir patriarkis menganggap bahwa istri dan atau anak adalah semata-mata milik suami. Sebagai milik, istri dan anak dapat diperlakukan dan diatur sesuai kehendak suami (tidak memiliki keinginan atau kehendak sendiri). Sehubungan dengan anggapan masyarakat tersebut di atas, aparat penegak hukum dalam menangani laporan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga sering kali berupaya untuk mendamaikan para pihak yang bertikai. Hal ini selain terjadi dalam tingkat penyidikan juga masih terjadi dalam proses Pengadilan Agama. Penegak hukum yang menangani Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga cenderung masih bersikap bias gender. Mereka sering menganggap terjadinya kekerasan disebabkan oleh karena istri memiliki kekurangan yang tidak dapat ditoleransi suami. Kenyataan demikian mengakibatkan korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

mengalami kekerasan berlapis.116

115

Evarisan, Pendampingan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Semarang, Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian: Peta Ketidakadilan Gender di Indonesia, (Semarang: PSW Unika Soegijapranata, 2004), hal. 10.

116

Muhamad Hakimi, Membisu Demi Harmoni (Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia), (Yogjakarta: LPKGM, Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dan Ume University-Sweden, Womens Health Exchange, USA,2007), hal. 14.

2. Peran Serta Masyarakat dalam Penanggulangan Tindak Pidana

Dokumen terkait