PERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI
KOTA MEDAN
TESIS
Oleh
ANDA NURANI
067005047/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI
KOTA MEDAN
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ANDA NURANI
067005047/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA MEDAN
Nama Mahasiswa : Anda Nurani Nomor Pokok : 067005047 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Muhammad Daud, SH) K e t u a
(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH) A n g g o t a A n g g o t a
Ketua Program Studi D i r e k t u r
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Telah diuji pada
Tanggal 24 Nopember 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
:
Prof. Muhammad Daud, SH
Anggota
:
1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum
2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH
3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
ABSTRAK
Jumlah Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi di Kota Medan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Dari tahun 2004 ke tahun 2005 menunjukkan kenaikan 17 kasus, dari tahun 2005 ke tahun 2006 naik 26 kasus, dari tahun 2006 ke tahun 2007 menunjukkan kenaikan 42 kasus. Kenaikan jumlah kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini berbanding terbalik dengan keberhasilan aparat kepolisian dalam menuntaskan kasusnya. Hal ini terlihat dari tingkat keberhasilan kepolisian untuk menyelesaikan kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang setiap tahunnya mengalami kemerosotan. Dari keseluruhan kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilaporkan sebanyak 168 kasus, hanya 16 kasus yang dapat diselesaikan oleh kepolisian atau 10% dari jumlah keseluruhan secara kumulatif selama tiga tahun. Hal ini menarik untuk dikaji apakah rendahnya kemampuan aparat dalam penyelesaian kasus tersebut, oleh karena kinerja aparat yang tidak maksimal atau karena hal-hal lain yang terdapat dalam substansi hukum maupun budaya hukum yang juga sangat berperan dalam memberi kontribusi dalam upaya penanggulangan kejahatan.
Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini antara lain : (1) Bagaimanakah peran polri dalam menanggulangi Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di kota Medan; (2) Hambatan-hambatan apakah yang dihadapi polri dalam upaya menanggulangi Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di kota Medan; (3) Bagaimanakah solusi bagi polri dalam upaya menanggulangi Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di kota Medan pada masa depan. Untuk menjawab permasalahan di atas, maka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh melalui studi lapangan dan data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka. Informan dalam penelitian ini terdiri atas Kepolisian Kota Besar Medan, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk kekerasan (LBH APIK) dan korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Keseluruhan data dianalisa secara kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran polri dalam penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilaksanakan selama ini di Kota Medan dengan menggunakan cara
pendekatan yaitu pendekatan non penal policy dan pendekatan penal policy.
Pendekatan non penal policy dilaksanakan oleh bagian Binamitra secara
pre-emptif, sedangkan pendekatan penal policy dilaksanakan oleh Bagian
Reserse Kriminil Unit Pelayanan Perempuan dan anak melalui mekanisme criminal justice system.
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), Struktur Hukum (aparat penegak hukum) dan budaya hukum.
Solusi bagi polri dalam upaya penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di masa depan, dapat dilaksanakan
melalui peran polri dalam pendekatan non penal policy. Seperti mengikut
sertakan kaum pria dalam upaya pendekatan pre-emptif melalui penyuluhan yang selama ini tidak pernah dilakukan. Selain itu dapat memanfaatkan sarana komunikasi seperti buletin, koran, majalah maupun media TV, radio dan website (internet). Memasukkan kurikulum dalam pendidikan tentang perspektif jender untuk mengubah pemahaman dan penerapan sistem nilai struktur sosial dan budaya masyarakat yang selama ini menimbulkan ketimpangan kedudukan peran antara pria dan wanita yang selalu ditempatkan pada posisi submissive.
Sedangkan solusi untuk pendekatan penal policy dapat dilakukan
dengan memperbaiki dan menyempurnakan instrumen hukum yang menjadi masalah dalam penerapannya agar tidak terjadi salah interpretasi. Adanya koordinasi yang intensif antar aparat penegak hukum untuk mereduksi perbedaan persepsi dan menyatukan visi dalam upaya penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan.
Kata Kunci : POLRI, Penanggulangan Tindak Pidana, Kekerasan Dalam Rumah
ABSTRACT
The number of domestic violence criminal act occurs from year in Medan keeps increasing. There was an increase of 17 cases from 2004 to 2005 then it went up to 26 cases from 2005 to 2006, and it became 42 cases from 2006 to 2007. This increasing number of domestic violence criminal act is in inverse proportion to the success of the police in completely working on theses cases. It is shown from the success intensity of the police in solving the cases of domestic violence criminal act which keeps decreasing every year. Of the all cumulative 168 cases of domestic violence occurred in the past three years reported, only 16 cases (10%) that could be solved by the police. Thus, it is significant to study whether or not theis condition happened because of the poor ability of the police in solving these case, the minimum performance of the police, or the things found in the substance and culture of law which also play a reole and contribute in the attempt of crime prevention.
The purpose of this sociological juridical study is to find (1) how the police play their role in preventing the domestic violence criminal act in the city of Medan, (2) the constraints faced by the police in their attempt to prevent the domestic violence criminal act in the city of Medan, and (3) the solution planned by the police in their attempt to prevent the domestic violence criminal act in the city of Medan in the future. This study is based on the primary date obtained through field study and the secondary date obtained through library study. The informants for this study came from Medan Police Department, Legal Aid Institution of Indonesian Women Association for Violence (LBH APIK), and the victims of domestic violence. The data obtained were qualittively analysed.
The result of this study shows that role of the police which has been implemented in preventing the domestic violence criminal act in the city of Medan is based on the penal and non-penal approaches. The non-penal
policy is pre-emptively implemented by the Binamitra unit and the penal policy
is implemented by the detectives of Women Service of Criminal unit through the mechanism of criminal justice system. The constraints faced by the police in their attempt to prevent the domestic violence criminal act came from the substance of law (Law No.23/2004 on the Elimination of Domestic Violence), Structure of Law (law upholders), and Culture of Law.
The solution for the penal policy approach can be implemented by improving and perfecting the instruments of law that became the problem in their implementation in order not to create a misinterpretation. The existence of intensive coordination applied by the law upholders can reduce the difference of perception among them and unite their vision in the attempt to prevent the domestic violence criminal act in the city of Medan.
KATA PENGANTAR
Pertama-tama puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa yang telah melimpahkan segala rahmatNya, sehingga dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul Peran Polri Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota
Medan.
Penulis menyadari, bahwa tesis ini masih sangat jauh dari sempurna,
hal ini kiranya dapat dimaklumi karena keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan yang penulis miliki. Dalam kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya atas
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, antara lain kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chariruddin P. Lubis,
DTM&H,Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister;
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T.
Charirun Nisa B,MSc, atas kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa
Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara;
3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.,MH, atas semua
menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;
4. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Muhammad
Daud, SH.(Alm), selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Mahmud
Mulyadi, SH., M.Hum dan Bapak Syafrudin S. Hasibuan, SH.,MH, selaku
anggota komisi pembimbing yang telah memberikan dorongan, bimbingan
dan curahan ilmu yang diberikan selama penulisan tesis ini dengan penuh
ketelitian dan kesabaran;
5. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH dan Dr. Sunarmi, SH., M.Hum selaku penguji
tesis penulis;
6. Seluruh dosen Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan
bagi penulis untuk mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan di
bidang ilmu hukum;
7. Kepala Kepolisian Kota Besar Medan dan Sekitarnya beserta staf dan
para informan yang telah membantu mendapatkan bahan-bahan dalam
rangka penyelesaian tesis ini.
8. Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, AKP Sitiani Purba, SH.
beserta staf pada Ruang Pelayanan Khusus Poltabes Medan yang telah
banyak memberikan masukan dalam proses penyelesaian tesis ini.
9. Ketua Lembaga Bantuan Hukum Assosiasi Perempuan Indonesia untuk
yang telah membantu memberikan informasi yang berguna dalam
penyelesaian tesis ini.
10. Sahabat dan rekan-rekan seperjuangan di Sekolah Pascasarjana
Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak
memberikan kontribusi kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.
11. Kedua orangtua penulis : Letnan Kolonel Pol (Purn) Drs. Noerwijoto (Alm)
dan Tri Widayatsih yang telah memberikan motivasi penulis untuk selalu
menuntut ilmu dan menambah wawasan.
12. Ibu Adeline Pospos-Tampubolon, BA yang selama ini dengan tulus
membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.
13. Secara khusus dengan penuh rasa kasih sayang penulis sampaikan
terima kasih kepada suami tercinta : Kombes Pol. Drs. Richard Marlon
Lumban Tobing, SH., atas cinta dan doanya yang tulus serta
dukungannya terhadap penulis. Dan dengan penuh rasa kasih sayang
mendalam penulis sampaikan kepada kedua anak-anakku: Arini Diviacita
Lumban Tobing dan Adrian Joshua Lumban Tobing yang selama penulis
mengikuti Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara telah
kehilangan banyak waktu kebersamaan dengan penulis.
Akhirnya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua, Amin.
Medan, Oktober 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP
N a m a : ANDA NURANI
Tempat/Tgl.Lahir : Jakarta, 19 Mei 1966
Jenis Kelamin : Perempuan
A g a m a : Kristen Protestan
Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri No. 28 Pontianak,
KALBAR (Lulus Tahun 1978)
- Sekolah Menengah Pertama Negeri No.01
Pontianak, KALBAR (Lulus Tahun 1981)
- Sekolah Menengah Atas Negeri No.03
Pontianak KALBAR (Lulus Tahun 1984)
- Fakultas Hukum Universitas Tanjung Pura,
Pontianak, KALBAR (Lulus Tahun 1989)
- Program Studi Magister Ilmu Hukum
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……… i
ABSTRACT ………. iii
KATA PENGANTAR ………. v
RIWAYAT HIDUP ………. viii
DAFTAR ISI ……… ix
DAFTAR TABEL ……… xii
DAFTAR GAMBAR ……… xiii
BAB I : PENDAHULUAN ……… 1
A. Latar Belakang ……… 1
B. Perumusan Masalah ………. 19
C. Tujuan Penelitian ……… 19
D. Manfaat Penelitian ………. 20
E. Keaslian Penelitian ………. 20
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ……… 21
1. Kerangka Teori ……… 21
2. Kerangka Konsepsi ………. 33
G. Metode Penelitian ………. 43
1. Jenis Penelitian ……… 43
2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ………. 44
BAB II : PERAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA DI KOTA MEDAN ... 46
A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga ……….. 46
1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga …….... 46
2. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga …… 62
B. Kebijakan Penerapan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan ………... 70
1. Peran Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga……… 70
2. Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan………..….… 84
C. Kebijakan Non Penal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan ………. 93
1. Peran Aparat Kepolisian melalui pendekatan Preventif .. 93
2. Peran Aparat Kepolisian melalui pendekatan Pre-emptif.97 BAB III : FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA MEDAN …………... 105
A. Undang-Undang ………... 105
B. Aparat Penegak Hukum ……….. 116
BAB IV : KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA
MEDAN DI MASA DEPAN ……… 158
Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Criminal Policy)……. 158
Kebijakan Penanggulangan dengan Hukum Pidana ( Penal Policy) ………... 158
Kebijakan Penanggulangan tanpa Hukum Pidana ( Non Penal Policy) ………... 164
B. Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan di masa depan …………..…... 172
1. Kebijakan Non Penal dalam penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan di masa depan ……….... 175
2. Kebijakan Penerapan Hukum Pidana (Penal Policy) dalam penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan di masa depan ... 189
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ………... 198
A. Kesimpulan .……… 198
B. Saran ………... 204
DAFTAR TABEL
No Judul
Halaman
1 : Jumlah Kriminalitas di Kota Medan dalam Kurun Waktu
Tiga Tahun (2005-2007) ………... 4
2 : Kasus Kekerasan Berbasis Gender yang ditangani Unit RPK
Diklasifikasikan Menutut Jenis, Pasal yang dilanggar selama
Lima Tahun Terakhir (2003-2007) ………... 8
3 : Data Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Wilayah Poltabes Medan dalam Kurun Waktu Tiga Tahun
(2005-2007) ……... 12
4 : Jenis Kekerasan yang dialami Korban Tindak Kekerasan
Dalam Rumah Tangga di Wilayah Poltabes Medan ……….. 14
5 : Pendapat Kepolisian tentang kekerasan dalam proses penyidikan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...……... 73
6 : Penahanan terhadap pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan oleh Aparat
Kepolisian ...……….... 74
7 : Tujuan Pemidanaan menurut Kepolisian di Kota Medan ……… 76
8 : Pendapat LBH APIK tentang pelayanan Kepolisian terhadap korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam
Rumah Tangga ...………. 77
9 : Pendapat korban terhadap kinerja Kepolisian dalam Menangani Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga di Kota Medan ... 82
10 : Permasalahan yang telah berhasil diselesaikan sejak diterapkannya
Polmas di Jajaran Poltabes Medan dan Sekitarnya ……….... 102
DAFTAR GAMBAR
No Judul
Halaman
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia saat ini mulai memasuki era keterbukaan, dimana segala
aktivitas penyelenggara negara dituntut semakin transparan dan berada
dalam kontrol sosial yang semakin ketat. Iklim kehidupan bernegara yang
demikian, peranan hukum dan penegakan hukum akan menjadi instrumen
pengendali sosial, yang semakin diperlukan dan menentukan bagi perjalanan
bangsa Indonesia di masa-masa mendatang.1
Hukum melalui peraturan perundang-undangan merupakan sarana
dalam proses pembentukan kebijakan publik. Faktor-faktor non hukum akan
selalu memberikan pengaruhnya dalam proses pelaksanaannya. Hukum juga
merupakan variabel yang senantiasa dinamis dan dipengaruhi oleh berbagai
faktor di lingkungan masyarakat, baik itu faktor sosial, ekonomi, budaya
maupun politik. Oleh karena itulah yang membuat P. Nonet dan Selznick
menggolongkan tipologi hukum di dalam masyarakat seperti yang
1
dikemukakan mereka bahwa: We distinguish three modalities or basic
“states” of law-in-society: (1) Law as the servant of repressive power, (2) law
as a differentiated institution capable of taming repression and protecting its
own integrity, and (3) law as a facilitator of response to social needs
and aspiration.2
Opini masyarakat menyatakan bahwa masalah kejahatan tetap
menjadi isu yang hangat dan merupakan masalah yang penting disamping
masalah ekonomi, kesehatan, pengangguran dan masalah-masalah lainnya.
Korban kejahatan menderita kerugian yang sangat besar antara lain
kehilangan harta kekayaan, biaya pengobatan atau perawatan kesehatan
serta hilangnya produktifitas kerja dan juga penghasilan. Belum lagi kerugian
yang diderita oleh para korban kejahatan berupa rasa sakit dan trauma rasa
takut oleh kejahatan (fear of crime), penderitaan dan pengurangan kualitas
hidup.3
Biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat tindak kejahatan tidak
hanya diukur oleh besarnya pengeluaran masyarakat, tetapi lebih pada
pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi dan lingkungan. Salah satu akibat
dari kejahatan dan ketidaktertiban masyarakat adalah semakin meningkatnya
rasa takut akan tindak kejahatan. Ketakutan dan persepsi tentang resiko
kejahatan menjadi masalah utama dan telah memberikan kontribusi secara
2
Nonet & Selznick, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law. (New York: New York and Row, 1978), hal. 16.
3
signifikan terhadap penurunan keamanan lingkungan dalam masyarakat pada
saat ancaman kejahatan tetap tinggi. Penanggulangan kejahatan dirasakan
mutlak diadakan pada setiap komunitas oleh karna dampak yang
ditimbulkannya sangat merugikan masyarakat.4
Sejalan dengan kecenderungan perkembangan di atas, penegakan
hukum menempati posisi yang amat strategis dan menentukan. Masyarakat
berhak mendapatkan pemulihan keseimbangan akibat dari adanya kejahatan.
Harapan tersebut dapat terwujud melalui sarana penegakan hukum yang
sangat berperan dalam menjaga keselarasan dan jaminan perlindungan
hubungan antara individu, masyarakat dan negara, sebagaimana dikatakan
oleh Jeremy Bentham bahwa penegakan hukum adalah sentral bagi
eksistensi hak.5
Kota Medan, sebagai salah satu kota besar, keadaan masyarakatnya
bergerak dinamis dan dinamika kejahatan yang terjadi dalam intensitas yang
cukup tinggi. Hukum dianggap masih belum mampu memberikan
perlindungan kepada masyarakatnya karena upaya penegakan hukum masih
bersifat stagnant. Akuntabilitas kinerja aparat penegak hukum selalu
dipertanyakan, karena tingkat keberhasilan penyelesaian kasus-kasus
kejahatan masih relatif rendah sebagaimana terlihat pada Tabel 1 dibawah ini
:
4
Majalah Jagratara, Edisi Khusus, 17 Agustus 2005, hal. 3. 5
Tabel 1 : Jumlah Kriminalitas di Kota Medan dalam Kurun Waktu Tiga Tahun (2005-2007)
Sumber : Data Statistik Sat Reskrim Poltabes Medan Tahun 2008 TAHUN NO URAIAN
2005 2006 2007
JUMLAH
1
Kejahatan yang dilaporkan 8.873 10.096 8.885 27.854
2 Kejahatan yang
diselesaikan
4.710 5.553 6.044 16.307
3 Persentase 53 % 55 % 68 % 58 %
Berdasarkan Tabel 1 di atas maka dapat dilihat bahwa angka
kejahatan yang dilaporkan di Medan dalam kurun tiga tahun terakhir
(2005-2007) secara keseluruhan berjumlah 27.854 kasus. Kejahatan yang dapat
diselesaikan oleh aparat sebanyak 16.307 kasus, dari sejumlah kejahatan
yang dilaporkan di atas. Hal ini berarti tingkat keberhasilan penyelesaian
kasus-kasus di tingkat penyidikan ini oleh aparat kepolisian sebanyak 58 %.
Kejahatan yang dilaporkan pada tahun 2005 berjumlah 8.873 kasus.
Sedangkan kasus yang dapat diselesaikan hanya berjumlah 4.710 kasus. Hal
ini berarti tingkat keberhasilan penyelesaian yang dilakukan oleh aparat
sebesar 53 %. Angka kejahatan ini meningkat pada tahun 2006, yaitu
berjumlah 10.096 kasus. Jumlah kejahatan yang dapat diselesaikan
sebanyak 5.553 kasus dan ini berarti tingkat keberhasilan aparat sebanyak
55 %.
Pada tahun 2007, angka kejahatan mengalami penurunan sekitar
masuk pada tahun 2007 sebanyak 8.885 kasus. Sejumlah kasus yang masuk
ini, sebanyak 6.044 kasus yang berhasil diselesaikan. Dengan kata lain
tingkat keberhasilan aparat menyelesaikan kasus pada tahun 2007 sebesar
68 %. Pada tahun 2007 ini terlihat ada upaya yang lebih maju oleh kepolisian
dibandingkan 2 tahun sebelumnya. Angka kejahatan pada tahun 2007
menurun dan tingkat keberhasilan aparat dalam penyelesaian perkara
meningkat.
Berdasarkan Tabel 1 di atas maka kinerja aparat penegak hukum
dalam menyelesaikan kasus-kasus kejahatan belum maksimal karena hanya
58 % kasus yang dapat diselesaikan dari jumlah keseluruhan kasus
kejahatan yang dilaporkan selama tiga tahun terakhir. Akibatnya masih 42 %
kasus yang tidak terselesaikan sehingga menjadi beban bagi penegakan
hukum itu sendiri. Apalagi angka kejahatan yang dilaporkan pada Tabel 1 di
atas, memungkinkan bertambah lagi karena masih banyak kejahatan yang
tidak dilaporkan oleh korban atau tidak terjaring oleh aparat.
Jumlah kejahatan yang relatif tinggi terjadi di kota Medan, sudah pasti
menimbulkan keingintahuan masyarakat akan penyebab munculnya
kejahatan tersebut. Pengetahuan mengenai Kejahatan dan Tindak Pidana
memang tidak mengenal penyebab tunggal dari menurun atau meningkatnya
Kriminalitas. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, perkembangan
kependudukan, struktur masyarakat, perubahan nilai sosial dan budaya ikut
bentuk, frekuensi, intensitas maupun modus operandi kejahatan. Tidak dapat
pula diabaikan lemahnya penegakan hukum, serta kondisi ekonomi sedikit
banyak memberikan kontribusi dalam proses terjadinya kejahatan.6
Kondisi keluarga yang dalam keadaan tidak harmonis juga sangat
berpotensi melahirkan kejahatan. Penanaman norma-norma dan nilai-nilai
awal seseorang manusia bermula dari lembaga ini. Anak sebagai bagian dari
sebuah keluarga akan merekam keadaan dalam keluarganya untuk
diaktualisasikan dalam perilakunya di luar lingkungan keluarga. Keluarga
yang hangat akan menularkan kebaikan bagi anggota-anggotanya namun
sebaliknya kondisi keluarga yang berantakan menjadikan individu-individu di
dalamnya (terutama anak-anak) cenderung melakukan perbuatan yang
menyimpang sehingga dapat mengarah kepada terjadinya kejahatan.
Keluarga seharusnya sebagai tempat yang nyaman bagi
anggota-anggotanya dalam berinteraksi akan berubah menjadi Role Model untuk
anak-anak dalam berperilaku negatif, tergantung pembelajaran apa yang
telah mereka terima. Oleh karena itu disharmoni keluarga merupakan awal
kegagalan pengasuhan bagi anak-anak dan memiliki muatan bagi cikal bakal
timbulnya kejahatan.
Kekerasan terhadap sesama manusia memiliki sumber ataupun alasan
yang bermacam-macam, seperti politik, keyakinan agama, rasisme, dan
ideologi gender. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah
6
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi
persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai
ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun terutama terhadap kaum
perempuan. Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk
ketidakadilan, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi,
subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik,
pembentukan stereotip atau pelabelan negatif, kekerasan (violence),beban
kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden). Kekerasan yang disebabkan
oleh bias gender disebut juga dengan gender-related violence7
Salah satu jenis kejahatan yang berbasis gender yang sering terjadi di
kota Medan adalah tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Angka
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di kota Medan dapat dilihat
pada Tabel 2 di bawah ini:
7
Tabel 2 : Kasus Kekerasan Berbasis Gender yang Ditangani Unit RPK Diklasifikasikan Menurut Jenis, Pasal yang Dilanggar Selama Lima
Tahun Terakhir (2003-2007)
8 Perbuatan cabul sesama
jenis - Pasal 292 - 10 3 4 4 21
9 Penganiyaan berat atau ringan - Pasal 351 subs 352
10 - 2 22 38 72
10 Pencurian - Pasal 362 - - - - 2 2
11 Kejahatan kesusilaan -
Pasal 286 - - - - 1 1
12 Fitnah da Pencemaran
nama baik - Pasal 310 - 1 - 2 3 6
13 Memberikan keterangan
palsu - Pasal 266 - - - - 1 1
14 Pemalsuan - Pasal 263 - - - - 1 1
15 Melarikan Balita – Pasal
330 - 1 1 - 1 3
16 Pencabulan dengan anak
asuh – Pasal 294 1 12 5 2 6 26
17 Penipuan – Pasal 368 1 - 1 - 2 4
18 Mencabuli anak yang belum dewasa – Pasal 290
12 15 31 17 9 84
19 Perdagangan wanita -
Pasal 297 dan 296 3 5 6 4 1 19
20 Pemerasan – Pasal 368 1 - 1 - - 2
21 Kekerasan dalam rumah tangga – Pasal 44 UU No.23/2004
- 1 18 54 96 169
22 Kekerasan terhadap anak - - - - 2 2
J U M L A H 146 228 251 238 394 1257
Berdasarkan Tabel 2 di atas, maka dapat dilihat bahwa selama kurun
waktu lima tahun terakhir (2003 – 2007) kejahatan berbasis gender yang
dilaporkan secara keseluruhan sebanyak 1257 kasus. Dilihat dari jumlah
kasus di atas terjadi fluktuasi jumlah kasus yang berbasis gender di kota
Medan. Kasus yang masuk pada tahun 2003 sebanyak 146 kasus, kemudian
meningkat menjadi 228 kasus pada tahun 2004, demikian pula kenaikan
terjadi pada tahun 2005 sebanyak 251 kasus. Penurunan jumlah kasus yang
masuk pada tahun 2006 sebanyak 238, kemudian pada tahun 2007
mengalami kenaikan kembali yaitu sebesar 394 kasus. Seluruh jumlah kasus
yang masuk ke dalam Laporan Unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak)
Poltabes Medan dan sekitarnya, dilihat tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga menduduki peringkat tiga besar setelah tindak pidana persetubuhan
belum dewasa (Pasal 293 KUHP) yang berjumlah 522 kasus dan tindak
pidana membawa lari gadis (Pasal 332 KUHP) yang berjumlah 172 kasus,
kemudian menyusul tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang
berjumlah 169 kasus.
Hal ini berarti jumlah tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
dalam kurun lima tahun terakhir ini, merupakan 13,4 % dari jumlah
keseluruhan kejahatan yang berbasis gender yang dilaporkan kepada aparat.
Angka ini walaupun tidak terlalu besar namun perlu mendapat perhatian,
masih banyak tindak pidana yang tidak dilaporkan oleh korbannya (dark
number crime).
Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindak
pidana yang memiliki fenomena gunung es, dimana pada permukaan yang
terlihat lebih sedikit dibandingkan jumlah tindak pidana yang terjadi
sesungguhnya dalam masyarakat. Dengan kata lain kasus yang tidak
terdeteksi lebih banyak dari pada yang dilaporkan atau diekspos.8
Secara kuantitatif kenaikan jumlah laporan kasus tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga ini, menunjukkan telah terjadi pergeseran
persepsi dari masyarakat bahwa tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga bukan merupakan domain privat yang harus ditutupi rapat-rapat.
Tidak tereksposnya secara maksimal Kekerasan Dalam Rumah Tangga
8
merupakan implikasi dari budaya patriarki,9 otoritas tertinggi ada pada suami
sebagai kepala rumah tangga yang berhak menentukan aturan apapun
menyangkut orang-orang dalam rumah tangga, termasuk memberi
“Pelajaran” kepada istri atau anak. Oleh karena itu di dalam budaya patriarki
memberikan legitimasi kepada suami dalam proses “Pembelajaran” bagi
individu yang berada di bawah wewenangnya dengan caranya sendiri.
Terjadi perbedaan dalam budaya patriarki antara ruang privat dan
ruang publik, artinya terjadi pemisahan antara individu dan komunitas.
Pemisahan antara urusan rumah tangga (wilayah domestik) dan urusan
publik, sehingga terjadi pemisahan antara moralitas dan hukum. Dengan cara
pandang seperti itu, pelaku kekerasan tidak akan merasa bersalah karena
yang menjadi korban adalah istri atau anak yang ada dalam lingkup
privatnya. Urusan rumah tangga dianggap urusan masing-masing dan orang
luar tidak boleh campur tangan memasuki wilayah domestik seseorang.10
9
Lihat Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan:Kerja dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Kalyanamitra, 1997), hal. 51 menjelaskan bahwa konsep patriarki sendiri pada awalnya digunakan oleh Max Weber untuk mengacu pada bentukan sistim sosial politik yang mengagungkan peran dominan ayah dalam lingkungan keluarga inti, keluarga luas, dan lingkup publik seperti ekonomi. Feminis radikal kemudian mempertegas bahwa dominasi laki-laki terdapat di semua bidang seperti politik, agama, dan seksualitas. Lihat juga Marcia C. Inhorn, Infertility and Patriarchy, Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1996, hal. 2. Sebagai akibat dari patriarki, penindasan gender laki-laki atas perempuan telah membuat perempuan tersubordinasi melalui struktur ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya. Lihat juga Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki, Jakarta: Kalyanamitra, 1984, hal. 1. Kamla Bhasin menambahkan bahwa patriarki secara umum diidentikkan dengan kekuasaan laki-laki sebagai instrumen untuk mendominasi perempuan melalui berbagai cara. Pada umumnya alasan biologis atau mistis digunakan untuk membenarkan superioritas dan kontrol laki-laki terhadap perempuan.
10
Masyarakat sangat kuat berkeyakinan bahwa masalah dalam keluarga
adalah urusan keluarga, termasuk juga kekerasan yang ada di dalamnya,
keluarga pihak suami maupun istri dapat merasa sangat malu bila aib
keluarga diketahui umum, dan karenya memilih untuk membiarkan saja
perempuan menjadi korban kekerasan pasangannya. Secara umum respon
masyarakat tidak menunjukkan pemihakannya pada korban. Hal ini
menyebabkan pelaku leluasa dan lepas kendali. Suatu hal yang pada
gilirannya melanggengkan tindak kekerasan kepada perempuan. Istri yang
menjadi korban sangat sulit untuk memperoleh keadilan.11
Sebelum diuraikan data jenis kekerasan yang dialami korban tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga di wilayah Poltabes Medan dan
sekitarnya, maka akan diuraikan terlebih dahulu jumlah kasus tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan dari tahun 2005 hingga
tahun 2007 dan kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang
telah diselesaikan aparat.
menjadi tempat yang nyaman bagi pelaku kekerasan domestik. Ketiadaan transparansi tindakan di ruang ini membuat pelaku kekerasan terlindung dari sanksi sosial dan sanksi hukum.
Jika di ruang privat manusia dapat menutupi tindakannya dari pandangan orang lain, tidak demikian jika manusia ada di ruang publik. Ruang publik adalah tempat identitas manusia diungkap dan perbuatan diingat. Ruang publik menuntut kejujuran. Idealnya, ketika perempuan ada di ruang publik, ia dapat terhindar dari kekerasan domestik. Hal itu dapat terwujud jika ruang privat dipahami sebagai satu kesatuan dengan ruang publik.
11
Tabel 3 : Data Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Wilayah Poltabes
Medan Dalam Kurun Waktu Tiga Tahun (2005-2007)
NO TAHUN KASUS
Sumber : Data Statistik Sat Reskrim Poltabes Medan tahun 2008
Tabel 3 di atas merupakan data tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga yang dilaporkan selama tiga tahun terakhir sebanyak 168 kasus.
Sebanyak 16 kasus yang dapat diselesaikan oleh aparat atau 10 % dari
jumlah keseluruhan secara kumulatif, sehingga menyisakan 152 kasus yang
tidak terselesaikan. Sementara dari tahun ke tahun tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga yang dilaporkan selalu mendapat kenaikan angka yang
signifikan. Tahun 2005 – tahun 2006 terjadi kenaikan angka tiga kali lipat dari
18 kasus menjadi 54 kasus, sedangkan dari tahun 2006 – tahun 2007 terjadi
kenaikan hampir dua kali lipat dari 54 kasus menjadi 96 kasus.
Kalau kita cermati dari tahun ke tahun adanya kenaikan jumlah tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan pihak korban. Dari
ke tahun 2006 naik 36 kasus, dan dari tahun 2006 ke tahun 2007
menunjukkan kenaikan 42 kasus.
Fakta yang memprihatinkan adalah, dari kasus yang masuk tiap
tahunnya selalu meningkat, sedangkan upaya aparat dalam menuntaskan
kasusnya justru menurun. Hal ini terlihat dari tingkat keberhasilan aparat yang
setiap tahunnya mengalami kemerosotan dari tahun ke tahun. Penurunan
kemampuan aparat dalam menyelesaikan kasus berada dalam titik terendah
pada tahun 2007. Sejumlah 96 kasus yang masuk, hanya 5 kasus yang dapat
diselesaikan, sehingga tingkat keberhasilan dalam menuntaskan kasus hanya
5 %.
Kenyataan ini sudah barang tentu sangat mengkhawatirkan dan
memunculkan banyak pertanyaan, mengapa kinerja aparat kita sedemikian
rapuhnya atau terdapat sesuatu hal di luar struktur hukum ini. Hal ini menarik
untuk dikaji apakah rendahnya kemampuan aparat dalam penyelesaian
kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ini oleh karena kinerja
aparat yang tidak maksimal, atau karena hal-hal lain yang terdapat di dalam
substansi hukum maupun budaya hukumnya. Oleh karena selain struktur
hukum, substansi hukum dan budaya hukum juga sangat berperan memberi
kontribusi yang besar dalam upaya penanggulangan kejahatan.12
12
Adapun jenis tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang
dialami korban ada empat macam yakni kekerasan fisik, psikis, sexual dan
penelantaran rumah tangga. Hal ini dapat kita lihat dari Tabel 4.
Tabel 4 : Jenis Kekerasan yang Dialami Korban Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga di Wilayah Poltabes Medan
Tabel 4 : Jenis Kekerasan yang dialami Korban Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga di Wilayah Poltabes Medan
TAHUN
Sumber : Data Statistik Sat Reskrim Poltabes Medan tahun 2008
Data pada Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa mayoritas jenis tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh korban adalah
kekerasan fisik. Hal itu dapat dilihat pada tahun 2005 dari 18 kasus yang
masuk, semua kasus merupakan kekerasan fisik. Demikian juga pada tahun
2006 dari 54 kasus yang masuk seluruhnya merupakan kekerasan fisik.
Kemudian pada tahun 2007, jenis kekerasan yang dialami korban meluas
oleh karena bukan hanya kekerasan fisik yang dialami tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga tetapi juga terdapat 10 kasus kekerasan
psikis dan 12 kasus penelantaran rumah tangga. Sejumlah 96 kasus yang
masuk jenis kekerasan fisik sebanyak 74 kasus, jenis kekerasan psikis
sebanyak 10 kasus dan 12 kasus digolongkan dalam penelantaran rumah
tangga.
Fakta tersebut di atas sangat menarik untuk ditelusuri dan dikaji,
apakah penggolongan jenis tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
tersebut telah memiliki batasan-batasan yang bersifat universal. Diperlukan
adanya batasan universal dalam aplikasinya pada penanggulangan tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga. Hal tersebut diperlukan agar tidak
terjadi interpretasi yang berbeda oleh karena kekerasan terhadap
perempuan, termasuk kekerasan terhadap istri sangat bervariasi bentuk dan
intensitasnya.
Masing-masing pihak atau lembaga tidak menutup kemungkinan
menggunakan batasan-batasan yang dikembangkan sendiri untuk melakukan
kategorisasi dan pencatatan data. Kekerasan yang paling mudah
diidentifikasi tentu saja adalah kekerasan dalam bentuk fisik. Bentuk-bentuk
kekerasan non fisik sering sulit diidentifikasi dan sulit dikelompokkan.
Kategorisasi yang banyak dipakai adalah kekerasan mental, kekerasan
emosional dan kekerasan psikologis.13 Akan tetapi apabila kita melihat
dampak dari semua bentuk kekerasan akan memiliki implikasi emosional dan
psikologis.
13
Tidak jarang kekerasan terhadap perempuan juga tidak berdimensi
tunggal. Seseorang perempuan korban dapat atau sering mengalami lebih
dari satu bentuk kekerasan, misalnya seorang istri yang mengalami
penganiayaan psikologis dari suami tidak jarang juga mengalami
penganiayaan fisik. Iapun harus membanting tulang untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya karena suami menolak untuk memberi nafkah.14
Menyikapi kenyataan bahwa seseorang perempuan atau anak dapat
mengalami kekerasan secara multidimensional, perlu dicermati bagaimana
cara penggolongan dan klasifikasi jenis kekerasan terhadap korban yang
tidak hanya mengalami satu jenis kekerasan, akan tetapi dua atau tiga bentuk
kekerasan sekaligus.
Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di kota
Medan, sebagian besar dilakukan oleh suami sebagai pemegang otoritas
sebuah rumah tangga. Misalnya Ibu Asnah (23) seoarang istri oknum Brimob
dianiaya suaminya Bripda MY (25) gara-gara pertengkaran mulut yang
berlanjut dengan pelemparan kursi dan sandal kepada korban.15 Sedangkan
Fit (26) yang sedang hamil 8 bulan juga tidak menjadikan halangan bagi
pelaku Buy (27) untuk menganiaya istrinya dengan cara menikam perut
korban dengan benda tajam.16 Demikian pula RS (32) terpaksa meringkuk
14
Ibid, hal. 75. 15
“Istri oknum Brimob dianiaya suami, ngadu Polsekta Medan Baru”, Harian Sinar Indonesia Baru, Minggu, 11 Nopember 2007, hal. 3.
16
dalam tahanan polisi dengan sangkaan menganiaya istri J. br.M (30) hingga
mengalami luka pada sejumlah bagian tubuhnya sehingga harus menjalani
rawat inap di rumah sakit.17 Istri sebagai korban tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga juga dialami Veronika br.Ginting (27) yang telah
memergoki suaminya AS (33) dengan wanita lain, justru menerima perlakuan
yang mengenaskan dengan kondisi kepala yang memar-memar dan
beberapa luka goresan pada bagian tubuhnya.18 Peristiwa tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga juga tidak luput bagi Melisa, seorang bayi
yang berusia 6 bulan menjadi korban penganiayaan orang tua angkatnya,
akibat dari penganiayaan tersebut bayi Melisa mengalami cacat di hidung
karena luka bakar parah setelah disundut rokok oleh orang tua angkatnya.19
Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terkadang dilakukan
juga oleh anak terhadap ayahnya, seperti pada peristiwa yang dilakukan E
bin A (28) melakukan penusukan perut ayahnya,Tukidi (56) dikarenakan
merasa diperlakukan tidak adil.20 Seseorang kakak ipar S (33) telah
melakukan perbuatan cabul terhadap Bunga (17) yang tinggal di rumahnya.
Perbuatan tidak senonoh ini dilakukan setelah mengancam tidak akan
memberikan uang jajan dan biaya sekolah yang selama ini ditanggung
17
“Menganiaya istri, seorang pria dibekuk polisi”, Harian Sinar Indonesia Baru, Selasa, 8 Januari 2008, hal. 3.
18
“Dianiaya, Veronika laporkan suaminya ke polisi”,Harian Siara Indonesia Baru, Kamis 17 Januari 2008, hal. 3.
19
“Bayi korban penganiyaan ibu angkat, mulai membaik”,Harian Sinar Indonesia Baru, Kamis 29 Nopember 2007, hal. 2.
20
tersangka.21 Seorang istripun tidak luput menjadi pelaku tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga, Mariani (27) menikam perut suaminya
Charles Bronson (37) warga jalan Denai Medan, oleh karena tidak tahan
melihat tingkah laku suaminya setiap pagi pulang dalam keadaan mabuk.22
Peristiwa paling unik adalah kejadian yang tidak lazim terjadi, dimana pelaku
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah seorang pembantu
rumah tangga yang pada umumnya menjadi korban. Ini dilakukan oleh SPM
(18), menganiaya Rismawati br.Karo (48) dengan cara menyetrika paha
majikannya ketika sedang tidur. Hal ini terjadi karena pelaku mencari alasan
untuk dikeluarkan dari pekerjaannya karena kewalahan dengan beban
pekerjaan.23
Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga memposisikan korban
pada situasi yang sangat dilematis, walau dampaknya sangat tidak berpihak
pada korban umumnya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang
terjadi tidak jarang membuat korban bungkam dan tidak mampu
mengekspresikan dirinya. Tidak terbangunnya kesadaran kristis
menyebabkan korban menjadi kelompok yang perlu mendapat perhatian
khusus.
21
“Mencabuli adik ipar, warga Labuhan Deli dibekuk Polsekta Medan Labuhan”, Harian Sinar Indonesia Baru, Kamis 22 Nopember 2007, hal. 3.
22
“Karena sering pulang mabuk, istri tikam suami”,Harian Sinar Indonesia Baru, Rabu, 13 Februari 2008, hal. 3.
23
Stereotipe bahwa tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
masuk dalam wilayah privat yang tidak perlu dicampuri publik, mengekalkan
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan berkesinambungan
dengan korban yang bungkam. Oleh karena itu diperlukan kebijakan
penanggulangannya, sehingga dapat mengeliminir angka tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga sampai pada titik terendah. Dalam upaya
penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga sangat
diperlukan peran aparat penegak hukum terutama kepolisian sebagai ujung
tombak dari sistem peradilan pidana. Berdasarkan alasan diatas, maka
penulis tertarik untuk menyajikannya menjadi suatu penelitian dalam tesis ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang penelitian di atas, maka permasalahan
yang dapat dirumuskan adalah :
1. Bagaimanakah peran POLRI dalam menanggulangi tindak pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga di kota Medan?
2. Hambatan-hambatan apakah yang dihadapi POLRI dalam upaya
menanggulangi tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di kota
Medan?
3. Bagaimanakah solusi bagi POLRI dalam upaya menanggulangi tindak
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
Mengetahui peran POLRI dalam upaya menanggulangi Tindak Pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga di kota Medan.
Mengetahui dan menganalisis hambatan-hambatan yang dihadapi POLRI
dalam upaya menanggulangi tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga di kota Medan.
Mengkaji dan menemukan solusi bagi POLRI dalam upaya menanggulangi
tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di kota Medan pada
masa depan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :
1. Kepentingan teoritis,
Penelitian ini diharapkan berguna bagi penemuan konsep-konsep hukum
tentang kebijakan penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga di Indonesia, khususnya di kota Medan dan prospektif kebijakan
penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang tepat
bagi masa depan. Oleh karena itu penelitian ini dapat menambah
khasanah perkembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Pidana
Indonesia.
Penelitian diharapkan dapat memberikan solusi bagi POLRI berdasarkan
hambatan-hambatan yang muncul dalam upaya menanggulangi tindak
pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga sehingga menjadi bahan
masukan untuk membuat kebijakan selanjutnya.
E. Keaslian Penelitian
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap judul dan
masalah yang sama, maka telah dilakukan pengumpulan data dan juga
pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada kaitannya dengan
Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Ternyata telah terdapat
beberapa penelitian tentang Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
antara lain :
a. “Suatu tinjauan tentang penerapan Undang-undang No. 23 Tahun 2004
terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga (studi kasus Muhammad
Rajak di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam)”.oleh: Firdaus. NIM:
037005057
b. “Perlindungan hukum terhadap korban tindak kekerasan oleh keluarga
dalam upaya pembentukan Hukum Pidana Nasional.” oleh: Mhd.Ansori.
NIM: 017005025
Walaupun telah terdapat beberapa topik penelitian dengan bahasan
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga seperti yang telah disebutkan
terdahulu. Jadi penelitian ini adalah asli, sesuai dengan asas-asas keilmuan
yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas
masukan serta saran-saran yang membangun.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Sebagai instrumen pengendalian sosial penegakan hukum diperlukan
guna menjaga ketertiban yang menjadi ekspektasi dalam kehidupan
masyarakat. Ditinjau dari perspektif makro peran dalam penegakan hukum
yang strategis akan menjadi alat pengendali dan moral guidance bagi
perilaku para penyelenggara negara, elit politik dan masyarakat yang meliputi
seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sedangkan dalam perspektif mikro, peranan penegakan hukum diaplikasikan
dalam proses peradilan (law enforcement) mulai dari penyidikan, penuntutan
hingga eksekusi putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.24
Proses penegakan hukum, tidak saja dibutuhkan perangkat peraturan
perundang-undangan, tetapi juga dibutuhkan instrumen penggeraknya yaitu
institusi-institusi penegak hukum yang merupakan komponen-kompenen dari
sistem Peradilan Pidana seperti Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, badan
peradilan dan lembaga pemasyarakatan.
24
Peradilan pidana dikatakan sebagai sistem karena di dalam sistem
tersebut bekerja subsistem-subsistem yang mendukung jalannya peradilan
pidana, yaitu suatu pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga
Kepolisian, Kejaksaan Pengadilan dan Pemasyarakata terpidana.25
Pengertian yang lebih umum dari Sistem Peradilan Pidana dikemukan
oleh Muladi,26 yang mengatakan bahwa:
“Sistem peradilan pidana adalah merupakan suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formal
maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun, jika sifatnya terlalu
formal,yaitu dilandasi tujuan hanya untuk kepentingan kepastian hukum
saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.”
Pemikiran bahwa setiap subsistem harus saling berkaitan dan terpadu,
melahirkan pemikiran tentang suatu sistem peradila pidana yang terpadu
(integrated criminal justice system) sebagai suatu sistem, ini sangat penting
dalam menanggulangi kejahatan di setiap negara.27 “Sistem Peradilan
Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi
masalah kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.”
Apabila membahas mengenai peradilan pidana sebagai suatu sistem,
menurut Romli Atmasasmita,28 harus dilakukan pendekatan sistem, yaitu:
25
Marjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994), hal. 1.
26
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pedana,?(Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hal. 1-2
27
Marjono Reksodiputro, 1994, op. cit, hal. 84-85. 28
a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan
pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga
Pemasyarakatan);
b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh
komponen peradilan pidana;
c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih diutamakan
daripada efisiensi penyelesaian perkara.
d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “the
administration of justice”.
Konsepsi integrated dalam pengertian sinkronisasi sebagaimana
dikemukakan oleh Romli Atmasasmita tersebut, mengandung pengertian the
achievement of unification through shared norm values” yang harus tampak
dalam penyelenggara dan oknum penyelenggara peradilan pidana.
Sehubungan dengan karakter peradilan pidana dan upaya sistem peradilan
pidana yang terpadu, yang memerlukan pemahaman lebih lanjut untuk
menumbuhkan sinkronisasi dari segi struktur hukum, substansi hukum dan
budaya hukum.
Sistem peradilan pidana akan dianggap efektif apabila pelaku
kejahatan yang dilaporkan atau dikeluhkan masyarakat dapat diselesaikan
dengan diajukannya pelaku kejahatan ke muka pengadilan dan menerima
sanksi pidana,29 termasuk juga:
29
1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah
dipidana;
3) Berupaya agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Indonesia yang dikenal dengan KUHAP, tidak saja memuat tentang hak dan
kewajiban yang terkait dalam suatu proses pidana, tetapi juga memuat
tentang tata cara proses pidana yang menjadi tugas dan kewenangan
masing-masing institusi penegak hukum.
Proses penegakan hukum berdasarkan KUHAP yang kita miliki selama
ini menganut asas division of function atau sistem kompartemen, yang
memisahkan secara tegas tugas dan kewenangan penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan dan
penetapan pengadilan yang terintegrasi, menuju kepada sistem peradilan
pidana terpadu (integrated criminal justice system), tetapi di dalam praktek
belum memunculkan sinergi antar institusi terkait.30
Munculnya permasalahan-permasalahan di dalam praktek tersebut
selain adanya perbedaan persepsi, seringkali juga akibat adanya ego sektoral
sehingga menjadi penghalang untuk menjalin kerja sama antar komponen
30
dalam sistem peradilan pidana, karena KUHAP sendiri belum merumuskan
secara tegas tentang apa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana
terpadu.
Ironisnya meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengeliminir
permasalahan di dalam praktek, nampaknya kendala tersebut tetap saja
muncul. Lebih-lebih di era reformasi karena adanya sorotan dan kritik tajam
dari berbagai kalangan terhadap kesepakatan-kesepakatan tersebut karena
dipandang sebagai wadah yang dapat memberikan peluang terjadinya kolusi
antar para penegak hukum.
Loebby Loqman membedakan pengertian sistem peradilan pidana
dengan proses pidana.31 Sistem adalah suatu rangkaian antara unsur atau
faktor yang saling terkait satu dengan lainnya sehingga menciptakan suatu
mekanisme sedemikian rupa sehingga sampai tujuan dari sistem tersebut.
Sedangkan proses peradilan pidana, yakni suatu proses sejak seseorang
diduga telah melakukan tindak pidana, sampai orang tersebut dibebaskan
kembali setelah melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan padanya.
Sesungguhnya proses peradilan pidana maupun sistem peradilan
pidana mengandung pengertian yang ruang lingkupnya berkaitan dengan
mekanisme peradilan pidana. Kelancaran proses peradilan pidana ditentukan
oleh bekerjanya sistem peradilan pidana. Tidak berfungsinya salah satu
31
subsistem akan mengganggu bekerjanya subsistem yang lain, yang pada
akhirnya menghambat bekerjanya proses peradilan.
Sistem peradilan pidana terpadu dalam KUHAP merupakan dasar bagi
terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan
baik serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan
martabat tersangka, terdakwa atau terpidana sebagai manusia. Sistem
peradilan pidana yang dianut oleh KUHAP melibatkan subsistem
pemeriksaan di sidang pengadilan dan subsistem pelaksanaan putusan
pengadilan. Masing-masing subsistem tersebut dalam KUHAP dilaksanakan
oleh institusi-institusi Kepolisian (subsistem penyidikan), Kejaksaan
(subsistem penuntutan), Pengadilan (subsistem pemeriksaan sidang
pengadilan), Kejaksaan dan Lembaga Pemasyarakatan (subsistem
pelaksanaan putusan pengadilan).32
Keempat institusi pelaksanaan dalam sistem peradilan pidana tersebut
seyogianya lebih mengutamakan kebersamaan serta semangat kerja yang
tulus dan ikhlas serta positif antara aparatur penegak hukum untuk
mengembangkan tugas menegakkan keadilan dalam bingkai sistem peradilan
pidana terpadu (integrated criminal justice system), Muladi mengatakan
bahwa makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau
keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam,33 pertama
Sinkronisasi Struktural (structural syncronization) yaitu keserampakan dan
32
Paparan Jaksa Agung, op. cit, hal. 3. 33
keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hikum. Kedua,
Sinkronisasi Substansial (substansial sincronization) yaitu keserampakan dan
keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan
hukum positif. Ketiga, Sinkronisasi Kultural (cultural sincronization) yaitu
keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan,
sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem
peradilan pidana.
Seharusnya setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana tidak
boleh bekerja sendiri-sendiri tanpa mempedulikan subsistem lainnya. Sistem
ini merupakan proses yang berkesinambungan. Kendala yang terjadi pada
salah satu subsistem akan mempengaruhi subsistem lainnya. Setiap
subsistem dan sistem peradilan pidana memainkan peranan yang Spesifik
dalam penanggulangan kejahatan, dengan mengerahkan segenap potensi
(anggota dan sumberdaya) yang ada di lembaga masing-masing. Aktivitas
subsistem ini harus diarahkan pada pencapaian tujuan bersama
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan
kejahatan (criminal policy).
Kepolisian merupakan salah satu komponen sistem peradilan pidana
yang menjadi ujung tombak dalam penanggulangan kejahatan. Peranan
kepolisian kelihatan lebih besar bila dibandingkan dengan komponen lainnya.
Institusi ini sangat menentukan keberhasilan sistem peradilan pidana secara
Criminal Justice.34 Fungsi Kepolisian (Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian) Adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang:
1. pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
2. penegakan hukum,
3. perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tujuan Kepolisian RI (Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 Kepolisian)
adalah Mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi:
1. terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat,
2. tertib dan tegaknya hukum,
3. terselenggaranya perlindungan, pengayoman,
4. dan pelayan kepada masyarakat,
5. serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia.
Peran Kepolisian RI Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan
alat negara yang berperan dalam (Pasal 5 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002
Kepolisian):
1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2. menegakkan hukum; dan
3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
34
Tugas Pokok Kepolisian RI (Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002
Kepolisian) adalah:
1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2. menegakkan hukum; dan
3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Derivasi Tugas Pokok Kepolisian RI (Pasal 14 Ayat (1) UU No. 2
Tahun 2002 Kepolisian):
1. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
2. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;
3. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat
terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
4. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
5. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
6. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
7. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya;
8. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian;
9. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka fungsi utama dari polisi adalah
menegakkan hukum dan melayani kepentingan masyarakat umum. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa tugas polisi adalah melakukan pencegahan
terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Sebagai usaha pemberian perlindungan kepada masyarakat, maka polisi
melibatkan keikutsertaan masyarakat melalui berbagai program pemberian
informasi yang luas tentang kejahatan di lingkungan tempat tinggal
masyarakat, melakukan pendidikan tentang tanggung jawab masyarakat
terhadap upaya pencegahan kejahatan dan pemberian informasi terkini
tentang upaya penanggulangan kejahatan dengan melakukan pengamanan
swadaya masyarakat. Selain itu juga, secara formal tugas polisi memainkan
peranan penting dalam mekanisme sistem peradilan pidana, yaitu dengan
memproses tersangka pelaku kejahatan dan mengajukannya ke proses
penuntutan di pengadilan.35
35
Kepolisian merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana yang
cukup menentukan keberhasilan dari kerja keseluruhan sistem dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan kepolisian
merupakan subsistem yang secara langsung berhubungan dengan pelaku
kejahatan dan masyarakat, sehingga tugas dan tanggung jawab kepolisian
dapat dikatakan lebih besar ketimbang subsistem lainnya. Hanya sepuluh
persen energi polisi habis untuk penegakan hukum, sisanya yaitu sembilan
puluh persen dihabiskan untuk melaksanankan fungsi pelayan masyarakat.36
Namun hal ini bukan berarti subsistem lainnya tidak mempunyai peranan
penting dalam penanggulangan kejahatan.
Secara umum tugas kepolisian adalah:37
1. melakukan penanggulangan terhadap kejahatan;
2. melakukan penangkapan dan penahanan pelaku kejahatan;
3. berpartisipasi di proses pengadilan;
4. melindungi dan menjamin tegaknya hukum;
5. membantu dan melindungi orang-orang yang sedang dalam bahaya
atau terancam mendapat serangan fisik;
36
Dalam salah satu Kongres PBB Ke V mengenai The Prevention of Crime and the Tretment of Offenders, khususnya dalam laporan agenda masalah mengenai “The Emerging Roles of the Police and Othe Law Enforcement Angencies.” antara lain dinyatakan bahwa: The police were a part of and not separate from the community and that the majority of a policeman’s time was spent on “service-oriented” task rather than on law enforcement duties. (Polisi merupakan bagian dari masyarakat dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, dan kebanyakan dari waktu polisi dihabiskan/digunakan untuk tugas-tugas yang berorientasi pada pelayanan (masyarakat) dari pada tugas-tugas penegakan hukum), jadi dapat dikatakan tugas yuridis polisi lebih banyak pada tugas-tugas yang beroriantasi pada pelayanan masyarakat (“service-oriented task”) dari pada tugas-tugas penegakan hukum (“law inforcement duties”).
37
6. membantu menyelesaikan konflik yang terjadi sehari-hari di antara
keluarga, teman dan lingkungan masyarakat;
Berdasarkan ruang lingkup tugas kepolisian yang cukup luas di atas,
maka dapat dikatakan bahwa kepolisian mempunyai tanggung jawab yang
besar. Interaksi langsung polisi dengan masyarakat bisa membawa pengaruh
yang baik, maupun yang buruk. Oleh karenanya dibutuhkan pendekatan yang
koordinatif antara kepolisian dengan komunitas masyarakat sehingga bisa
saling memahami dan bisa menjadi salah satu strategi kepolisian dalam
penanggulangan kejahatan.
Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan
melalui perencanaan yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap
kejahatan (a rational total of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk
bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dianggap sebagai
kejahatan (criminal policy of designating human behavior as crime).38
Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) menurut
Hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum
pidana (crimal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum
pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi
pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media
38
massa (influencing views of society on crime and punishment (mass
media).39
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels di
atas, maka kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan
melalui dua cara. Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut
dengan “criminal law application”. Kedua, kebijakan non-penal (non-penal
policy) yang terdiri dari “prevention without punishment” dan “influencing
views of society on crime and punishment (mass media).”
Upaya penanggulangan kejahatan dan penegakan hukum lewat
sarana “penal” mempunyai beberapa kelemahan, kekurangan, dan
keterbatasan. Oleh karena itu, sepatutnya diimbangi dengan upaya non-penal
yang harus selalu digali, dimanfaatkan, dan dikembangkan. Penggalian dan
pengembangan upaya non-penal lewat program-program kegiatan polisi yang
berorientasi pada pelayanan masyarakat, jelas merupakan hal yang wajar;
bahkan merupakan keharusan, karena hal ini pun merupakan tugas atau
“amanat” yuridis yang digariskan juga oleh undang-undang untuk Polri.40
2. Kerangka Konsepsi
Konsep adalah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu
teori. Peranan konsep pada dasarnya adalah untuk menghubungkan dunia
39
Ibid, hal. 56. 40
teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai
kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang
khusus dan disebut dengan definisi operasional.
Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan antara penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.
Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses
penelitian tesis ini. Ada beberapa landasan konsepsional dalam tesis ini,
yaitu: peran, kepolisian, penanggulangan Tindak Pidana, Kekerasan dalam
rumah tangga.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia peran berarti: perangkat
tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berperan di masyarakat.41
Sedangkan role (peran) berarti: “The function or position that has or is
expected to have in an organization, in society or in relationship”(suatu fungsi
yang diharapkan dari organisasi/institusi dalm hubungan bermasyarakat).42
Dipandang dari sudut sosiologis peranan (role) akan senantiasa
berkaitan dengan suatu kedudukan (status), dengan demikian memahami
peranan Polri tidak terlepas dari kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan
yang dianut. Pada negara Demokrasi, fungsi Kepolisian dapat dikelompokkan
kedalam tiga fungsi yang menuntut watak dan cara kerja yang berbeda satu
sama lain, yakni: fungsi memerangi kejahatan (fighting crime), fungsi
41
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 854.
42
melindungi warga (protecting people), dan fungsi memelihara ketertiban
umum (preservation law and order). Fungsi-fungsi Kepolisian demikian itu
kemudian melahirkan empat peranan yang harus diemban, yakni: peran
sebagai badan penegak hukum (law enforcement agency), peran sebagai
pemelihara ketertiban (law and order maintenance), peran sebagai juru damai
(peace keeping official), dan peran sebagai pelayanan publik (public servant).
Peranan tersebut diharapkan bermuara kepada out put melindungi (to
protect) dan melayani (to serve) warga, sehingga polisi dapat menjadi
penjaga nilai-nilai sipil dalam iklim kehidupan bermasyarakat.43
Istilah “polisi” pada mulanya berasal dari perkataan Junani “Politeia”,
yang berarti seluruh pemerintahan negara kota. Seperti diketahui di abad
sebelum Masehi negara Junani terdiri dari kota-kota yang dinamakan “Polis”.
Jadi pada zaman itu arti “Polisi” demikian luasnya bahkan selain meliputi
seluruh Pemerintahan negara kota, termasuk juga di dalamnya
urusan-urusan keagamaan seperti penyembahan terhadap dewa-dewanya. Seperti
diketahui pada zaman itu, sebagai akibat masih kuatnya rasa kesatuan dalam
masyarakat urusan keagamaan termasuk dalam urusan pemerintahan.
Setelah timbulnya agama Nasrani maka urusan keagamaan menjadi terpisah
dari pemerintahan, sehingga arti “Polisi” menjadi seluruh pemerintahan
negara dikurangi urusan agama.44
43
A.Kadarmanta, Membangun Kultur Kepolisian, (Jakarta: PT.Forum Media Utama, 2007), hal. 170.
44