• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peran Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kota Medan"

Copied!
248
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK

PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI

KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

ANDA NURANI

067005047/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK

PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI

KOTA MEDAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ANDA NURANI

067005047/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa : Anda Nurani Nomor Pokok : 067005047 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Muhammad Daud, SH) K e t u a

(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 24 Nopember 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

:

Prof. Muhammad Daud, SH

Anggota

:

1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

(5)

ABSTRAK

Jumlah Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terjadi di Kota Medan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Dari tahun 2004 ke tahun 2005 menunjukkan kenaikan 17 kasus, dari tahun 2005 ke tahun 2006 naik 26 kasus, dari tahun 2006 ke tahun 2007 menunjukkan kenaikan 42 kasus. Kenaikan jumlah kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini berbanding terbalik dengan keberhasilan aparat kepolisian dalam menuntaskan kasusnya. Hal ini terlihat dari tingkat keberhasilan kepolisian untuk menyelesaikan kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang setiap tahunnya mengalami kemerosotan. Dari keseluruhan kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilaporkan sebanyak 168 kasus, hanya 16 kasus yang dapat diselesaikan oleh kepolisian atau 10% dari jumlah keseluruhan secara kumulatif selama tiga tahun. Hal ini menarik untuk dikaji apakah rendahnya kemampuan aparat dalam penyelesaian kasus tersebut, oleh karena kinerja aparat yang tidak maksimal atau karena hal-hal lain yang terdapat dalam substansi hukum maupun budaya hukum yang juga sangat berperan dalam memberi kontribusi dalam upaya penanggulangan kejahatan.

Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini antara lain : (1) Bagaimanakah peran polri dalam menanggulangi Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di kota Medan; (2) Hambatan-hambatan apakah yang dihadapi polri dalam upaya menanggulangi Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di kota Medan; (3) Bagaimanakah solusi bagi polri dalam upaya menanggulangi Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di kota Medan pada masa depan. Untuk menjawab permasalahan di atas, maka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh melalui studi lapangan dan data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka. Informan dalam penelitian ini terdiri atas Kepolisian Kota Besar Medan, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk kekerasan (LBH APIK) dan korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Keseluruhan data dianalisa secara kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran polri dalam penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilaksanakan selama ini di Kota Medan dengan menggunakan cara

pendekatan yaitu pendekatan non penal policy dan pendekatan penal policy.

Pendekatan non penal policy dilaksanakan oleh bagian Binamitra secara

pre-emptif, sedangkan pendekatan penal policy dilaksanakan oleh Bagian

Reserse Kriminil Unit Pelayanan Perempuan dan anak melalui mekanisme criminal justice system.

(6)

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), Struktur Hukum (aparat penegak hukum) dan budaya hukum.

Solusi bagi polri dalam upaya penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di masa depan, dapat dilaksanakan

melalui peran polri dalam pendekatan non penal policy. Seperti mengikut

sertakan kaum pria dalam upaya pendekatan pre-emptif melalui penyuluhan yang selama ini tidak pernah dilakukan. Selain itu dapat memanfaatkan sarana komunikasi seperti buletin, koran, majalah maupun media TV, radio dan website (internet). Memasukkan kurikulum dalam pendidikan tentang perspektif jender untuk mengubah pemahaman dan penerapan sistem nilai struktur sosial dan budaya masyarakat yang selama ini menimbulkan ketimpangan kedudukan peran antara pria dan wanita yang selalu ditempatkan pada posisi submissive.

Sedangkan solusi untuk pendekatan penal policy dapat dilakukan

dengan memperbaiki dan menyempurnakan instrumen hukum yang menjadi masalah dalam penerapannya agar tidak terjadi salah interpretasi. Adanya koordinasi yang intensif antar aparat penegak hukum untuk mereduksi perbedaan persepsi dan menyatukan visi dalam upaya penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan.

Kata Kunci : POLRI, Penanggulangan Tindak Pidana, Kekerasan Dalam Rumah

(7)

ABSTRACT

The number of domestic violence criminal act occurs from year in Medan keeps increasing. There was an increase of 17 cases from 2004 to 2005 then it went up to 26 cases from 2005 to 2006, and it became 42 cases from 2006 to 2007. This increasing number of domestic violence criminal act is in inverse proportion to the success of the police in completely working on theses cases. It is shown from the success intensity of the police in solving the cases of domestic violence criminal act which keeps decreasing every year. Of the all cumulative 168 cases of domestic violence occurred in the past three years reported, only 16 cases (10%) that could be solved by the police. Thus, it is significant to study whether or not theis condition happened because of the poor ability of the police in solving these case, the minimum performance of the police, or the things found in the substance and culture of law which also play a reole and contribute in the attempt of crime prevention.

The purpose of this sociological juridical study is to find (1) how the police play their role in preventing the domestic violence criminal act in the city of Medan, (2) the constraints faced by the police in their attempt to prevent the domestic violence criminal act in the city of Medan, and (3) the solution planned by the police in their attempt to prevent the domestic violence criminal act in the city of Medan in the future. This study is based on the primary date obtained through field study and the secondary date obtained through library study. The informants for this study came from Medan Police Department, Legal Aid Institution of Indonesian Women Association for Violence (LBH APIK), and the victims of domestic violence. The data obtained were qualittively analysed.

The result of this study shows that role of the police which has been implemented in preventing the domestic violence criminal act in the city of Medan is based on the penal and non-penal approaches. The non-penal

policy is pre-emptively implemented by the Binamitra unit and the penal policy

is implemented by the detectives of Women Service of Criminal unit through the mechanism of criminal justice system. The constraints faced by the police in their attempt to prevent the domestic violence criminal act came from the substance of law (Law No.23/2004 on the Elimination of Domestic Violence), Structure of Law (law upholders), and Culture of Law.

(8)

The solution for the penal policy approach can be implemented by improving and perfecting the instruments of law that became the problem in their implementation in order not to create a misinterpretation. The existence of intensive coordination applied by the law upholders can reduce the difference of perception among them and unite their vision in the attempt to prevent the domestic violence criminal act in the city of Medan.

(9)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang

Maha Esa yang telah melimpahkan segala rahmatNya, sehingga dapat

menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul Peran Polri Dalam

Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota

Medan.

Penulis menyadari, bahwa tesis ini masih sangat jauh dari sempurna,

hal ini kiranya dapat dimaklumi karena keterbatasan pengetahuan dan

kemampuan yang penulis miliki. Dalam kesempatan ini, penulis ingin

mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya atas

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, antara lain kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Chariruddin P. Lubis,

DTM&H,Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada

penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program magister;

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Ir. T.

Charirun Nisa B,MSc, atas kesempatan bagi penulis menjadi mahasiswa

Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara;

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara, Prof. Dr. Bismar Nasution, SH.,MH, atas semua

(10)

menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Ilmu Hukum

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

4. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Muhammad

Daud, SH.(Alm), selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Mahmud

Mulyadi, SH., M.Hum dan Bapak Syafrudin S. Hasibuan, SH.,MH, selaku

anggota komisi pembimbing yang telah memberikan dorongan, bimbingan

dan curahan ilmu yang diberikan selama penulisan tesis ini dengan penuh

ketelitian dan kesabaran;

5. Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH dan Dr. Sunarmi, SH., M.Hum selaku penguji

tesis penulis;

6. Seluruh dosen Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu

Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan

bagi penulis untuk mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan di

bidang ilmu hukum;

7. Kepala Kepolisian Kota Besar Medan dan Sekitarnya beserta staf dan

para informan yang telah membantu mendapatkan bahan-bahan dalam

rangka penyelesaian tesis ini.

8. Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, AKP Sitiani Purba, SH.

beserta staf pada Ruang Pelayanan Khusus Poltabes Medan yang telah

banyak memberikan masukan dalam proses penyelesaian tesis ini.

9. Ketua Lembaga Bantuan Hukum Assosiasi Perempuan Indonesia untuk

(11)

yang telah membantu memberikan informasi yang berguna dalam

penyelesaian tesis ini.

10. Sahabat dan rekan-rekan seperjuangan di Sekolah Pascasarjana

Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak

memberikan kontribusi kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

11. Kedua orangtua penulis : Letnan Kolonel Pol (Purn) Drs. Noerwijoto (Alm)

dan Tri Widayatsih yang telah memberikan motivasi penulis untuk selalu

menuntut ilmu dan menambah wawasan.

12. Ibu Adeline Pospos-Tampubolon, BA yang selama ini dengan tulus

membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

13. Secara khusus dengan penuh rasa kasih sayang penulis sampaikan

terima kasih kepada suami tercinta : Kombes Pol. Drs. Richard Marlon

Lumban Tobing, SH., atas cinta dan doanya yang tulus serta

dukungannya terhadap penulis. Dan dengan penuh rasa kasih sayang

mendalam penulis sampaikan kepada kedua anak-anakku: Arini Diviacita

Lumban Tobing dan Adrian Joshua Lumban Tobing yang selama penulis

mengikuti Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara telah

kehilangan banyak waktu kebersamaan dengan penulis.

Akhirnya semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua, Amin.

Medan, Oktober 2008

Penulis

(12)

RIWAYAT HIDUP

N a m a : ANDA NURANI

Tempat/Tgl.Lahir : Jakarta, 19 Mei 1966

Jenis Kelamin : Perempuan

A g a m a : Kristen Protestan

Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri No. 28 Pontianak,

KALBAR (Lulus Tahun 1978)

- Sekolah Menengah Pertama Negeri No.01

Pontianak, KALBAR (Lulus Tahun 1981)

- Sekolah Menengah Atas Negeri No.03

Pontianak KALBAR (Lulus Tahun 1984)

- Fakultas Hukum Universitas Tanjung Pura,

Pontianak, KALBAR (Lulus Tahun 1989)

- Program Studi Magister Ilmu Hukum

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT ………. iii

KATA PENGANTAR ………. v

RIWAYAT HIDUP ………. viii

DAFTAR ISI ……… ix

DAFTAR TABEL ……… xii

DAFTAR GAMBAR ……… xiii

BAB I : PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Perumusan Masalah ………. 19

C. Tujuan Penelitian ……… 19

D. Manfaat Penelitian ………. 20

E. Keaslian Penelitian ………. 20

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ……… 21

1. Kerangka Teori ……… 21

2. Kerangka Konsepsi ………. 33

G. Metode Penelitian ………. 43

1. Jenis Penelitian ……… 43

2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data ………. 44

(14)

BAB II : PERAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH

TANGGA DI KOTA MEDAN ... 46

A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga ……….. 46

1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga …….... 46

2. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga …… 62

B. Kebijakan Penerapan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan ………... 70

1. Peran Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga……… 70

2. Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan………..….… 84

C. Kebijakan Non Penal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan ………. 93

1. Peran Aparat Kepolisian melalui pendekatan Preventif .. 93

2. Peran Aparat Kepolisian melalui pendekatan Pre-emptif.97 BAB III : FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA MEDAN …………... 105

A. Undang-Undang ………... 105

B. Aparat Penegak Hukum ……….. 116

(15)

BAB IV : KEBIJAKAN PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KOTA

MEDAN DI MASA DEPAN ……… 158

Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Criminal Policy)……. 158

Kebijakan Penanggulangan dengan Hukum Pidana ( Penal Policy) ………... 158

Kebijakan Penanggulangan tanpa Hukum Pidana ( Non Penal Policy) ………... 164

B. Penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan di masa depan …………..…... 172

1. Kebijakan Non Penal dalam penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan di masa depan ……….... 175

2. Kebijakan Penerapan Hukum Pidana (Penal Policy) dalam penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan di masa depan ... 189

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ………... 198

A. Kesimpulan .……… 198

B. Saran ………... 204

(16)

DAFTAR TABEL

No Judul

Halaman

1 : Jumlah Kriminalitas di Kota Medan dalam Kurun Waktu

Tiga Tahun (2005-2007) ………... 4

2 : Kasus Kekerasan Berbasis Gender yang ditangani Unit RPK

Diklasifikasikan Menutut Jenis, Pasal yang dilanggar selama

Lima Tahun Terakhir (2003-2007) ………... 8

3 : Data Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Wilayah Poltabes Medan dalam Kurun Waktu Tiga Tahun

(2005-2007) ……... 12

4 : Jenis Kekerasan yang dialami Korban Tindak Kekerasan

Dalam Rumah Tangga di Wilayah Poltabes Medan ……….. 14

5 : Pendapat Kepolisian tentang kekerasan dalam proses penyidikan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...……... 73

6 : Penahanan terhadap pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kota Medan oleh Aparat

Kepolisian ...……….... 74

7 : Tujuan Pemidanaan menurut Kepolisian di Kota Medan ……… 76

8 : Pendapat LBH APIK tentang pelayanan Kepolisian terhadap korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam

Rumah Tangga ...………. 77

9 : Pendapat korban terhadap kinerja Kepolisian dalam Menangani Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah

Tangga di Kota Medan ... 82

10 : Permasalahan yang telah berhasil diselesaikan sejak diterapkannya

Polmas di Jajaran Poltabes Medan dan Sekitarnya ……….... 102

(17)

DAFTAR GAMBAR

No Judul

Halaman

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia saat ini mulai memasuki era keterbukaan, dimana segala

aktivitas penyelenggara negara dituntut semakin transparan dan berada

dalam kontrol sosial yang semakin ketat. Iklim kehidupan bernegara yang

demikian, peranan hukum dan penegakan hukum akan menjadi instrumen

pengendali sosial, yang semakin diperlukan dan menentukan bagi perjalanan

bangsa Indonesia di masa-masa mendatang.1

Hukum melalui peraturan perundang-undangan merupakan sarana

dalam proses pembentukan kebijakan publik. Faktor-faktor non hukum akan

selalu memberikan pengaruhnya dalam proses pelaksanaannya. Hukum juga

merupakan variabel yang senantiasa dinamis dan dipengaruhi oleh berbagai

faktor di lingkungan masyarakat, baik itu faktor sosial, ekonomi, budaya

maupun politik. Oleh karena itulah yang membuat P. Nonet dan Selznick

menggolongkan tipologi hukum di dalam masyarakat seperti yang

1

(19)

dikemukakan mereka bahwa: We distinguish three modalities or basic

“states” of law-in-society: (1) Law as the servant of repressive power, (2) law

as a differentiated institution capable of taming repression and protecting its

own integrity, and (3) law as a facilitator of response to social needs

and aspiration.2

Opini masyarakat menyatakan bahwa masalah kejahatan tetap

menjadi isu yang hangat dan merupakan masalah yang penting disamping

masalah ekonomi, kesehatan, pengangguran dan masalah-masalah lainnya.

Korban kejahatan menderita kerugian yang sangat besar antara lain

kehilangan harta kekayaan, biaya pengobatan atau perawatan kesehatan

serta hilangnya produktifitas kerja dan juga penghasilan. Belum lagi kerugian

yang diderita oleh para korban kejahatan berupa rasa sakit dan trauma rasa

takut oleh kejahatan (fear of crime), penderitaan dan pengurangan kualitas

hidup.3

Biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat tindak kejahatan tidak

hanya diukur oleh besarnya pengeluaran masyarakat, tetapi lebih pada

pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi dan lingkungan. Salah satu akibat

dari kejahatan dan ketidaktertiban masyarakat adalah semakin meningkatnya

rasa takut akan tindak kejahatan. Ketakutan dan persepsi tentang resiko

kejahatan menjadi masalah utama dan telah memberikan kontribusi secara

2

Nonet & Selznick, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law. (New York: New York and Row, 1978), hal. 16.

3

(20)

signifikan terhadap penurunan keamanan lingkungan dalam masyarakat pada

saat ancaman kejahatan tetap tinggi. Penanggulangan kejahatan dirasakan

mutlak diadakan pada setiap komunitas oleh karna dampak yang

ditimbulkannya sangat merugikan masyarakat.4

Sejalan dengan kecenderungan perkembangan di atas, penegakan

hukum menempati posisi yang amat strategis dan menentukan. Masyarakat

berhak mendapatkan pemulihan keseimbangan akibat dari adanya kejahatan.

Harapan tersebut dapat terwujud melalui sarana penegakan hukum yang

sangat berperan dalam menjaga keselarasan dan jaminan perlindungan

hubungan antara individu, masyarakat dan negara, sebagaimana dikatakan

oleh Jeremy Bentham bahwa penegakan hukum adalah sentral bagi

eksistensi hak.5

Kota Medan, sebagai salah satu kota besar, keadaan masyarakatnya

bergerak dinamis dan dinamika kejahatan yang terjadi dalam intensitas yang

cukup tinggi. Hukum dianggap masih belum mampu memberikan

perlindungan kepada masyarakatnya karena upaya penegakan hukum masih

bersifat stagnant. Akuntabilitas kinerja aparat penegak hukum selalu

dipertanyakan, karena tingkat keberhasilan penyelesaian kasus-kasus

kejahatan masih relatif rendah sebagaimana terlihat pada Tabel 1 dibawah ini

:

4

Majalah Jagratara, Edisi Khusus, 17 Agustus 2005, hal. 3. 5

(21)

Tabel 1 : Jumlah Kriminalitas di Kota Medan dalam Kurun Waktu Tiga Tahun (2005-2007)

Sumber : Data Statistik Sat Reskrim Poltabes Medan Tahun 2008 TAHUN NO URAIAN

2005 2006 2007

JUMLAH

1

Kejahatan yang dilaporkan 8.873 10.096 8.885 27.854

2 Kejahatan yang

diselesaikan

4.710 5.553 6.044 16.307

3 Persentase 53 % 55 % 68 % 58 %

Berdasarkan Tabel 1 di atas maka dapat dilihat bahwa angka

kejahatan yang dilaporkan di Medan dalam kurun tiga tahun terakhir

(2005-2007) secara keseluruhan berjumlah 27.854 kasus. Kejahatan yang dapat

diselesaikan oleh aparat sebanyak 16.307 kasus, dari sejumlah kejahatan

yang dilaporkan di atas. Hal ini berarti tingkat keberhasilan penyelesaian

kasus-kasus di tingkat penyidikan ini oleh aparat kepolisian sebanyak 58 %.

Kejahatan yang dilaporkan pada tahun 2005 berjumlah 8.873 kasus.

Sedangkan kasus yang dapat diselesaikan hanya berjumlah 4.710 kasus. Hal

ini berarti tingkat keberhasilan penyelesaian yang dilakukan oleh aparat

sebesar 53 %. Angka kejahatan ini meningkat pada tahun 2006, yaitu

berjumlah 10.096 kasus. Jumlah kejahatan yang dapat diselesaikan

sebanyak 5.553 kasus dan ini berarti tingkat keberhasilan aparat sebanyak

55 %.

Pada tahun 2007, angka kejahatan mengalami penurunan sekitar

(22)

masuk pada tahun 2007 sebanyak 8.885 kasus. Sejumlah kasus yang masuk

ini, sebanyak 6.044 kasus yang berhasil diselesaikan. Dengan kata lain

tingkat keberhasilan aparat menyelesaikan kasus pada tahun 2007 sebesar

68 %. Pada tahun 2007 ini terlihat ada upaya yang lebih maju oleh kepolisian

dibandingkan 2 tahun sebelumnya. Angka kejahatan pada tahun 2007

menurun dan tingkat keberhasilan aparat dalam penyelesaian perkara

meningkat.

Berdasarkan Tabel 1 di atas maka kinerja aparat penegak hukum

dalam menyelesaikan kasus-kasus kejahatan belum maksimal karena hanya

58 % kasus yang dapat diselesaikan dari jumlah keseluruhan kasus

kejahatan yang dilaporkan selama tiga tahun terakhir. Akibatnya masih 42 %

kasus yang tidak terselesaikan sehingga menjadi beban bagi penegakan

hukum itu sendiri. Apalagi angka kejahatan yang dilaporkan pada Tabel 1 di

atas, memungkinkan bertambah lagi karena masih banyak kejahatan yang

tidak dilaporkan oleh korban atau tidak terjaring oleh aparat.

Jumlah kejahatan yang relatif tinggi terjadi di kota Medan, sudah pasti

menimbulkan keingintahuan masyarakat akan penyebab munculnya

kejahatan tersebut. Pengetahuan mengenai Kejahatan dan Tindak Pidana

memang tidak mengenal penyebab tunggal dari menurun atau meningkatnya

Kriminalitas. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, perkembangan

kependudukan, struktur masyarakat, perubahan nilai sosial dan budaya ikut

(23)

bentuk, frekuensi, intensitas maupun modus operandi kejahatan. Tidak dapat

pula diabaikan lemahnya penegakan hukum, serta kondisi ekonomi sedikit

banyak memberikan kontribusi dalam proses terjadinya kejahatan.6

Kondisi keluarga yang dalam keadaan tidak harmonis juga sangat

berpotensi melahirkan kejahatan. Penanaman norma-norma dan nilai-nilai

awal seseorang manusia bermula dari lembaga ini. Anak sebagai bagian dari

sebuah keluarga akan merekam keadaan dalam keluarganya untuk

diaktualisasikan dalam perilakunya di luar lingkungan keluarga. Keluarga

yang hangat akan menularkan kebaikan bagi anggota-anggotanya namun

sebaliknya kondisi keluarga yang berantakan menjadikan individu-individu di

dalamnya (terutama anak-anak) cenderung melakukan perbuatan yang

menyimpang sehingga dapat mengarah kepada terjadinya kejahatan.

Keluarga seharusnya sebagai tempat yang nyaman bagi

anggota-anggotanya dalam berinteraksi akan berubah menjadi Role Model untuk

anak-anak dalam berperilaku negatif, tergantung pembelajaran apa yang

telah mereka terima. Oleh karena itu disharmoni keluarga merupakan awal

kegagalan pengasuhan bagi anak-anak dan memiliki muatan bagi cikal bakal

timbulnya kejahatan.

Kekerasan terhadap sesama manusia memiliki sumber ataupun alasan

yang bermacam-macam, seperti politik, keyakinan agama, rasisme, dan

ideologi gender. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah

6

(24)

sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi

persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai

ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun terutama terhadap kaum

perempuan. Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk

ketidakadilan, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi,

subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik,

pembentukan stereotip atau pelabelan negatif, kekerasan (violence),beban

kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden). Kekerasan yang disebabkan

oleh bias gender disebut juga dengan gender-related violence7

Salah satu jenis kejahatan yang berbasis gender yang sering terjadi di

kota Medan adalah tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Angka

tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di kota Medan dapat dilihat

pada Tabel 2 di bawah ini:

7

(25)

Tabel 2 : Kasus Kekerasan Berbasis Gender yang Ditangani Unit RPK Diklasifikasikan Menurut Jenis, Pasal yang Dilanggar Selama Lima

Tahun Terakhir (2003-2007)

8 Perbuatan cabul sesama

jenis - Pasal 292 - 10 3 4 4 21

9 Penganiyaan berat atau ringan - Pasal 351 subs 352

10 - 2 22 38 72

10 Pencurian - Pasal 362 - - - - 2 2

11 Kejahatan kesusilaan -

Pasal 286 - - - - 1 1

12 Fitnah da Pencemaran

nama baik - Pasal 310 - 1 - 2 3 6

13 Memberikan keterangan

palsu - Pasal 266 - - - - 1 1

14 Pemalsuan - Pasal 263 - - - - 1 1

15 Melarikan Balita – Pasal

330 - 1 1 - 1 3

16 Pencabulan dengan anak

asuh – Pasal 294 1 12 5 2 6 26

17 Penipuan – Pasal 368 1 - 1 - 2 4

18 Mencabuli anak yang belum dewasa – Pasal 290

12 15 31 17 9 84

19 Perdagangan wanita -

Pasal 297 dan 296 3 5 6 4 1 19

20 Pemerasan – Pasal 368 1 - 1 - - 2

21 Kekerasan dalam rumah tangga – Pasal 44 UU No.23/2004

- 1 18 54 96 169

22 Kekerasan terhadap anak - - - - 2 2

J U M L A H 146 228 251 238 394 1257

(26)

Berdasarkan Tabel 2 di atas, maka dapat dilihat bahwa selama kurun

waktu lima tahun terakhir (2003 – 2007) kejahatan berbasis gender yang

dilaporkan secara keseluruhan sebanyak 1257 kasus. Dilihat dari jumlah

kasus di atas terjadi fluktuasi jumlah kasus yang berbasis gender di kota

Medan. Kasus yang masuk pada tahun 2003 sebanyak 146 kasus, kemudian

meningkat menjadi 228 kasus pada tahun 2004, demikian pula kenaikan

terjadi pada tahun 2005 sebanyak 251 kasus. Penurunan jumlah kasus yang

masuk pada tahun 2006 sebanyak 238, kemudian pada tahun 2007

mengalami kenaikan kembali yaitu sebesar 394 kasus. Seluruh jumlah kasus

yang masuk ke dalam Laporan Unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak)

Poltabes Medan dan sekitarnya, dilihat tindak pidana kekerasan dalam rumah

tangga menduduki peringkat tiga besar setelah tindak pidana persetubuhan

belum dewasa (Pasal 293 KUHP) yang berjumlah 522 kasus dan tindak

pidana membawa lari gadis (Pasal 332 KUHP) yang berjumlah 172 kasus,

kemudian menyusul tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang

berjumlah 169 kasus.

Hal ini berarti jumlah tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga

dalam kurun lima tahun terakhir ini, merupakan 13,4 % dari jumlah

keseluruhan kejahatan yang berbasis gender yang dilaporkan kepada aparat.

Angka ini walaupun tidak terlalu besar namun perlu mendapat perhatian,

(27)

masih banyak tindak pidana yang tidak dilaporkan oleh korbannya (dark

number crime).

Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindak

pidana yang memiliki fenomena gunung es, dimana pada permukaan yang

terlihat lebih sedikit dibandingkan jumlah tindak pidana yang terjadi

sesungguhnya dalam masyarakat. Dengan kata lain kasus yang tidak

terdeteksi lebih banyak dari pada yang dilaporkan atau diekspos.8

Secara kuantitatif kenaikan jumlah laporan kasus tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga ini, menunjukkan telah terjadi pergeseran

persepsi dari masyarakat bahwa tindak pidana kekerasan dalam rumah

tangga bukan merupakan domain privat yang harus ditutupi rapat-rapat.

Tidak tereksposnya secara maksimal Kekerasan Dalam Rumah Tangga

8

(28)

merupakan implikasi dari budaya patriarki,9 otoritas tertinggi ada pada suami

sebagai kepala rumah tangga yang berhak menentukan aturan apapun

menyangkut orang-orang dalam rumah tangga, termasuk memberi

“Pelajaran” kepada istri atau anak. Oleh karena itu di dalam budaya patriarki

memberikan legitimasi kepada suami dalam proses “Pembelajaran” bagi

individu yang berada di bawah wewenangnya dengan caranya sendiri.

Terjadi perbedaan dalam budaya patriarki antara ruang privat dan

ruang publik, artinya terjadi pemisahan antara individu dan komunitas.

Pemisahan antara urusan rumah tangga (wilayah domestik) dan urusan

publik, sehingga terjadi pemisahan antara moralitas dan hukum. Dengan cara

pandang seperti itu, pelaku kekerasan tidak akan merasa bersalah karena

yang menjadi korban adalah istri atau anak yang ada dalam lingkup

privatnya. Urusan rumah tangga dianggap urusan masing-masing dan orang

luar tidak boleh campur tangan memasuki wilayah domestik seseorang.10

9

Lihat Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan:Kerja dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Kalyanamitra, 1997), hal. 51 menjelaskan bahwa konsep patriarki sendiri pada awalnya digunakan oleh Max Weber untuk mengacu pada bentukan sistim sosial politik yang mengagungkan peran dominan ayah dalam lingkungan keluarga inti, keluarga luas, dan lingkup publik seperti ekonomi. Feminis radikal kemudian mempertegas bahwa dominasi laki-laki terdapat di semua bidang seperti politik, agama, dan seksualitas. Lihat juga Marcia C. Inhorn, Infertility and Patriarchy, Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1996, hal. 2. Sebagai akibat dari patriarki, penindasan gender laki-laki atas perempuan telah membuat perempuan tersubordinasi melalui struktur ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya. Lihat juga Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki, Jakarta: Kalyanamitra, 1984, hal. 1. Kamla Bhasin menambahkan bahwa patriarki secara umum diidentikkan dengan kekuasaan laki-laki sebagai instrumen untuk mendominasi perempuan melalui berbagai cara. Pada umumnya alasan biologis atau mistis digunakan untuk membenarkan superioritas dan kontrol laki-laki terhadap perempuan.

10

(29)

Masyarakat sangat kuat berkeyakinan bahwa masalah dalam keluarga

adalah urusan keluarga, termasuk juga kekerasan yang ada di dalamnya,

keluarga pihak suami maupun istri dapat merasa sangat malu bila aib

keluarga diketahui umum, dan karenya memilih untuk membiarkan saja

perempuan menjadi korban kekerasan pasangannya. Secara umum respon

masyarakat tidak menunjukkan pemihakannya pada korban. Hal ini

menyebabkan pelaku leluasa dan lepas kendali. Suatu hal yang pada

gilirannya melanggengkan tindak kekerasan kepada perempuan. Istri yang

menjadi korban sangat sulit untuk memperoleh keadilan.11

Sebelum diuraikan data jenis kekerasan yang dialami korban tindak

pidana kekerasan dalam rumah tangga di wilayah Poltabes Medan dan

sekitarnya, maka akan diuraikan terlebih dahulu jumlah kasus tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan dari tahun 2005 hingga

tahun 2007 dan kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang

telah diselesaikan aparat.

menjadi tempat yang nyaman bagi pelaku kekerasan domestik. Ketiadaan transparansi tindakan di ruang ini membuat pelaku kekerasan terlindung dari sanksi sosial dan sanksi hukum.

Jika di ruang privat manusia dapat menutupi tindakannya dari pandangan orang lain, tidak demikian jika manusia ada di ruang publik. Ruang publik adalah tempat identitas manusia diungkap dan perbuatan diingat. Ruang publik menuntut kejujuran. Idealnya, ketika perempuan ada di ruang publik, ia dapat terhindar dari kekerasan domestik. Hal itu dapat terwujud jika ruang privat dipahami sebagai satu kesatuan dengan ruang publik.

11

(30)

Tabel 3 : Data Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Wilayah Poltabes

Medan Dalam Kurun Waktu Tiga Tahun (2005-2007)

NO TAHUN KASUS

Sumber : Data Statistik Sat Reskrim Poltabes Medan tahun 2008

Tabel 3 di atas merupakan data tindak pidana kekerasan dalam rumah

tangga yang dilaporkan selama tiga tahun terakhir sebanyak 168 kasus.

Sebanyak 16 kasus yang dapat diselesaikan oleh aparat atau 10 % dari

jumlah keseluruhan secara kumulatif, sehingga menyisakan 152 kasus yang

tidak terselesaikan. Sementara dari tahun ke tahun tindak pidana kekerasan

dalam rumah tangga yang dilaporkan selalu mendapat kenaikan angka yang

signifikan. Tahun 2005 – tahun 2006 terjadi kenaikan angka tiga kali lipat dari

18 kasus menjadi 54 kasus, sedangkan dari tahun 2006 – tahun 2007 terjadi

kenaikan hampir dua kali lipat dari 54 kasus menjadi 96 kasus.

Kalau kita cermati dari tahun ke tahun adanya kenaikan jumlah tindak

pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan pihak korban. Dari

(31)

ke tahun 2006 naik 36 kasus, dan dari tahun 2006 ke tahun 2007

menunjukkan kenaikan 42 kasus.

Fakta yang memprihatinkan adalah, dari kasus yang masuk tiap

tahunnya selalu meningkat, sedangkan upaya aparat dalam menuntaskan

kasusnya justru menurun. Hal ini terlihat dari tingkat keberhasilan aparat yang

setiap tahunnya mengalami kemerosotan dari tahun ke tahun. Penurunan

kemampuan aparat dalam menyelesaikan kasus berada dalam titik terendah

pada tahun 2007. Sejumlah 96 kasus yang masuk, hanya 5 kasus yang dapat

diselesaikan, sehingga tingkat keberhasilan dalam menuntaskan kasus hanya

5 %.

Kenyataan ini sudah barang tentu sangat mengkhawatirkan dan

memunculkan banyak pertanyaan, mengapa kinerja aparat kita sedemikian

rapuhnya atau terdapat sesuatu hal di luar struktur hukum ini. Hal ini menarik

untuk dikaji apakah rendahnya kemampuan aparat dalam penyelesaian

kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ini oleh karena kinerja

aparat yang tidak maksimal, atau karena hal-hal lain yang terdapat di dalam

substansi hukum maupun budaya hukumnya. Oleh karena selain struktur

hukum, substansi hukum dan budaya hukum juga sangat berperan memberi

kontribusi yang besar dalam upaya penanggulangan kejahatan.12

12

(32)

Adapun jenis tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang

dialami korban ada empat macam yakni kekerasan fisik, psikis, sexual dan

penelantaran rumah tangga. Hal ini dapat kita lihat dari Tabel 4.

Tabel 4 : Jenis Kekerasan yang Dialami Korban Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga di Wilayah Poltabes Medan

Tabel 4 : Jenis Kekerasan yang dialami Korban Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga di Wilayah Poltabes Medan

TAHUN

Sumber : Data Statistik Sat Reskrim Poltabes Medan tahun 2008

Data pada Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa mayoritas jenis tindak

pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh korban adalah

kekerasan fisik. Hal itu dapat dilihat pada tahun 2005 dari 18 kasus yang

masuk, semua kasus merupakan kekerasan fisik. Demikian juga pada tahun

2006 dari 54 kasus yang masuk seluruhnya merupakan kekerasan fisik.

Kemudian pada tahun 2007, jenis kekerasan yang dialami korban meluas

oleh karena bukan hanya kekerasan fisik yang dialami tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga tetapi juga terdapat 10 kasus kekerasan

(33)

psikis dan 12 kasus penelantaran rumah tangga. Sejumlah 96 kasus yang

masuk jenis kekerasan fisik sebanyak 74 kasus, jenis kekerasan psikis

sebanyak 10 kasus dan 12 kasus digolongkan dalam penelantaran rumah

tangga.

Fakta tersebut di atas sangat menarik untuk ditelusuri dan dikaji,

apakah penggolongan jenis tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga

tersebut telah memiliki batasan-batasan yang bersifat universal. Diperlukan

adanya batasan universal dalam aplikasinya pada penanggulangan tindak

pidana kekerasan dalam rumah tangga. Hal tersebut diperlukan agar tidak

terjadi interpretasi yang berbeda oleh karena kekerasan terhadap

perempuan, termasuk kekerasan terhadap istri sangat bervariasi bentuk dan

intensitasnya.

Masing-masing pihak atau lembaga tidak menutup kemungkinan

menggunakan batasan-batasan yang dikembangkan sendiri untuk melakukan

kategorisasi dan pencatatan data. Kekerasan yang paling mudah

diidentifikasi tentu saja adalah kekerasan dalam bentuk fisik. Bentuk-bentuk

kekerasan non fisik sering sulit diidentifikasi dan sulit dikelompokkan.

Kategorisasi yang banyak dipakai adalah kekerasan mental, kekerasan

emosional dan kekerasan psikologis.13 Akan tetapi apabila kita melihat

dampak dari semua bentuk kekerasan akan memiliki implikasi emosional dan

psikologis.

13

(34)

Tidak jarang kekerasan terhadap perempuan juga tidak berdimensi

tunggal. Seseorang perempuan korban dapat atau sering mengalami lebih

dari satu bentuk kekerasan, misalnya seorang istri yang mengalami

penganiayaan psikologis dari suami tidak jarang juga mengalami

penganiayaan fisik. Iapun harus membanting tulang untuk memenuhi

kebutuhan keluarganya karena suami menolak untuk memberi nafkah.14

Menyikapi kenyataan bahwa seseorang perempuan atau anak dapat

mengalami kekerasan secara multidimensional, perlu dicermati bagaimana

cara penggolongan dan klasifikasi jenis kekerasan terhadap korban yang

tidak hanya mengalami satu jenis kekerasan, akan tetapi dua atau tiga bentuk

kekerasan sekaligus.

Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di kota

Medan, sebagian besar dilakukan oleh suami sebagai pemegang otoritas

sebuah rumah tangga. Misalnya Ibu Asnah (23) seoarang istri oknum Brimob

dianiaya suaminya Bripda MY (25) gara-gara pertengkaran mulut yang

berlanjut dengan pelemparan kursi dan sandal kepada korban.15 Sedangkan

Fit (26) yang sedang hamil 8 bulan juga tidak menjadikan halangan bagi

pelaku Buy (27) untuk menganiaya istrinya dengan cara menikam perut

korban dengan benda tajam.16 Demikian pula RS (32) terpaksa meringkuk

14

Ibid, hal. 75. 15

“Istri oknum Brimob dianiaya suami, ngadu Polsekta Medan Baru”, Harian Sinar Indonesia Baru, Minggu, 11 Nopember 2007, hal. 3.

16

(35)

dalam tahanan polisi dengan sangkaan menganiaya istri J. br.M (30) hingga

mengalami luka pada sejumlah bagian tubuhnya sehingga harus menjalani

rawat inap di rumah sakit.17 Istri sebagai korban tindak pidana kekerasan

dalam rumah tangga juga dialami Veronika br.Ginting (27) yang telah

memergoki suaminya AS (33) dengan wanita lain, justru menerima perlakuan

yang mengenaskan dengan kondisi kepala yang memar-memar dan

beberapa luka goresan pada bagian tubuhnya.18 Peristiwa tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga juga tidak luput bagi Melisa, seorang bayi

yang berusia 6 bulan menjadi korban penganiayaan orang tua angkatnya,

akibat dari penganiayaan tersebut bayi Melisa mengalami cacat di hidung

karena luka bakar parah setelah disundut rokok oleh orang tua angkatnya.19

Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terkadang dilakukan

juga oleh anak terhadap ayahnya, seperti pada peristiwa yang dilakukan E

bin A (28) melakukan penusukan perut ayahnya,Tukidi (56) dikarenakan

merasa diperlakukan tidak adil.20 Seseorang kakak ipar S (33) telah

melakukan perbuatan cabul terhadap Bunga (17) yang tinggal di rumahnya.

Perbuatan tidak senonoh ini dilakukan setelah mengancam tidak akan

memberikan uang jajan dan biaya sekolah yang selama ini ditanggung

17

“Menganiaya istri, seorang pria dibekuk polisi”, Harian Sinar Indonesia Baru, Selasa, 8 Januari 2008, hal. 3.

18

“Dianiaya, Veronika laporkan suaminya ke polisi”,Harian Siara Indonesia Baru, Kamis 17 Januari 2008, hal. 3.

19

“Bayi korban penganiyaan ibu angkat, mulai membaik”,Harian Sinar Indonesia Baru, Kamis 29 Nopember 2007, hal. 2.

20

(36)

tersangka.21 Seorang istripun tidak luput menjadi pelaku tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga, Mariani (27) menikam perut suaminya

Charles Bronson (37) warga jalan Denai Medan, oleh karena tidak tahan

melihat tingkah laku suaminya setiap pagi pulang dalam keadaan mabuk.22

Peristiwa paling unik adalah kejadian yang tidak lazim terjadi, dimana pelaku

tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah seorang pembantu

rumah tangga yang pada umumnya menjadi korban. Ini dilakukan oleh SPM

(18), menganiaya Rismawati br.Karo (48) dengan cara menyetrika paha

majikannya ketika sedang tidur. Hal ini terjadi karena pelaku mencari alasan

untuk dikeluarkan dari pekerjaannya karena kewalahan dengan beban

pekerjaan.23

Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga memposisikan korban

pada situasi yang sangat dilematis, walau dampaknya sangat tidak berpihak

pada korban umumnya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang

terjadi tidak jarang membuat korban bungkam dan tidak mampu

mengekspresikan dirinya. Tidak terbangunnya kesadaran kristis

menyebabkan korban menjadi kelompok yang perlu mendapat perhatian

khusus.

21

“Mencabuli adik ipar, warga Labuhan Deli dibekuk Polsekta Medan Labuhan”, Harian Sinar Indonesia Baru, Kamis 22 Nopember 2007, hal. 3.

22

“Karena sering pulang mabuk, istri tikam suami”,Harian Sinar Indonesia Baru, Rabu, 13 Februari 2008, hal. 3.

23

(37)

Stereotipe bahwa tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga

masuk dalam wilayah privat yang tidak perlu dicampuri publik, mengekalkan

tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan berkesinambungan

dengan korban yang bungkam. Oleh karena itu diperlukan kebijakan

penanggulangannya, sehingga dapat mengeliminir angka tindak pidana

kekerasan dalam rumah tangga sampai pada titik terendah. Dalam upaya

penanggulangan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga sangat

diperlukan peran aparat penegak hukum terutama kepolisian sebagai ujung

tombak dari sistem peradilan pidana. Berdasarkan alasan diatas, maka

penulis tertarik untuk menyajikannya menjadi suatu penelitian dalam tesis ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang penelitian di atas, maka permasalahan

yang dapat dirumuskan adalah :

1. Bagaimanakah peran POLRI dalam menanggulangi tindak pidana

Kekerasan Dalam Rumah Tangga di kota Medan?

2. Hambatan-hambatan apakah yang dihadapi POLRI dalam upaya

menanggulangi tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di kota

Medan?

3. Bagaimanakah solusi bagi POLRI dalam upaya menanggulangi tindak

(38)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

Mengetahui peran POLRI dalam upaya menanggulangi Tindak Pidana

Kekerasan Dalam Rumah Tangga di kota Medan.

Mengetahui dan menganalisis hambatan-hambatan yang dihadapi POLRI

dalam upaya menanggulangi tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah

Tangga di kota Medan.

Mengkaji dan menemukan solusi bagi POLRI dalam upaya menanggulangi

tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di kota Medan pada

masa depan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :

1. Kepentingan teoritis,

Penelitian ini diharapkan berguna bagi penemuan konsep-konsep hukum

tentang kebijakan penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah

tangga di Indonesia, khususnya di kota Medan dan prospektif kebijakan

penanggulangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang tepat

bagi masa depan. Oleh karena itu penelitian ini dapat menambah

khasanah perkembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Pidana

Indonesia.

(39)

Penelitian diharapkan dapat memberikan solusi bagi POLRI berdasarkan

hambatan-hambatan yang muncul dalam upaya menanggulangi tindak

pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga sehingga menjadi bahan

masukan untuk membuat kebijakan selanjutnya.

E. Keaslian Penelitian

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap judul dan

masalah yang sama, maka telah dilakukan pengumpulan data dan juga

pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada kaitannya dengan

Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Ternyata telah terdapat

beberapa penelitian tentang Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

antara lain :

a. “Suatu tinjauan tentang penerapan Undang-undang No. 23 Tahun 2004

terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga (studi kasus Muhammad

Rajak di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam)”.oleh: Firdaus. NIM:

037005057

b. “Perlindungan hukum terhadap korban tindak kekerasan oleh keluarga

dalam upaya pembentukan Hukum Pidana Nasional.” oleh: Mhd.Ansori.

NIM: 017005025

Walaupun telah terdapat beberapa topik penelitian dengan bahasan

tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga seperti yang telah disebutkan

(40)

terdahulu. Jadi penelitian ini adalah asli, sesuai dengan asas-asas keilmuan

yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas

masukan serta saran-saran yang membangun.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Sebagai instrumen pengendalian sosial penegakan hukum diperlukan

guna menjaga ketertiban yang menjadi ekspektasi dalam kehidupan

masyarakat. Ditinjau dari perspektif makro peran dalam penegakan hukum

yang strategis akan menjadi alat pengendali dan moral guidance bagi

perilaku para penyelenggara negara, elit politik dan masyarakat yang meliputi

seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sedangkan dalam perspektif mikro, peranan penegakan hukum diaplikasikan

dalam proses peradilan (law enforcement) mulai dari penyidikan, penuntutan

hingga eksekusi putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.24

Proses penegakan hukum, tidak saja dibutuhkan perangkat peraturan

perundang-undangan, tetapi juga dibutuhkan instrumen penggeraknya yaitu

institusi-institusi penegak hukum yang merupakan komponen-kompenen dari

sistem Peradilan Pidana seperti Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, badan

peradilan dan lembaga pemasyarakatan.

24

(41)

Peradilan pidana dikatakan sebagai sistem karena di dalam sistem

tersebut bekerja subsistem-subsistem yang mendukung jalannya peradilan

pidana, yaitu suatu pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga

Kepolisian, Kejaksaan Pengadilan dan Pemasyarakata terpidana.25

Pengertian yang lebih umum dari Sistem Peradilan Pidana dikemukan

oleh Muladi,26 yang mengatakan bahwa:

“Sistem peradilan pidana adalah merupakan suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formal

maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun, jika sifatnya terlalu

formal,yaitu dilandasi tujuan hanya untuk kepentingan kepastian hukum

saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.”

Pemikiran bahwa setiap subsistem harus saling berkaitan dan terpadu,

melahirkan pemikiran tentang suatu sistem peradila pidana yang terpadu

(integrated criminal justice system) sebagai suatu sistem, ini sangat penting

dalam menanggulangi kejahatan di setiap negara.27 “Sistem Peradilan

Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi

masalah kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.”

Apabila membahas mengenai peradilan pidana sebagai suatu sistem,

menurut Romli Atmasasmita,28 harus dilakukan pendekatan sistem, yaitu:

25

Marjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994), hal. 1.

26

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pedana,?(Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hal. 1-2

27

Marjono Reksodiputro, 1994, op. cit, hal. 84-85. 28

(42)

a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan

pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga

Pemasyarakatan);

b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh

komponen peradilan pidana;

c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih diutamakan

daripada efisiensi penyelesaian perkara.

d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “the

administration of justice”.

Konsepsi integrated dalam pengertian sinkronisasi sebagaimana

dikemukakan oleh Romli Atmasasmita tersebut, mengandung pengertian the

achievement of unification through shared norm values” yang harus tampak

dalam penyelenggara dan oknum penyelenggara peradilan pidana.

Sehubungan dengan karakter peradilan pidana dan upaya sistem peradilan

pidana yang terpadu, yang memerlukan pemahaman lebih lanjut untuk

menumbuhkan sinkronisasi dari segi struktur hukum, substansi hukum dan

budaya hukum.

Sistem peradilan pidana akan dianggap efektif apabila pelaku

kejahatan yang dilaporkan atau dikeluhkan masyarakat dapat diselesaikan

dengan diajukannya pelaku kejahatan ke muka pengadilan dan menerima

sanksi pidana,29 termasuk juga:

29

(43)

1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat

puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah telah

dipidana;

3) Berupaya agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Indonesia yang dikenal dengan KUHAP, tidak saja memuat tentang hak dan

kewajiban yang terkait dalam suatu proses pidana, tetapi juga memuat

tentang tata cara proses pidana yang menjadi tugas dan kewenangan

masing-masing institusi penegak hukum.

Proses penegakan hukum berdasarkan KUHAP yang kita miliki selama

ini menganut asas division of function atau sistem kompartemen, yang

memisahkan secara tegas tugas dan kewenangan penyidikan, penuntutan

dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan dan

penetapan pengadilan yang terintegrasi, menuju kepada sistem peradilan

pidana terpadu (integrated criminal justice system), tetapi di dalam praktek

belum memunculkan sinergi antar institusi terkait.30

Munculnya permasalahan-permasalahan di dalam praktek tersebut

selain adanya perbedaan persepsi, seringkali juga akibat adanya ego sektoral

sehingga menjadi penghalang untuk menjalin kerja sama antar komponen

30

(44)

dalam sistem peradilan pidana, karena KUHAP sendiri belum merumuskan

secara tegas tentang apa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana

terpadu.

Ironisnya meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengeliminir

permasalahan di dalam praktek, nampaknya kendala tersebut tetap saja

muncul. Lebih-lebih di era reformasi karena adanya sorotan dan kritik tajam

dari berbagai kalangan terhadap kesepakatan-kesepakatan tersebut karena

dipandang sebagai wadah yang dapat memberikan peluang terjadinya kolusi

antar para penegak hukum.

Loebby Loqman membedakan pengertian sistem peradilan pidana

dengan proses pidana.31 Sistem adalah suatu rangkaian antara unsur atau

faktor yang saling terkait satu dengan lainnya sehingga menciptakan suatu

mekanisme sedemikian rupa sehingga sampai tujuan dari sistem tersebut.

Sedangkan proses peradilan pidana, yakni suatu proses sejak seseorang

diduga telah melakukan tindak pidana, sampai orang tersebut dibebaskan

kembali setelah melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan padanya.

Sesungguhnya proses peradilan pidana maupun sistem peradilan

pidana mengandung pengertian yang ruang lingkupnya berkaitan dengan

mekanisme peradilan pidana. Kelancaran proses peradilan pidana ditentukan

oleh bekerjanya sistem peradilan pidana. Tidak berfungsinya salah satu

31

(45)

subsistem akan mengganggu bekerjanya subsistem yang lain, yang pada

akhirnya menghambat bekerjanya proses peradilan.

Sistem peradilan pidana terpadu dalam KUHAP merupakan dasar bagi

terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan

baik serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan

martabat tersangka, terdakwa atau terpidana sebagai manusia. Sistem

peradilan pidana yang dianut oleh KUHAP melibatkan subsistem

pemeriksaan di sidang pengadilan dan subsistem pelaksanaan putusan

pengadilan. Masing-masing subsistem tersebut dalam KUHAP dilaksanakan

oleh institusi-institusi Kepolisian (subsistem penyidikan), Kejaksaan

(subsistem penuntutan), Pengadilan (subsistem pemeriksaan sidang

pengadilan), Kejaksaan dan Lembaga Pemasyarakatan (subsistem

pelaksanaan putusan pengadilan).32

Keempat institusi pelaksanaan dalam sistem peradilan pidana tersebut

seyogianya lebih mengutamakan kebersamaan serta semangat kerja yang

tulus dan ikhlas serta positif antara aparatur penegak hukum untuk

mengembangkan tugas menegakkan keadilan dalam bingkai sistem peradilan

pidana terpadu (integrated criminal justice system), Muladi mengatakan

bahwa makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau

keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam,33 pertama

Sinkronisasi Struktural (structural syncronization) yaitu keserampakan dan

32

Paparan Jaksa Agung, op. cit, hal. 3. 33

(46)

keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hikum. Kedua,

Sinkronisasi Substansial (substansial sincronization) yaitu keserampakan dan

keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan

hukum positif. Ketiga, Sinkronisasi Kultural (cultural sincronization) yaitu

keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan,

sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem

peradilan pidana.

Seharusnya setiap subsistem dalam sistem peradilan pidana tidak

boleh bekerja sendiri-sendiri tanpa mempedulikan subsistem lainnya. Sistem

ini merupakan proses yang berkesinambungan. Kendala yang terjadi pada

salah satu subsistem akan mempengaruhi subsistem lainnya. Setiap

subsistem dan sistem peradilan pidana memainkan peranan yang Spesifik

dalam penanggulangan kejahatan, dengan mengerahkan segenap potensi

(anggota dan sumberdaya) yang ada di lembaga masing-masing. Aktivitas

subsistem ini harus diarahkan pada pencapaian tujuan bersama

sebagaimana yang telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan

kejahatan (criminal policy).

Kepolisian merupakan salah satu komponen sistem peradilan pidana

yang menjadi ujung tombak dalam penanggulangan kejahatan. Peranan

kepolisian kelihatan lebih besar bila dibandingkan dengan komponen lainnya.

Institusi ini sangat menentukan keberhasilan sistem peradilan pidana secara

(47)

Criminal Justice.34 Fungsi Kepolisian (Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang

Kepolisian) Adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang:

1. pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,

2. penegakan hukum,

3. perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Tujuan Kepolisian RI (Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 Kepolisian)

adalah Mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi:

1. terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat,

2. tertib dan tegaknya hukum,

3. terselenggaranya perlindungan, pengayoman,

4. dan pelayan kepada masyarakat,

5. serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi

hak asasi manusia.

Peran Kepolisian RI Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan

alat negara yang berperan dalam (Pasal 5 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002

Kepolisian):

1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. menegakkan hukum; dan

3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

34

(48)

Tugas Pokok Kepolisian RI (Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002

Kepolisian) adalah:

1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

2. menegakkan hukum; dan

3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat.

Derivasi Tugas Pokok Kepolisian RI (Pasal 14 Ayat (1) UU No. 2

Tahun 2002 Kepolisian):

1. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli

terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

2. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

3. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,

kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat

terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

4. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

5. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

6. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk

(49)

7. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana

sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan

perundang-undangan lainnya;

8. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan

kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian;

9. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Berdasarkan uraian di atas, maka fungsi utama dari polisi adalah

menegakkan hukum dan melayani kepentingan masyarakat umum. Oleh

karena itu dapat dikatakan bahwa tugas polisi adalah melakukan pencegahan

terhadap kejahatan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Sebagai usaha pemberian perlindungan kepada masyarakat, maka polisi

melibatkan keikutsertaan masyarakat melalui berbagai program pemberian

informasi yang luas tentang kejahatan di lingkungan tempat tinggal

masyarakat, melakukan pendidikan tentang tanggung jawab masyarakat

terhadap upaya pencegahan kejahatan dan pemberian informasi terkini

tentang upaya penanggulangan kejahatan dengan melakukan pengamanan

swadaya masyarakat. Selain itu juga, secara formal tugas polisi memainkan

peranan penting dalam mekanisme sistem peradilan pidana, yaitu dengan

memproses tersangka pelaku kejahatan dan mengajukannya ke proses

penuntutan di pengadilan.35

35

(50)

Kepolisian merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana yang

cukup menentukan keberhasilan dari kerja keseluruhan sistem dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan kepolisian

merupakan subsistem yang secara langsung berhubungan dengan pelaku

kejahatan dan masyarakat, sehingga tugas dan tanggung jawab kepolisian

dapat dikatakan lebih besar ketimbang subsistem lainnya. Hanya sepuluh

persen energi polisi habis untuk penegakan hukum, sisanya yaitu sembilan

puluh persen dihabiskan untuk melaksanankan fungsi pelayan masyarakat.36

Namun hal ini bukan berarti subsistem lainnya tidak mempunyai peranan

penting dalam penanggulangan kejahatan.

Secara umum tugas kepolisian adalah:37

1. melakukan penanggulangan terhadap kejahatan;

2. melakukan penangkapan dan penahanan pelaku kejahatan;

3. berpartisipasi di proses pengadilan;

4. melindungi dan menjamin tegaknya hukum;

5. membantu dan melindungi orang-orang yang sedang dalam bahaya

atau terancam mendapat serangan fisik;

36

Dalam salah satu Kongres PBB Ke V mengenai The Prevention of Crime and the Tretment of Offenders, khususnya dalam laporan agenda masalah mengenai “The Emerging Roles of the Police and Othe Law Enforcement Angencies.” antara lain dinyatakan bahwa: The police were a part of and not separate from the community and that the majority of a policeman’s time was spent on “service-oriented” task rather than on law enforcement duties. (Polisi merupakan bagian dari masyarakat dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, dan kebanyakan dari waktu polisi dihabiskan/digunakan untuk tugas-tugas yang berorientasi pada pelayanan (masyarakat) dari pada tugas-tugas penegakan hukum), jadi dapat dikatakan tugas yuridis polisi lebih banyak pada tugas-tugas yang beroriantasi pada pelayanan masyarakat (“service-oriented task”) dari pada tugas-tugas penegakan hukum (“law inforcement duties”).

37

(51)

6. membantu menyelesaikan konflik yang terjadi sehari-hari di antara

keluarga, teman dan lingkungan masyarakat;

Berdasarkan ruang lingkup tugas kepolisian yang cukup luas di atas,

maka dapat dikatakan bahwa kepolisian mempunyai tanggung jawab yang

besar. Interaksi langsung polisi dengan masyarakat bisa membawa pengaruh

yang baik, maupun yang buruk. Oleh karenanya dibutuhkan pendekatan yang

koordinatif antara kepolisian dengan komunitas masyarakat sehingga bisa

saling memahami dan bisa menjadi salah satu strategi kepolisian dalam

penanggulangan kejahatan.

Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan

melalui perencanaan yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap

kejahatan (a rational total of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk

bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dianggap sebagai

kejahatan (criminal policy of designating human behavior as crime).38

Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) menurut

Hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum

pidana (crimal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum

pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi

pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media

38

(52)

massa (influencing views of society on crime and punishment (mass

media).39

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels di

atas, maka kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan

melalui dua cara. Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut

dengan “criminal law application”. Kedua, kebijakan non-penal (non-penal

policy) yang terdiri dari “prevention without punishment” dan “influencing

views of society on crime and punishment (mass media).”

Upaya penanggulangan kejahatan dan penegakan hukum lewat

sarana “penal” mempunyai beberapa kelemahan, kekurangan, dan

keterbatasan. Oleh karena itu, sepatutnya diimbangi dengan upaya non-penal

yang harus selalu digali, dimanfaatkan, dan dikembangkan. Penggalian dan

pengembangan upaya non-penal lewat program-program kegiatan polisi yang

berorientasi pada pelayanan masyarakat, jelas merupakan hal yang wajar;

bahkan merupakan keharusan, karena hal ini pun merupakan tugas atau

“amanat” yuridis yang digariskan juga oleh undang-undang untuk Polri.40

2. Kerangka Konsepsi

Konsep adalah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu

teori. Peranan konsep pada dasarnya adalah untuk menghubungkan dunia

39

Ibid, hal. 56. 40

(53)

teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai

kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang

khusus dan disebut dengan definisi operasional.

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan

perbedaan antara penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.

Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses

penelitian tesis ini. Ada beberapa landasan konsepsional dalam tesis ini,

yaitu: peran, kepolisian, penanggulangan Tindak Pidana, Kekerasan dalam

rumah tangga.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia peran berarti: perangkat

tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berperan di masyarakat.41

Sedangkan role (peran) berarti: “The function or position that has or is

expected to have in an organization, in society or in relationship”(suatu fungsi

yang diharapkan dari organisasi/institusi dalm hubungan bermasyarakat).42

Dipandang dari sudut sosiologis peranan (role) akan senantiasa

berkaitan dengan suatu kedudukan (status), dengan demikian memahami

peranan Polri tidak terlepas dari kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan

yang dianut. Pada negara Demokrasi, fungsi Kepolisian dapat dikelompokkan

kedalam tiga fungsi yang menuntut watak dan cara kerja yang berbeda satu

sama lain, yakni: fungsi memerangi kejahatan (fighting crime), fungsi

41

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 854.

42

(54)

melindungi warga (protecting people), dan fungsi memelihara ketertiban

umum (preservation law and order). Fungsi-fungsi Kepolisian demikian itu

kemudian melahirkan empat peranan yang harus diemban, yakni: peran

sebagai badan penegak hukum (law enforcement agency), peran sebagai

pemelihara ketertiban (law and order maintenance), peran sebagai juru damai

(peace keeping official), dan peran sebagai pelayanan publik (public servant).

Peranan tersebut diharapkan bermuara kepada out put melindungi (to

protect) dan melayani (to serve) warga, sehingga polisi dapat menjadi

penjaga nilai-nilai sipil dalam iklim kehidupan bermasyarakat.43

Istilah “polisi” pada mulanya berasal dari perkataan Junani “Politeia”,

yang berarti seluruh pemerintahan negara kota. Seperti diketahui di abad

sebelum Masehi negara Junani terdiri dari kota-kota yang dinamakan “Polis”.

Jadi pada zaman itu arti “Polisi” demikian luasnya bahkan selain meliputi

seluruh Pemerintahan negara kota, termasuk juga di dalamnya

urusan-urusan keagamaan seperti penyembahan terhadap dewa-dewanya. Seperti

diketahui pada zaman itu, sebagai akibat masih kuatnya rasa kesatuan dalam

masyarakat urusan keagamaan termasuk dalam urusan pemerintahan.

Setelah timbulnya agama Nasrani maka urusan keagamaan menjadi terpisah

dari pemerintahan, sehingga arti “Polisi” menjadi seluruh pemerintahan

negara dikurangi urusan agama.44

43

A.Kadarmanta, Membangun Kultur Kepolisian, (Jakarta: PT.Forum Media Utama, 2007), hal. 170.

44

Gambar

Tabel 1 : Jumlah Kriminalitas di Kota Medan dalam Kurun Waktu Tiga Tahun
Tabel 2 : Kasus Kekerasan Berbasis Gender yang Ditangani Unit RPK Diklasifikasikan Menurut Jenis, Pasal yang Dilanggar Selama Lima                Tahun Terakhir (2003-2007)
Tabel 3 : Data Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Wilayah Poltabes
Tabel 4 : Jenis Kekerasan yang dialami Korban Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga di Wilayah Poltabes Medan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pertama, dari segi hukum, belum adanya aturan yang mengatur tentang Pengadilan atau Hakim dalam memberikan pertimbangan khusus kepada korban dalam memutus perkara,

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui peran penyidik dalam penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh penyidik

Berkaitan dengan maraknya kekerasan terhadap perempuan yang terjadi secara khusus dalam lingkungan rumah tangga dan terjadi dalam berbagai bentuk kekerasan ini, dengan

Kekerasan psikis ini terjadi apabila suami selingkuh tetapi istri tidak mau atau tidak mampu untuk mempersoalkan karena alasan takut di pukul, takut diceraikan atau malu

Kendala-kendala penegakan hukum dalam melaksanakan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga perlu segera diatasi oleh pemerintah dengan meningkatkan

Keputusan tersebut tidak diambil secara sepihak oleh korban maupun pelaku, melainkan secara bersama-sama dihadapan mediator atau penyidik di Polres Bener

Jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) pada tahun tersebut yang dilaporkan mencapai sebanyak 293.220 dimana sebagian besar dari data tersebut diperoleh dari

Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sanksi yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan adalah pidana penjara