• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

2. Kerangka Konsepsi

Konsep adalah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu teori. Peranan konsep pada dasarnya adalah untuk menghubungkan dunia

39

Ibid, hal. 56. 40

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 15.

teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus dan disebut dengan definisi operasional.

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan

perbedaan antara penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.

Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian tesis ini. Ada beberapa landasan konsepsional dalam tesis ini, yaitu: peran, kepolisian, penanggulangan Tindak Pidana, Kekerasan dalam rumah tangga.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia peran berarti: perangkat

tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berperan di masyarakat.41

Sedangkan role (peran) berarti: “The function or position that has or is

expected to have in an organization, in society or in relationship”(suatu fungsi yang diharapkan dari organisasi/institusi dalm hubungan bermasyarakat).42

Dipandang dari sudut sosiologis peranan (role) akan senantiasa

berkaitan dengan suatu kedudukan (status), dengan demikian memahami peranan Polri tidak terlepas dari kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan yang dianut. Pada negara Demokrasi, fungsi Kepolisian dapat dikelompokkan kedalam tiga fungsi yang menuntut watak dan cara kerja yang berbeda satu

sama lain, yakni: fungsi memerangi kejahatan (fighting crime), fungsi

41

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 854.

42

Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (London: Oxford University Press, 2002), hal. 1108.

melindungi warga (protecting people), dan fungsi memelihara ketertiban

umum (preservation law and order). Fungsi-fungsi Kepolisian demikian itu

kemudian melahirkan empat peranan yang harus diemban, yakni: peran

sebagai badan penegak hukum (law enforcement agency), peran sebagai

pemelihara ketertiban (law and order maintenance), peran sebagai juru damai

(peace keeping official), dan peran sebagai pelayanan publik (public servant).

Peranan tersebut diharapkan bermuara kepada out put melindungi (to

protect) dan melayani (to serve) warga, sehingga polisi dapat menjadi

penjaga nilai-nilai sipil dalam iklim kehidupan bermasyarakat.43

Istilah “polisi” pada mulanya berasal dari perkataan Junani “Politeia”, yang berarti seluruh pemerintahan negara kota. Seperti diketahui di abad sebelum Masehi negara Junani terdiri dari kota-kota yang dinamakan “Polis”. Jadi pada zaman itu arti “Polisi” demikian luasnya bahkan selain meliputi seluruh Pemerintahan negara kota, termasuk juga di dalamnya urusan-urusan keagamaan seperti penyembahan terhadap dewa-dewanya. Seperti diketahui pada zaman itu, sebagai akibat masih kuatnya rasa kesatuan dalam masyarakat urusan keagamaan termasuk dalam urusan pemerintahan. Setelah timbulnya agama Nasrani maka urusan keagamaan menjadi terpisah dari pemerintahan, sehingga arti “Polisi” menjadi seluruh pemerintahan

negara dikurangi urusan agama.44

43

A.Kadarmanta, Membangun Kultur Kepolisian, (Jakarta: PT.Forum Media Utama, 2007), hal. 170.

44

Bruce Smith dalam bukunya Police Systems in The United States

menyatakan bahwa: “To the modern mind, the term “Police” connotes a body

of civil officers charged with suppressing crimes and public disorders, and regulating the use of highways”.45 Definisi yang lebih luas tentang pengertian

polisi, disampaikan oleh Colonel George F. Chandler yaitu bahwa: “Police is

the name given to the administrative power of a unit of civilization or to the agents used to enforced such power”.46

Di dalam Encyclopaedia of Social Sciences didapatkan pengertian “Polisi” sebagai berikut:

The term police in its early definitions has covered a wide range of function. It has been employed to discribed various aspects of the control of public sanitation; it has had a highly special meaning with respect to the suppression of political offences; and at times it has been expanded to cover practically all form of public regulation and domectic order. Now, however, it is used primarily with reference to the maintenance of public order and the protection of person and property from the commission of unlawful acts. Hence police and constabulary have come to be almost synonymous”.47

Istilah “polisi” pada pengertian semula meliputi bidang fungsi atau tugas yang luas. Istilah itu dipergunakan untuk menjelaskan berbagai aspek dari pengawasan kesehatan umum dalam arti yang sangat khusus dipakai dalam hubungannya dengan usaha penganggulangan pelanggaran-pelanggaran politik, dan sejak itu secara praktis lebih meluas meliputi semua

45

Bruce Smith, Police Systems in United States, revised by Smith, Bruce Jr, Second Revised edition, (New York:Harper Brothers Publishers New York, 1949), hal. 15.

46

Memet Tanumidjaya, “Perlukah Kementrian Keamanan Dalam Negeri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Majalah Bhayangkara No. 2-3 tahun I, September/Oktober 1950, hal. 46.

47

bentuk pengaturan dan ketertiban umum. Sekarang, istilah tersebut digunakan dalam hubungan dalam hubungan dengan pemeliharaan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta harta bendanya dari

tindakan-tindakan yang melanggar hukum.48

Dalam Encyclopaedia Britanica kita dapatkan pengertian yang hampir sama dimana disebutkan bahwa:

As now generally employed the term police means the maintenance of public order and the protection of person and property from the hazard of public accidents and the commission of unlawful acts. Earlier meannings included such limited activities as street paving and lighting, or scavenging and sanitation, as well as applications broad enough to comprehend the entire range of the domestic policies of governments.49

Pengertian di atas, istilah “polisi” diartikan sebagai pemeliharaan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta miliknya dari keadaan yang menurut perkiraan dapat merupakan suatu bahaya atau gangguan umum yang dapat melangar hukum. pengertian sebelumnya meliputi juga kegiatan-kegiatan seperti perataan jalan-jalan dan penerangan, pembersihan jalan dan kesehatan, juga meliputi seluruh bidang kebijaksanaan pemerintahan dalam negeri.

Sedangkan istilah “police” dalam Encyclopaedia Americana dinyatakan

sebagai “ the branch of the criminal justice system that has the specific

responsibility of maintaining law and order and combating crime within the

48

Momo Kelana, op. cit, hal. 16-17. 49

society.50 Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa fungsi serta peranan polisi sangat erat kaitannya dengan sistem peradilan pidana serta tanggung jawab yang khas yaitu pemeliharaan hukum dan ketertiban serta pemberantasan kejahatan dalam masyarakat.

Dalam kamus Poerwadarminta dinyatakan bahwa istilah “polisi” berarti: “1.Badan pemerintahan (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum, 2.Pegawai negeri yang

bertugas menjaga keamanan”.51

Sedangkan pengertian Kepolisian menurut pasal 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002:

1. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Undang-Undang memiliki wewenang umum Kepolisian.

Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai bagian

dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), harus mampu

menempatkan setiap komponen sistim hukum dalam arah yang kondusif dan

50

Encyclopaedia Americana, Volume 22, Grolier Incoporated, 1983, hal. 523. 51

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1952), hal. 549.

aplikatif untuk menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau berpartisipasi yang aktif dalam penanggulangan kejahatan. Keterlibatan masyarakat itu sangat penting, karena menurut G.Pieter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan

kejahatan (criminal policy) merupakan usaha yang rasional dari masyarakat

sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi

kejahatan.52

Ada beberapa istilah yang dapat digunakan untuk tindak pidana, antara lain delict (delik), perbuatan pidana, peristiwa pidanan, perbuatan yang

boleh dihukum, pelanggaran pidana, criminal act dan sebagainya. Tindak

pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman

pidana.53

George Dix, sebagaimana dikutip Topo Santoso mendefinisikan tindak

pidana sebagai berikut “an act or mission prohibitied by law for the protection

of the pbulic, the violation of which is prosecuted by the state in its own name, and punishedable by fina, incarceration, other restrictions up to liberty, or some combination of these”54 (suatu perbuatan atau rencana yang dilarang oleh hukum guna perlindungan publik, kekerasan yang telah ditetapkan oleh

52

G.Pieter Hoefnagels, op. cit., hal. 57. 53

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Hukum Pidana Islam dalam Konteks Modernitas,(Jakarta: Asy-Syaamil Press dan Grafika, 2001), hal. 132.

54

negara dengan jenis dan namanya, dan dapat dihukum, denda, pembatasan-pembatasan kemerdekaan, atau gabungan dari semuanya).

Sementara itu Bryan A. Garner dalam Black’s Law Dictionary

memberikan pengertian crime sebagai “an act that the law makes punishable;

the breach of a legal duty treated as the subject matter of a criminal proceeding”55 (suatu perbuatan yang oleh hukum dapat dihukum, pelanggaran terhadap jaminan perundang-undangan sebagai subjek yang diatur dalam hukum acara pidana).

Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,56 berarti:

1. perihal yang bersifat, berciri keras;

2. perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain;

3. paksaan.

Kekerasan (violence) dalam bahasa Inggris berarti sebagai suatu

serangan atau invasi fisik ataupun integritas mental psikologis seseorang.

Seperti yang dikemukakan oleh Elizabeth Kandel Englander bahwa :“In

general, violence is aggressive behavior with the intent to cause harm (physical or psychological). The word intent is central; physical or

55

Bryan A. Garner (ed) Black’s Law Dictionary, (USA: Thomson Business, 2004), hal. 399. 56

psychological harm that occurs by accident, in the absence of intent, is not violence.”57

Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata kekerasan pada umumnya dipahami hanya menyangkut serangan fisik belaka.

Pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah :

Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang

berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,

psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman

untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan

secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Dari definisi tersebut di atas terlihat untuk siapa undang-undang ini diberlakukan tidaklah semata-mata untuk kepentingan perempuan saja, tetapi untuk semua orang dan mereka yang mengalami subordinasi. Pihak yang mengalami subordinasi dalam kenyataannya bukan hanya perempuan, baik

yang dewasa maupun anak-anak.58

Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, menurut Pasal 5 UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga meliputi: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.

57

Journal of Interpersonal Violence, Mahwah-New Jersey: Lawrence Erlbaum Associate, Publishers London, 2003, hal. 2.

58

Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 19.

Kekerasan fisik menurut Pasal 6 UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah:Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kemudian yang dimaksud dengan kekerasan psikis menurut Pasal 7 UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah: Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Selanjutnya yang dimaksud dengan kekerasan seksual menurut Pasal 8 UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah:

1. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.

2. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Kemudian penelantaran rumah tangga menurut Pasal 9 UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah:

1. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena

persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

2. Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagu setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Menurut Pasal 2 UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga bahwa:

1. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi: a. suami, istri dan anak;

b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau

c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa: yang

Kemudian yang dimaksud dengan hubungan perkawinan, misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan.

Jika dibandingkan dengan pengertian di negara lain, lingkup rumah tangga dalam kekerasan rumah tangga sebenarnya tidak hanya terdiri dari pasangan suami istri yang sudah menikah, tetapi juga mereka yang tidak terikat perkawinan dan tinggal bersama sebagai suami istri ataupun yang berpacaran masuk dalam kategori keluarga:seperti yang dikatakan oleh

Elizabeth Kandel Englander: Family violence is hostile aggression between

people who are intimately involved with each other. By traditional definition, this has mean those who are married or related to one another; in current practise, the term refer to all those who are intimately involved, including, for examples, couple who are cohabiting or dating.59

G. Metode Penelitian

Dokumen terkait