• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia saat ini mulai memasuki era keterbukaan, dimana segala aktivitas penyelenggara negara dituntut semakin transparan dan berada dalam kontrol sosial yang semakin ketat. Iklim kehidupan bernegara yang demikian, peranan hukum dan penegakan hukum akan menjadi instrumen pengendali sosial, yang semakin diperlukan dan menentukan bagi perjalanan

bangsa Indonesia di masa-masa mendatang.1

Hukum melalui peraturan perundang-undangan merupakan sarana dalam proses pembentukan kebijakan publik. Faktor-faktor non hukum akan selalu memberikan pengaruhnya dalam proses pelaksanaannya. Hukum juga merupakan variabel yang senantiasa dinamis dan dipengaruhi oleh berbagai faktor di lingkungan masyarakat, baik itu faktor sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Oleh karena itulah yang membuat P. Nonet dan Selznick menggolongkan tipologi hukum di dalam masyarakat seperti yang

1

Lihat Donald Black, “The Behavior of law”, (New York: Academic Press INC, 1976), hal. 105. Social Control is the normative aspect of social life. It responds to deviant behavior, specifying what ought to be: what is right or wrong, what is a violation, obligation, abnormality or disruption (compare Ross. 1901; Hollingshead, 1941) Law is social control (see page 2-6). Law is governmental social control (Black, 1972:1996; see also Radcliffe-Brown, 1933; Pound, 1939:3-9; Redfield, 1964). It is, in other owrds, the normative life of a state and its citizens, such as legislation, litigation, and adjudication. By contrast, it does not include social control in the everyday life of a government service, such as a post office or fire department, since this is the social control of employees, not of citizens as such. Nor does it include discipline in a government school, prison, or in the military, since this is not the social control of citizens - as such - either. By this definition, then, law is only one kind of social control. Furthermore, in this sense, many societies have been anarchic, that is, without law (see pages 123-124; compare Malinowski, 1926:15; Hoebel, 1940:45-48;1954:18-28; Pospisil,1958:257-258).

dikemukakan mereka bahwa: We distinguish three modalities or basic “states” of law-in-society: (1) Law as the servant of repressive power, (2) law as a differentiated institution capable of taming repression and protecting its own integrity, and (3) law as a facilitator of response to social needs and aspiration.2

Opini masyarakat menyatakan bahwa masalah kejahatan tetap menjadi isu yang hangat dan merupakan masalah yang penting disamping masalah ekonomi, kesehatan, pengangguran dan masalah-masalah lainnya. Korban kejahatan menderita kerugian yang sangat besar antara lain kehilangan harta kekayaan, biaya pengobatan atau perawatan kesehatan serta hilangnya produktifitas kerja dan juga penghasilan. Belum lagi kerugian yang diderita oleh para korban kejahatan berupa rasa sakit dan trauma rasa

takut oleh kejahatan (fear of crime), penderitaan dan pengurangan kualitas

hidup.3

Biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat tindak kejahatan tidak hanya diukur oleh besarnya pengeluaran masyarakat, tetapi lebih pada pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi dan lingkungan. Salah satu akibat dari kejahatan dan ketidaktertiban masyarakat adalah semakin meningkatnya rasa takut akan tindak kejahatan. Ketakutan dan persepsi tentang resiko kejahatan menjadi masalah utama dan telah memberikan kontribusi secara

2

Nonet & Selznick, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law. (New York: New York and Row, 1978), hal. 16.

3

signifikan terhadap penurunan keamanan lingkungan dalam masyarakat pada saat ancaman kejahatan tetap tinggi. Penanggulangan kejahatan dirasakan mutlak diadakan pada setiap komunitas oleh karna dampak yang

ditimbulkannya sangat merugikan masyarakat.4

Sejalan dengan kecenderungan perkembangan di atas, penegakan hukum menempati posisi yang amat strategis dan menentukan. Masyarakat berhak mendapatkan pemulihan keseimbangan akibat dari adanya kejahatan. Harapan tersebut dapat terwujud melalui sarana penegakan hukum yang sangat berperan dalam menjaga keselarasan dan jaminan perlindungan hubungan antara individu, masyarakat dan negara, sebagaimana dikatakan oleh Jeremy Bentham bahwa penegakan hukum adalah sentral bagi

eksistensi hak.5

Kota Medan, sebagai salah satu kota besar, keadaan masyarakatnya bergerak dinamis dan dinamika kejahatan yang terjadi dalam intensitas yang cukup tinggi. Hukum dianggap masih belum mampu memberikan perlindungan kepada masyarakatnya karena upaya penegakan hukum masih bersifat stagnant. Akuntabilitas kinerja aparat penegak hukum selalu dipertanyakan, karena tingkat keberhasilan penyelesaian kasus-kasus kejahatan masih relatif rendah sebagaimana terlihat pada Tabel 1 dibawah ini :

4

Majalah Jagratara, Edisi Khusus, 17 Agustus 2005, hal. 3. 5

Jeremy Bentham,“Anarchical Fallacies” dalam A.I.Belden, ed., Human Rights, (Calif: Wardsworth, 1970), hal. 30.

Tabel 1 : Jumlah Kriminalitas di Kota Medan dalam Kurun Waktu Tiga Tahun (2005-2007)

Sumber : Data Statistik Sat Reskrim Poltabes Medan Tahun 2008 TAHUN NO URAIAN

2005 2006 2007

JUMLAH

1

Kejahatan yang dilaporkan 8.873 10.096 8.885 27.854

2 Kejahatan yang

diselesaikan

4.710 5.553 6.044 16.307

3 Persentase 53 % 55 % 68 % 58 %

Berdasarkan Tabel 1 di atas maka dapat dilihat bahwa angka kejahatan yang dilaporkan di Medan dalam kurun tiga tahun terakhir (2005-2007) secara keseluruhan berjumlah 27.854 kasus. Kejahatan yang dapat diselesaikan oleh aparat sebanyak 16.307 kasus, dari sejumlah kejahatan yang dilaporkan di atas. Hal ini berarti tingkat keberhasilan penyelesaian kasus-kasus di tingkat penyidikan ini oleh aparat kepolisian sebanyak 58 %.

Kejahatan yang dilaporkan pada tahun 2005 berjumlah 8.873 kasus. Sedangkan kasus yang dapat diselesaikan hanya berjumlah 4.710 kasus. Hal ini berarti tingkat keberhasilan penyelesaian yang dilakukan oleh aparat sebesar 53 %. Angka kejahatan ini meningkat pada tahun 2006, yaitu berjumlah 10.096 kasus. Jumlah kejahatan yang dapat diselesaikan sebanyak 5.553 kasus dan ini berarti tingkat keberhasilan aparat sebanyak 55 %.

Pada tahun 2007, angka kejahatan mengalami penurunan sekitar 1.211 kasus dari jumlah kasus yang masuk pada tahun 2006. Kasus yang

masuk pada tahun 2007 sebanyak 8.885 kasus. Sejumlah kasus yang masuk ini, sebanyak 6.044 kasus yang berhasil diselesaikan. Dengan kata lain tingkat keberhasilan aparat menyelesaikan kasus pada tahun 2007 sebesar 68 %. Pada tahun 2007 ini terlihat ada upaya yang lebih maju oleh kepolisian dibandingkan 2 tahun sebelumnya. Angka kejahatan pada tahun 2007 menurun dan tingkat keberhasilan aparat dalam penyelesaian perkara meningkat.

Berdasarkan Tabel 1 di atas maka kinerja aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus kejahatan belum maksimal karena hanya 58 % kasus yang dapat diselesaikan dari jumlah keseluruhan kasus kejahatan yang dilaporkan selama tiga tahun terakhir. Akibatnya masih 42 % kasus yang tidak terselesaikan sehingga menjadi beban bagi penegakan hukum itu sendiri. Apalagi angka kejahatan yang dilaporkan pada Tabel 1 di atas, memungkinkan bertambah lagi karena masih banyak kejahatan yang tidak dilaporkan oleh korban atau tidak terjaring oleh aparat.

Jumlah kejahatan yang relatif tinggi terjadi di kota Medan, sudah pasti menimbulkan keingintahuan masyarakat akan penyebab munculnya kejahatan tersebut. Pengetahuan mengenai Kejahatan dan Tindak Pidana memang tidak mengenal penyebab tunggal dari menurun atau meningkatnya Kriminalitas. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, perkembangan kependudukan, struktur masyarakat, perubahan nilai sosial dan budaya ikut mempengaruhi dan memberikan dampak tersendiri terhadap motif, sifat,

bentuk, frekuensi, intensitas maupun modus operandi kejahatan. Tidak dapat pula diabaikan lemahnya penegakan hukum, serta kondisi ekonomi sedikit

banyak memberikan kontribusi dalam proses terjadinya kejahatan.6

Kondisi keluarga yang dalam keadaan tidak harmonis juga sangat berpotensi melahirkan kejahatan. Penanaman norma-norma dan nilai-nilai awal seseorang manusia bermula dari lembaga ini. Anak sebagai bagian dari sebuah keluarga akan merekam keadaan dalam keluarganya untuk diaktualisasikan dalam perilakunya di luar lingkungan keluarga. Keluarga yang hangat akan menularkan kebaikan bagi anggota-anggotanya namun sebaliknya kondisi keluarga yang berantakan menjadikan individu-individu di dalamnya (terutama anak-anak) cenderung melakukan perbuatan yang menyimpang sehingga dapat mengarah kepada terjadinya kejahatan.

Keluarga seharusnya sebagai tempat yang nyaman bagi

anggota-anggotanya dalam berinteraksi akan berubah menjadi Role Model untuk

anak-anak dalam berperilaku negatif, tergantung pembelajaran apa yang telah mereka terima. Oleh karena itu disharmoni keluarga merupakan awal kegagalan pengasuhan bagi anak-anak dan memiliki muatan bagi cikal bakal timbulnya kejahatan.

Kekerasan terhadap sesama manusia memiliki sumber ataupun alasan yang bermacam-macam, seperti politik, keyakinan agama, rasisme, dan ideologi gender. Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah

6

Tubagus Nitibaskara, Ketika kejahatan berdaulat sebuah pendekatan kriminologi : Hukum dan Sosiologi, (Jakarta: Peradaban, 2001), hal. 168.

sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Namun, yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan, seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik,

pembentukan stereotip atau pelabelan negatif, kekerasan (violence),beban

kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden). Kekerasan yang disebabkan

oleh bias gender disebut juga dengan gender-related violence7

Salah satu jenis kejahatan yang berbasis gender yang sering terjadi di kota Medan adalah tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Angka tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di kota Medan dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini:

7

Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 16; lihat juga Mansour Fakih, Perkosaan dan kekerasan Perspektif Analisis Gender (perempuan dalam wacana perkosaan), Yogyakarta: PKBI, 1997, hal 9. Sejarah per bedaaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu, terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasi, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial dan kultural, baik melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap kententuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi sehingga perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan, misalnya masarakat sering menganggap bahwa “kodrat wanita” adalah mendidik anak, merawat, dan mengelola kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik; lihat juga Galuh Wandita, Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000, hal.136 menyatakan bahwa analisa gender membantu kita memilah perbedaan laki-laki – perempuan yang biologis dan pembedaan laki-laki – perempuan yang merupakan konstruksi sosio politik. Perbedaan gender, pada akhirnya, mengakibatkan ketidakadilan sosial yang lekat dalam kehidupan keseharian kita. Ketidakadilan gender atau bias nilai-nilai gender menumbuhkan bentuk-bentuk ketidakadilan turunan: beban ganda, stereotip, marginalisasi, subordinasi, kekerasan. Kekerasan berbasis gender adalah tindak kekerasan yang berakibat kerugian atau kesakitan (physical and/or mental harm) pada yang menjadi obyek, yang didasari (baik secara nyata maupun tersirat) nilai-nilai kepercayaan gender.

Tabel 2 : Kasus Kekerasan Berbasis Gender yang Ditangani Unit RPK Diklasifikasikan Menurut Jenis, Pasal yang Dilanggar Selama Lima

Tahun Terakhir (2003-2007)

NO JENIS KASUS TAHUN

2003 TAHUN 2004 TAHUN 2005 TAHUN 2006 TAHUN 2007 Jumlah 1 Kejahatan dalam perkawinan - Pasal 279 - 1 2 8 11 22 2 Perbuatan tidak menenangkan - Pasal 335 6 3 2 15 16 42 3 Persetubuhan belum dewasa - Pasal 293 76 122 132 70 122 522 4 Perzinahan - Pasal 284 2 1 - 5 13 21 5 Perkosaan - Pasal 285 3 13 15 8 17 56

6 Membawa lari gadis -

Pasal 332 28 43 29 27 44 171

7 Kejahatan terhadap

kesopanan - Pasal 281 3 - 3 - 4 10

8 Perbuatan cabul sesama

jenis - Pasal 292 - 10 3 4 4 21

9 Penganiyaan berat atau ringan - Pasal 351 subs 352 10 - 2 22 38 72 10 Pencurian - Pasal 362 - - - - 2 2 11 Kejahatan kesusilaan - Pasal 286 - - - - 1 1 12 Fitnah da Pencemaran

nama baik - Pasal 310 - 1 - 2 3 6

13 Memberikan keterangan

palsu - Pasal 266 - - - - 1 1

14 Pemalsuan - Pasal 263 - - - - 1 1

15 Melarikan Balita – Pasal

330 - 1 1 - 1 3

16 Pencabulan dengan anak

asuh – Pasal 294 1 12 5 2 6 26

17 Penipuan – Pasal 368 1 - 1 - 2 4

18 Mencabuli anak yang belum dewasa – Pasal 290

12 15 31 17 9 84 19 Perdagangan wanita -

Pasal 297 dan 296 3 5 6 4 1 19

20 Pemerasan – Pasal 368 1 - 1 - - 2

21 Kekerasan dalam rumah tangga – Pasal 44 UU No.23/2004

- 1 18 54 96 169

22 Kekerasan terhadap anak - - - - 2 2

J U M L A H 146 228 251 238 394 1257

Berdasarkan Tabel 2 di atas, maka dapat dilihat bahwa selama kurun waktu lima tahun terakhir (2003 – 2007) kejahatan berbasis gender yang dilaporkan secara keseluruhan sebanyak 1257 kasus. Dilihat dari jumlah kasus di atas terjadi fluktuasi jumlah kasus yang berbasis gender di kota Medan. Kasus yang masuk pada tahun 2003 sebanyak 146 kasus, kemudian meningkat menjadi 228 kasus pada tahun 2004, demikian pula kenaikan terjadi pada tahun 2005 sebanyak 251 kasus. Penurunan jumlah kasus yang masuk pada tahun 2006 sebanyak 238, kemudian pada tahun 2007 mengalami kenaikan kembali yaitu sebesar 394 kasus. Seluruh jumlah kasus yang masuk ke dalam Laporan Unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) Poltabes Medan dan sekitarnya, dilihat tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga menduduki peringkat tiga besar setelah tindak pidana persetubuhan belum dewasa (Pasal 293 KUHP) yang berjumlah 522 kasus dan tindak pidana membawa lari gadis (Pasal 332 KUHP) yang berjumlah 172 kasus, kemudian menyusul tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang berjumlah 169 kasus.

Hal ini berarti jumlah tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dalam kurun lima tahun terakhir ini, merupakan 13,4 % dari jumlah keseluruhan kejahatan yang berbasis gender yang dilaporkan kepada aparat. Angka ini walaupun tidak terlalu besar namun perlu mendapat perhatian, apalagi jumlah kejahatan ini masih memungkinkan akan bertambah karena

masih banyak tindak pidana yang tidak dilaporkan oleh korbannya (dark number crime).

Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindak pidana yang memiliki fenomena gunung es, dimana pada permukaan yang terlihat lebih sedikit dibandingkan jumlah tindak pidana yang terjadi sesungguhnya dalam masyarakat. Dengan kata lain kasus yang tidak

terdeteksi lebih banyak dari pada yang dilaporkan atau diekspos.8

Secara kuantitatif kenaikan jumlah laporan kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ini, menunjukkan telah terjadi pergeseran persepsi dari masyarakat bahwa tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga bukan merupakan domain privat yang harus ditutupi rapat-rapat. Tidak tereksposnya secara maksimal Kekerasan Dalam Rumah Tangga

8

Lihat Tapi Omas Ihromi, dkk, Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, (Bandung: P.T.Alumni, 2006), hal. 283, menyatakan bahwa bila anggapan umum menyatakan tempat yang berbahaya adalah di luar rumah, bagi perempuan faktanya tampak tidak demikian. Perempuan justru lebih sering dilukai dan mengalami kekerasan dalam lingkup personal, baik dalam kaitan perannya sebagai istri, anggota keluarga lain, pacar, atau teman intim. Meskipun demikian, kekerasan jenis ini adalah juga kekerasan yang sangat sulit diungkap, antara lain: (1) cukup banyak pihak yang menganggap hal tersebut lumrah saja (bahkan, merupakan bagian dari “pendidikan” yang dilakukan suami pada istri); (2) konflik dalam keluarga sangat sering dilihat sebagai masalah internal, baik oleh orang luar maupun orang di dalam keluarga itu sendiri; dan (3) baik pelaku dan korban sangat sering menutupi kejadian dengan alasan berbeda. Pelaku menganggap apa yang terjadi adalah urusan keluarga dan hak pribadinya, sementara korban merasa sangat malu untuk membuka “aib” dan berusaha sekuat tenaga untuk menutupi bahkan membela orang yang telah melakukan kekerasan padanya, lihat juga Kristi Poerwandari dalam Sulistyowati Irianto Perempuan & Hukum Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal.341, dalam kasus-kasus berbasis gender, apalagi yang melibatkan pelaku-pelaku yang posisi tawarnya jauh melampaui korban, korban (dan orang-orang dekatnya) justru cenderung enggan, gamang dan mungkin menutup-nutupi kejadian karena berbagai alasannya, seperti rasa malu akan aib sendiri, takut dan terancam sehingga juga menjadi kurang terbuka, kurang “vokal” dan secara objektif “kurang meyakinkan” dalam membeberkan fakta, daripada pelaku atau tersangka pelaku.

merupakan implikasi dari budaya patriarki,9 otoritas tertinggi ada pada suami sebagai kepala rumah tangga yang berhak menentukan aturan apapun menyangkut orang-orang dalam rumah tangga, termasuk memberi “Pelajaran” kepada istri atau anak. Oleh karena itu di dalam budaya patriarki memberikan legitimasi kepada suami dalam proses “Pembelajaran” bagi individu yang berada di bawah wewenangnya dengan caranya sendiri.

Terjadi perbedaan dalam budaya patriarki antara ruang privat dan ruang publik, artinya terjadi pemisahan antara individu dan komunitas. Pemisahan antara urusan rumah tangga (wilayah domestik) dan urusan publik, sehingga terjadi pemisahan antara moralitas dan hukum. Dengan cara pandang seperti itu, pelaku kekerasan tidak akan merasa bersalah karena yang menjadi korban adalah istri atau anak yang ada dalam lingkup privatnya. Urusan rumah tangga dianggap urusan masing-masing dan orang

luar tidak boleh campur tangan memasuki wilayah domestik seseorang.10

9

Lihat Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan:Kerja dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Kalyanamitra, 1997), hal. 51 menjelaskan bahwa konsep patriarki sendiri pada awalnya digunakan oleh Max Weber untuk mengacu pada bentukan sistim sosial politik yang mengagungkan peran dominan ayah dalam lingkungan keluarga inti, keluarga luas, dan lingkup publik seperti ekonomi. Feminis radikal kemudian mempertegas bahwa dominasi laki-laki terdapat di semua bidang seperti politik, agama, dan seksualitas. Lihat juga Marcia C. Inhorn, Infertility and Patriarchy, Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1996, hal. 2. Sebagai akibat dari patriarki, penindasan gender laki-laki atas perempuan telah membuat perempuan tersubordinasi melalui struktur ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya. Lihat juga Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki, Jakarta: Kalyanamitra, 1984, hal. 1. Kamla Bhasin menambahkan bahwa patriarki secara umum diidentikkan dengan kekuasaan laki-laki sebagai instrumen untuk mendominasi perempuan melalui berbagai cara. Pada umumnya alasan biologis atau mistis digunakan untuk membenarkan superioritas dan kontrol laki-laki terhadap perempuan.

10

Rieke Diah Pitaloka,“Emansipasi Ganda ala Kartini”, Kompas, Jumat, 21 April 2006,hal. 6. Ruang privat adalah tempat bagi individu untuk bersembunyi, mencari kenyamanan selepas berkarya dan bertindak. Wilayah domestik ada pada ruang ini, tak terkecuali bagi perempuan. Jadi sudah seharusnya perempuan mendapat kenyamanan ketika ia kembali pada ruang privat.Namun, karena sifatnya yang tertutup dari pandangan “orang luar”, yang terjadi justru sebaliknya. Ruang privat

Masyarakat sangat kuat berkeyakinan bahwa masalah dalam keluarga adalah urusan keluarga, termasuk juga kekerasan yang ada di dalamnya, keluarga pihak suami maupun istri dapat merasa sangat malu bila aib keluarga diketahui umum, dan karenya memilih untuk membiarkan saja perempuan menjadi korban kekerasan pasangannya. Secara umum respon masyarakat tidak menunjukkan pemihakannya pada korban. Hal ini menyebabkan pelaku leluasa dan lepas kendali. Suatu hal yang pada gilirannya melanggengkan tindak kekerasan kepada perempuan. Istri yang

menjadi korban sangat sulit untuk memperoleh keadilan.11

Sebelum diuraikan data jenis kekerasan yang dialami korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di wilayah Poltabes Medan dan sekitarnya, maka akan diuraikan terlebih dahulu jumlah kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan dari tahun 2005 hingga tahun 2007 dan kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang telah diselesaikan aparat.

menjadi tempat yang nyaman bagi pelaku kekerasan domestik. Ketiadaan transparansi tindakan di ruang ini membuat pelaku kekerasan terlindung dari sanksi sosial dan sanksi hukum.

Jika di ruang privat manusia dapat menutupi tindakannya dari pandangan orang lain, tidak demikian jika manusia ada di ruang publik. Ruang publik adalah tempat identitas manusia diungkap dan perbuatan diingat. Ruang publik menuntut kejujuran. Idealnya, ketika perempuan ada di ruang publik, ia dapat terhindar dari kekerasan domestik. Hal itu dapat terwujud jika ruang privat dipahami sebagai satu kesatuan dengan ruang publik.

11

Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, Publikasi Komnas Perempuan Cetakan Pertama, Jakarta: Ameepro, 2002, hal. 82.

Tabel 3 : Data Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Wilayah Poltabes

Medan Dalam Kurun Waktu Tiga Tahun (2005-2007)

NO TAHUN KASUS MASUK KASUS SELESAI SISA % KETERANGAN 1 2005 18 3 15 17 2 2006 54 8 46 15 3 2007 96 5 91 5 JUMLAH 168 16 152 10 Pada tahun 2006 terjadi satu kasus, korban meninggal dunia di wilayah Polsek Hamparan Perak dengan cara dibakar hidup-hidup oleh suaminya Sumber : Data Statistik Sat Reskrim Poltabes Medan tahun 2008

Tabel 3 di atas merupakan data tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan selama tiga tahun terakhir sebanyak 168 kasus. Sebanyak 16 kasus yang dapat diselesaikan oleh aparat atau 10 % dari jumlah keseluruhan secara kumulatif, sehingga menyisakan 152 kasus yang tidak terselesaikan. Sementara dari tahun ke tahun tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan selalu mendapat kenaikan angka yang signifikan. Tahun 2005 – tahun 2006 terjadi kenaikan angka tiga kali lipat dari 18 kasus menjadi 54 kasus, sedangkan dari tahun 2006 – tahun 2007 terjadi kenaikan hampir dua kali lipat dari 54 kasus menjadi 96 kasus.

Kalau kita cermati dari tahun ke tahun adanya kenaikan jumlah tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan pihak korban. Dari tahun 2004 ke tahun 2005 menunjukkan kenaikan 17 kasus, dari tahun 2005

ke tahun 2006 naik 36 kasus, dan dari tahun 2006 ke tahun 2007 menunjukkan kenaikan 42 kasus.

Fakta yang memprihatinkan adalah, dari kasus yang masuk tiap tahunnya selalu meningkat, sedangkan upaya aparat dalam menuntaskan kasusnya justru menurun. Hal ini terlihat dari tingkat keberhasilan aparat yang setiap tahunnya mengalami kemerosotan dari tahun ke tahun. Penurunan kemampuan aparat dalam menyelesaikan kasus berada dalam titik terendah pada tahun 2007. Sejumlah 96 kasus yang masuk, hanya 5 kasus yang dapat diselesaikan, sehingga tingkat keberhasilan dalam menuntaskan kasus hanya 5 %.

Kenyataan ini sudah barang tentu sangat mengkhawatirkan dan memunculkan banyak pertanyaan, mengapa kinerja aparat kita sedemikian rapuhnya atau terdapat sesuatu hal di luar struktur hukum ini. Hal ini menarik untuk dikaji apakah rendahnya kemampuan aparat dalam penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ini oleh karena kinerja aparat yang tidak maksimal, atau karena hal-hal lain yang terdapat di dalam substansi hukum maupun budaya hukumnya. Oleh karena selain struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum juga sangat berperan memberi

kontribusi yang besar dalam upaya penanggulangan kejahatan.12

12

Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction , (New York : W.W. Norton

Dokumen terkait