• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN TEORI

4. Aplikasi Metode Penemuan Terbimbing dalam

Aplikasi metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran matematika khususnya pada pokok bahasan sifat-sifat operasi hitung bilangan untuk memecahkan masalah akan di bahas pada sub bahasan ini. Adapun dalam pengaplikasiannya, peneliti berpedoman pada beberapa kajian teori dari Plato, Bruner, dan Shadiq.

Metode penemuan yang dipandu oleh guru atau penemuan terbimbing ini menurut Cooney dalam Markaban pertama kali dikenalkan oleh Plato dalam suatu dialog antara Socrates dan seorang anak, maka dari itulah sering juga disebut dengan Socratic. Metode ini melibatkan suatu dialog antara siswa dan guru dimana siswa mencari kesimpulan yang diinginkan melalui suatu urutan pertanyaan yang diatur oleh guru.46

Menurut Bruner, perkembangan kognitif seseorang dalam pembelajaran penemuan terjadi melalui 3 tahap sebagai berikut:

a. Tahap enaktif

Pada tahap ini anak didik melakukan aktivitas-aktivitasnya dalam usaha memahami lingkungan.

b. Tahap ikonik

Pada tahap ini anak didik melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.

c. Tahap simbolik

Pada tahap ini peserta didik mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika, serta komunikasi dilakukan dengan pertolongan sistem simbol.47

Selain itu, untuk mengetahui langkah-langkah metode penemuan terbimbing peneliti juga berusaha menelaah teori pembelajaran Bruner mengenai klasifikasi tiga tahapan proses pengembangan kognitif siswa saat pembelajaran, yakni:

1. Perolehan informasi, yaitu tahap permulaan, di mana informasi atau ilmu pengetahuan diterima dari luar.

46

Markaban, op.cit., h. 10

47

2. Pengolahan informasi, yaitu penyesuaian informasi-informasi yang telah diperoleh berupa pengklasifikasian secara obyektif.

3. Evaluasi atau pengecekan (Checking) yakni mengadakan “tes kecukupan”

atau kebenarann terhadap informasi yang telah diolahnya tersebut.48

Sebab metode penemuan terbimbing merupakan pengembangan dari teori metode penemuan murni Bruner, maka dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah perkembangan ataupun pengembangan kognitif siswa dalam pembelajaran penemuan terbimbing tidak jauh berbeda dengan tahapan dan langkah-langkah pembelajaran Bruner tersebut. Hanya saja, jika dalam penemuan murni tahapan dan langkah-langkah tersebut diaplikasikan siswa secara mandiri, maka dalam pembelajaran penemuan terbimbing siswa melakukan proses tersebut melalui bimbingan dan arahan guru.

Namun agar pelaksanaan metode penemuan terbimbing dapat berjalan dengan efektif dan jelas, secara lebih rinci Shadiq membagi prosesnya ke dalam langkah-langkah sebagai berikut:

1. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya. Perumusan harus jelas dan hindari pernyataan yag menimbulkan salah tafsir agar arah yang ditempuh siswa tidak salah. 2. Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses,

mengorganisir, dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa pada tujuan yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan atau LKS (Lembar Kerja Siswa). 3. Siswa menyusun konjektur (perkiraan) dari hasil analisis yang

dilakukan

4. Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebut diperiksa oleh guru. Hal ini perlu dilakukan untuk meyakinkan kebenaran perkiraan siswa, sehingga akan menuju ke arah yang hendak dicapai.

48 ibid.

5. Apabila diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya.

6. Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendakya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.49

Dari beberapa penjelasan teori dan langkah-langkah aplikasi penemuan terbimbing tersebut, peneliti memutuskan untuk menggabungkan teori Bruner, Plato, dan Shadiq. Sehingga dalam aplikasi langkah kegiatan siswa, peneliti menggunakan tiga tahap proses pengembangan kognitif siswa saat pembelajaran (perolehan informasi, pengolahan informasi, dan evaluasi) serta tiga tahap perkembangan kognitif Bruner (enaktif, ikonik, dan simbolik) yang disertai dengan bimbingan guru sesuai pandangan Plato (diskusi, tanya jawab, melalui serentetan pertanyaan/instruksi yang dapat mengarahkan siswa dalam proses penemuannya). Selain itu, untuk memperjelas tugas serta langkah-langkah yang harus dilakukan guru, peneliti beracuan pada langkah-langkah pembelajaran penemuan menurut Shadiq.

Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai aplikasi metode penemuan terbimbing melalui tahapan-tahapan tersebut dalam pembelajaran, maka peneliti akan menyajikan salah satu contoh penerapannya pada sub pokok bahasan distributif perkalian terhadap penjumlahan pada perkalian sebagai berikut:

Sifat distributif perkalian terhadap penjumlahan berlaku:

Adapun soal atau permasalahan kontekstual yang dapat diberikan guru sebagai berikut:

1. Pak Solah memiliki sebidang tanah berbentuk persegi panjang. Ia menanami sebagian tanah tersebut dengan padi dan sebagian lagi sayur-sayuran. Ia memberikan batas antara tanah yang di tanami padi dan sayur dengan pagar bambu.

49

Markaban, op.cit., h. 16

Kemudian siswa dalam kelompok diberikan 1 buah miniatur bidang tanah yang akan diamati (dari karton) dan dimanipulasi dengan menempelnya pada kertas karton besar guna penyelesaian jawaban lebih lanjut. Akan tetapi, sebelumnya guru juga menampilkan miniatur bidang tanah milik Pak Solah (yang terbuat dari steroform) tersebut sebagai media pengarah kegiatan penemuan siswa. Adapun gambar terlihat sebagai berikut

Pertanyaan:

Berapakah luas tanah Pak Solah seluruhnya? ... Jawab:

Ilustrasinya dapat dihubungkan dengan luas persegi panjang ABCD berikut: Dari gambar persegi panjang besar tersebut kita dapat mengetahui luas persegi panjang besar dapat dihitung dengan menghitung luas persegi panjang yang kecil (bawah) ditambah persegi panjang yang lebih besar (atas) atau dengan cara sebagai berikut:

Jawab:

1. Diskusikan bersama kelompokmu cara menghitungnya! Langkah-langkahnya sebagai berikut:

Cara I  Luas p.panjang ABCD = p x l

= a x (b + c) = 10 x (5 + 3) = 10 x 8 = 80

Cara II  Luas p.panjang ABCD = L p.panjang TP + L p.panjang TS

= (10 x 5) + (10 x 3) = 50 + 30

= 80

2. Perhatikanlah jawaban kedua cara tersebut! Apa yang dapat kamu simpulkan? Kesimpulan:

“Hasil jawaban dengan cara I sama/tidak sama dengan hasil jawaban cara II”

Maka hasil dari:

a x (b + c) = (a x b) + (a x c)

10 x (5 + 3 ) = (10 x 5) + (10 x 3) 80 = 80

Perhatikanlah simbol yang dicetak tebal pada kesimpulan di atas! Sifat apakah yang kamu temukan? (carilah di buku paketmu!)

“Saya menemukan sifat distributif (penyebaran) perkalian terhadap penjumlahan”.

Yaitu:

a x (b + c) = (a x b) + (a x c)

Adapun telaah terhadap tahap-tahap pembelajaran penemuan terbimbingnya sebagai berikut:

1. Tahap Pemerolehan Informasi

Guru memberikan siswa informasi berupa permasalahan kontekstual luas sebidang tanah yang berbentuk persegi panjang sebagaimana keterangan sebelumnya. Guru juga menginformasikan atau menampilkan model bangun datar persegi panjang (dari sterofom) yang mewakili maksud soal kontekstual yang diberikan.

2. Tahap Pengolahan Informasi

a) Tahap enaktif

Tahap enaktif dalam aplikasi pembelajaran sifat ini ialah ketika siswa-siswa mampu memahami maksud atau inti soal melalui pengalaman, yakni dengan cara mengamati objek konkret berupa model bangun datar persegi panjang yang

Lingkari Jawabanmu!

terbuat dari sterofom. Model bangun datar tersebut sengaja dibuat guru sebagai miniatur perumpamaan luas bidang tanah yang dimiliki Pak Solah. Adapun kegiatan siswa ialah melakukan proses pengamatan, tanya jawab, diskusi guna memahami makna objek miniatur tersebut. Guru disini berperan sebagai pemandu segala proses kegiatan siswa tersebut, melalui perencanaannya sebagai berikut: Guru : “Coba perhatikan miniatur dari luas tanah milik Pak Solah ini!

Bagian manakah yang disebut dengan sisi panjang (p)? dan Bagian manakah yang menentukan sisi lebar (l) tanah Pak Soleh?”

Siswa : (Siswa menyebutkan atau menunjukkan letaknya)

Guru : Berapakah ukuran p dan l tanah Pak Solah pada model ini?

Siswa : (Siswa menghitung jumlah kotak-kotak satuan pada model, berdiskusi dan menyampaikan jawaban).

Guru : Kira-kira, garis tebal yang berada mebelah bidang tanahPak Solah ini untuki apa ya?

Siswa : (Siswa mengamati, menelaah soal kembali, berdiskusi dan menjawab bahwa garis tersebut merupakan perumpamaan pagar yang membatasi tanah Pak Solah yang ditanami padi dan yang ditanami sayur).

Dengan demikian, siswa dapat mengetahui dan memahami ukuran sisi panjang dan lebar bidang model persegi panjang tersebut, serta makna garis sebagai wakil perumpamaan pagar pada soal kontekstual. Hal ini menandakan pemahamannya terhadap inti soal kontekstual yang diberikan. Adapun tugas guru di sini ialah membimbing dan mengarahkan proses penemuan dan pemahaman siswa baik melalui pembelajaran individu atau kelompok.

b) Tahap Ikonik

Tahap ikonik dalam aplikasi pembelajaran sifat ini ialah ketika siswa telah mampu memahami makna tanpa pengalaman nyata, akan tetapi hanya melalui pemberian informasi berupa gambar/visual. Maka setelah pembelajaran dengan mencoba dengan pengamatan miniatur objek pada tahap ikonik, selanjutnya pada tahap ini sebaiknya guru menggambarkan atau menampilkan kepada siswa hasil gambar yang mewakili objek visual miniatur persegi panjang tersebut. Guru dapat

menampilkannya dengan menggambarkan di papan tulis atau menyajikan gambar melalui bantuan slide power point. Setelah itu, guru mengecek apakah siswa dapat memahami maksud gambar tersebut juga. Bila perlu guru menampilkan informasi gambar mengenai masalah serupa namun dengan permasalahan ukuran sisi objek gambar persegi panjang yang berbeda, misalnya gambar yang mewakili makna p = 9 dan l= 7. Kemudian guru mengecek pemahaman siswa terhadap gambar. c) Simbolik

Tahap ikonik dalam aplikasi pembelajarannya yakni ketika guru membimbing siswa untuk mampu mengemukakan pemahaman yang diperoleh setelah melalui tahap enaktif dan ikonik tersebut. Selain itu guru juga bertugas membimbing dan memantau ketepatan hasil konjektur (perkiraan jawaban siswa), kemudian mencatat kesulitan-kesulitan yang dialami mereka guna perbaikan saat kegiatan pembahasan ataupun Refleksi. Siswa pada tahap ini mampu menyampaikan gagasannya dalam bentuk simbol angka, kata, atau kalimat, yakni: luas tanah Pak Solah dapat dihitung dengan cara sebagai berikut:

Cara I  Luasp.panjang ABCD = p x l

= a x (b + c) = 10 x (5 + 3) = 10 x 8 = 80

Cara II  Luas p.panjang ABCD = L p.panjang TP + L p.panjang TS

= (a x b) + (a x c)

= (10 x 5) + (10 x 3) = 10 x 8

= 80

Kegiatan penyimbolan tersebut dapat dipandu dengan arahan guru melalui langkah-lagkah petunjuk LKS atau proses tanya jawab guru dengan siswa-siswanya. Hingga pada akhirnya siswa diarahkan untuk menggabungkan kedua hasil pemisalan tersebut dengan menyatakan kesimpulan:

“Hasil jawaban dengan cara I sama dengan hasil jawaban cara II”

a x (b + c) = (a x b) + (a x c)

10 x (5 + 3 ) = (10 x 5) + (10 x 3) 80 = 80”

Kemudian barulah guru, menginstruksikan siswa untuk membuka buku yang mengindikasikan ketetapan sifat tersebut, yakni agar siswa menemukan sendiri maksud dari sifat distributif perkalian tehadap penjuumlahan berikut:

a x (b + c) = (a x b) + (a x c)

3. Tahap Evaluasi atau Pengecekan

Pada tahap ini guru membimbing siswa untuk menentukan hasil soal evaluasi distributif perkalian terhadap penjumlahan lain untuk membuktikan kebenaran ketetapan sifat tersebut, misalnya:

Cobalah kerjakan soal-soal berikut!

1) 3 x (6 + 4) = .... sama hasilnya dengan (3 x ...) + (3 x ...) = .... 2) (5 x 8) + (5 x 2) = ... x (... + ...) = ....

3) 7 x (3 + ...) = (7 x ...) + (... x 2) = ....

5. Aktivitas siswa dalam Pembelajaran

Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran merupakan salah satu indikator adanya keinginan siswa untuk belajar. John Dewey, seperti dikutip oleh Dimyati mengemukakan bahwa belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari siswa sendiri. Dengan demikian berlaku guru sekedar pembimbing dan pengarah.50

Paul D. Dierich dalam Sardiman membagi aktivitas belajar menjadi delapan kelompok, sebagai berikut:

1. Visual activities, seperti: membaca, memperhatikan gambar, demonttrasi, percobaan, mengamati pekerjaan orang lain.

50

Dimyati dan Mutjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h. 44.

2. Oral activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, interupsi dan diskusi.

3. Listening activities, seperti: mendengarkan uraian, percakapan atau diskusi, musik, pidato.

4. Writing, seperti: menulis cerita, karangan, laporan, angket, membuat rangkuman.

5. Drawing activities, seperti: menggambar, membuat grafik, chart, peta, dan diagram.

6. Motor activities, seperti: melakukan percobaan, membuat konstruksi, bermain, berkebun, beternak.

7. Mental activities, seperti: menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan, mengambil keputusan.

8. Emotional activities, seperti: menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang.51

Hal tersebut menunjukkan bahwa tanpa adanya aktivitas maka proses belajar tidak akan terjadi. Senada dengan pendapat Sardiman yang menyatakan bahwa tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip atau asas yang sangat penting di dalam interaksi belajar mengajar.52 Siswa sebagai subjek haruslah aktif berbuat. Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan menyebabkan interaksi yang tinggi antara guru dengan siswa ataupun siswa dengan siswa. Hal ini akan mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan kondusif, dimana setiap siswa dapat melibatkan kemampuannya semaksimal mungkin. Siswa diharapkan melibatkan diri dalam setiap kegiatan pembelajaran dengan menggunakan segenap kemapuan yang dimilikinya semaksimal mungkin. Dengan demikian aktivitas yang dilakukan siswa tersebut akan mengakibatkan terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang mengarah pada peningkatan prestasi siswa.

51

Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 101.

52

Penilaian proses belajar mengajar terutama adalah dengan melihat sejauh mana keaktifan siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar. Keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal:

a. Turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya. b. Terlibat dalam pemecahan masalah.

c. Bertanya kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya.

d. Berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.

e. Melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru. f. Menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya. g. Melatih diri dalam memecahkan soal dan masalah yang sejenis.

h. Kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang telah diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya.53

Aktivitas belajar mencakup aktivitas baik fisik maupun mental. Kedua aktivitas tersebut selalu berkaitan dimana keduanya akan membuahkan aktivitas belajar yang optimal. Akan tetapi aktivitas mental tentulah sulit untuk diamati secara langsung. Ketika seorang siswa berpikir mengenai pemecahan masalah, maka siswa sedang melakukan aktivitas mental. Proses berlangsungnya aktivitas mental tersebut sulit untuk diamati secara langsung, namun peneliti merujuk pada teori Paul D. Dierich bahwa dampak dari aktivitas tersebut dapat dilihat dari jawaban yang dikemukakan siswa atau pertanyaan yang diajukan siswa sebagai bentuk kegitannya menanggapi permasalahan. Selain itu, kemampuan siswa dalam mengingat informasi dan mememecahkan soal menurutnya juga dipandang sebagai hasil aktivitas mental siswa yang dapat diamati.

Berdasarkan kondisi tersebut, maka pada penelitian ini aktivitas yang diamati meliputi aktivitas fisik dan mental yang dijabarkan dalam klasifikasi aktivitas belajar menurut Paul D. Dierich. Kemudian, peneliti kembali membatasi

53

Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Rosdakarya, 2004), h. 61.

klasifikasi aktivitas belajar menurut Paul D. Dierich tersebut pada aspek visual activities, oral activities, drawing activities, motor activities, mental activities,

dan emotional activities. Penjabaran indikator aktivitas-aktivitas belajar siswa tersebut akan difokuskan pada beberapa indikator pilihan, yang disusun guna mempermudah pengamat (observer) dalam mengamati aktivitas belajar siswa dalam penelitian ini. Adapun indikator-indikator pilihan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut ini:

Tabel 2.3 Indikator Aktivitas Belajar Siswa

No. Aspek Aktivitas Indikator Aktivitas Belajar Siswa

1. Visual Activities 1) Memperhatikan penjelasan materi guru/teman 2. Oral Activities 1) Mengajukan/membuat pertanyaan

2) Menanggapi pertanyaan/memberikan penjelasan/ menjawab pertanyaan guru/teman saat diskusi 3. Drawing Activities 1) Menggambar atau mengubah soal pemecahan

masalah ke dalam bentuk gambar/simbol matematika.

4. Motor Activities 1) Melakukan percobaan/membuat konstruksi/ memanipulasi obyek benda/media

2) Mengerjakan soal dengan cepat

5. Mental Activities 1) Menyelesaikan soal/masalah dalam LKS 2) Mengingat materi

6. Emotional Activities 1) Minat/antusias siswa selama belajar 2) Senang selama belajar

Jadi, dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu indikator adanya keinginan siswa untuk belajar. Selain itu, guru bukanlah satu-satunya sumber belajar dikelas tetapi guru berperan sebagai fasilitator bagi siswa dalam memperoleh informasi. Dengan demikian, siswa sendirilah yang berperan sebagai subjek belajar yang harus aktif dalam mencari, menemukan dan mengembangkan pemahamannya. Guru berfungsi sebagai

fasilitator dan moderator pada saat pembelajaran berlangsung yang mampu mendorong siswa agar termotivasi untuk aktif dalam proses pembelajaran.

B. Penelitian yang Relevan

Beberapa hasil penelitian lainnya yang relevan sebagai bahan penguat penelitian terkait dengan penerapan metode penemuan terbimbing untuk meningkatkan pemahaman sifat-sifat operasi hitung bilangan adalah sebagai berikut:

1. Ropidatul Hijriyah dalam penelitiannya tahun 2013 yang berjudul

“Pembelajaran dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Bangun Datar pada Siswa Kelas IV SDN Al-Fajar

Kedaung”, pada pokok bahasan keliling dan luas jajargenjang, segitiga. Proses pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan terbimbing dapat memberikan pengalaman baru bagi siswa dalam belajar matematika. Dengan adanya semangat dan antusias siswa dalam belajar dengan metode penemuan terbimbing, dapat menginformasikan bahwa metode penemuan terbimbing dapat menciptakan suasana mandiri dan aktif dalam pembelajaran matematika khususnya pada pokok bahasan bangun datar. Pada siklus I siswa masih kurang memahami mengenai bangun datar dan jajargenjang. Namun setelah menggunakan metode penemuan terbimbing yang dibantu LKS dan alat peraga berupa model-model jajargenjang siswa diajak beradaptasi dengan metode penemuan terbimbing untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa. Pada siklus II aktivitas siswa terlihat meningkat di mana siswa sudah lebih aktif dan antusias dalam proses pembelajaran, serta siswa dapat menanggapi pertanyaan dan menjawab soal latihan dengan baik. Secara empiris pemahaman konsep siswa dapat dilihat dari nilai rata-rata pada siklus I, yaitu sebesar 66,92 dengan 48 persen siswa yang nilainya di atas KKM, kemudian meningkat pada siklus II menjadi 74,80 dengan 75 persen siswa yang mendapat nilai di atas KKM. Pemahaman konsep yang diukur oleh peneliti meliputi tiga aspek, yaitu translasi, interpretasi dan ekstrapolasi.

2. Fardiansyah dalam penelitiannya pada tahun 2010 yang berjudul

“Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing (Guided Discovery Lesson) untuk meningkatkan aktivitas belajar matematika siswa. Penelitian ini dilakukan di kelas VIII SMP Islam Plus Mardhotillah pada pokok bahasan lingkaran dan garis singgung lingkaran. Pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam belajar matematika, karena memang prinsip dari metode ini adalah membimbing dan mengarahkan siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran dengan metode tersebut, siswa tidak hanya mendengar penjelasan guru, namun juga aktif untuk bertanya, dan dalam menyelesaikan soal siswa tidak hanya mendengarkan bimbingan dari guru, tetapi juga ikut menemukan jawabannya. Secara empiris peningkatan aktivitas belajar matematika siswa dapat dilihat dari hasil skor rata-rata lembar observasi pada siklus I sebesar 65,3 dan pada siklus II sebesar 69,79. Peningkatan hasil skor rata-rata lembar observasi siklus I ke siklus II sebesar 4,49. Selain itu juga dapat dilihat dari skor rata-rata angket aktivitas siswa yang menunjukkan skor rata-rata yang tinggi sebesar 76,3.

3. Mahmudah dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Pembelajaran

dengan Metode Penemuan Terbimbing (guide discovery) terhadap pemahaman

konsep matematika Siswa”, studi eksperimen di kelas VIII-1 dan VIII-3 SMP Islam Terpadu Nurul Falah. Penelitiannya dibatasi pada pokok bahasan materi persamaan relasi dan fungsi. Pada proses pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing di kelas eksperimen, tugas siswa adalah menemukan sendiri konsep matematika secara teoritis dan urutan secara berkelompok maupun individu. Pada pembelajaran penemuan terbimbing secara berkelompok, peneliti membagi kelompok siswa secara heterogen, sehingga sebagian besar siswa dalam kelompok terlihat lebih bersemangat dalam memahami konsep dan aktif saling membantu satu sama lain. Selain itu, guru juga menempatkan satu ketua kelompok yang bertugas mengarahkan dan membantu kesulitan-kesulitan anggota kelompoknya saat memahami konsep matematika. Pada kelas eksperimen setiap siswa diberikan LKS yang dapat

membantu siswa menemukan dan memahami kosep matematika. Proses pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing di SMP Islam Nurul Falah memberikan dampak positif, yaitu siswa mampu menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari dalam bahasa sendiri, mengklarifikasi objek-objek berdasarkan dipenuhi atau tidaknya persyaratan yang memenuhi konsep tersebut, menerapkan konsep secara algoritmik, memberikan contoh dari konsep yang dipelajari, menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika, dan mengaitkan berbagai konsep (internal dan eksternal matematika). Pengaruh metode penemuan terbimbing terhadap pemahaman konsep matematika siswanya dapat dilihat dari data empiris berupa nilai rata-rata kelas eksperimen yang lebih besar dari kelas kontrol, yakni sebesar 64,56 untuk kelas eksperimen dan 55,68 untuk kelas kontrol. Artinya ada perbedaan signifikan pemahaman konsep matematika antar dua kelas tersebut.

4. Qorri‟ah dalam penelitiannya yang berjudul “Penggunaan Metode Guided Discovery Learning untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa Pada Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi Lengkung”, studi kuasi eksperimen di

SMP Paramarta. Melalui pembelajaran dengan metode Guided Discovery Learning, siswa dapat menemukan dan membuktikan sendiri konsep bangun ruang sisi lengkung serta dapat mengeksplorasinya dalam pemikiran matematis. Di samping itu, siswa dapat terlatih menganalisis, membandingkan dan membedakan suatu permasalahan dengan cermat sehingga siswa dengan sendirinya dapat mengembangkan daya kreatifitas untuk menemukan hubungan baru mengenai konsep yang dimiliki dengan permasalahan yang dihadapi. Peningkatan pemahaman konsep siswa dapat dilihat dari hasil perhitungan data empiris hasil skor rata-rata posttest yang lebih tinggi pada kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok kontrol dan hasil uji perbedaan rata-rata posttest menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata posttest kedua kelompok tersebut. Adapun pencapaian indikator pemahaman konsep pada kelompok eksperimen untuk

untuk posttest diperoleh sebesar 72 % (gain = 0,57). Sedangkan pencapaian indikator pemahaman konsep kelas kontrol untuk pretest diperoleh sebesar 34 % dan pencapaian indikator untuk posttest diperoleh sebesar 62 % (gain = 0,42).

C. Pengajuan Konseptual Intervensi/Perencanaan Tindakan

Konsep atau pokok bahasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bilangan, khususnya pada Standar Kompetensi melakukan memahami dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah. Standar Kompetensi matematika ini dijarkan pada kelas IV SD/MI semester

Dokumen terkait