• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arah Kebijakan dan Strategi Bidang Penyiaran Efisiensi Industri Penyiaran

Strategi Sektor Pos

3.3.3 Arah Kebijakan dan Strategi Bidang Penyiaran Efisiensi Industri Penyiaran

Gambar 3.8 Driver Tree Program Efisiensi Industri Telekomunikasi

3.3.3 Arah Kebijakan dan Strategi Bidang Penyiaran

Efisiensi Industri Penyiaran

Arah dan kebijakan sektor penyiaran secara umum diarahkan pada adanya efisiensi industri dan transformasi industri menuju industri yang ideal melalui migrasi penyelenggaraan penyiaran analog menjadi penyiaran digital dan kebijakan digital dividen.

Dalam UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran disebutkan bahwa sistem penyiaran nasional dibentuk untuk menjaga integrasi nasional, kemajemukan masyarakat Indonesia dan terlaksananya otonomi daerah, yang menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, memiliki kebebasan dan tanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, serta kontrol dan perekat sosial.

Pertumbuhan industri penyiaran secara tren menunjukan grafik yang naik terutama pada penyiaran radio. Namun ada data lain yang menunjukan industri radio kurang bergairah. Ada dua indikator yang menunjukan perkembangan bisnis industri radio di negeri kita kurang menggairahkan.

Indikator pertama; dari pasar pengiklan yaitu dimana % RadEx (belanja iklan radio) terhadap AdEx (belanja iklan secara keseluruhan) yang cenderung turun terus terutama satu dekade terakhir. National radio expenditure Indonesia dari angka 3,5 % turun terus sampai menembus level di bawah 2%. Bahkan jumlahnya dalam rupiah sempat menurun. Sedangkan sebagai perbandingan di negara-negara tetangga dan di beberapa negara maju masih bisa di atas 5%.

Indikator kedua; dari pasar pendengar, % Radio Reach (prosentase perbandingan jumlah pendengar radio terhadap jumlah populasi penduduk) yang juga cenderung menurun 10 tahun terakhir. Rata-rata % radio reach 50-60%. Dari angka tersebut dapat diketahui bahwa saat ini dari 10 orang, hanya 5 hingga 6 orang yang masih mau mendengarkan radio. Dari indikator tersebut maka dibutuhkan adanya kondisi dimana didapatkan jumlah penyelenggara penyiaran yang ideal dan optimal. Dibutuhkan pemetaan terhadap market dan ketersediaan sumber daya frekuensi agar didapatkan penyelenggaraan industri penyiaran yang efisien. Disamping itu diperlukan juga adanya pola kerjasama khususnya apabila implementasi dari migrasi TV analog ke digital telah dilaksanakan maka akan tercipta struktur industri yang baru yaitu adanya penyelenggara Multiplexer dan penyelenggara konten siaran. Berdasarkan hal tersebut dalam rangka menjalanakan funsi regulator DItjen PPI telah membuat strategi untuk dapat men- drive dan mengarahkan program kerja ke arah kebijakan terwujudnya efisiensi industri telekomunikasi, adapun dapat dijelaskan pada diagram dibawah ini :

Gambar 3. 9 Driver Tree Program Efisiensi Industri Penyiaran

Implementasi Migrasi TV Analog Ke Digital (ASO)

Sejarah sistem penyiaran televisi di Indonesia dimulai pada 17 Agustus 1962 yang ditandai dengan mulai beroperasinya Televisi Republik Indonesia (TVRI) dengan siaran pertamanya adalah peringatan ulang tahun ke 17 proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dari halaman Istana Merdeka Jakarta. Pada awalnya TVRI adalah proyek khusus untuk menyukseskan penyelenggaraan Asian Games ke 4 di Jakarta. Siaran TVRI sehubungan dengan Asian Games dikoordinir oleh Organizing Comitte Asian Games IV yang dibentuk khusus untuk event olahraga, di bawah naungan Biro Radio dan Televisi Departemen Penerangan. Mulai 12 November 1962 TVRI mengudara secara reguler setiap hari. Pada 1 Maret 1963 TVRI mulai menayangkan iklan seiring dengan ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui keputusan presiden RI nomer 215 tahun 1963. Namun pada tahun 1981 dengan berbagai alasan politis TVRI tidak diijinkan lagi menayangkan iklan. mapping bisnis media yang dijalani operator

Mulai tahun 1988 TVRI mulai mendapat teman dalam penyiaran di Indonesia. Pemerintah telah mulai mengijinkan televisi swasta beroperasi di Indonesia, yaitu RCTI (1988), SCTV (1989), TPI (1990), ANTV (1993), INDOSIAR (1995), MetroTV (2000), Trans7 (2001), TransTV (2001), TVOne (2002) dan GlobalTV (2002).

Siaran televisi digital di Indonesia sudah tidak dapat terelakkan lagi keberadaannya. Sistem penyiaran digital merupakan perkembangan yang sangat pesat di dunia penyiaran dimana terdapat peningkatan kapasitas layanan melalui efisiensi pemanfaatan spektrum frekuensi radio. Sistem penyiaran televisi digital bukan hanya mampu menyalurkan data gambar dan

suara tetapi juga memiliki kemampuan multifungsi dan multimedia seperti layanan interaktif dan bahkan informasi peringatan dini bencana.

Mulai awal tahun 2012, Indonesia melalui Peraturan Menteri Kominfo No. 05 tahun 2012, mengadopsi standar penyiaran televisi digital terestrial Digital Video Broadcasting -

Terrestrial second generation (DVB-T2) yang merupakan pengembangan dari standar digital

DVB-T yang sebelumnya ditetapkan pada tahun 2007. Dalam hal ini, pemerintah berusaha untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat dan menganggapnya sebagai suatu peluang bagi pengembangan industri penyiaran nasional ke depan. Sebelum menetapkan standar digital tersebut, pemerintah terlebih dahulu melakukan kajian dan konsultasi publik dengan melibatkan para stakeholders terkait.

Penyiaran televisi digital terrestrial adalah penyiaran yang menggunakan frekuensi radio VHF / UHF seperti halnya penyiaran analog, akan tetapi dengan format konten yang digital. Dalam penyiaran televisi analog, semakin jauh dari stasiun pemancar televisi signal akan makin melemah dan penerimaan gambar menjadi buruk dan berbayang. Lain halnya dengan penyiaran televisi digital yang terus menyampaikan gambar dan suara dengan jernih sampai pada titik dimana signal tidak dapat diterima lagi. Singkat kata, penyiaran TV digital hanya mengenal dua status: Terima (1) atau Tidak (0). Artinya, apabila perangkat penerima siaran digital dapat menangkap sinyal, maka program siaran akan diterima. Sebaliknya, jika sinyal tidak diterima maka gambar-suara tidak muncul.

Dengan siaran digital, kualitas gambar dan suara yang diterima pemirsa jauh lebih baik dibandingkan siaran analog, dimana tidak ada lagi gambar yang berbayang atau segala bentuk noise (bintik-bintik semut) pada monitor TV. Pada era penyiaran digital, penonton TV tidak hanya menonton program siaran tetapi juga bisa mendapat fasilitas tambahan seperti EPG (Electronic Program Guide) untuk mengetahui acara-acara yang telah dan akan ditayangkan kemudian. Dengan siaran digital, terdapat kemampuan penyediaan layanan interaktif dimana pemirsa dapat secara langsung memberikan rating terhadap suara program siaran.

Salah satu visi Indonesia pada tahun 2045 adalah Indonesia yang maju dan modern, dimana Indonesia menginginkan meraih urutan 8 besar dunia. Salah satu aspek yang perlu dibenahi dalam mencapai Indonesia yang maju dan modern adalah aspek penyiaran. Berdasarkan kesepakatan International Telecommunication Union (ITU) melalui Geneva 2006 Frequency Plan Agreement, disepakati bahwa tanggal 17 Juli 2015 merupakan batas waktu bagi Negara di seluruh dunia untuk melakukan migrasi dari penyiaran analog menuju penyiaran digital.

Kesepakatan migrasi ini direspon positif oleh pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 22 tahun 2011. PM tersebut pada intinya memuat pembagian jenis penyelenggaraan penyiaran menjadi 2, yaitu penyelenggara multiplexing dan penyelenggara konten siaran, selanjutnya membagi wilayah Indonesia dalam zona-zona siaran dan menyerahkan pengisian zona tersebut kepada swasta dengan jaminan pemerintah, dan yang terakhir semua penyelenggara swasta yang memiliki izin penyelenggara siara analog, secara otomatis memperoleh izin

siara digital, walaupun tidak semua penyelenggara swasta dapat menjadi penyelenggara multipleksing. Namun, pada tanggal 26 September 2013 melalui keputusan Mahkamah Agung Nomor 38P/HUM/2012, PM 22 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (Free to Air) dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Banyak hal yang menjadi dasar dan pertimbangan Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Menteri tersebut, salah satunya karena PM nomor 22 tahun 2011 ini dianggap bertentangan dengan UU 32 tahun 2002 tentang penyiaran. PM tersebut dianggap tidak memiliki dasar yuridis dan sandaran Undang-undang yang berlaku.

Keputusan tersebut jelas membuat rencana analog switch-off pada sektor penyiaran yang direncanakan pada Juli 2015 akan menjadi terganggu, selain itu, sudah terdapat pemenang tender di beberapa zona yang sudah terlanjut membangun infrastruktur multiplexer untuk menyediakan layanan siaran digital. Potensi keterlambatan implementasi analog switch-off menimbulkan beberapa kerugian bila dilihat dari beberapa perspektif, berikut potensi yang hilang akibat potensi keterlambatan analog switch-off dari beberapa perspektif:

1. Perspektif Konsumen: Kualitas gambar dan suara lebih baik (jernih, tajam, dan tidak ”bersemut”), pilihan program siaran lebih banyak (1 kanal bisa 12 program), layanan interaktif seperti (Electronic Program Guide/EPG, cuaca, arus lalin, bahkan berbelanja), High Definition Television (HDTV), Early Warning System (EWS);

2. Perspektif Lembaga Penyiaran: Efisiensi infrastruktur dan biaya operasional, Potensi pendapatan sewa mux dari penyelenggara jasa siaran menjadi hilang karena penyelenggara mux sudah membangun infrastruktur multiplexer namun tidak mendapatkan pendapatan sewa dari penyelenggara jasa siaran.

3. Perspektif Industri Kreatif: Menumbuhkan industri konten kreatif dan inovatif.

4. Perspektif Industri Perangkat: Peluang industri manufaktur nasional untuk memproduksi Set Up Box lokal.

5. Perspektif Pemerintah: Efisiensi penggunaan spektrum frekuensi radio (digital

devidend).

Potensi keterlambatan implementasi ASO tersebut bertentangan dengan rencana yang disusun dan diharapkan dapat terealisasi terkait implementasi Digital Switch-over di Indonesia. Berikut gambaran kondisi yang diharapkan pemerintah terkait migrasi ke siaran TV Digital.

Gambar 3.4 Tahapan Implementasi Digitalisasi Sistem Penyiaran Indonesia

Berdasarkan roadmap pada gambar di atas, jelas bahwa analog switch-off yang diharapkan pemerintah sesuai dengan ketentuan batas waktu analog switch-off oleh ITU yaitu pada tahun 2018.

Selain permasalahan digitalisasi penyiaran sebagaimana di jelaskan di atas. terdapat beberapa isu lain pada industri penyiaran, baik isu dari sisi regulator, maupun isu dari penyelenggara penyiaran itu sendiri. Seperti diketahui sebelumnya, salah satu fokus Kementrian Komunikasi dan Informatika dalam sektor penyiaran dalam mendukung target pembangunan Indonesia adalah digitalisasi sistem penyiaran nasional. Untuk menyiapkan digitalisasi agar dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan target yang telah ditetapkan, maka terdapat beberapa ekosistem yang perlu dibentuk untuk mendukung digitalisasi tersebut.

Hal pertama yang akan menjadi fokus dalam menyiapkan agar target digitalisasi sektor penyiaran dapat berjalan dengan baik adalah melakukan penataan industri sektor penyiaran di Indonesia. Penataan industri penyiaran dilakukan dengan menyusun landscape industri penyiaran berikut pengaturannya terkait merger & akuisisi, pengaturan persaingan usaha, dan pengaturan lainnya. Secara umum, berikut handicap kebijakan sektor penyiaran yang akan menjadi fokus dari regulator.