• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arah Kebijakan, Strategi Penguatan dan Peningkatan Peran BPR dalam Rangka Pelayanan kepada UMK

Dalam dokumen Booklet Perbankan Indonesia 2009 (Halaman 59-66)

Pilar 1. Minimum Capital Requirement

E. Arah Kebijakan, Strategi Penguatan dan Peningkatan Peran BPR dalam Rangka Pelayanan kepada UMK

1. Penyempurnaan Cetak Biru BPR

Globalisasi dunia usaha dan revolusi teknologi informasi (TI) yang terjadi belakangan ini mempengaruhi kebijakan sektor finansial negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Hal tersebut berdampak pula pada perkembangan struktur lembaga, dimensi pelayanan jasa keuangan, serta inovasi produk industri keuangan secara cepat dan dinamis. Arus globalisasi turut mendorong liberalisasi di berbagai sektor, termasuk sektor keuangan, yang akan memberikan peluang, yaitu meningkatkan akses lembaga keuangan domestik ke pasar internasional, tetapi di sisi lain sekaligus menjadi tantangan karena liberalisasi akan meningkatkan akses lembaga keuangan asing di pasar dalam negeri. Mencermati berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan industri BPR di atas, maka dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi tantangan dan peluang pada masa depan dan mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada pada industri BPR serta mendorong pengembangan sektor riil, penyempurnaan Cetak Biru BPR dipandang perlu untuk dilakukan.

Penyempurnaan Cetak Biru BPR dititikberatkan pada kebijakan penguatan struktur industri BPR, kelembagaan

dan operasional BPR dalam rangka meningkatkan peran dan kontribusi BPR sebagai Community Bank terhadap pemberdayaan ekonomi lokal. Disamping itu, Cetak Biru BPR dimaksudkan untuk memberikan pedoman dalam rangka penetapan strategi implementasi yang tepat bagi pengembangan industri BPR yang lebih terarah. Beberapa kebijakan pokok pengembangan BPR yang akan dituangkan dalam Cetak Biru BPR, antara lain meliputi: a. Penguatan Posisi BPR Sebagai Community Bank

Menghadapi kondisi saat ini, BPR tidak cukup hanya memiliki keunggulan komparatif, tetapi juga yang lebih penting adalah memiliki keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Krisis keuangan global yang terjadi menjelang akhir tahun 2008 kembali membuktikan kebenaran akan pendapat umum yang mengatakan bahwa UMKM memiliki ketahanan yang lebih baik dalam menghadapi krisis dibandingkan dengan usaha-usaha skala besar. Pengalaman tersebut memberikan pelajaran yang sangat berarti dalam rangka upaya memperkuat ketahanan BPR terhadap gejolak keuangan akibat krisis ekonomi dan meningkatkan pelayanan BPR terhadap UMKM. Untuk menegaskan ciri yang spesifik dan keunggulan komparatif BPR yang membedakannya dengan bank umum serta memperkuat posisi BPR agar dapat lebih optimal dalam berperan mendukung pengembangan wilayah setempat (community development), maka pengembagan industri BPR ke depan akan diarahkan pada konsep BPR sebagai Community Bank. b. Stratifikasi Industri BPR

Potret industri BPR yang beragam baik dari sisi kondisi keuangan maupun karakteristik bisnisnya, menyebabkan kebijakan terkait dengan pengawasan dan pengaturan yang diterapkan terhadap BPR saat ini (one rule fits all) dinilai masih kurang efektif, sehingga perlu dilakukan penyesuaian kembali

terhadap kebijakan tersebut. Berangkat dari kondisi tersebut, pengawasan dan pengaturan BPR kedepan akan disesuaikan kembali dengan menerapkan kebijakan berbasis stratifikasi.

Sebagai prasyarat untuk penerapan kebijakan tersebut maka industri BPR dibagi dalam beberapa kelompok (strata) yang didasarkan pada jumlah modal inti BPR yang bersangkutan. Penentuan modal inti sebagai indikator penetapan strata BPR didasari atas karakteristik dari modal inti yang relatif stabil (jika dibandingkan aset) dan mencerminkan unsur produktivitas suatu BPR.

c. Penguatan Kelembagaan dan Operasional BPR Dalam rangka meningkatkan daya saing dan jangkauan pelayanan BPR, penguatan kelembagaan dan operasional BPR menjadi penting untuk dilakukan. Kebijakan terkait dengan penguatan kelembagaan BPR antara lain tercermin pada kebijakan dan pengaturan mengenai pemenuhan ketentuan modal disetor minimum dan persyaratan pengurus BPR.

Terkait dengan kebijakan permodalan, Bank Indonesia menetapkan jumlah modal disetor minimum bagi pendirian BPR baru sesuai dengan wilayah lokasi dimana BPR akan didirikan. Sedangkan terhadap BPR-BPR yang telah berdiri, Bank Indonesia menerapkan pentahapan pemenuhan modal disetor minimum dalam prosentase tertentu sampai dengan akhir tahun 2010. Kebijakan permodalan ini dibarengi pula dengan upaya penyehatan BPR melalui merger, konsolidasi dan akuisisi.

Terkait dengan persyaratan pengurus BPR, ke depan Bank Indonesia akan menerapkan kebijakan persyaratan pengurus BPR yang disesuaikan dengan strata BPR. Kebijakan tersebut dilandasi atas

pertimbangan bahwa untuk masing-masing strata BPR akan memiliki profil risiko operasional yang berbeda pula, sehingga semakin tinggi profil risiko BPR, semakin kompleks beban tugas pengurus BPR.

2. Penyediaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) bagi BPR

Melengkapi ketentuan fasilitas likuiditas bagi perbankan dalam rangka mengantisipasi meluasnya risiko likuiditas sebagai dampak terjadinya krisis keuangan global, sekaligus sebagai upaya menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, khususnya Bank Perkreditan Rakyat (BPR), pada tanggal 5 Desember 2008 telah diterbitkan PBI No.10/35/PBI/2008 tentang FPJP bagi BPR. Penerbitan PBI diikuti dengan keluarnya SE Ekstern No.10/45/DKBU tanggal 12 Desember 2008 dan SE Intern sebagai pedoman bagi KP dan KBI dalam rangka pelaksanaan mekanisme FPJP bagi BPR. PBI tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan jaring pengaman keuangan (financial safety net) dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan. Penyediaan fasilitas ini bagi BPR juga dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang sama (equal treatment) kepada BPR untuk memperoleh fasilitas pendanaan bila mengalami kesulitan likuiditas dalam jangka pendek.

Sementara itu, agar BPR lebih fokus kepada kegiatan operasionalnya terutama dalam penanganan permasalahan likuiditas, maka kepada BPR diberikan kelonggaraan berupa penundaan atas pemenuhan kewajiban ketentuan Pembentukan PPAP, yaitu kelonggaran batas waktu pemenuhan pembentukan PPAP sampai dengan 100% paling lambat dalam waktu 6 (enam) bulan atas penempatan antar bank aktiva (ABA) dengan kolektibilitas tergolong Macet karena bank penerima penempatan dana ditetapkan dalam status Dalam Pengawasan Khusus.

3. Peningkatan Kualitas Pengaturan BPR

Perkembangan industri BPR yang cepat, baik dari sisi kapasitas maupun operasional harus diimbangi dengan regulasi yang memiliki efektifitas yang memadai dan lebih ≈membumi∆ dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dibidang perbankan. Dalam kerangka pikir tersebut, Bank Indonesia selalu melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan ketentuan BPR di lapangan untuk kemudian dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan terkait.

Saat ini Bank Indonesia telah melakukan kajian dalam rangka penyempurnaan ketentuan BPR terkait dengan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan tindak lanjut BPR dalam status pengawasan khusus (exit policy). Penyempurnaan ketentuan dimaksud akan diterbitkan dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang akan mencabut ketentuan lama (saat ini masih berlaku) yaitu, masing-masing SK DIR No.31/61/KEP/DIR tentang BMPK BPR dan PBI No.7/34/PBI/2005 tentang Tindak Lanjut Penanganan Terhadap BPR dalam Status Pengawasan Khusus (BPR DPK).

Penyempurnaan ketentuan terkait dengan BMPK BPR dilakukan dalam rangka lebih memperjelas dan mempertegas pengaturan BMPK serta mendorong BPR agar lebih produktif dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Beberapa penyempurnaan dimaksud antara lain meliputi, definisi BMPK; definisi pelanggaran dan pelampauan BMPK, beserta cara perhitungannya; penegasan mengenai kriteria penempatan antar bank terkait; prosentase BMPK bagi kelompok peminjam; penjelasan kriteria kelompok peminjam; dan tata cara pelaporan BMPK oleh BPR. Penyempurnaan ketentuan mengenai exit policy BPR dilakukan antara lain dalam rangka sinkronisasi dengan ketentuan BPR lainnya terutama menyangkut teknis penyetoran modal dalam rangka penyehatan BPR DPK dan kaitannya dengan kriteria pengeluaran BPR dari

status pengawasan khusus. Selain itu, dalam ketentuan yang baru akan diperjelas mengenai cakupan Cease and Desist Order (CDO) terkait dengan penetapan BPR dalam status pengawasan khusus dengan mengacu kepada Pasal 37 dan Pasal 52 Undang-Undang Perbankan. Selanjutnya untuk memperoleh informasi kondisi terakhir BPR DPK, proses evaluasi oleh Bank Indonesia yang saat ini masih dilakukan secara 3 (tiga) bulanan, ke depan dapat dilakukan setiap saat sehingga diperoleh informasi yang lebih riil dan akurat mengenai kondisi BPR DPK.

4. Peningkatan Efektifitas Sistem Pengawasan BPR

Mewujudkan industri BPR sebagai Community Bank yang sehat, kuat dan produktif tidak terlepas dari usaha Bank Indonesia untuk selalu memperbaiki sistem dan kinerja pengawasan BPR. Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi sistem pengawasan BPR diarahkan kepada hal-hal sebagai berikut:

a. Persyaratan dan Peningkatan Kompetensi Pengawas BPR

Kompleksitas permasalahan BPR yang semakin meningkat menuntut pengawas untuk tidak hanya memahami bidang tugasnya secara profesional dan memiliki ketajaman dalam melakukan analisis, tetapi juga memiliki kemampuan dalam melakukan professional judgement. Untuk itu, pengawas BPR perlu memiliki pengetahuan di bidang akuntansi perbankan, menguasai teknik-teknik pengawasan dan pemeriksaan, serta memiliki pemahaman mengenai ketentuan perbankan.

Selain hal tersebut, agar permasalahan yang dihadapi BPR dapat segera diketahui dan solusi penyelesaian dilakukan secara tepat, pengawas dituntut pula untuk lebih mengetahui kondisi bank yang diawasi (know your bank) dari waktu ke waktu.

Dalam rangka meningkatkan kompetensi pengawas BPR, BI secara terencana dan berkelanjutan melakukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan para pengawas BPR, baik melalui pendidikan dan pelatihan, seperti program sertifikasi pengawas bank, pelatihan khusus pengawas BPR, sosialisasi, workshop, Klinik Hukum dan knowledge sharing.

b. Pembentukan Kelompok Pengawas BPR Khusus Perkembangan operasional BPR dari sisi produk dan pelayanan yang semakin modern, menyebabkan permasalahan yang dihadapi oleh BPR semakin kompleks. Hal tersebut harus diimbangi dengan sistem pengawasan yang memadai baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Merespon kondisi di atas, Bank Indonesia akan membentuk Kelompok Pengawas BPR Khusus dalam struktur organisasi pengawasan BPR di Kantor Pusat Bank Indonesia (KPBI). Unit kerja tersebut memiliki tugas untuk membantu unit kerja pengawasan BPR dalam rangka penyelesaian BPR bermasalah yang memerlukan penanganan khusus baik di KBI maupun KPBI.

c. Penyempurnaan Sistem Informasi Manajemen Pengawasan BPR (SIMWAS BPR)

Dalam rangka menunjang palaksanaan tugas pengawasan BPR, Bank Indonesia senantiasa melakukan penyempurnaan terhadap modul SIMWAS BPR antara lain dengan memasukkan modul Fit and Proper Test sesuai dengan kebutuhan pengawasan. SIMWAS BPR diharapkan menjadi ≈jendela∆ informasi yang menyajikan kondisi keuangan BPR secara riil berdasarkan laporan yang disampaikan oleh BPR kepada Bank Indonesia dalam rangka pengawasan tidak langsung terhadap BPR. Oleh karena itu penyempurnaan terhadap SIMWAS

dilakukan secara terus menerus dengan mengakomodir kebutuhan data dan informasi pengawasan secara komprehensif. Pengembangan SIMWAS BPR yang sedang dilakukan saat ini antara lain mencakup penyempurnaan format baru Laporan Bulanan BPR dan pengembangan sistem penyampaian secara on-line untuk laporan Batas Maksimum Pemberian Kredit BPR, Rencana Kerja dan Pelaksanaan Rencana Kerja BPR.

F. Upaya Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan

Dalam dokumen Booklet Perbankan Indonesia 2009 (Halaman 59-66)