• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gerakan petani merupakan bagian dari gerakan agraria karena mengusung isu reforma agraria dari bawah (agrarian reform by laverage). Peran utama elemen non petani dalam gerakan petani di Lampung memperkuat suatu tesis bahwa secara historis sesuai dengan karakteristiknya yang khas komunitas petani lokal lebih bersifat konservatif.280 Para petani cenderung adaptif terhadap

kondisi lingkunganya dan tidak akan bergerak secara terorganisir meskipun peluang politik telah terbuka jika tidak ada yang menggerakannya. Petani lebih kuat digerakkan oleh mitos yang menyediakan sebuah visi bersama, tetapi mereka belum mampu mengorganisir diri sendiri.281 Peran utama elemen non

petani tersebut juga akan tampak kemana gerakan agraria akan diarahkan.

280 Ecksten. 1989. Op.Cit., hal. 13. 281 Sztompka. 2004. Op.Cit., hal. 349.

Hasil penelitian di Lampung membuktikan bahwa stagnasi gerakan agraria yang direpresentasikan oleh peran organisasi gerakan petani lebih diwarnai oleh berbagai kesalahan konsekuensi tindakan beberapa kelompok aktor non petani. Mereka saling berebut sumberdaya mobilisasi organisasi gerakan petani dan komunitas petani basis dengan berusaha melembagakan garis perjuangan masing-masing dan saling memanfaatkan sumberdaya gerakan tersebut untuk mencapai kepentingan praktisnya (Tabel 13). Disorientasi tindakan tersebut menyebabkan stagnasi peran organisasi gerakan petani sebagai wadah perjuangan substantf petani. Oleh karena itu, kekuatan struktur sumberdaya gerakan sebenarnya lebih disebabkan oleh adanya momentum, seperti peluang krisis politik negara, luapan ketidakpuasan petani, dan semangat perjuangan yang membara. Momentum gerakan ini tidak berbasis pada common plafform

perjuangan dan kesiapan sumberdaya manusia yang memadai. Isu gerakan yang semakin mengarah pada lawan yang abstrak (neo-kolonialisme, imperialisme dan neo-liberalisme) juga semakin membuat para aktor gerakan samar melihat kedalaman intervensi pihak lain yang sebenarnya juga ikut ambil bagian dalam menyeret ke erah yang mungkin dapat melemahkan posisi gerakan agraria itu sendiri.

Secara historis kekuatan politik-ekonomi pada tataran makro struktural menentukan strukturasi gerakan agraria, sampai pada kondisinya yang stagnan. Beberapa studi di Amerika Latin, Afrika, Asia Tenggara, termasuk Indonesia terkait dengan perubahan struktural agraria di aras lokal akibat desakan kepentingan supra lokal.282 Bahkan akibat pengaruh kapitalisme global (neo-

liberalisme) yang berlangsung sampai saat ini.283 Sehingga gerakan agraria

semakin kuat berhadapan dengan kendala makro struktural yang pada akhirnya mampu menghambat atau melemahkan gerakan transformasi struktural agraria.

Hasil penelitian di Lampung menemukan bahwa ketidakmampuan dalam menghadapi setiap kendala yang hadir membuat gerakan agraria mengalami krisis kredibilitas, krisis legitimasi, diskontinuitas, destrukturasi internal dan eksternal, dan deinstitusionalisasi. Organisasi gerakan petani tetap tidak memiliki corak genuin lagi sebagai katalis gerakan agraria seperti dalam perjuangan pada awal-awal reformasi. Posisinya semakin dekat dengan alam konservatif, semakin tertutup mengarah pada pendekatan berorientasi klien (terutama komunitas

282 Scott, 1979, 1989, 2000. Op.cit.; Eric Wolf, 1969; Samuel Popkin. 1979. Op.Cit.; R.H. Bates. 1981. Op.Cit.; Ghimire. 2001. Op.Cit.; Landsberger dan Alexandrov.1984. Op.Cit.

petani basis), kembali mengandalkan pendekatan institusional (konsensus), dan mengalami krisis produksi isu substantif petani. Sementara itu program-program perjuangan masih belum terlembagakan meskipun sering melakukan bargaining politik dalam dinamika politik lokal. Kondisi ini memperkuat kesimpulan bahwa gerakan petani berada pada kondisi stagnan (tetap, tidak berubah) dan tidak mampu berperan dalam transformasi struktural agraria meskipun terjadi inovasi cara-cara gerakan yang semakin berkualitas.

Secara keseluruhan terjadi perkembangan yang relatif tetap dalam gerakan agraria yang direpresentasikan oleh peran organisasi gerakan petani. Semakin diformalkan organisasi petani justru perannya sebagai organisasi gerakan semakin menurun; semakin terdiferensiasi struktur internal justru semakin rentan terhadap konflik; dan akhirnya terjadi pemisahan dan fragmentasi yang sulit disatukan kembali. Semua fenomena tersebut menunjukkan bahwa struktur sumberdaya gerakan cenderung mengarah pada kondisi disintegrasi. Kondisi yang sama terjadi ketika dilihat dari aspek organisasionalnya, maka sebagian besar aspek organisasi gerakan petani cenderung berkembang negatif (Tabel 12). Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa gerakan agraria di Lampung berada pada kondisi “involusi”, atau “Involusi Gerakan Agraria”. Involusi tersebut terjadi pada peran organisasi gerakan petani dalam transformasi struktural agraria. Involusi gerakan tersebut lebih disebabkan oleh disorientasi tindakan para elit aktor, terutama non petani.

Sebagaimana disajikan pada Tabel 14 tampak bahwa arah perkembangan gerakan agraria yang direpresentasikan oleh peran organisasi gerakan petani (DTL, IPL, SPL/SPI-L, dan MN) semakin kuat berada pada jalur involusi dibanding berada pada jalur radikalisasi, institusionalisasi, dan komersialisasi. Indikasinya bahwa aktivitasnya semakin terfokus pada orientasi konstituen dan masuk pada ruang konservatif mendukung sistem agraria yang mapan. Pada sisi lain, juga mulai diarahkan masuk pada pada jalur institusionalisasi. Perannya menguat menjadi kelompok kepentingan dalam merespon dinamika politik lokal mengakses peluang politik institusional. Konsekuensinya adalah perkembangan peran organisasi gerakan petani semakin lemah berada pada jalur radikalisasi, karena aksi-aksi kolektif countercultural sudah menurun. Akan tetapi, meskipun

posisinya kuat menjadi organisasi berorientasi konstituen, ketika muncul gangguan dari luar dalam derajat tertentu dapat memobilisir komunitas petani basis untuk kembali melakukan aksi-aksi kolektif.

Tabel 14 Arah Perkembangan Organisasi Gerakan Petani (DTL, IPL, SPL/SPI-L, dan MN) di Lampung

Aspek Orientasi Klien/

Konstituen Orientasi Otoritas Partisipasi

Konstituensi Langsung

• Kuat mengarah sebagai organisasi sukarela yang berorientasi konstituen. • Sebagai organisasi

gerakan subkultural

• Lemah sebagai gerakan sosio-politik. • Lemah sebagai gerakan

konterkultural yang berciri sebagai gerakan radikal

Jalur involusi Jalur Radikalisasi

Partisipasi Konstituensi Tidak Langsung

Belum mengarah menjadi organisasi layanan, sebagai organisasi subkultural

• Mulai merespon peluang politik institusional dalam dinamika politik lokal (dan nasional).

• Sebagai kelompok kepentingan atau gerakan instrumental dalam rangka pelembagaan program-programnya

Jalur Komersialisasi Jalur Institusionalisasi

Sumber: Diadaptasi dari Doug McAdam, John D. McCarthy, Mayer N.Zald (Editor’s). 1996. Op.Cit., hal. 152-157

BAB VIII

NASIB PETANI DAN PENGUATAN STRUKTUR SUMBERDAYA GERAKAN AGRARIA

Pada bab-bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa tidak berubahnya nasib petani karena mereka hidup di dalam alam kehidupan (sistem agraria) yang begitu berbeda dari yang dipikirkan dan yang secara simbolik dinyatakan oleh para pemikir bijak masa lalu.284 Posisi petani dalam sistem agraria demikian

secara ekonomi termarginalkan, secara politik tidak memiliki hak suara, dan secara kultural sebagai elemen masyarakat yang terancam.

Realitas kehidupan petani yang tetap berada pada posisi lemah tersebut dalam struktur dominasi berjalan seiring dengan kondisi gerakan yang involutif. Gerakan agraria bersifat stagnan, berjalan ditempat, tidak berubah dan tidak mampu melakukan perubahan struktural yang berarti sebagai landasan bagi perbaikan nasib (keberdayaan) petani. Pertanyaannya adalah: Apakah kondisi gerakan yang involutif tersebut pada masa mendatang berarti tidak ada celah bagi upaya perubahan ke arah tatanan agraria yang lebih adil ? Seberapa jauh struktur sumberdaya gerakan agraria dapat ikut berperan dalam mengendalikan sistem agraria, atau paling tidak ikut mengarahkanya sedemikian rupa sehingga dapat meminimalisir marginalisasi petani dan memaksimalkan peluang yang dapat ditawarkan bagi kesejahetaraan petani ? Uraian pada bab ini difokuskan pada refleksi dan proyeksi dalam upaya transformasi tatanan agraria yang didasarkan pada hasil-hasil temuan di lapangan sebagaimana sudah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya.