5.1. Sumber Utama Ketegangan Struktural
5.1.2. Kebijakan Pembangunan Mengabaikan Kepentingan
Wilayah Lampung memang strategis menjadi tempat persinggahan awal para migran ke pulau Sumatera, dan sejak ketentuan Belanda tentang adat
gemeenschappen dihapus, maka tidak ada rintangan lagi bagi mereka yang bukan warga “marga” untuk mendapatkan hak pakai tanah dalam wilayah bekas
“marga”. Daya tarik hak pakai tanah tersebut antara lain yang mendorong
penduduk luar bermigrasi ke Lampung.231 Bahkan pada tahun 1960-an Dinas
Kehutanan Provinsi Lampung mengeluarkan kebijakan pembukaan kawasan hutan kepada penduduk sekitar dan jika dikelola dengan baik dapat ditingkatkan menjadi hak milik:
Pada tahun 1950 penduduk Lampung 718.000 jiwa dan telah meningkat pesat menjadi 6.998.535 jiwa pada tahun 2000. Faktor penyebabnya antara lain karena tingginya pertumbuhan penduduk alami, keberhasilan para transmigran yang dahulu mampu menarik arus migrasi swakarsa dari daerah asal, dan keberhasilan pembangunan di daerah Lampung menjadi daya tarik para migran spontan dari daerah lain, terutama dari Pulau Jawa. Begitu pesatnya arus penduduk masuk ke Lampung maka dibuat tiga kebijakan transmigrasi: yaitu (1) selama Pelita III transmigrasi ditempatkan ke Pulau Sumatera di luar Lampung, (2) pada Pelita IV Provinsi Lampung sudah tertutup sebagai daerah penerima program transmigrasi, (3) dan dikembangkan sistem transmigrasi lokal (translok). Kebijakan tersebut ternyata tidak mempengaruhi migrasi penduduk dari daerah lain ke Lampung. Bahkan jumlahnya mengalami peningkatan dan sebagian di antaranya menempati kawasan hutan. Kondisi tersebut berada di luar kemampuan kontrol pemerintah daerah dan juga akibat ketidakmampuan pemerintah dalam melakukan koordinasi. Pada kebijakan berikutnya mereka itu
231 Sri Edi Swasono dan Masri Singarimbun. 1985. Sepuluh Windu Transmigrasi di Indonesia 1905-1985. Jakarta: UI-press.
Peluang Akses Atas Tanah dan Janji Pemerintah Kepada Petani
Dalam Surat Ijin pembukaan kawasan hutan dari Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I Lampung tahun 1966 terdapat klausul: ” bila sipemegang surat idzin memenuhi Peraturan2 tersebut, sebaik-baiknja maka Dinas Kehutanan akan mengusahakan agar dalam waktu jang sesingkat mungkin tanah ini mendjadi hak
dikenal sebagai “perambah hutan”. Kemudian untuk mengatasi para perambah hutan dan masalah kependudukan lainnya seperti kepadatan penduduk dan lahan kritis, maka Pemerintah Provinsi Lampung mengeluarkan kebijakan Nomor: 074/DPD/HK/1980, tanggal 26 April 1980 tentang Program Transmigrasi Lokal atau dikenal dengan istilah “Translok”, yaitu:
... pemindakan penduduk Lampung yang tinggal di kawasan hutan, daerah kritis, daerah terkena proyek strategis, dan daerah padat penduduk ke daerah lainnya di wilayah provinsi Lampung yang masih luas dan telah ditetapkan pemerintah daerah (Sumber: Pemda Tk.I Lampung, 1984).
Meskipun tercatat sudah sebanyak 70.225 KK “perambah hutan” yang berhasil dipindahkan oleh Kanwil Deptrans dan PPH Provinsi Lampung, tetapi program translok tersebut justru yang paling kurang diminati oleh penduduk Lampung dibanding program transmigrasi lainnya, karena sebagian besar transmigran adalah petani yang sudah hidup mapan di daerah asal.232 Menyimak
definisi di atas jelas bahwa program translok memiliki orientasi berbeda, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk yang dipindahkan tetapi lebih pada penataan kembali persebaran penduduk di wilayah Lampung. Sasaran utamanya adalah penduduk yang telah menggarap dan bermukim di suatu areal kawasan hutan, mereka yang sudah tinggal dan berusaha di wilayah tertentu yang masih dianggap wilayah yang dikuasai negara. Seperti di desa Dwikora Lampung Utrara, wilayah tersebut sudah dibuka lama oleh warga masyarakat sebagai lahan pertanian dan pemukiman, kemudian mereka diusir dan dipaksa pindah.
Pada praktiknya, penduduk yang hidupnya sudah mapan di daerah asal dipindahkan ke daeah yang sama sekali baru dan mereka harus memulai hidup baru sebagaimana para transmigran lain sebelumnya. Tekanan fisik, sosial dan psikologis terus menerus dialami selama mereka menolak dipindahkan dengan berbagai alasan yang tidak pernah didengar oleh pemerintah. Banyak petani yang frustasi dan hidupnya tidak tetap. Mereka yang berada di daerah tujuan banyak yang menderita karena lahan yang diberikan pemerintah kondisinya tidak memadai, berupa lahan baru, kering dan kurang subur. Salah satu contoh seperti yang terjadi di wilayah Gunung Betung, sebagai berikut:
Tahun 1991 penduduk dusun Muara Tiga wilayah Gunung Betung kembali diusir dengan adanya proyek reboisasi. Mereka harus mengungsi atau ikut transmigrasi lokal ke Rawa Jitu Lampung Utara. Mereka dianggap sebagai perambah dan perusak hutan, maka harus pindah secara swadaya. Penduduk yang berangkat adalah dari Talang Pelita kurang lebih 20 KK, sebanyak 30 KK dari Talang Muara Tiga II dan Talang Sejali. Akan tetapi pada tahun 2000 mereka kembali lagi ke Muara Tiga. Alasannya bahwa lahan di Rawa Jitu sama sekali tidak subur, harus
memulai dari nol lagi, dan mereka harus meninggalkan harta kekayaan yang berharga yaitu kebun yang sudah menghasilkan. Tingkat kesuburan tanahnya di Rawa Jitu jauh lebih jelek dibandingkan dengan yang di wilayah asal. Jangankan ditanami kopi atau padi, ditanami singkong saja tidak menghasilkan. Beberapa warga ada yang berangkat tapi banyak juga yang tidak, karena menurut Kepala Desa waktu itu jatah lahan untuk mereka diberikan kepada daerah lain. Beberapa warga yang ikut transmigrasi karena mereka tidak betah hidup disana kemudian pulang lagi ke Muara Tiga. Sebagian warga yang bersedia ikut transmigrasi ternyata tidak semua bisa diberangkatkan karena lokasi penempatan mereka telah di kuasai oleh oknum tertentu (warga dari daerah lain). Rupanya telah terjadi jual beli lahan transmigrasai oleh oknum pemerintah (Sumber: WALHI Lampung dan Kawan Tani Lampung, 2008)
Jelas bahwa program translok kurang diminati dan banyak mendapat perlawanan penduduk setempat. Seperti penduduk di Pulau Panggung diusir dan dipindahkan. Lahan yang sudah mereka kelola sejak tahun 1920-1930 kemudian oleh pemerintah dimasukkan dalam wilayah hutan lindung. Kasus yang sama terjadi di Register 19 Gunung Betung. Berdasarkan keputusan Menteri Kehutan No. 472/Kpts-II/ 1992 kawasan ini telah ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya Wan Abdul Rahman yang berfungsi sebagai wilayah konservasi, tangkapan air, pendidikan dan pariwisata. Perlakuan yang sama terjadi pada masyarakat desa Dwikora, Lampung Utara dan di desa Sidorejo, Lampung Tengah.
Dilihat dari kebijakan agraria secara umum ketegangan struktural agraria di pedesaan Lampung bersumber dari tiga hal, yaitu: (1) terintegrasinya sumberdaya agraria (tanah) dalam struktur kepentingan ekonomi dan politik supra lokal; (2) penetrasi kapitalisme, yakni komersialisasi dan politisasi tanah yang mendorong masuknya para pemodal (investor); dan (3) tanah sebagai faktor produksi dikuasai secara besar-besaran (prakteknya dilakukan dengan cara yang tidak fair). Beberapa kebijakan agraria yang akhirnya bermasalah dengan komunitas setempat, antara lain adalah:
1. Eksploitasi hutan di Lampung (termasuk kawasan Hutan Suaka Marga Satwa Way Kambas dan kawasan Hutan Lindung Kota Agung Utara Register 39) secara besar-besaran dimulai sekitar tahun 1965. Pada tahun 1969/1970 sudah ada sebanyak 29 perusahaan pemegang HPH berdasarkan PP. No.64/1957 dan PP No. 21/1967. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung juga mengeluarkan ijin tebang (ijin kappersil disebut HPHH). Pada tahun 1980-an jumlahnya meningkat menjadi 76 ijin.
2. Tahun 1975 tanah-tanah kawasan hutan yang sudah dikelola petani berdasarkan surat ijin tumpang sari dicabut melalui SK Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung No. 1691/I/3/75 tanggal 25 Nopember 1975. 3. Kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan SK Gubernur No.
97/LG/Bappeda/ 1977 dan dikukuhkan melalui SK Menhut No. 67/Kpts-II/1991 dalam praktik sangat merugikan petani. Kebijakan tersebut hanya berupa penataan ulang kawasan hutan dan ternyata mengacu pada batas-batas yang telah ditetapkan pemerintah kolonial pada tahun 1935.
4. Program reboisasi hutan atau Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dilakukan oleh pemerintah bersama perusahaan termasuk tanah-tanah yang sudah dikuasai secara aktif oleh petani setempat.
Pada awal Orde Baru, kebijakan agraria secara sistematis dikeluarkan terkait dengan kepentingan pertumbuhan ekonomi. Ini dapat dicapai melalui kerjasama dengan para pemodal. Mulai 1972 sudah muncul protes petani kepada Gubernur Lampung terkait dengan persoalan pertanahan (kasus Padang Ratu). Ini sejalan dengan praktik pembebasan tanah masyarakat adat untuk kepentingan industri perkebunan. Beberapa implikasi dan dampaknya adalah: 1. Lahan dan penduduk pedesaan diarahkan semakin teintegrasi ke dalam
pasar yang lebih luas.
2. Berkembangnya komersialisasi pertanian yang dikuasai oleh para pemodal besar dan didukung kuat oleh negara.
3. Mendorong munculnya tindakan-tindakan yang mengancam kelangsungan hidup petani. Banyak lahan-lahan di Lampung yang sudah dikuasai secara produktif oleh petani tiba-tiba diambil-alih atau dibebaskan secara paksa atau dengan cara halus baik oleh pemerintah maupun perusahaan.
Akibatnya, terdapat sekitar 398.425 Hektar lahan di provinsi Lampung yang dikuasai pemerintah dan perusahaan dan sebagian besar tersangkut masalah pembebasan tanah dengan komunitas masyarakat setempat baik tanah adat maupun non adat. Seluas 159.640 Ha merupakan lahan usaha agro industri, 6.675 Ha merupakan lahan kawasan hutan tanaman industri, 78.650 Ha merupakan lahan tambak moderen, dan 915 Ha merupakan lahan kawasan pariwisata.233 Kapitalisasi sumberdaya agraria tersebut jelas ikut andil menjadi
sebab berkembangnya persoalan pertanahan di Lampung. Faktor lain adalah penguasaan kembali kawasan hutan oleh negara dengan cara mengambil paksa lahan-lahan yang dikuasai dan dikelola oleh penduduk sekitar, dengan mengusir atau memindahkan penduduk yang ada di dalamnya. Meraka dicap sebagai perambah dan perusak hutan. Program ini untuk kepentingan konservasi, pengembangan hutan produksi, dan pembangunan waduk untuk PLTA.234
233 Sunarto D.M. 2007. Op.Cit., hal. 183.
234 Kasus tersebut terjadi di wilayah kawasan Taman Nasional Way Kambas, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, di Register 1, 8, 17, 19, 22, 28, 34, 37, 38, 39, 40, 42, 44,45, 46, 47, dan 48.
Delegitimasi Alas Hak Atas Tanah di Register 19
Di Register 19 Gunung Betung tahun 1977 salah seorang penduduk perintis bernama Rupawi memperoleh sertifikat hak milik atas tanah melalui Sub Direktorat Agraria Kebupaten Lampung Selatan dengan Nomor: 3116962 Desa Hurun, Hak Milik Nomor. 226/TB, Gambar Tanah Nomor: 283. Sertifikat tersebut diperkuat dengan keputusan Gubernur Lampung Nomor: AG 230/DA 339/SK/HM/77, Gambar Nomor: 283/1977 wilayah Kabupaten Lampung Selatan, yang diterbitkan tanggal 29 Juli 1977. Pada tahun 1992 statusnya ditingkatkan menjadi Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman melalui Kepmenhut Nomor. 472/Kpts-II/ 1992. Akibatnya semua penduduk di wilayah tersebut tidak diakui keberadaanya (Sumber: Kawan Tani Lampung, 2007)
5.1.3. Praktik Penguasaan Tanah Komunitas Setempat Oleh Negara dan