• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1. Sumber Utama Ketegangan Struktural

5.1.3. Praktik Penguasaan Tanah Komunitas Setempat

Secara khusus ketegangan struktural agraria di Lampung bersumber pada beragam tindakan. Semuanya merupakan implementasi atas kebijakan agraria yang tidak responsif terhadap kepentingan petani. Berdasarkan kasus-kasus yang diteliti paling sedikit terdapat enam kesalahan tindakan, yakni: (1) delegitimasi bukti-bukti alas hak petani atas tanah; (2) buruknya sistem ganti rugi; (3) praktik pembebasan tanah yang cacat hukum; dan (4) buruknya administrasi pertanahan; dan (5) janji dan kesepakatan dengan petani yang diingkari oleh pemerintah dan perusahaan.

1. Deligitimasi Bukti-Bukti Alas Hak Atas Tanah

Berdasarkan kebijakan agraria yang dikeluarkan kemudian maka lahan- lahan yang dikuasai petani dengan alas hak (secara adat dan non adat) tidak diakui keberadaannya. Banyak petani yang memiliki bukti ijin hak penguasaan dan pemilikan lahan (hasil pembukaan hutan), tetapi alas hak tersebut menjadi lemah ketika bersentuhan dengan kepentingan pembangunan. Salah satu contoh kasus terjadi di Register 19 Gunung Betung.

Kebijakan agraria yang mengabaikan kepentingan petani ternyata konsisten pada tataran implementasinya. Beberapa indikasinya dalam praktik dapat diringkas sebagai berikut:

a. Proses lahirnya kebijakan agraria (penetapan peralihan hak atas tanah masyarakat menjadi areal perkebunan atau untuk kepentingan lain) bersifat sepihak tidak melibatkan masyarakat secara penuh. Dari rangkaian kebijakan yang dibuat sikap pemerintah sangat jelas berpihak kepada pengusaha

paralel dengan sikapnya yang meminggirkan petani. Salah satu contoh kasus terjadi di Padang Ratu, Lampung Tengah:

Tanah masyarakat adat di kecamatan Padang Ratu seluas 10.000 hektar pada tahun 1970 oleh Gubernur Lampung disewa selama 25 tahun untuk dikelola oleh PT. PAGO dengan pemberian ganti rugi tanam tumbuh. Rakyat setuju dengan harapan akan terjadi kemajuan wilayah. Pada perkembangannya terjadi pergantian pengelolaan oleh perusahaan lain, sebagian di ambil Departemen Transmigrasi dan sebagian lagi diberikan BPPT tetapi juga diserahkelolakan pada perusahan tertentu. Semua itu tidak melalui musyawarah dengan masyarakat setempat (Sumber: Dukumen Mirak Nadai, 2005).

b. Sikap diskriminatif dan ambivalensi pemerintah tampak nyata dan terstruktur. Posisi pemerintah pusat lebih dominan dan kondisi ini juga memberi peluang semakin bersemainya konflik kepentingan dengan pemerintah daerah. Pemerintah pusat tidak mengijinkan kawasan hutan dikelola dan dihuni oleh masyarakat, tetapi Dinas Kehutanan Provinsi masih memberikan ijin kepada perusahaan untuk menebang hutan di kawasan Hutan Lindung.

1. Konflik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah mencuat setelah diberlakukan UU No. 22/1999 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Akibatnya masyarakat khususnya yang mengelola lahan di kasawan hutan menjadi korban seiring dikeluarkan Peraturan Daerah No.7/2000 tentang “Iuran Hasil Hutan

Bukan Kayu (IHHBK)” dengan ijin pemanfaatan hutan yang masa berlakunya

satu tahun dan dapat diperpanjang (Sumber: Tim PSDHBM Watala. 2004). 2. Contoh kasus: (1) di Kabupaten Lampung Barat, tepatnya di wilayah Way

Bambangan dan Way Lampung Kecamatan Perwakilan Bengkunat Pesisir Selatan telah terjadi penebangan Hutan Lindung (wilayah Register 49 dan 50) secara besar-besaran yang dilakukan oleh PT. Tegas dengan mendapat ijin operasi atas tender yang diberikan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. Pengrusakan hutan lindung tersebut telah diprotes oleh Dewan Tani Lampung melalui suratnya Nomor: 09/B/DTL/III/1999, tanggal 4 Maret 1999 (Sumber: dokumen DTL, 1999); (2) di kawasan hutan Register 45 banyak petani yang diusir tetapi dengan kasat mata ada oknom aparatus negara yang menguasai tanah puluhan hektar di wilayah yang sama tetapi tidak ditindak (Sumber: Dokumen Persatuan Petani Miskin Way Serdang, 2008).

c. Dalam pelaksanaan program pembangunan kawasan hutan, para petani diposisikan sebagai obyek mobilisasi dan partisipasi pasif pada lahan-lahan yang dulunya sudah dikuasai secara produktif. Kemudian mereka mengalami intimidasi dan suaranya tidak pernah didengar (setiap dikumpulkan yang didapat hanya amarah para petugas), seperti kasus program rehabilitasi DAS dengan sistem jalur yang dilaksanakan oleh BUMN tahun 1995.235

235 Tim PSDHBM Watala. 2004. Kepastian Pengelolaan di Kawasan Hutan Negara: Pengalaman Belajar

2. Buruknya Sistem Ganti Rugi

Penetapan ganti rugi (sewa tanah) dilakukan secara sepihak, tidak ditepati, tidak sesuai dengan janji dan dengan harga pasaran, banyak yang tidak menerima, dan dilakukan dengan tidak transfaran. Masyarakat pada akhirnya merasa mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Ganti rugi tersebut ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah.

Formasi hubungan yang demikian jelas menempatkan petani berada pada posisi lemah dan dalam kondisi tekanan yang kuat. Terjadi persetujuan semu karena masyarakat menerima begitu saja ganti rugi yang ditetapkan secara sepihak, tetapi dibalik sikapnya itu menyimpan rasa ketidakpuasan. Ada juga masyarakat yang berani melakukan protes karena nilai ganti rugi tidak sesuai dengan harga pasaran, dimanipulasi, tidak merata dan tidak transfaran. Buruknya sistem gati rugi dapat disimak dalam beberapa contoh kasus berikut:

1. Kasus di PTPN Kalianda, Lampung Selatan bahwa nilai pembayaran ganti rugi tidak sesuai dengan harga pasar dan atau nilai pembayaran tidak sesuai dengan yang tercantum dalam kwitansi. Pada saat itu mereka tidak berani protes karena takut mendapat tekanan dan dianggap tidak mendukung program pemerintah.236

2. Kasus yang terjadi di Kecamatan Padang Ratu, Kabupaten Lampung Tengah. Pada tahun 1972 PT. Intrada memberikan ganti rugi tanam tumbuh antara Rp 500 – Rp 1.500 per tanaman. Dalam praktik banyak warga yang tidak mendapatkan ganti rugi. Ganti rugi dilakukan melalui kepala desa dan disalahgunakan. Masyarakat protes dan ada beberapa kepala desa yang masuk penjara. Menurut perjanjian, tanah tersebut akan disewa dengan harga Rp 25/meter, dengan memberikan ganti rugi tanam tumbuh yang ada di atas tanah tersebut sebesar Rp 5.000/batang (kopi, lada, karet, petai dan jengkol). Pihak perusahaan menentukan secara sepihak jumlah pohon yang akan diganti rugi, yakni sebanyak 1.200 batang/Hektar. Tetapi pada kenyataanya hanya 600 pohon yang diberi ganti rugi.237

3. Di desa Jatimulyo, Way Hui, Lampung Selatan pada tahun 1994 dikenal dengan “Kasus tanah 5 Perak (Rp 5,00)”, karena tanah mereka telah diambil paksa oleh pemerintah (menurut cerita penduduk setempat dibelakangnya ada kepentingan Tomi Soeharto) dengan ganti rugi yang sangat tidak memadai, yakni sebesar Rp 5,00 per meter persegi (Sumber: Hasil wawancara dengan bapak WY penduduk setempat, 2008)

3. Praktik Pembebasan Tanah Cacat Hukum

Banyak kasus tanah yang sudah dikuasai secara aktif dan produktif oleh petani kemudian diambil-alih dan dibebaskan secara paksa dengan berbagai macam cara. Masyarakat merasa tidak pernah diajak musyawarah dan prosedur pembebasan tanah dianggap tidak sesuai dengan ketentuan hukum baik hukum

236 Undang Fajar dan Herman. 2002.

Analisis Kebijakan Pengendalian Konflik Antar Masyarakat Sekitar dengan Perkebunan Besar. Bogor: Kantor Pusat Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian., hal. 42

positif maupun hukum adat. Memang tidak dapat dihindari telah terjadi kerjasama yang erat antara pemerintah pusat dan daerah dan dengan pihak perusahaan dalam pengambil-alihan dan pembebasan tanah masyarakat. Salah satu contoh kasus adalah perolehan tanah HGU oleh PT. BNIL di wilayah Desa Bujuk Agung, Indraloka II dan Banjar Agung, Kabupaten Tulang Bawang.

Menurut hasil kajian Komisi A DPRD Kabupaten Tulang Bawang yang dilaporkan pada tanggal 17 juli 2000 menyimpulkan bahwa terdapat penyimpangan prosedur yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dalam pembebasan lahan masyarakat, yakni: “Dengan memperhatikan kronologis perolehan Hak Guna Usaha No. 25 untuk PT. BNIL terlalu menyimpang dari prosedur dan terkesan terdapat rekayasa

dipaksakan eksistensinya”. “Bahwa tanah tersebut adalah tanah hak Ulayat/Marga/

Negeri yang diserahkan kepada individual.” (Sumber: Dukumen DPRD Kabupaten

Tulang Bawang, 2007).

Contoh kasus lainya adalah perluasan kawasan hutan tanaman industri oleh BUMN yang mengambil-alih tanah-tanah hak milik dan tanah ulayat masyarakat Gunung Terang, Tulang Bawang. Pengambilan tanah tersebut tidak disertai musyawarah dengan masyarakat adat setempat. Mereka menganggap bahwa tindakan perusahaan tersebut tidak sah dan cacat hukum.

4. Buruknya Sistim Administrasi Pertanahan

Mencermati banyaknya praktik penguasaan tanah dalam proses kapitalisasi oleh kekuatan institusi supra desa, maka terdapat indikasi bahwa telah terjadi kesenjangan antara meningkatnya persoalan pertanahan dengan sikap pemerintah yang kurang jelas dan tegas untuk menyelesaikannya. Terjadinya tumpang tindih pemilikan dan penguasaan tanah, batas lahan tidak jelas, proses administrasi simpang siur, yang semuanya tidak direspon secara cepat dan tegas. Pembentukan kepanitiaan pengadaan tanah untuk ‘pembangunan’ hanya melibatkan aparatus negara sampai ke tingkat desa. Kondisi ini tampak tidak ada peluang partipasi petani melalui perwakilan dan hak-hak mereka atas tanah selalu berada dalam posisi yang rentan untuk dikalahkan.

Seperti kasus penyelesaian tanah obyek landreform yang konflik horizontal

di wilayah Rawasragi II Lampung Selatan akibat mengadministrasian tanah yang buruk sehingga proses sertifikasi tanah menjadi tak kunjung selesai hingga saat ini. Masyarakat setempat justru dibingungkan dengan simbol-simbol bukti penguasaan tanah seperti pemilikan “kartu hijau” dan “kartu kuning” yang rentan praktik manipulasi dan tidak tepat sasaran. Di Sukarame Bandar Lampung, pada tahun 1979 terdapat lahan rawa-rawa yang dibuka oleh petani. Tahun 1984 lahan tersebut diambil alih oleh Pemda untuk kepentingan KORPRI. Tetapi pada

tahun 1990 tanah tersebut disertifikatkan oleh Pemda dan dibagikan kepada para “pejabat”. Proses ini kemudian muncul konflik antara petani penggarap dengan para pemilik sertifikat.238

5. Janji dan Kesepakatan Diingkari

Manipulasi persetujuan petani dan pengingkaran terhadap janji-janji dan kesepakatan yang telah dibuat ternyata juga ikut memicu maraknya persoalan pertanahan di Lampung. Petani tidak dapat berbuat banyak ketika terjadi pengingkaran oleh pemerintah maupun oleh perusahaan. Beberapa kasus yang berhasil di identifikasi sebagai berikut:

1. Para petani di desa Sinar Rezeki dan sekitarnya pada tahun 1997 melalui Gema Trikora bermusyawarah dengan PT. DHL dan pemerintah Kabupaten Lampung Selatan. Mereka mengusulkan diperbolehkan bercocok tanam di wilayah PT. DHL dengan sistem tumpang sari. Dalam pertemuan tersebut disepakati boleh melakukan tumpang sari seluas 300 hektar. Surat persetujuan dibuat oleh pemerintah kabupaten Lampung Selatan. Tetapi kesepakatan itu tidak pernah dipenuhi, bahkan muncul ancaman bagi masyarakat yang protes akan ditindak tegas oleh aparat keamanan. (Sumber: Hasil wawancara dengan bapak PS, seorang tokoh petani di desa Sinar Rezeki Lampung Selatan, 2008). 2. Di Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan, masyarakat merasa ditipu perusahaan melalui pendekatan kepala desa. Janji perusahaan bahwa setelah tiga tahun masyarakat dapat mengolah kembali lahannya ternyata diingkari. Selain itu, SK ijin operasi perusahaan yang dikeluarkan tahun 1996 ternyata tahun 1992 perusahaan sudah menguasai dan mengusahakan lahan. (Sumber: Hasil wawancara dengan ketua IPL, 2008).

3. Di kecamatan Padang Ratu sejak tahun 1970 masyarakat bersepakat tanahnya disewa oleh perusahaan selama 25 tahun dan menurut janji Gubernur Lampung tanah tersebut akan dikembalikan. Tetapi pada kenyataanya dibagi- bagi untuk perusahaan lain, untuk lahan transmigrasi dan untuk pengembangan Lembaga Penelitian (baik lahan transmigrasi maupun Lembaga Penelitian keduanya tidak difungsikan sebagaimana mestinya, tetapi justru dikerjasamakan dengan perusahaan). (Sumber: Hasil wawancara dengan ketua Mirak Nadai, 2008).

4. Di desa Dwikora, kecamatan Bukit Kemuning, Lampung Utara para petani merasa ditipu oleh para pejabat kehutanan. Pada tahun 1964 banyak yang telah memiliki surat ijin garap yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Tingkat I Lampung. Pada tahun 1983 surat ijin garap tersebut dikumpulkan oleh pemerintah dan dijanjikan akan ditingkatkan statusnya menjadi hak milik. Tiba-tiba pada tahun 1994 mereka dikejutkan akan adanya “Operasi Jaga- wana” dengan alasan demi kelancaran pembangunan Waduk PLTA Way Besai. (Sumber: Hasil wawancara dengan ibu NS, seorang aktivis gerakan tani dari desa Dwikora, 2008)

Persoalan “janji” dan “ingkar” yang dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan dalam pertarungan penguasaan tanah-tanah petani tradisional di Lampung tidak lagi tepat jika dipandang sebagai suatu tindakan kasuistik tetapi sudah menjadi realitas sosial yang menjadi bagian dari strategi penaklukan

struktural. Realitas ini diperkuat dengan sikap pemerintah yang cenderung diam dan terkesan tidak mau tahu bahkan ‘membiarkan’ ketika aparat keamanan digunakan perusahaan untuk meredam reaksi masyarakat. Bahkan pada kasus lain, pemerintah oleh masyarakat setempat dianggap telah turut membantu pengusaha dalam melakukan tindak penipuan dan membodohi petani dengan menebar janji-janji palsu demi suksesnya pembangunan.