• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arahan dan Strategi Kebijakan Perikanan Tangkap

PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN

6.4 Arahan dan Strategi Kebijakan Perikanan Tangkap

Arahan dan strategi kebijakan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan disusun berdasarkan hasil penilaian skenario model pengelolaan yang paling memungkinkan ditempuh. Hasil penilaian menunjukkan skenario model pengelolaan pada skenario III, sebagai skenario yang paling realistis untuk dikembangkan, disusun implikasi dan strategi kebijakan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan. Model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan merupakan model dengan fungsi dari enam faktor kunci, yang secara matematik dapat disusun M = f (O, T, P, H, J, K), dengan O = Orientasi pasar hasil perikanan tangkap, T = Tingkat penutupan karang, P = Tingkat Pemanfaatan perikanan tangkap, H = Pelanggaran hukum dalam pemanfaatan perikanan tangkap, J = Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap, dan K = Koordinasi instansi pemerintah. Mengacu pada model yang dihasilkan, berikut arahan dan strategi kebijakan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan 1. Orientasi pasar hasil (O)

Orientasi pasar hasil perikanan tangkap di Sulawesi Selatan masih mengedepankan produksi perikanan sebagai indikator pertumbuhan dalam menilai kemajuan kinerja ekonomi dan pembangunan. Orientasi ini sejatinya tak luput paradigma mekanisme pasar yang menghegemoni ekonomi dunia. Bila produksi perikanan meningkat, otomatis pembangunan perikanan dianggap berhasil. Padahal hal tersebut tak menjamin akan menyejahterakan nelayan. Ironisnya, produksi perikanan meningkat tapi stok sumber daya ikan dan ekosistemnya mengalami degradasi. Terkait dengan hal tersebut, orientasi pasar hasil perikanan tangkap di Sulawesi Selatan harus dirubah, yaitu selain mampu meningkatkan produksi juga harus mampu mempertahankan stok sumberdaya

ikan dan ekosistem. Lebih lanjut, peningkatan produksi perikanan di Sulawesi Selatan untuk berkelanjutan harus memperhatikan potensi pemanfaatan ikan lestari, ketersediaan sarana prasarana penunjang bagi pengembangan perikanan tangkap, berupa ketersediaan tempat pelelangan ikan (TPI), pangkalan pendaratan ikan (PPI) dan lainnya. Peningkatan fasilitas maupun kapasitas sarana dan prasarana kelautan dan perikanan ini sangat strategis untuk meningkatkan produksi dan produktivitas perikanan, serta mendorong berkembangnya usaha perikanan rakyat dan membantu tercapainya iklim yang kondusif begi pertumbuhan usaha perikanan.

Produksi perikanan tangkap di Sulawesi Selatan saat ini hanya mengandalkan penyediaan bahan baku (berupa ikan), sekaligus menjadi aktifitas yang dominan. Padahal sistem perikanan tangkap masih terdapat sub sistem pengolahan produk perikanan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Langkah yang dapat dilakukan berupa Pengembangan Unit Pengolahan Ikan Berorientasi Ekspor. Menurut Elfindri dan Bachtiar (2004) pengembangan industri yang menghasilkan produk berorientasi ekspor mempunyai dampak positif terhadap perluasan kesempatan kerja. Hal ini dikarenakan industri-industri tersebut lebih tepat untuk mencapai skala ekonomi karena luasnya pasar. Semakin luasnya pasar menyebabkan kegiatan usaha juga meningkat, sehingga keperluan terhadap tenaga kerja juga bertambah. Potensi pasar ekspor untuk produk perikanan sangat luas. Hal ini terlihat dari semakin meningkatnya permintaan produk perikanan Indonesia di pasar internasional. Sehingga program Pengembangan UPI, baik untuk skala usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), yang berorientasi ekspor untuk perluasan kesempatan kerja pada sektor perikanan dapat dilakukan. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan program ini dalam bentuk pembinaan, pelatihan dan pengawasan menyangkut kualitas dan kuantitas produk, penerapan teknologi yang lebih baik serta penyediaan informasi pasar.

Selain itu pemanfaatan output sektor perikanan dalam bentuk olahan akan meningkatkan nilai tambah yang akan diterima. Beberapa kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam program ini berupa pelatihan pengolahaan ikan dalam berbagai bentuk bahan pangan maupun non pangan berbahan dasar ikan. Setelah kegiatan pelatihan, agar program ini dapat berjalan dengan baik, harus dilanjutkan dengan pembinaan secara langsung dan terus menerus.

115

2. Tingkat penutupan karang (T)

Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem khas di kawasan pesisir, tidak terkecuali di Sulawesi Selatan, yang peran dan fungsinya sangat penting bagi pembangunan ekonomi pada umumnya dan masyarakat pesisir pada khususnya. Namun demikian, akibat pengelolaan yang tidak memadai dengan tingkat eksploitasi yang begitu intensif pada beberapa dasawarsa belakang ini, maka ekosistem terumbu karang kita pada umumnya termasuk dalam kategori kurang baik dan semakin terancam oleh pengaruh berbagai aktifiats manusia (anthropogenic), seperti penangkapan berlebih dan penggunaan alat tangkap. Lebih lanjut, DKP Sulsel (2008) menyebutkan khusus Kepuluan Spermonde hanya ditemukan terumbu karang dengan kondisi sangat bagus 2%; kondisi bagus 19,24%; kondisi sedang 63,38% dan kondisi rusak 15,38 %.

Kombinasi destructif fishing dengan penangkapan berlebih tentunya akan mengarah pada degradasi habitat yang berkepanjangan yang pada gilirannya bukan hanya akan berdampak pada penurunan kualitas lingikungan secara umum, tapi juga pada hilangnya sumber-sumber mata pencaharian masyarakat nelayan. Gejala ini telah sangat dirasakan sendiri oleh masyarakat pesisir dengan penurunan secara drastis hasil tangkapan yang mereka peroleh dari kawasan terumbu karang dibandingkan dengan pada saat sebelumnya.

Oleh karena itu, demi menyelematkan terumbu karang di Sulawesi Selatan yang masih tersisa sekaligus membantu masyarakat nelayan, perlu ada tindakan yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam tersebut secara bijaksana. Upaya yang perlu dipertimbangkan adalah melalui pelibatan masyarakat dalam rehabilitasi terumbu karang berupa transplantasi terumbu karang dan pembuatan terumbu buatan (artificial reef). Upaya rehabilitasi terumbu karang lebih lanjut merupakan upaya untuk meningkatkan fungsi ekologi terumbu karang sekaligus meningkatkan daya dukung ekologi bagi kegiatan perikanan tangkap. Lebih lanjut untuk mengurangi tekanan terhadap terumbu karang, pada beberapa lokasi yang memiliki tutupan terumbu karang yang baik, perlu menggunakan pendekatan kawasan konservasi laut, termasuk penutupan beberapa area tertentu terhadap aktifitas perikanan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat.

Keberadaan kawasan konservasi laut berdampak positif bagi sumberdaya perikanan di kawasan pesisir, yaitu memelihara sumber induk (brood stocks) agar jumlah dan ukurannya bisa meningkat sehingga produksi benihnya akan lebih baik dan melimpah serta untuk melindungi habitat dan stok ikan agar dapat tumbuh dengan baik tanpa gangguan di kawasan perlindungan (Dalton 2004). Limpahan ikan-ikan dewasa dan juga ikan-ikan kecil akan berpindah tempat (spill-over effect) keluar kawasan perlindungan (Kamukuru et al. 2004), sehingga sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan

3. Tingkat pemanfaatan perikanan tangkap (P)

Wilayah Sulawesi Selatan masuk dalam WPP IV (meliputi Selat Makassar dan Laut Flores). Pada WPP tersebut sumberdaya ikan yang masih dalam kategori dapat dimanfaatkan adalah ikan demersal, pelagis dan pelagis besar (KKP 2010). Berangkat dari hal tersebut, tingkat pemanfaatan sejumlah suberdaya ikan lainnya yang ada harus mulai dibatasi dan diawasi.

Jenis ikan pelagis kecil umumnya ditangkap dengan menggunakan purse seine, rawai, maupun huhate. Ketiga jenis alat tangkap ini sudah sesuai dengan standar penggunaan alat tangkap yang tertulis pada pasal 8.5.1 CCRF (code of conduct for responsible fisheries) “Negara-negara harus mensyaratkan bahwa alat, metode, dan praktek penangkapan ikan, sejauh bisa dilaksanakan, agar cukup selektif sedemikian rupa sehingga meminimumkan limbah, ikan buangan, hasil tangkapan spesies bukan target baik spesies ikan maupun spesies bukan ikan serta dampak terhadap spesies yang terkait atau tergantung dan bahwa maksud dari peraturan terkait tidak diabaikan oleh peranti teknis. Sehubungan dengan ini, para nelayan harus bekerjasama dalam pengembangan alat dan metode penangkapan yang selektif. Negara harus menjamin bahwa informasi tentang perkembangan dan persyaratan yang terbaru tersedia bagi semua nelayan”.

Untuk jenis ikan peruaya jauh (pelagis besar), pengelolaannya harus merujuk pada CCRF dimana pada pasal 7.1.3 dituliskan “Bagi stok ikan pelintas batas, stok ikan straddling, stok ikan peruaya jauh dan stok ikan laut lepas, yang diusahakan oleh dua Negara atau lebih, maka Negara bersangkutan, termasuk negara pantai yang relevan dalam hal stok yang straddling dan ikan peruaya jauh tersebut, harus bekerjasama untuk menjamin konservasi dan pengelolaan sumber daya yang efektif. Upaya ini harus dicapai, jika perlu, melalui pembentukan sebuah organisasi atau tatanan bilateral, subregional atau

117

regional.” WPP yang sudah mengupayakan penangkapan ikan pelagis besar secara berlebih adalah Samudra Pasifik dan Laut Sulawesi. Kelebihan upaya penangkapan ini akan menyebabkan laju pengambilan ikan melebihi laju penambahan alamiah ikan yang berdampak pada berkurangnya kemampuan stok ikan untuk memulihkan diri.

Untuk mengatur tingkat pemanfaatan ikan serta untuk mencapai tujuan-tujuan eksploitasi yang telah ditetapkan, semua pihak hanya bisa berperan secara langsung melalui dua cara yaitu dengan mengatur upaya tangkap total, atau dengan melakukan perubahan sebaran usaha tangkap menurut kelas umur dan spesies yang membentuk stok (sediaan alami) ikan. Untuk WPP yang telah mengalami kelebihan upaya penangkapan, pembatasan penangkapan harus ketat dilakukan. Jika masih ada WPP yang bisa menampung upaya penangkapan dari WPP yang overfished, seharusnya segera mengalihkan penangkapan ke WPP yang masih dalam tingkat moderate.

4. Pelanggaran hukum (H)

Konflik pemanfaatan sumberaya perikanan di Sulawesi Selatan salah satunya disebabkan adanya sejumlah pelanggaran. Pelanggaran – pelanggaran yang terjadi berupa wilayah operasi bagi alat tangkap tertentu, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan serta penggunaan bahan berbahaya.

Pengaturan wilayah operasi bagi alat tangkap tertentu diperlukan untuk mencegah menumpuknya nelayan pada suatu perairan, mengatur pemanfaatan sumberdaya ikan tertentu, perlindungan terhadap ekosistem laut dan perlindungan bagi nelayan kecil. Lebih lanjut pengaturan wilayah pemanfaatan atau mempermudah pengawasan pelanggaran terkait pemanfaatan sumberdaya perikanan.

Terkait dengan maraknya pelanggaran hukum di perairan Sulawesi Selatan juga disebabkan oleh belum adanya pengawasan dari stakeholders terkait dalam melindungi keberlanjutan perikanan tangkap. Salah satu hal yang mendesak untuk dilakukan di Sulawesi Selatan adalah penerapan undang – undang dan peraturan terkait perikanan tangkap, Pembentukan Komite Penasehat Perikanan Lokal (KPPL) dan adaptasi budaya lokal dalam pengelolaan perikanan tangkap.

Budaya lokal mempunyai hak khusus dalam melakukan pengelolaan perikanan demi terciptanya keberlanjutan sumberdaya dan menghindari konflik. Di antara hak ulayat laut yang masih berlangsung dan mampu menciptakan perikanan yang berkelanjutan di Sulawesi Selatan adalah Rompong. Adopsi nilai

– nilai lokal dalam mengatasi pelanggaran hukum yang terjadi, diharapkan lebih diterima oleh masyarakat nelayan

5. Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap (J)

Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan berupa regulasi dan kelembagaan pendukung diperlukan dalam mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan.

Di dalam masyarakat pesisir peran kelembagaan merupakan hal yang sangat penting demi tercapainya kehidupan masyarakat yang sejahtera. Lembaga dalam suatu komunitas masyarakat pesisir terdiri dari organisasi pada tingkat nelayan serta kelembagaan masyarakat desa yang diartikan sebagai norma lama atau aturan-aturan sosial yang telah berkembang secara tradisional dan terbangun atas budaya lokal sebagai komponen dan pedoman pada beberapa jenis/tingkatan lembaga sosial yang saling berinteraksi dalam memenuhi kebutuhan pokok masyarakat untuk mempertahankan nilai. Norma lama yang dimaksud yaitu aturan-aturan sosial yang merupakan bagian dari lembaga sosial dan simbolisasi yang mengatur kepentingan masyarakat di masa lalu (Arief 2009).

Fungsi dari lembaga masyarakat pesisir adalah untuk memberikan pedoman pada anggota masyarakat bagaimana bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan masyarakat, menjaga keutuhan masyarakat dan memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan system pengendalian social terhadap tingkah laku anggota-anggotanya (Idianto 2004).

Berangkat dari hal tersebut dalam mewujudkan pengelolaan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan, kelembagaan diperlukan pembentukan Komite Penasehat Perikanan Lokal (KPPL) untuk memastikan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. 6. Koordinasi instansi pemerintah (K)

Aturan dari pusat hingga daerah sebenarnya sudah ada untuk membahas pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, namun apakan dijabarkan dan diimplementasikan dengan baik yang disesuaikan dengan keunikan daerah masing-masing. Tumpang tindih antar lembaga yang sama-sama memanfaatkan laut juga sering ditemukan. Inti dari kelembagaan adalah bagaimana pengelolaan memastikan aturan, pembagian peran dan target pembangunan berjalan saling

119

bersinergi, melengkapi dan menguatkan, bukan dimaksudkan untuk bersaing berdasarkan ego masing-masing lembaga.

Lebih lanjut, koordinasi instansi pemerintah diperlukan untuk harmonisasi segenap permasalahan pada perikanan tangkap sebagai kegiatan multisektoral dan multisistem. Untuk itu di Sulawesi Selatan, dalam mewujudkan perikanan tangkap berkelanjutan menjadi tanggung jawab bersama beberapa instansi terkait seperti Dinas Perikanan dan Kelautan, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Lingkungan Hidup dan instansi lainnya. Koordinasi yang dilakukan dapat dilakukan dalam sebuah wadah atau forum semisal pembentukan Komite KelautanPerikanan di tiap wilayah kabupaten. Harapannya akan terjalin sinergitas perencanaan perikanan tangkap di tiap wilayah kabupaten pesisir di Sulawesi Selatan.

Berdasarkan penjelasan diatas, secara ringkas arahan dan strategi kebijakan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan ditampilkan pada tabel berikut : Tabel 20 Arahan dan strategi kebijakan perikanan tangkap berkelanjutan di

Sulawesi Selatan

Faktor Kunci Kendala Strategi dan Kebijakan

O : Orientasi pasar

hasil

o Fasilitas pemasaran o Pengoptimalan PPI

(Pusat Pendaratan Ikan) dan TPI (Tempat Pendaratan Ikan)

o Media promosi o Melengkapai sarana

penunjang pemasaran produk perikanan (angkutan,

transportasi menuju dan pasar)

o Jaringan pemasaran o Penyediaan media

informasi harga

produk perikanan

tangkap o Stabilitas harga produk

perikanan

o Perlindungan produk perikanan tangkap o Produk olahan perikanan

tangkap

o Pelatihan kelompok

usaha dan o budidaya

o Kredit dan usaha

mikro

o Pendampingan KUB

(Kelompok Usaha

Bersama) dalam

Faktor Kunci Kendala Strategi dan Kebijakan

T : Tingkat

penutupan karang

o Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah

o Rehabilitasi terumbu karang o Pemusatan daerah tangkapan ikan o Mitigasi terhadap habitat o Menjaga kebersihan lingkungan pesisir dan laut o Pengaturan alat tangkap o Pengaturan jalur penangkapan disesuaikan dengan kapasitas perahu o Perbaikan lingkungan

dan pusat pendaratan ikan (Environmental

Improvement and Fish Landing Centres/ IFLC

P : Tingkat Pemanfaatan perikanan tangkap o Keterbatasan pengetahuan masyarakat o Pelatihan ketrampilan bagi masyarakat o Pelibatan masyarakat dalam pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikanan o Pengaturan usaha perikanan tangkap o Pengaturan usaha perikanan tangkap H : Pelanggaran hukum o Pengetahuan perundangan perikanan o Penerapan undang – undang dan peraturan terkait perikanan tangkap

o Pengawasan terhadap

pelanggaran illegal fishing

1. Pembentukan Komite Penasehat Perikanan Lokal (KPPL)

2. Adaptasi budaya lokal dalam pengelolaan perikanan tangkap J : Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap o Lemahnya kelembagaan yang mengatur pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap 3. Pembentukan Komite Penasehat Perikanan Lokal (KPPL) K : Koordinasi instansi pemerintah Lemahnya koordinasi o Pembentukan KKPK (Komite Kelautan Perikanan Kabupaten) o KPPL (Komite Pengelolaan Perikanan Laut) di tingkat

kawasan dan desa. 4. Pembentukan Komite

Penasehat Perikanan Lokal (KPPL)

Tabel 17. Atribut penilaian keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan

No. Dimensi dan Atribut Kriteria Kondisi Skor Keterangan

Dimensi Ekologi

1 Tingkat pemanfaatan perikanan

tangkap

0 = collapsed (over fishing) 1 = tangkap lebih (pemanfaatan > daya dukung) 2 = tangkap penuh (pemanfaatan 50-100% daya dukung) 3 = kurang (pemanfaatan 0-50% daya dukung) (FAO dan Rapfish)

Peman-faatan 70,50% (50-100%)

1 Tingkat pemanfaatan mencapai 70,50%

(Bappeda 2006).

Produksi 223.258 ton terdiri dari perikanan laut 216.459 ton dan perairan umum 6.799 ton (Bappeda 2011)

2 Tingkat penutupan karang 0 = rusak (0-24%)

1 = sedang 25-49,9%) 2 = baik (50-74,9%) 3 = sangat baik (75-100%); (Gomez and Yap 1988)

24%, baik 0 Dari 200 stasiun pengamatan sudah

mengalami rusak, 36 kritis, 22 bagus, 2 sangat bagus (DKP 2008 : Terumbu Karang, CITES dan Kawasan Konservasi Prov. Sulsel). Kriteria sangat bagus : penutupan karang hidupnya berkisar 74-100%, bagus : 50-75%; kritis : 25-50%, rusak : 0-25%

3 Tingkat pencemaran perairan

laut

0 = tinggi 1 = sedang

2 = rendah s/d tidak ada

Ada, sedang 1 Berdasarkan pengamatan di pantai

terdapat pencemaran dari sumber rumah tangga/permukiman, restoran, hotel, pelabuhan, dan kapal

penangkapan ikan

4 Tingkat kedewasaan ikan yang

tertangkap (persentase ikan tertangkap sebelum dewasa)

0 = tidak ada (<30%) 1 = sedikit (30-60%) 2 = banyak (>60%)

Sedikit 1 Hasil penangkapan ikan sebagian

berupa anakan yang belum dewasa mencapai 30% atau lebih (kuesioner)

100 spesies)

2 = tinggi (>100 spesies) (Rapfish)

6 Penangkapan jenis-jenis ikan

yang dilindungi

0 = banyak terjadi 1 = kurang/ sedang 2 = tidak ada kejadian

Kurang 1 Dalam penangkapan ikan masih

terdapat jenis-jenis ikan yang dilindungi (kuesioner di DKP 2011)

Dimensi Ekonomi

1 Tingkat keuntungan usaha

penangkapan ikan 0 = kurang menguntungkan atau negatif 1 = rendah tingkat keuntungannya 2 = sedang tingkat keuntungannya 3 = tinggi tingkat keuntungannya Rendah tingkat keuntung-annya 1 -

2 Kontribusi pendapatan sektor

perikanan terhadap PDRB Kabupaten/Provinsi 0 = rendah (< 5 %) 1 = sedang (5-10%) 2 = tinggi(>10%) (Rapfish, 2000)

6,78% 1 Kontribusi sektor perikanan terhadap

PDRB Prov. Sulsel 6,78% (Bappeda 2011). 2007 = sektor perikanan Rp.2.961,42 milyar, PDRB: Rp.41.332,43 milyar; 2008 = perikanan Rp.3.178,42 milyar, PDRB:44.549,82; 2009 = perikanan Rp.3.272,77 milyar, PDRB : 47.326,08; 2010 = perikanan Rp.3.472,89 milyar, PDRB : 51.197,03 milyar. (Bappeda 2011)

No. Dimensi dan Atribut Kriteria Kondisi Skor Keterangan

3 Orientasi pasar produk ikan hasil

tangkapan

0= pasar lokal

1 = pasar lokal dan nasional 2 = pasar lokal, nasional dan ekspor

Lokal s/d interna-sional

2 Pasar lokal, kabupaten, provinsi,

nasional dan internasional (Bappeda 2011)

4 Tingkat penghasilan nelayan

dibandingkan dengan UMR Provinsi Sulse

0 = dibawah UMR

1 = hampir sama dengan UMR (+ 5% dari UMR)

2 = lebih tinggi 5% ke atas drpd UMR Rp. 825.000 (hapir sama dengan UMR) 1 Pendapatan rata2 = Rp 825.000 (kuesioner).

UMR Prov Sulsel 2008 Rp.679.000,- 2009 Rp. 950.000,- dan 2010 sebesar Rp.1.000.000,- (Bappeda 2011)

5 Tingkat penyerapan tenaga kerja

pada sektor perikanan

0 = rendah (<5%) 1 = sedang (5-10%) 2 = tinggi (>10%)

8% 1 Tingkat penyerapan tenaga di sektor

perikanan 8% (Bappeda 2011)

6 Akses nelayan terhadap

sumberdaya permodalan 0 = tidak ada 1 = sedang 2 = tinggi Cukup tersedia akses ke lembaga keuangan

1 Banyak lembaga perkreditan yang

menawarkan modal pinjaman kepada nelayan (wawancara)

7 Alternatif mata pencaharian

tambahan selain sebagai nelayan penangkap ikan

0 = tidak ada 1 = sedikit 2 = banyak

Ada, terbatas 1 Ada tersedia alternatif mata

pencaharian selain nelayan tetapi terbatas (pengamatan dan wawancara)

8 Sumber pendapatan perikanan

bagi rumah tangga nelayan tangkap

0 = pendapatan utama (full

time)

1 = musiman (seasonal) 2 = tambahan

(part time)

3 = bukan utama (casual)

Pendapatan utama

1 Kegiatan tangkap ikan merupakan

sumber penghasil utama bagi rumah tangga nelayan

9 Kepemilikan peralatan tangkap 0 = masyarakat luar

1 = campuran (lokal dan masy luar)

2 = lokal

1 (milik masya-rakat lokal dan luar)

1 Kepemilikan modal berasal dari

berbagai daerah yaitu masyarapat lokal, antar kabupaten ataupun antar provinsi

masyarakat tamat SD)

1=kurang (tamat SMP dan ke bawah)

2=sedang (tamat SMA dan ke bawah)

3=baik (0-10% tidak tamat PT dan tamat PT)

tidak tamat SD s/d tamat SD

2 Pengetahuan nelayan tentang

pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan 0=minim 1=kurang 2=sedang 3=baik

Minim 0 Umumnya tidak mengenal (wawancara

mendalam)

3 Pengetahuan nelayan tentang

alat tangkap ramah lingkungan

0=minim 1=kurang 2=sedang 3=baik

Kurang 1 Nelayan mengenal secara terbatas

tentang alat tangkap yang tidak merusak ekosistem, tetapi tidak mau menggunakan

4 Jumlah anggota keluarga nelayan 0=kecil (<3 orang)

1=cukup (4-5 orang) 2=sedang (6-7 orang) 3=sangat besar (>7 orang)

Kecil 0 Keluarga kecil nelayan dengan 1 anak

(kuesoner)

5 Usia kepala keluarga nelayan 0=belum produktif <18 tahun

1=kurang produktif >50 tahun 2=produktif 18-56 tahun

Produktif 2 Umumnya usia produktif 18-56 tahun

(kuesioner)

6 Tingkat konflik pemanfaatan

perikanan laut 0=banyak 1=sedikt 2=tidak ada Ada, sedikit/ jarang terjadi

1 Ada. Terbatas, lokal, antara nelayan

No Dimensi dan Atribut Kriteria Kondisi Skor Keterangan Dimensi Sosial

7 Jumlah rumah tangga pemanfaat

sumberdaya perikanan

0=kecil (<1/3 populasi nelayan) 1=sedang (2/3 populasi

nelayan)

2=tinggi (>2/3 popuasi nelayan) (skala Rapfish)

Tinggi, lebih dari 2/3 populasi nelayan

2 Jumlah rumah tangga yang terlibat di

kegiatan perikanan tangkap sebesar 32.275 unit berperahu s/d berkapal motor. (Bappeda 2011)

8 Upaya/program pemberdayaan

dari pemerintah daerah setempat

0=tidak ada 1=sedikit/terbatas 2=banyak

Sedikit/ terbatas 1 Ada program pemberdayaan

masyarakat namun dengan jumlah yang terbatas

9 Waktu nelayan yang dialokasikan

untuk menangkap ikan

0=hobi dan paruh waktu 1=musiman

2=penuh waktu

Musiman 1 Kegiatan penangkapan ikan dilakukan

dengan mempertimbangkan musim. Di luar musim baik maka hanya sekedar memancing saja

10 Tingkat ketergantungan ekonomi

rumah tangga nelayan dari perikanan tangkap

0=<50% (rendah) 1=50-80% (sedang) 2=>805 (tinggi)

Tinggi 2 Lebih 80% ekonomi nelayan

bergantung pada kegiatan perikanan tangkap. (kuesioner)

Dimensi Teknologi

1 Jenis alat tangkap 0=mayoritas pasif

1=seimbang 2=mayoritas aktif (skala Rapfish)

Mayoritas pasif 1 Kondisi tahun 2010 yaitu jumlah alat

tangkap 2.885.762 unit; terbesar berupa jaring insang hanyut 520.191 unit, jarring insang tetap (set gillnet) 641.780 unit dan bagan tancap 100.619 unit. Tidak ada jenis pukat tarik ikan

(fishnet) s/d pukat tarik udang (double riggs shrimp tawl). (DKP 2011)

1=agak selektif 2=selektif 3=sangat selektif

tangkap 2.885.762 unit; terbesar berupa jaring insang hanyut 520.191 unit, jarring insang tetap (set gillnet) 641.780 unit dan bagan tancap 100.619 unit. Tidak ada jenis pukat tarik ikan (fishnet) s/d pukat tarik udang

(doubleriggs shrimp tawl). (DKP 2011)

3 Tipe kapal 0=1-5 GT

1=5-10 GT 2=>10 G

5-10 GT 1 Jumlah motor 2010 :0-5 GT=9.371 unit,

5-10 GT=2.359 unit, 10-20 GT=391 unit, 20-30 GT=103 unit, dan 30-50 GT=13 unit. (DKP 2011) 4 Teknologi penanganan pascapanen 0=tidak ada 1=sedang 2=baik Cukup baik/sedang

1 Penanganan pasca panen cukup baik

diawetkan dengan menggunakan es atau dibuat ikan kering/asin.

(wawancara)

5 Tingkat ketersediaan prasarana

pendaratan ikan

0=terpusat (terbatas/kurang merata)

1=sedang (agak terbatas/cukup tersebar)

2=tersebar

Jumlah agak cukup dan cukup tersebar

1 Prasarana pendaratan ikan (TPI) cukup

tersedia untuk pendaran ikan

6 Penggunaan teknologi atau alat

yang destruktif

0=banyak atau dominan 1=sedang

2=tidak ada (skala Rapfish)

Banyak atau dominan

0 Banyak terjadi penggunaan bom ikan

maupun menggunakan racun ikan

7 Penanganan hasil ikan

tangkapan di atas kapal/perahu

0=tidak ada

1=sedang (cukup baik) 2=banyak dan dominan (baik)

Cukup baik 1 Penanganan pasca panen cukup baik

dengan menggunakan es dan freezer sebagai media pengawet. (wawancara)

No Dimensi dan Atribut Kriteria Kondisi Skor Keterangan Dimensi Teknologi 8 Penanganan pasca penangkapan sebelum dipasarkan 0=tidak ada 1=sedang

2=banyak dan dominan (skala Rapfish)

Sedang 1 Ada penanganan pasca panen

sebelum dipasarkan cukup baik dengan menggunakan es atau freezer sebagai media pengawet pada kapal. (wawancara)

9 Mobilitas alat tangkap 0=mayoritas pasif

1=sedang 2=mayoritas aktif (skala Rapfish)

Paduan antara pasif dan aktif

1 Perpaduan antara alat tangkap pasif

hingga aktif tetapi didomiasi oleh alat tangkap pasif

10 Jumlah ikan terbuang 0=banyak

1=sedikit 2=tidak ada

Sedikit terbuang 1 Hasil tangkapan ikan ada yang

terbuang tidak sesuai dengan

permintaan pasar, sehingga sebagian terbuang atau dikonsumsi rumah tangga. (pengamatan)

11 Ketersediaan sarana dan prasarana penegakan hukum instansi pemerintah 0=tidak memadai 1=kurang memadai 2=cukup