• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dimensi penilaian keberlanjutan perikanan tangkap yang digunakan berupa : 1) dimensi ekologi; 2) dimensi ekonomi; 3) dimensi sosial; 4) dimensi

5 ANALISIS KEBERLANJUTAN SUMBER DAYA PERIKANAN TANGKAP

5.1 Dimensi Ekologi

Analisis keberlanjutan dimensi ekologi perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan dilakukan terhadap 9 atribut. Berdasarkan hasil pengolahan MDS dengan Rapfish diperoleh bahwa nilai indeks keberlanjutan dari Dimensi Ekologi adalah 49,07 atau di bawah indeks 50,00. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keberlanjutan ekologi perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Sulawesi Selatan kurang berkelanjutan. Hasil analisis dengan Rapfish disajikan pada Gambar 23.

Gambar 23 Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis leverage factor diperoleh atribut yang keberadaannya berpengaruh sensitif terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (Gambar 24). Nilai RMS (root means square) semakin besar maka semakin besar pula peranan atribut tersebut terhadap sensitivitas status keberlanjutan. Hasil analisis leverage factor dari dimensi ekologi diperoleh 2 kelompok atribut, yaitu atribut yang berpengaruh sensitif (3 atribut) dan berpengaruh tidak sensitif (6 atribut).

a. Atribut yang berpengaruh sensitif

Diperoleh 3 (tiga) atribut yang berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (nilai indeks keberlanjutan ekologi) yaitu : (1) tingkat penutupan karang (RMS = 2,18); (2) Tingkat pemanfaatan perikanan tangkap (RMS =1,45); dan (3) kecepatan arus laut (RMS =1,09).

65

1. Tingkat penutupan karang

Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis ekosistem terumbu karang merupakan tempat berbagai organisme yang berasosiasi dengannya untuk berlindung, mencari makan (feeding ground), pemijahan (spawning ground) dan pengasuhan (nursery ground). Fungsi ekologi terumbu karang terhadap populasi sumberdaya ikan karang penting karena ekosistem terumbu karang memiliki fungsi sebagai spillover yang berkontribusi terhadap penyediaan ikan muda/remaja di daerah tangkapan (fishing ground). Sedangkan secara ekonomi, ekosistem terumbu karang memiliki kontribusi terhadap penyediaan stok bagi perikanan tangkap.

Ekosistem terumbu karang mempunyai nilai ekonomi yang didasarkan atas perhitungan manfaat dan biaya pemanfaatan. Manfaat langsung yang dapat dirasakan dari keberadaan ekosistem terumbu karang adalah perikanan karang. Jumlah panenan ikan, kerang dan kepiting dari terumbu karang secara lestari dapat mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12 % dari jumlah tangkapan perikanan dunia. Lebih lanjut Caesar (1996) menyatakan bahwa terumbu karang yang termasuk dalam kategori sangat baik dapat menyumbangkan 18 ton ikan per km2 per tahun, sedangkan yang termasuk dalam kategori baik dan cukup adalah sebesar 13 ton/km2/tahun dan 8 ton/km2/tahun. Apabila dikalkulasikan secara ekonomi, nilai terumbu karang yang ada adalah sebesar 4,2 milyar $US dari aspek perikanan, wisata dan perlindungan laut.

Berdasarkan hal tersebut diatas dapat djelaskan, tingkat tutupan terumbu karang merupakan parameter yang merepresentasikan fungsi ekosistem terumbu karang. Tingkat penutupan karang di lokasi penelitian rata-rata sudah mengalami kerusakan, sehingga berpengaruh terhadap fungsi ekologis terumbu karang sebagai habitat ikan laut dan penyedia sumberdaya (provisioning service). Kondisi ini berpengaruh juga terhadap daya dukung lingkungan bagi pemanfaatan perikanan tangkap. Berdasarkan hasil pengamatan dari 13 stasiun yang dilakukan oleh Coremap, diperoleh data bahwa 40 stasiun sudah mengalami kerusakan, 36 stasiun kritis, 22 stasiun bagus, dan 2 stasiun sangat bagus. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar penutupan karang sebagai habitat ikan telah mengalami kerusakan. Kondisi tersebut selanjutnya berpengaruh terhadap aktivitas reproduksi perikanan laut.

Berkurangnya penutupan terumbu karang berdampak negatif pada ekosistem dan kenyataannya dampak tersebut sering dilupakan dalam pembangunan perikanan berkelanjutan. Fauzi (2001) mengungkapkan bahwa pemanfaatan sumber daya haruslah tidak melebihi daya dukung ekologis. Untuk itu dilakukan sedemikian rupa untuk tidak merusak keberadaan sumber daya yang ada.

Ikan merupakan organisme yang jumlahnya paling melimpah di daerah terumbu karang. Selain itu, komunitas ini merupakan penyokong hubungan yang ada dalam ekosistem terumbu karang. Jenis dan kelimpahan ikan karang sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan perairan, bentuk dan luasan terumbu karang hidup, substrat dasar, serta asosiasi dengan organisme bentik, sehingga dengan kondisi terumbu karang dan lingkungan perairan yang baik dalam pemanfaatan ruang dan penyediaan pakan, maka keanekaragaman jenis dan jumlah individu akan semakin tinggi (Tarigan et al. 2008).

Lebih lanjut, dalam perikanan yang bergantung sepenuhnya pada ikan di terumbu karang, tingkat tangkapan mungkin berkurang dan komposisi hasil tangkapan dapat berubah menjadi jenis-jenis ikan herbivor. Ikan-ikan ini umumnya bernilai jual lebih rendah, sehingga pendapatan nelayan berkurang. Komunitas nelayan dengan sedikit pilihan sumber pendapatan akan mengalami kesulitan. Kegiatan perikanan tangkap yang menargetkan ikan besar dan mencari makanannya di dekat terumbu karang akan mengalami penurunan tangkapan jika jenis tersebut bermigrasi ke daerah yang lebih baik untuk mencari mangsanya. Untuk perikanan dengan target jenis ikan kecil dan menempati daerah terumbu karang pada kurun waktu tertentu dalam hidupnya, akan mengalami penurunan tangkapan saat terumbu karang menghilang.

2. Tingkat pemanfaatan perikanan tangkap

Selama ini pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan ditekankan pada kepentingan jangka pendek dengan besaran manfaat yang sedikit dibandingkan dengan jangka panjang. Umumnya nelayan bersaing untuk mendapatkan ikan lebih banyak sehingga mengancam kapasitas lingkungan sumberdaya. Lebih lanjut, menurut Stergio et al (2007), penangkapan ikan memiliki pengaruh besar baik langsung maupun tidak langsung pada ekosistem pesisir dan laut. Pengaruh itu bisa diidentifikasi pada rentang waktu yang berbeda dan tingkat organisasi biologi contohnya populasi, komunitas dan ekosistem

67

Tingkat pemanfaatan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan sudah mencapai 70,50% (KKP 2011). Produksi perikanan tangkap tahun 2010 mencapai 223.258 ton terdiri dari perikanan laut 216.459 ton, dan perairan umum sebesar 6.799 ton. Lebih lanjut dijelaskan, tingkat produktivitas hasil tangkapan berdasarkan perhitungan tahun 2003 – 2010 menunjukkan setiap tahun hasil tangkapan cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan kondisi perikanan tangkap di Sulawesi Selatan telah mengalami overcapacity,

Rejim open access yang melekat pada perikanan tangkap, membiarkan jumlah dan teknologi alat tangkap berkembang tanpa kontrol telah mendorong percepatan terjadinya overcapacity di Sulawesi Selatan.Overcapacity yang juga dapat diartikan sebagai berlebihnya armada penangkapan atau tingginya teknologi penangkapan yang digunakan dalam operasi penangkapan ini telah menjadi isu dalam upaya memperbaiki sistem pengelolaan sumberdaya ikan yang ada selama ini. Terkait dengan hal tersebut, kalau selama ini pengelolaan sumberdaya ikan hanya dikonsentrasikan pada upaya bagaimana mencapai hasil tangkapan yang optimum, maka pengelolaan perikanan yang perlu dilakukan sekarang sudah mempertimbangkan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya ikan baik secara ekonomi, ekologi dan lingkungan. Alat tangkap ikan sebagai sarana utama dalam pemanfaatan ikan diatur sedemikian rupa sehingga tidak berdampak negatif baik pada pemanfaat dan pengguna sumberdaya ikan, biota, dan lingkungan perairan serta pengguna jasa perairan lainnya.

Penggunaan alat tangkap ikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan harus benar-benar memperhatikan kesetimbangan dan meminimalkan dampak negatif bagi biota lain yang kurang termanfaatkan. Hal ini penting dipertimbangkan mengingat hilangnya biota dalam struktur ekosistem laut akan mempengaruhi secara keseluruhan ekosistem yang ada.

Gambar 24. Leverage factor pada dimensi ekologi perikanan tangkap Sulawesi Selatan

3. Tingkat kecepatan arus laut

Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga alasan utama bagi ikan untuk memilih tempat hidup yaitu 1) yang sesuai dengan kondisi tubuhnya, 2) sumber makanan yang banyak, 3) cocok untuk perkembangbiakan dan pemijahan.

Tingkat kecepatan arus laut merupakan salah satu parameter kesesuaian bagi ikan untuk memiih habitat untuk melakukan perkembang biakan (nursery ground), pembesaran dan pendewasaan terhadap anakan ikan (spawning ground) maupun sebagai tempat tinggal. Kondisi tersebut ideal bagi produktivitas perkembangbiakan perikanan tangkap. Semakin tinggi kesesuaiannya maka kemampuan reproduksi akan dapat menjamin adanya ketersediaan populasi ikan dan tumbuh berkembang hingga usia tangkap. Perubahan kecepatan arus akan sangat berpengaruh terhadap fisiologi dan tingkah laku individu, populasi maupun komunitas. Kondisi ekstrim dengan menaiknya suhu air, rendahnya konsentrasi oksigen terlarut dan pH air, lebih lanjut dapat mengakibatkan kematian pada ikan. Lingkungan dengan kondisi yang tidak optimal dapat

69

menurunkan laju metabolisme, pertumbuhan dan kemampuan bertelur dari ikan, juga merubah metamorphosis, dan mempengaruhi sistem endokrin dan pola ruaya (Roessig et al. 2004). Semua perubahan ini secara langsung berpengaruh pada populasi dan struktur komunitas ikan, yang pada akhirnya berpengaruh pada stok perikanan.

b. Atribut yang berpengaruh tidak sensitif

Terdapat 6 (enam) atribut yang tidak berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (nilai indeks keberlanjutan ekologi), artinya memiiki peranan yang kecil dalam penentuan status keberlanjutan. Atribut yang paling tidak berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan ekologi yaitu : (1) pencemaran air laut (RMS = 0,05).

1. Pencemaran air laut

Peraturan Pemerintah No.19/1999 menjelaskan pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Lebih lanjut, UNCLOS III (United Nations Convention on the Law of the Sea) memberikan pengertian bahwa pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga dapat merugikan terhadap sumber daya laut hayati (marine living resources), bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar, memerosotkan kualitas air laut dan menurunkan mutu kegunaan dan manfaatnya.

Berdasarkan hal tersebut, atribut pencemaran air laut merupakan salah satu atribut penting terhadap penciptaan kondisi ekologi bagi perikanan tangkap. Meski demikian, atribut pencemaran air laut hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap status keberlanjutan dimensi ekologi. Pengaruh yang kecil atribut pencemaran air laut terhadap status keberlanjutan di Sulawesi Selatan disebabkan pada kawasan perairan Sulawesi Selatan memiliki kecepatan arus yang cukup tinggi. Kecepatan arus, menjadikan perairan Sulawesi Selatan memiliki flushing time yang tinggi sehingga pencemaran air laut yang ada tidak berpengaruh terhadap biota laut sekaligus terhadap keberlanjutan perikanan tangkap.

Keberadaan Laut Sulawesi yang sangat terbuka terhadap Samudera Pasifik memungkinkan terjadinya aliran arus Samudera Pasifik masuk ke laut Sulawesi melalui percabangan Selatan Mindanao ke arah Barat daya. Arus tersebut dibelokkan ke selatan kemudian ketika sampai di bagian tengah laut dibelokkan ke Timur dan kembali mengalir ke Timur di sepanjang pantai Utara Sulawesi. Di daerah baratlaut Halmahera arus pantai ini bertemu kembali dengan arus dari percabangan Mindanao yang datang dari utara antara Pulau Sangihe dan Talaut dan bertemu dengan air yang ke luar dari Laut Maluku, dan membentuk percabangan dari Arus Sakal (Counter Current). Sistem sirkulasi arus ini terjadi selama sepanjang tahun bahkan mungkin meluas ke arah Barat. Arus di Selat Makassar dari bulan Pebruari sampai dengan September hampir seluruhnya didukung oleh air dari sistem arus ini. Tetapi dari Oktober hingga Januari, ketika Angin Utara dominan bertiup di atas Laut Sulawesi, mengakibatkan arus Mindanao berbalik arah ke Timur, berganti ke Timur, dan air dari Laut Sulu mengalir melalui bagian Barat Laut Sulawesi masuk ke Selat Makassar. Di bagian Utara Laut Sulawesi air secara umum bergerak lemah dan tidak teratur, tetapi pergerakan masuk ke laut Sulu dominan dari bulan Maret hingga Juli dan pergerakan di bulan-bulan yang lain adalah bergerak ke arah Barat daya.

5.2 Dimensi Ekonomi

Hasil analisis Rapfish Sulawesi Selatan terhadap 9 atribut dimensi ekonomi secara parsial, dihasilkan nilai indeks tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial sebesar 63,13 (berada di atas 50,00) berarti cukup berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekonomi disajikan pada Gambar 25.

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis leverage factor diperoleh atribut yang keberadaannya berpengaruh sensitif terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (Gambar 25). Nilai RMS (root means square) semakin besar maka semakin besar pula peranan atribut tersebut terhadap sensitivitas status keberlanjutan. Hasil analisis leverage factor dari dimensi ekologi diperoleh 2 kelompok atribut, yaitu atribut yang berpengaruh sensitif (3 atribut) dan berpengaruh tidak sensitif (6 atribut).

71

a. Atribut yang berpengaruh sensitif

Diperoleh 3 (tiga) atribut yang berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (nilai indeks keberlanjutan ekonomi) yaitu : (1) Orientasi pasar produk hasil perikanan (RMS = 2,64), (2) Sumber pendapatan perikanan tangkap bagi nelayan (RMS =.2,28), dan (3) Kepemilikan peralatan tangkap (RMS = 0,64).

Gambar 25 Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan

Gambar 26 Leverage factor pada dimensi ekonomi perikanan tangkap Sulawesi Selatan

1. Orientasi pasar

Pemasaran dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menciptakan nilai ekonomi suatu barang. Kotler, 2007 mengatakan bahwa pemasaran merupakan suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai kepada pihak lain. Pemasaran menjadi penghubung antara produsen dan konsumen.

Hasil tangkapan ikan tidak mempunyai nilai ekonomi sampai didistribusikan dan dipasarkan kepada konsumen. Aspek orientasi pasar sangat penting dalam pengembangan perikanan tangkap. Hal ini terkait dengan karakteristik sumberdaya ikan yang relatif cepat mengalami penurunan mutu . Oleh karena itu hasil tangkapan ini harus segera dipasarkan kepada konsumen untuk dikonsumsi atau menjadi bahan baku industri pengolahan. Disamping itu, orientasi pasar memainkan peranan yang besar dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para pelakunya terutama nelayan. Hasil tangkapan yang dipasarkan dengan baik akan memberikan keuntungan yang besar kepada nelayan yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.

Namun demikian dalam pelaksanaannya pemasaran hasil tangkapan di Sulawesi Selatan relatif kompleks. Kompleksitas tersebut pertama berkaitan dengan daerah pemasaran yang tidak hanya pemasaran antar daerah di dalam negeri, tetapi yang lebih memungkinkan adalah pemasaran luar negeri dengan pelaku usaha negara tetangga. Kedua, berkaitan dengan pola keterikatan nelayan dengan pihak lain. Orientasi pasar hasil perikanan tangkap di Sulawesi Selatan meliputi pasar lokal, kabupaten, provinsi maupun pasar nasional serta internasional. Ketersediaan pasar produk perikanan tangkap ini mampu mendorong tingkat eksploitasi jenis ikan komersial terutama ikan karang. Produksi ikan karang cenderung terus mengalami kenaikan. Hal ini menunjukkan produksi perikanan tangkap yang cenderung meningkat sesuai dengan tingkat permintaan pasar.

Meskipun keberlanjutan ekonomi ditentukan oleh faktor pengungkit orientasi pasar namun tidak menjamin keberlanjutan ekologi, khusus terhadap sumberdaya ikan. Hal ini disebabkan bahwa kebutuhan pasar dipenuhi oleh suplai ikan yang tidak mempertimbangkan asal tempat hasil penangkapan

73

(fishing ground). Kebutuhan ikan dapat diperoleh dari berbagai tempat fishing ground dan termasuk juga berasal dari luar Sulawesi Selatan.

Tingginya orientasi pasar ini, hendaknya diikuti dengan sistem kontrol sumberdaya yang baik. Pemanfaatan sumberdaya ikan karang hendaknya juga mempertimbangkan daya dukung pemanfaatan Berdasarkan hal tersebut, maka dalam upaya peningkatan produksi perikanan tangkap untuk memenuhi permintaan pasar, perlindungan terhadap ekosistem tetap diperlukan untuk menjamin ketersediaan stok sumber daya ikan

2. Sumber pendapatan nelayan

Nelayan adalah orang/individu yang aktif dalam melakukan penangkapan ikan dan binatang air lainnya. Tingkat kesejahteraan nelayan sangat ditentukan oleh hasil tangkapannya. Banyaknya tangkapan tercermin juga besarnya pendapatan yang diterima oleh nelayan yang nantinya sebagian besar digunakan untuk konsumsi keluarga. Dengan demikian tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi keluarga sangat ditentukan oleh pendapatan yang diterimanya.

Para nelayan melakukan pekerjaan ini dengan tujuan memperoleh pendapatan untuk melangsungkan kehidupannya. Sedangkan dalam pelaksanaannya dibutuhkan beberapa perlengkapan dan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam guna mendukung keberhasilan kegiatannya. Menurut Salim (1999) faktor yang mempengaruhi pendapatan nelayan meliputi faktor sosial dan ekonomi yang terdiri dari modal, jumlah perahu, pengalaman melaut,jarak tempuh melaut, jumlah tenaga kerja. Pendapatan nelayan berdasarkan besar kecilnya volume tangkapan,masih terdapat beberapa faktor yang lainnya yang ikut menentukan keberhasilan nelayan yaitu faktor sosial dan ekonomi selain tersebut diatas.

Di Selat Makassar hasil tangkapan di pengaruhi oleh musim angin Barat, angin Timur dan musim Pancaroba. Musim angin Barat terjadi sekitar bulan Januari sampai Maret dan biasanya diikuti musim penghujan dengan angin kencang yang dapat menimbulkan gelombang laut yang besar. Musim angin Timur terjadi pada bulan Juli sampai September yang diikuti oleh musim Kemarau dan ditandai dengan kurangnya kecepatan angin, sehingga gelombang laut agak tenang. Musim Pancaroba adalah musim peralihan, terjadi pada bulan April sampai Juni dan antara bulan Oktober sampai bulan Desember. Keadaan laut pada musim Pancaroba tidak dapat diduga karena sewaktu-waktu gelombang laut tenang dan di waktu lain menjadi besar.

Produksi perikanan sangat dipengaruhi oleh musim. Saat musim Barat yang di sebut musim paceklik, nelayan kurang atau bahkan tidak melaut karena besarnya ombak sehingga produksi perikanan pada uumumnya menurun. Sebaliknya, saat musim timur tiba para nelayan sangat bersyukur karena pada musim ini kondisi laut sangat bersahabat, sehingga para nelayan dengan semangat baharinya berbondong-bondong melaut untuk mengkap ikan, sehingga musim timur ini juga di sebut musim ikan karena produksi ikan sangat melimpah. Musim juga sangat mempengaruhi harga jual produk perikanan, pada saat musim barat harga ikan meningkat karena kurangnya aktivitas penangkapan, sedangkan pada musim timur harga ikan menurun akibat hasil yang melimpah.

Peranan penghasilan dari kegiatan perikanan tangkap terhadap ekonomi rumah tangga merupakan penghasilan utama, sehingga nelayan berusaha maksimal untuk memperoleh hasil tangkap yang cenderung berlebih. Nilai ekonomi perikanan tangkap menjadi pendorong utama bagi masyarakat untuk melakukan tangkap ikan, disamping untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga nelayan sendiri.

3. Kepemilikan peralatan tangkap

Kepemilikan usaha perikanan oleh nelayan dianalogkan dengan penguasaan luas areal lahan pada ekonomi rumahtangga pertanian. Usaha perikanan yang dimiliki menyangkut semua asset yang digunakan dalam upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, seperti : kepemilikan alat tangkap, kapal penangkap ikan, mesin pendorong, alat penunjang dan personil armada penangkapan. Lama kepemilikan alat tangkap tergantung pada umur ekonomis dan daya beli nelayan terhadap alat tangkap yang baru.

Menurut Mulyadi (2007), nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat milik orang lain. Sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain. Mengacu pada hal tersebut, nelayan juragan memiliki pendapatan yang lebih baik dibandingkan nelayan yang buruh nelayan dan buruh perorangan. Lebih lanjut, dapat dikatakan kepemilikan alat tangkap berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan nelayan.

75

Nelayan tradisional pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini disebabkan ciri-ciri yang melekat pada mereka yaitu suatu kondisi yang subsisten, dengan modal yang kecil, teknologi yang digunakan dan kemampuan/skill serta perilaku yang tradisional baik dari segi keterampilan, psikologi dan mentalitas (Susilowati, 1991). Nelayan tradisional menggunakan perahu-perahu layar dalam aktivitasnya di pantai-pantai laut dangkal. Akibatnya, purata produktivitas dan pendapatannya adalah relatif rendah, di samping penangkapan di laut dangkal sudah berlebihan (over-fishing) (Susilowai 2001).

Nelayan yang menjadi sasaran TPI sendiri sepertinya terbatas kepada nelayan tradisional (peasant-fisher) dan post-fisher. Kepemilikan alat tangkap dapat menunjukkan tingkat pendapatan seorang nelayan. Pendapatan yang berbeda akan menghasilkan pola pikir yang berbeda dalam memandang suatu kebutuhan. Amanah et al. (2005) menyatakan bahwa masyarakat pesisir seringkali memiliki kesempatan yang lebih rendah dalam mengakses pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti pendidikan, kesehatan dan pemenuhan sarana produksi usahanya sehingga terkadang kondisi sosial ekonominya relatif masih rendah.

b. Atribut yang berpengaruh tidak sensitif

Terdapat 6 (enam) atribut yang tidak berpengaruh terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan (nilai indeks keberlanjutan ekonomi), artinya memiiki peranan yang kecil dalam penentuan status keberlanjutan. Atribut yang paling tidak berpengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan ekonomi yaitu : (1) penghasilan nelayan (RMS = 0,12); dan (2) penyerapan tenaga kerja (RMS = 0,10).

1. Penghasilan nelayan

Penghasilan nelayan tradisonal di Sulawesi Selatan utamanya berasal dari kegiatan perikanan tangkap. Meski pada saat tertentu penghasilan yang didapat dari kegiatan perikanan tangkap dapat dijadikan penopang, namun pada saat tertentu dimana nelayan tidak melaut, memerlukan sumber pendapatan lainnya seperti pengolahan ikan dan berdagang ikan yang umumnya dilakukan oleh wanita. Menurut Wahyono et. al (2007), penghasilan usaha tangkap nelayan sangat berbeda dengan jenis usaha lainnya, seperti pedagang atau bahkan petani. Jika pedagang dapat mengkalkulasikan keuntungan yang diperolehnya setiap bulannya, begitu pula petani dapat memprediksi hasil panennya, maka

tidak demikian dengan nelayan yang kegiatannya penuh dengan ketidakpastian (uncertainty) serta bersifat spekulatif dan fluktuatif. Berangkat dari hal tersebut dalam menciptakan keberlanjutan dimensi ekonomi, diversifikasi sumber pendapatan diperlukan untuk meningkatkan penghasilan nelayan yang tidak menentu. Hal ini pula yang menjelaskan dalam perikanan tangkap yang berkelanjutan pada dimensi ekonomi, atribut penghasilan nelayan tidak berpengaruh terhadap naik atau turunnya keberlanjutan perikanan tangkap di Sulawesi Selatan.

2. Penyerapan tenaga kerja

Fenomena kesejahteraan nelayan yang rendah merupakan pemasalahan yang sering terjadi, terutama pada nelayan tradisional sehingga menghambat pembangunan subsektor perikanan khususnya perikanan tangkap. Rendahnya