• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN

6.1 Identifikasi Faktor Dominan

Identifikasi faktor dominan dalam sistem pengelolaan perikanan tangkap Provinsi Sulawesi Selatan dilakukan terhadap faktor pengungkit (leverage factor) dari setiap dimensi keberlanjutan yang diperoleh dan beberapa faktor lainnya yang mempunyai peluang mempengaruhi kinerja sub-sistem dari hasil analisis leverage dengan menggunakan Rapfish. Faktor pengungkit (leverage) dari kelima dimensi keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 16 faktor, yaitu :

1. Tingkat penutupan karang.

2. Tingkat pemanfaatan perikanan tangkap. 3. Kecepatan arus laut.

4. Orientasi pasar produk hasil perikanan tangkap.

5. Sumber pendapatan perikanan bagi ekonomi keluarga nelayan. 6. Kepemilikan peralatan tangkap.

7. Usia kepala keluarga nelayan tangkap.

8. Jumlah rumah tangga nelayan pemanfaat sumberdaya perikanan. 9. Ketergantungan rumah tangga nelayan pada perikanan tangkap. 10. Pengetahuan nelayan tentang peralatan tangkap ramah lingkungan. 11. Koordinasi antar instansi pemerintah.

12. Tingkat pelanggaran hukum dalam aktivitas perikanan tangkap. 13. Kebijakan pengaturan perikanan tangkap.

14. Ketersediaan sarana prasarana (sarpras) dalam rangka penegakan hukum instansi pemrintah.

15. Penggunaan teknologi atau alat tangkap ikan yang destruktif terhadap ekosistem kawasan perikanan tangkap.

16. Selektivitas alat tangkap.

Leverage factor yang diperoleh dari analisis leverage tersebut kemudian dilakukan tingkat pengaruh antar faktor yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Analisis dilakukan menggunakan analisis prospektif. Pengaruh faktor terhadap faktor yang lain dapat bersifat kuat, sedang, lemah, sampai dengan tidak ada pengaruhnya. Penilaian tingkat pengaruh ini maka karakter faktor

105

memiliki tingkat pengaruh maupun tingkat ketergantungan terhadap faktor lainnya di dalam sistem pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan. Hasil dari analisis prospektif adalah pengelompokan faktor kedalam 4 (empat) kuadran yaitu kuadran I disebut sebagai input atau faktor penentu (driving varables), kuadran II disebut sebagai stake atau faktor penghubung (leverage variables), kuadran III disebut output atau faktor terikat (output variables), dan kuadran IV disebut unused atau faktor bebas (marginal variables). Hasil analisis prospektif dalam sistem pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan Provinsi Sulawesi Selatan disajikan pada Gambar 33.

Gambar 33 Hasil analisis prospektif dalam sistem pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan Provinsi Sulawesi Selatan

Hasil analisis prospektif pada Gambar 29 diperoleh bahwa faktor yang memiliki pengaruh kuat dan ketergantungan lemah sebanyak 1 (satu) faktor yaitu orientasi pasar hasil perikanan tangkap. Faktor-faktor dengan pengaruh kuat dan ketergantungan kuat yaitu sebanyak lima faktor yaitu (1) Tingkat penutupan karang; (2) Pemanfaatan perikanan tangkap; (3) Tingkat pelanggaran hukum dalam pemanfaatan perikanan tangkap; (4) Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap; dan (5) Koordinasi instansi pemerintah. Memperhatikan hal tersebut maka faktor yang dominan (kunci) di dalam Sistem Pengelolaan Perikanan Tangkap Provinsi Sulawesi Selatan adalah faktor yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja sistem sebanyak enam faktor yaitu (1) Orientasi pasar hasil perikanan tangkap; (2) Tingkat penutupan karang; (3) Pemanfaatan perikanan

tangkap; (4) Pelanggaran hukum dalam pemanfaatan perikanan tangkap; (5) Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap; dan (6) Koordinasi instansi pemerintah. Keenam faktor tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kinerja sistem pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di provinsi Sulawesi Selatan. Keenam faktor ini perlu dikelola dengan lebih baik.

Analisis morfologis dipergunakan dalam memprediksi perubahan yang mungkin terjadi di masa depan (state), sehingga model pengelolaan berkelanjutan diarahkan kepada kondisi yang lebih baik ke dapan. Faktor dengan kondisi kinerja yang sudah baik dipertahankan kinerjanya, sedangkan faktor dengan kondisi kinerja yang kurang baik kecenderungan perubahannya maka perlu diintervensi agar perubahannya ke arah yang lebih baik.

a. Orientasi pasar hasil perikanan tangkap.

Hasil perikanan tangkap di Sulawesi Selatan dipasarkan baik di pasar lokal, kabupaten, provinsi, lintas provinsi, maupun secara nasional maupun nasional. Pasar lokal dan kabupaten umumnya hasil perikanan dengan jenis ikan yang kurang diminati oleh pasar provinsi maupun pasar internasional (ekspor). Pasar lokal dan antar kabupaten biasa dipasarkan dengan menggunakan kendaraan roda dua, mobil pickup maupun dengan kapal motor jika jarak ke kota kabupaten lainnya berdekatan. Lebih lanjut untuk pasar provinsi umumnya didistribusikan dengan menggunakan modil pick-up dan dengan perlakuan pengawetan yang baik.

Pengiriman pasar nasional sampai dengan pasar internasional (ekspor) dilakukan dengan menggunakan teknik pengemasan yang sangat baik dan dikirim dengan menggunakan pesawat udara. Memperhatkan pasar ikan Sulawesi Selatan di luar daerah atau luar negeri yang terjamin kontinyuitasnya maka mendorong para nelayan dan pemanfaatan perikanan tangkap untuk melakukan eksploitasi secara optimal. Jaminan pemasaran yang baik ini dapat mendorong nelayan untuk memburu jenis-jenis yang laku dipasaran dengan harga tinggi, dan yang hidup di perairan dangkal. Kondisi ini mendorong eksploitasi pemanfaatan ikan pada jenis tertentu pada wilayah yang dapat dijangkau. Pemanfaatan ikan secara berkelanjutan terkait dengan kondisi ekologi pada suatu kawasan. Pada kawasan dengan ekosistem yang memiliki fungsi ekologi yang mendukung bagi perkembangan sumberdaya ikan, akan mampu menyediakan stok bagi usaha perikanan tangkap. Untuk itu upaya perikanan tangkap harus disertai dengan upaya pelestarian ekosistem

107

penunjang bagi perikanan tangkap, seperti terumbu karang, sebagai faktor penghubung dalam pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi Selatan ( Gambar 33). Hal lain yang sangat penting adalah pemanfaatan sumberdaya ikan di setiap daerah penangkapan tidak melebihi daya dukung. b. Tingkat penutupan karang.

Fungsi ekologi dari ekosistem terumbu karang hendaknya dapat dipertahankan secara maksimal. Hal ini penting karena ekosistem terumbu karang memberikan kontribusi terhadap suplai ikan ke daerah penangkapan. Lebih lanjut, strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang ditekankan pada upaya :

- Meningkatkan persen tutupan terumbu karang hingga diatas 50%

- Mempertahankan dan memperluas keberadaan ekosistem terumbu karang - Mencegah penurunan kualitas perairan dan lingkungan ekosistem terumbu

karang

- Mencegah kerusakan terumbu karang dari aktifitas pemanfaatan yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap terumbu karang.

c. Pemanfaatan perikanan tangkap.

Penggunaan alat tangkap berupa motor 0 - 10 GT masih mendominasi di wilayah perairan Sulawesi Selatan. Kondisi ini akan dpat mengancam beberapa species tertentu yang hidup di sekitar 0 - 5 mil laut atau rata-rata berupa perairan dangkal. Spesies ikan yang biasa hidup di perairan dangkal mendapatkan aktivitas penangkapan ang lebih intensif sehingga populasi ikan semakin merosot tajam karena tidak sesuai dengan produktivitas dari populasi ikan. Disamping itu, dengan intensifnya penangkapan ikan dan penggunaan alat motor yang terbatas, serta langkanya ikan tangkapan, banyak nelayan menggunakan teknis yang dapat merusak ekosistem terumbu karang. Terumbu karang yang rusak maka habitat sebagai tempat reproduksi ikan dan pembesaran ikan semakin terganggu sehingga kondisi stok ikan di wilayah tangkapan ikan ikut terganggu.

d. Pelanggaran hukum dalam pemanfaatan perikanan tangkap.

Pelanggaran hukum yang ditemukan di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan diantaranya penggunaan jaring double trawl ship yang dapat menangkap semua jenis dan ukuran jenis ikan, penggunaan bom ikan, pemindahan ikan dari kapal tangkapan di perairan Indonesia ke atas kapal ikan berbendera asing tanpa dokumen, serta penggunaan kapal tangkap tanpa ijin. Kondisi ini mengakibatkan jumlah ikan hasil tangkapan tidak dapat dideteksi secara baik dan pendapatan negara dari sektor perikanan tidak dapat diperoleh.

e. Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap.

Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap menyangkut kewajiban dan larangan para pihak dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut. Pengaturan pengelolaan diharapkan dapat meningkatkan manfaat perikanan laut bagi semua pihak. Namun demikian parapihak masih belum berupaya untuk meningkatkan daya dukung dan tingkat kemanfaatan sumberdaya perikanan dengan baik. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan penggunaan bahan peledak masih ditemukan diantara para nelayan. Kondisi ini apabila dibiarkan maka akan mengganggun kondisi ekosistem perikanan tangkap.

f. Koordinasi instansi pemerintah.

Koordinasi antar instansi pemerintah masih rendah. Hal ini ditunjukkan masih lemahnya keterpaduan program dalam penanganan permasalahan pengelolaan perikanan tangkap. Sistem perikanan tangkap menyangkut ekosistem kelautan, sosial nelayan, pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam upaya perlindungan ekosistem dari kerusakan serta pengaturan produksi perikanan tangkap. Koordinasi antar instansi pemeirntah dalam pemberantasan illegal fishing berupa pengendalian penangkapan ikan oleh kapal-kapal asing serta penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang tidak ramah lingkungan masih tetap berlangsung. Kapasitas koordinasi instansi pemerintah perlu ditingkatkan melalui peningkatan sarana prasarana dan smberdaya manusia yang kompetensinya sesuai.

Hubungan keterkaitan antar instansi yang memiliki pengaruh tinggi dan ketergantungan tinggi di dalam sistem pengelolaan perikanan dalam mencapai tujuan sistem. Koordinasi antar pelaku di dalam sistem pengelolaan perikanan tangkap mampu mendorong peningkatan kinerja faktor-faktor. Koordinasi

109

menghubungkan antar faktor, antar pelaku maupun mensinergikan antar dimensi di dalam sistem pengelolaan perikanan tangkap. Koordinasi merupakan hubungan positif antar pelaku yang dimiliki oleh adanya kebersamaan antar pelaku dalam mencapai tujuan bersama. Koordinasi diperlukan oleh para pihak untuk melakukan pembagian tanggung jawab, resiko dan pembagian peran secara bersama serta mencapai kondisi yang diinginkan bersam. Koordinasi harus mampu memberikan harapan manfaat yang akan diterima secara bersama oleh masing-masing pijak secara adil sesuai dengan tingkat pengorbanan yang diberikan sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya. Jika para pihak melakukan koordinasi secara bersama harus maka akan dapat memberikan manfaat yang lebih besar daripada tidak melakukan koordinasi.

6.2 Keadaan yang Mungkin Terjadi pada Faktor Kunci (Dominan) di