• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan

Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) sebagaimana ditetapkan oleh FAO pada tanggal 31 Okrober 1995 menjelaskan bahwa pedoman ini diharapkan diacu bagi para pelaku perikanan yang meliputi negara-negara anggota PBB maupun bukan anggota, komunitas nelayan, organisasi internasional, dan semua yang libat dalam aktivitas perikanan dalam penyusunan kebijakan atau tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksploitasi, konservasi, pengolahan hasil dan pemasaran sumberdaya alam perikanan (Pasal 1 ayat 2). Code of Conduct tersebut mencakup 19 prinsip (pasal 6), yaitu :

1. Negara harus melestarikan ekosistem perairan. Penangkapan ikan harus disertai dengan tanggung jawab / kewajiban untuk melestarikan ekosistem laut.

2. Pengelolaan perikanan harus berkelanjutan dengan mempertimbangkan pemanfaatan generasi saat ini dan pemenuhan kebutuhan untuk kesejahteraan bagi generasi yang akan datang.

3. Negara berkewajiban mencegah penangkapan ikan yang berlebihan (over fishing) melebihi kapasitas / daya dukung lingkungan.

4. Kebijakan eksploitasi dan konservasi perikanan didasarkan data yang akurat dan dengan memperhatikan kearifan tradisional yang telah berkembang di masyarakat.

5. Pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan dilakukan dengan data yang akurat dan mengambil tindakan untuk tetap melindungi keberadaan sumberdaya perikanan walaupun kurang didukung dengan data dimaksud.

6. Penggunaan alat tangkap ikan secara selektif sehingga dapat memelihara keragaman biota, struktur populasi dan ekosistem perairan serta kualitas ikan terlindungi.

7. Eksploitasi sumberdaya perikana harus dilakukan secara baik (cara-cara tertentu) sehingga dapat dihindarkan menurunnya kualitas ikan hasil tangkapan dan praktik-praktik pemborosan serta dampak negative terhadap lingkungan.

8. Semua habitat perikanan baik habitat laut maupun daratan harus dilindungi untuk menjaga keberlangsungan sumberdaya perikanan.

9. Negara menjamin pengelolaan sumberdaya alam perikanan yang terintegrasi dengan pengelolaan kawasan pantai untuk kepentingan sumberdaya perikanan.

10. Kerangka kerja penegakan jaminan pemenuhan dan pelaksanaan pelestarian, manajemen dan mekanisme yang efektif untuk memantau dan mengontrol aktivitas-aktivitas kapal ikan.

11. Negara harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap perijinan kapal-kapal ikan yang berperasi.

12. Peningkatan kerjasama sub regional maupun regional untuk mendorong pelestarian dan pengelolaan sumberdaya perikanan.

13. Negara harus mempraktekkan secara transparan dan ketepatan waktu atas penyelesaian masalah yang bersifat mendesak.

14. Perdagangan internasional ikan segar harus sesuai dengan prinsip, hak dan kewajiban yang tercantum dalam kesepakatan WTO dan kesepakatan internasional.

15. Negara berkewajiban mencegah terjadinya sengketa dalam praktek dan aktivitas perikanan.

16. Negara berkewajibam meningkatkan kesadaran tanggung jawab (bagi pekerja perikanan dan nelayan) melalui pendidikan dan pelatihan.

15

17. Negara menjamin penyediaan prasarana perikanan (fasilitas, perlengkapan) yang memungkinkan kondisi kerja yang aman, sehat dan terbuka serta berstandar internasional.

18. Negara menjamin terpenuhinya hak nelayan dan pekerja perikanan, khususnya nelayan subsisten (menangkap ikan hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari) maupun melindungi daerah tangkapan tradisional.

19. Negara dapat mengembangkan perikanan budidaya air sebagai sarana untuk diversifikasi pangan dan pendapatan, tanpa mengancam kelestarian lingkungan dan tidak berdampaknegatif bagi masyarakatlokal / tradisional.

Disamping ke-19 prinsip tersebut, CCRF juga menekankan perlunya penanganan pascapanen, dan pengelolaan perikanan secara terpadu, serta perlindungan terhadap hak-hak khusus kepada masyarakat pantai atas daerah tertentu yang merupakan wilayah perairan di sekitar desa masyarakat lokal.

Pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan memiliki karakteristik (Monintja 2001), yaitu :

a. Proses penangkapan yang ramah lingkungan, yaitu (1) selektivitas tinggi, (2) hasil tangkapan yang terbuang rendah, (3) tidak membahayakan keanekaragaman hayati, (4) tidak menangkap jenis-jenis ikan yang dilindungi, (5) tidak membahayakan habitat, (6) tidak membahayakan kelestarian sumberdaya ikan target, (7) tidak membahayakan keselamatan nelayan, dan (8) memenuhi CCRF.

b. Volume produksi tidak berfluktuasi drastis (suplai seimbang). c. Adanya jaminan pasar.

d. Usaha penangkapan ikan masih menguntungkan.

e. Tidak menimbulkan perpecahan di dalam masyarakat (konflik sosial) dan memenuhi persyaratan legal (ijin dari pemerintah).

Penangkapan ikan telah berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi dan keterbatasan kelimpahan sumberdaya perikanan tangkap. Metode penangkapan ikan yang ramah lingkungan telah dikembangkan sesuai dengan tuntutan dunia internasional yang mulai mengecam danmengancam akan memboikot ekspor ikan dari negara yang penangkapannya masih merusak lingkungan. Mengingat sektor perikanan yang memberikan devisa yang cukup besar bagi Indonesia sudah seharusnya penerapan penangkapan yang merusak lingkungan dihapuskan di negara ini. Kriteria teknologi penangkapan ikan ramah

lingkungan terdiri dari antara lan memilki (1) Selektifitas tinggi, (2) Tidak destruktif terhadap habitat, (3) Tidak membahayakan nelayan (operator), (4) Menghasilkan ikan bermutu baik, (5) Produk tidak membahayakan kesehatan konsumen, (6) Minimum hasil tangkapan yang terbuang, (7) Dampak minimun terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati, (8) Tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam punah, (9) Diterima secara sosial.

2.4 Model Pengembangan Perikanan Tangkap

Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat, oleh karena itu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji. Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah guna menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Model juga diartikan suatu teknik untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran dari suatu yang kompleks, atau untuk memprediksi konsekuensi (response) dari sistem terhadap tindakan (intervensi) manusia. Model dapat berfungsi sebagai alat manajemen dan alat ilmiah. Umumnya model digunakan sebagai alat untuk mengambil keputusan tentang bagaimana pengolahan sumberdaya alam yang terbaik. Penggunaan model dalam penelitian umum merupakan cara pemecahan masalah yang bersifat umum (Eriyatno 2003).

Model perikanan tangkap dapat diwujudkan melalui pengelolaan sumberdaya yang terintegrasi. Artinya mengintegrasikan semua kepentingan dari pelaku sistem perikanan. Pengelolaan dilakukan secara terpadu untuk seluruh lingkup perairan, tidak dilakukan secara spasial per provinsi atau kabupaten. Model perikanan juga harus didukung oleh kebijakan pemerintah dan dukungan sarana dan prasarana penunjang usaha perikanan tangkap, khususnya kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, perizinan, penciptaan iklim berusaha yang kondusif, kebijakan standar mutu produk, kebijakan ekspor dan kebijakan terhadap lingkungan (Haluan et al. 2007).

Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dalam bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Apabila pengembangan perikanan di wilayah perairan ditekankan pada

17

perluasan kesempatan kerja, maka teknologi yang perlu dikembangkan adalah jenis unit penangkapan ikan yang relatif dapat menyerap tenaga kerja banyak, dengan pendapatan nelayan yang memadai. Pengembangan perikanan dibutuhkan untuk penyediaan protein bagi masyarakat Indonesia, maka dipilih unit penangkapan ikan yang memiliki produktivitas unit dan produktivitas nelayan yang tinggi, namun masih dapat dipertanggungjawabkan secara biologis dan ekonomis (Monintja 2000).

Sistem perikanan menurut Charles (2001) terdiri dari tiga komponen, yaitu sistem alam (natural system), sistem manusia (human system) dan sistem pengelolaan perikanan (fishery management system). Sistem alam terdiri dari 3 subsistem, yaitu ikan (fish), ekosistem biota (ecosystem) dan lingkungan biofisik (biophysical environment). Sistem manusia terdiri dari 4 subsistem yaitu nelayan (fishers), bidang pasca panen dan konsumen (post harvest sector and consumers), rumah tangga dan komunitas masyarakat perikanan (fishing households and communities) dan lingkungan sosial ekonomi budaya (social economic/cultural environment). Sistem manajemen dikelompokkan menjadi 4 subsistem, yaitu perencanaan dan kebijakan perikanan (fishery policy and planning), manajemen perikanan (fishery management), pembangunan perikanan (fishery development) dan riset perikanan (fishery research).

Pengelolaan sumberdaya perikanan, haruslah dikelola secara terpadu, karena dalam proses pengaturan, para stakeholder yang umumnya anggota kelompok nelayan memiliki kekuatan dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan di daerahnya. Saat ini, sudah banyak kelompok masyarakat nelayan yang sadar akan pentingnya keterlibatan mereka dalam merumuskan atau merencanakan kegiatan-kegiatan perikanan di wilayahnya (Kaplan dan Powell 2000).

Umumnya masyarakat nelayan membutuhkan koordinasi lebih lanjut dengan pemerintah dalam pembentukan peraturan yang mengatur tentang bagaimana sebaiknya memanfaatkan sumberdaya perikanan yang berkesinambungan. Pengelolaan sumberdaya perikanan, hendaknya dimengerti sebagai proses dinamis dan interaktif yang mengalami dinamika dan perubahan secara terus menerus. Untuk itu, dukungan pemerintah untuk mengelola sumberdaya perikanan yang efesien dan berkesinambungan sangat dibutuhkan saat ini (Hauck dan Sowman 2001).

Pengembangan perikanan tangkap membutuhkan kaidah-kaidah tata ruang khususnya tata ruang wilayah pesisir dan laut yang umumnya selalu berubah-berubah seriring terjadi pasang surut di wilayah pantai. Hal ini terkadang menyulitkan terutama untuk justifikasi batas wilayah administrasi daerah. Untuk kepentingan pengelolaan, batas wilayah pesisir dibagi dua macam, yaitu batas wilayah perencanaan (planning zone) dan batas wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-today management). Wilayah perencanaan dapat meliputi seluruh daratan apabila terdapat aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia yang secara nyata dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir serta masih memungkinkan untuk dikembangkan. Untuk wilayah keseharian, pemerintah mempunyai kewenangan yang dapat menetapkan beberapa peraturan terkait dengan aktivitas ekonomi atau pembangunan yang dilakukan oleh manusia (Dahuri 2001). Lebih lanjut, pengembangan perikanan tangkap memerlukan keterlibatan berbagai pihak, yaitu nelayan, pemerintah, dan stakeholder lainnya dalam pengembangan perikanan tangkap. Oleh karena itu, pengelolaan perikanan diperlukan untuk menjamin agar sektor perikanan dapat memberikan manfaat yang optimal bagi para stakeholder baik sekarang atau masa yang akan datang, serta terciptanya perikanan yang bertanggung jawab.

2.5 Kapal Perikanan

Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan (Diniah 2008). Berdasarkan Statistik Kelautan dan Perikanan, kapal perikanan terdiri atas kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan. Kapal penangkap ikan dikelompokan menjadi:

1. Perahu Tanpa Motor (PTM) – Non powered motor, adalah perahu yang digerakkan menggunakan tenaga penggerak dayung atau layar.

2. Perahu Motor Tempel (PMT) – Outboard motor, adalah kapal atau perahu yang digerakkan menggunakan tenaga penggerak mesin atau motor yang dipasang di perahu pada saat akan dioperasikan dan dilepaskan kembali pada saat selesai dioperasikan.

3. Kapal Motor (KM)-Inboard motor. Kapal motor dikelompokan lagi berdasarkan bobotnya, bobot kapal dinyatakan dalam Gross Tonnage (GT).

19

Kapal motor berdasarkan bobot dikelompokan menjadi kapal motor < 5 GT, 5-10 GT hingga >200 GT. Mesin kapal diletakkan di ruang mesin di dalam bangunan kapal.

Berdasarkan fungsinya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 34 mengelompokan kapal ikan menjadi:

1. Kapal penangkap ikan 2. Kapal pengangkut ikan 3. Kapal pengolah ikan 4. Kapal latih perikanan

5. Kapal penelitian/eksplorasi perikanan

6. Kapal pendukung operasi penangkapan ikan dan/atau pembudidaya ikan

2.6 Alat Penangkapan Ikan