• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4.4. Arahan Pengembangan

Arahan pengembangan berdasarkan penilaian potensi relatif hubungan antara jenis dan fungsi RTH di Kota Pontianak seperti tertera pada Tabel 32. Berdasarkan hubungan antara bentuk dan fungsi RTH tersebut secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Jalur hijau kota

Jenis RTH ini memiliki tingkat hubungan yang tinggi bila dihubungkan dengan fungsi ekologi. Berdasarkan konsistensi penilaian tiga kelompok responden terhadap kriteria jumla h penduduk, tingkat polusi, kenyamanan, perilaku dan kesadaran lingkungan, hubungan jenis dan fungsi RTH di atas selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 32. Penilaian potensi relatif pengembangan RTH berdasarkan hubungan jenis dan fungsi

Fungsi

No Jenis

Ekologi Sosial Ekonomi Budaya

1 Jalur hijau kota * * * * * * - *

2 Taman kota * * * * * * * * *

3 Lapangan olah raga * * * * * * * *

4 Taman rekreasi/agrowisata - * * * * * 5 Pemakaman umum * * * * - * * * 6 Green belt * * * - * * - 7 Hutan kota * * * * * * * Keterangan: * * * : T inggi * * : Sedang * : Rendah - : Kurang

a. Jalur hijau tepi jalan dan jalur hijau median jalan berfungsi:

a.1. mengendalikan lingkungan terutama terhadap CO dan CO2, debu, dan sirkulasi air serta gas NO2

a.2. mengendalikan iklim mikro terutama suhu melalui pengurangan pantulan melalui efek pendinginan uap air hasil transpirasi tumbuhan

a.3. sebagai habitat satwa

a.4. secara visual memberikan efek psikologis kepada pengguna jalan misalnya pelindung silau lampu kendaraan, peredam kebisingan, peredam emosi dan keindahan

a.5. sebagai penyanggah dan pengarah pengguna jalan

Menurut penelitian Patra et al. (2004) untuk menekan polusi udara, terutama gas NO2 dari kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan penyakit paru-paru dan pada kadar tinggi dapat mengganggu sistem syaraf, adalah dengan memperbanyak hutan dan pepohonan di kota. Beragam jenis tanaman telah dipergunakan pada jalur hijau jalan, namun sejauh ini pemilihan tanaman lebih diutamakan pada aspek estetika, kecepatan pertumbuhan dan kemudahan pemeliharaan tanaman. Aspek fungsi serta manfaat tanaman dalam meningkatkan kualitas lingkungan termasuk kualitas udara dalam menyerap polutan kurang dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Nasrullah (1997) menyatakan bahwa faktor suhu,

Gambar 22. Contoh Jalur hijau dengan pedestrian untuk pejalan kaki di Jalan H. Juanda Bogor (kiri) dan di Kuching, Sarawak (Sumber: Pemda Kota Pontianak)

intensitas cahaya dan konsentrasi gas NO2 serta faktor tanaman (kerapatan stomata) mempengaruhi jumlah serapan gas NO2 dari udara. Faktor lain yang berpengaruh diantaranya karakteristik ukuran dan be ntuk daun, adanya rambut pada permukaan daun, tekstur daun dan faktor lingkungan. Untuk megendalikan gas CO2, pada lahan 1.600 m2 yang terdapat 16 pohon yang berdiameter 10 cm mampu menyuplai O2 sebesar 14.000 liter/orang, setiap jam 1 ha daun-daun hijau dapat menyerap 8 kg CO2 yang setara dengan CO2 yang dihembuskan oleh nafas manusia sekitar 200

orang dalam waktu yang sama “diolah dari” Joga (2003)3. Jadi

keberadaan jalur hijau kota yang ditata dengan baik akan memberikan manfaat ekologi maupun sosial. yaitu rasa nyaman dan aman kepada pejalan kaki (Gambar 22).

b. Jalur hijau tepian air berfungsi selain sebagai pelindung abrasi dan erosi juga sebagai catchment area, drainase daerah aliran sungai (DAS) kawasan sekitarnya (Gambar 23) . Pada tepian Sungai Kapuas kawasan ini merupakan daerah konservasi dengan vegetasi mangrove yang berfungsi sebagai pelindung abrasi yang ditimbulkan oleh gelombang dan angin. Fungsi lainnya sebagai pelestari spesies tanaman tepian air, habitat berbagai jenis ikan dan

3

Gambar 23. Contoh Penataan Jalur hijau tepian air, berfungsi ekologis, ekonomis dan sosial di Kuching, Sarawak (Sumber: Pemda Kota Pontianak)

secara alami menjaga kualitas air sungai. Pada kawasan yang lebih luas fungsi karakteristik jalur hijau tepian air adalah sebagai penghambat arus air yang mengandung mineral dari dataran yang lebih tinggi ke badan sungai (Forman & Godron 1986).

c. jalur hijau penyempurna secara sosial berfungsi sebagai penyeimbang karakter fisik lanskap sekitarnya, penataan mengarahkan pengguna jalan dan memberikan kesan selamat datang/jalan, memberikan identitas dan kesan estetika menarik. Lokasi spesifik untuk pengembangan jenis jalur hijau ini antara lain; yaitu Gerbang Batas Kota Pontianak di jalan A. Yani dan jalan Khatulistiwa, kawasan jembatan tol Kapuas dan Landak, kawasan fery penyeberangan Siantan-Kota, Terminal Siantan, Terminal Batu Layang, Pelabuhan Laut Pontianak dan Pelabuhan Seng Hie. Kriteria masing-masing kelompok tanaman untuk jalur hijau menurut PT Jasa Marga (Persero) 1992, sebagai berikut: (a) pohon, harus memiliki perakaran yang tidak merusak jalan dan bangunan utilitas lainnya, tajuk pohon tidak terlalu rapat dan lebat sehingga tidak menutupi badan jalan, tidak mempunyai buah yang besar dan keras, tidak mudah terserang hama dan penyakit, daunnya tidak mudah rontok, tidak mudah tumbang, dapat hidup pada kondisi yang kurang baik, dapat menciptakan keindahan berupa bunga maupun daunnya serta tidak banyak

membutuhkan pemeliharaan; (b) semak, harus mudah dalam pemeliharaannya, daunnya tidak mudah rontok, berbatang dan bercabang kuat serta berdaun banyak, tahan terhadap serangan hama dan penyakit, memiliki nilai estetik, tidak membahayakan lingkungan, dapat hidup dalam kondisi yang kurang baik; (c) penutup tanah, tahan terhadap injakan, mudah dalam pemeliharaan, tahan terhadap hama dan penyakit, memberikan keindahan, dan dapat hidup dalam kondisi yang kurang baik.

Jalur hijau bila dihubungkan dengan fungsi sosial memiliki hubungan yang tinggi berdasarkan persepsi responden dari aspek kriteria jumlah pe nduduk dan kesadaran lingkungan. Maksudnya adalah ba hwa keberadaan jalur hijau pada suatu kota akan memberikan rasa aman, nyaman dan tempat berinteraksi sosial sesama masyarakat. Penambahan jalur pejalan kaki (pedestrian) yang artistik sebagai pemisah dengan jalur kendaraan semakin memberikan privasi kepada pengguna jalan. Di wilayah studi jalur hijau jalan ini tersebar pada jalur jalan yang dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat. Sebagai arahan pengembangan berdasarkan hasil penelitian Patra

et al. (2004), disarankan untuk menggunakan tanaman-tanaman yang

memiliki kemampuan yang baik dalam menyerap gas NO2 di jalur hijau jalan guna mengurangi polutan kendaraan bermotor, yang sisesuaikan dengan peruntukkannya. Selanjutnya dijelaskan, dua belas tanaman yang dapat dipergunakan sebagai elemen jalur hijau jalanan kota dengan urutan serapan gas NO2 tertinggi sampai terendah, yaitu; (1) jati putih (Gmelina arborea), (2) jati super (Tectona grandis), (3) asam jawa (Tamarindus indic us), (4) kol banda (Pisonia alba), (5) akalipa merah (Acalypha wilkesiana), (6) dadap kuning (Erythrina variegata) (7) saga pohon (Adhenanthera pavonina) (8) mahoni (Swietenia mahagoni) (9) gayam (Inocarpus vagiferus) (10) cemara angin (Casuaria equisetifolia), (11) palaqium (Palaquium arbonesis), (12) tusam (Agatis alba).

Kondisi eksisting jalur hijau kota di wilayah studi terdapat seluas 321,80 ha. Jenis tanaman yang digunakan yaitu tanjung (Mimusop elengi), angsana (Dalbergia latifolia), akasia (Acasia aulicu liformis), palem merah (Crystostachys renda), palem raja (Roystonia regia), palem putri (Vertchia

merrilli), glodogan bulat (Polya lthia fragrans), kasia golden (Cassia biflora), kol banda (Pisonia alba), akalipa (Acalypha wilkesiana), dadap kuning

(Erythrina variegata), cemara (Casuarina sp), alamanda (Alamanda

cath artica), bougenvil (Bougenvillea spectabilis), pangkas hijau (Duranta repens), soka (Ixora sp), kana (Canna indica), puring (Codiaeum variegatum), nusa indah (Mussaenda erythrophylla), hanjuang (Cordyline sp). Namun tanaman yang mendominasi adalah tanaman akasia, angsana, dan tanjung. Kawasan ini akan dikembangkan seluas 358,89 ha . Dengan demikian terjadi penambahan luas sebesar 37,09 ha. Pengembangan diarahkan pada kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi yaitu > 150 orang/ha. Kecamatan tersebut di antaranya adalah Kecamatan Pontianak Timur (Kelurahan Tanjung Hilir dan Kelurahan Tambelan Sampit) dan di Kecamatan Pontianak Selatan (Kelurahan Benua Melayu Laut). P enurunan luas jalur hijau kota yang terjadi di Kecamata n Pontianak Barat seluas 21,61 ha dan Kecamatan Pontianak Kota yaitu seluas 21,11 ha. Penurunan luas diakibatkan antara lain berubahnya pemanfaatan menjadi kawasan pemukiman, perdagangan dan pembangunan infra struktur.

2. Taman Kota

Kondisi eksisting taman kota seluas 8,37 ha. Berdasarkan RTRW sampai dengan 2012 ditetapkan seluas 7,51 ha. Maka terjadi penurunan luas sebesar 0,86 ha. Apabila dihubungkan dengan fungsi sosial dan budaya taman ini mempunyai nilai yang tinggi yaitu mewakili kepentingan penduduk dan meningkatkan pendapatan serta keindahan secara arsitektural. Taman kota merupakan sarana rekreasi bagi penduduk kota, dan sebagai sarana berientraksi sosial. Sebagai sarana penunjang perlu penambahan elemen yang mengedepankan keindahan, selain pemanfaatan jenis ta naman yang memiliki ciri dan mengandung budaya lokal. Taman kota di wilayah studi diantaranya adalah Taman Alun Kapuas, Taman Mesjid Mujahidin, Keraton Kadriah dan Tugu Khatulistiwa.

Arahan pengembangan taman kota di Kecamatan Pontianak Barat yaitu di Kelurahan Pal Lima seluas 1,75 ha. Jenis tanaman yang dikembangkan adalah tanaman buah-buahan, mengingat kawasan ini pada awalnya merupakan kebun buah-buahan lokal yang bermutu baik. Pemilihan tanaman yang spesifik

Gambar 24. Contoh taman kota dengan vegetasi tanaman dengan tajuk dimodifikasi, di Kebun Raya (Istana) Bogor

dari segi arsitektur pertamanan, mempunyai nilai penting karena dapat menghasilkan variasi bentuk tajuk yang baik (kubah, kerucut, kolumnar, atau payung) seperti suatu kebun raya (Gambar 24). Penelitian Munandar (2001), dengan memanipulasi bentuk arsitektur pohon untuk tujuan produktivitas dapat dijadikan alternatif solusi peningkatan produktivitas sekaligus nilai arsitektur. Keberadaan tanaman dengan bentuk tajuk yang bervariasi berbunga dan berbuah intensif akan memberikan pengalaman yang menarik.

3. Lapangan olah raga

Lapangan olah raga bila dihubungkan dengan dengan fungsi sosial dan fungsi budaya memiliki nilai yang tinggi. Kawasan ini berfungsi selain sebagai sarana olah raga juga untuk aktualisasi pribadi maupun kelompok, serta untuk mengakomodasi nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat. Berdasarkan kondisi eksisting di wilayah studi terdapat seluas 53,49 ha dan pengembangan sampai tahun 2012 seluas 65,25 ha, jadi terdapat peningkatan luas sebesar 11,76 ha. Keberadaan lapangan olah raga jika dihubungkan dengan jumlah penduduk dan kepadatan, maka perlu pengembangan terutama di Kecamatan Pontianak Barat yang belum memiki lapangan olah raga yaitu seluas 15,75 ha.

Fungsi lain dari lapangan olah raga yaitu vegetasi yang terdapat di kawasan ini merupakan salah satu pengendali iklim mikro kota. Menurut Frick dan Suskiyatno (1998), keberadaan vegetasi seluas 1 ha menghasilkan 600 kg O2

per hari, menerima CO2 900 kg per hari dan dapat menyaring debu sampai 85% serta dapat menurunkan suhu sampai 40C. Arahan penataan lapangan olah raga di Kota Pontianak yang sudah ada yaitu komplek Stadion Olah Raga Sultan Syarif Abdurrachman dengan luas 31,24 ha, secara ekonomi pada sisi lain kawasan ini dipergunakan juga sebagai nursery tanaman hias, komplek Lapangan Sepak Bola Keboen Sayoek seluas 2,00 ha di bagian luar dimanfaatkan sebagai pusat jajan

dan toko souvenir, serta Lapangan Golf Khatulistiwa seluas 29,45 ha

dimanfaatkan sebagai kawasan terbuka yang berde katan dengan pemukiman masyarakat di Kecamatan Pontianak Utara. Sebagai arahan pengembangan, penambahan koleksi jenis tanaman dari kelompok semak, pohon maupun penutup tanah (ground cover) pada lapangan olah raga yang sudah ada, sedangkan pengembangan pada kawasan lainnya yaitu pada pemukiman padat yang masih berpeluang untuk dijadikan sebagai sarana olah raga misalnya di Kecamatan Pontianak Timur dan Kecamatan Pontianak Barat, sehingga selain berpotensi untuk pengembangan dan penyebaran RTH juga sebagai wadah pembinaan olah raga.

4. Taman Rekreasi/Agrowisata

Berdasarkan kondisi eksisting di wilayah studi terdapat taman rekreasi/agrowisata seluas 818,24 ha. Sesuai RTRW Kota Pontianak sampai dengan tahun 2012 direncanakan RTH ini dikembangkan menjadi seluas 926,20 ha, sehingga terdapat penambahan luas sebesar 108,26 ha. Kawasan ini merupakan kawasan agribisnis di Kecamatan Pontianak Utara dan taman agrowisata di Kecamatan Pontianak Barat. Pengembangan disarankan di Kecamatan Pontianak Timur yaitu pada kebun salak dengan luas 11,5 ha, dan di Kecamatan Pontianak Barat pengembangan kebun buah-buahan di Kelurahan Pal Lima seluas 4,26 ha. Dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi memiliki hubungan yang tinggi, artinya adanya suatu objek agrowisata akan mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Menurut Tirtawinata dan Fachruddin (1999), beberapa keuntungan ekonomi dengan adanya kawasan agrowisata yaitu; (a) membuka lapangan pekerjaan, sebagai pekerja formal agrowisata maupun sebagai pedagang dan jasa lainnya, (b) meningkatkan pendapatan masyarakat, yaitu dengan menjual hasil pertanian di sekitar kawasan,

Gambar 25. Buah Durian (Durio zibeth inus) di lokasi Agrowisata Pal Lima (Pontianak Post, 6 Januari 2006)

buah dengan tajuk dimodifikasi

(c) meningkatkan popularitas daerah, (d) meningkatkan produksi. Di wilayah studi kawasan agrowisata terdapat di Kecamatan Pontianak Barat, dengan produk utama buah-buahan lokal yang bermutu baik, diantaranya rambutan (Nephellium

lappaceum), manggis (Garsinia mangostana), langsat (Lansium domesticum),

cempedak (Actocarpus campeden), pisang barangan (Musa paradisiaca), dan durian (Durio zibethinus). Rekreasi menikmati buah durian (Gambar 25) merupakan salah satu rekreasi yang populer di Pontianak. Rekreasi ini dimasa mendatang dapat diakomodasi secara lebih baik dalam suatu area agrowisata.

Secara ekologis kawasan agrowisata berfungsi sebagai daerah tangkapan air pada DAS Sungai Jawi. RTH berfungsi drainase pada tingkat curah hujan yang tinggi karena secara perlahan daerah resapan telah berangsur berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman. Taman agrowisata lainnya terdapat di Kecamatan Pontianak Utara. Kawasan ini merupakan sentra agribisnis yang direncanakan sesuai RTRW Kota Pontianak sampai dengan 2010 seluas 800 ha dan ditetapkan sebagai Kawasan Agropolitan dengan produk unggulan tanaman lidah buaya (Gambar 26). Sampai dengan tahun 2004 luas tanaman lidah buaya di kawasan ini mencapai 161 ha, dari 400 ha yang direncanakan (Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak 2004).

Gambar 26. Tanaman Lidah Buaya (Aloevera Chinensis) di Kawasan Agrowisata - Sentra Agribisnis Pontianak

Kawasan tersebut meliputi lahan budi daya, pabrik pengolahan dan Aloe Vera

Center (AVC) yang merupakan institusi untuk mengawal teknologi dalam

pengembangan tanaman lidah buaya, selain itu di lokasi ini juga menjadi lembaga kajian untuk komoditas unggul lain yang secara tradisional sudah diusahakan yaitu, pepaya Hawaii (Carica papaya), jagung manis (Zea mays), beberapa jenis sayuran; sawi (Brassica sp), bayam (Amaranthus, sp), kangkung darat (Ipomoea aquatica), seledri (Apium groveolens), salad serta anggrek hitam (Coalogine sp). Sebagai kawasan agrowisata yang memberikan nilai ekonomi, dari 1 ha tanaman lidah buaya selama lima tahun terakhir penerimaan bersih petani rata -rata Rp. 26 juta per tahun, dengan BC ratio 2,20, IRR 75%, serta pay back 35,26 bulan. Budidaya tanaman lidah buaya di kawasan ini diusahakan pada lahan gambut, menghendaki lahan yang terbuka dengan pola pertanaman monokultur. Menurut Daryono (2004), lahan gambut kalau tidak dikelola dengan bijaksana akan menimbulkan dampak ekologis seperti banjir, erosi, kekeringan dan kebakaran, karena lahan gambut merupakan daerah resapan dan reservoir air untuk menjaga tata air, carbon sink (carbon stock) untuk kepentingan pembangunan yang berkelanjutan.

Sebagai lahan pertanian, RTH di kawasan ini memerlukan penanganan yang bijaksana. Pembukaan lahan yang berlebihan dan tidak terkendali akan mengakibatkan kekeringan dan banjir, karena sifat tanah gambut cepat mengikat dan me lepaskan air (Soepardi 1983). Pada kawasan budidaya pertanian

Gambar 27. Tumpang Sari antara Tanaman Pepaya (Carica papaya) danTanaman Kunyit (Curcuma domestica) di Kawasan Agrowisata-Sentra Agribisnis Kecamatan Pontianak Utara

penanaman dengan berbagai jenis komoditas sebagai tanaman tumpang sari selain akan meningkatkan biodiversity, juga akan memberikan nilai tambah kepada petani berupa diversifikasi produk, misalnya tanaman pepaya (Carica papaya) dan kunyit (Curcuma domestica), seperti tertera pada Gambar 27.

Upaya pengembangan dan menjaga kondisi ekologi agrowisata di Kawasan Sentra Agribisnis di lahan gambut ini, sebagai kawasan penyangga dapat dilakukan dengan penanaman perkayaan (enrichment planting) menggunakan jenis tanaman asli setempat seperti gelam (Melaleuca leucadendron), jelutung (Dyera lowii), rumput purun (Fimbristylis globulosa) bahan pembuat tikar dan kerajinan tangan yang dapat menambah penghasilan masyarakat. Pada daerah hulu kawasan Sungai Sela mat sepanjang 2 km, lahan tepi sungai dapat dilakukan sistem agroforestry antara tanaman pertanian dengan tanaman rotan irit (Calamus trachycoleus), rotan sega (Calamus caesius) dan tanaman bungur (Lagerstromia speciosa) sebagai tempat merambat.

5. Pemakaman Umum

Dari sisi fungsi ekologi kawasan RTH ini memiliki tingkat hubungan yang tinggi berdasarkan hasil penilaian agregat diantaranya terhadap jumlah penduduk, tingkat polusi, kenyamanan, dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan. Di wilayah studi kondisi eksisting RTH ini mencapai seluas 44,59 ha. Berdasarkan

rencana pengembangan sesuai RTRW sampai dengan tahun 2012 seluas 51,23 ha, jadi terdapat peningkatan luas 6,64 ha. Sebagai kawasan terbuka yang keberadaannya di tengah kota akan memberikan kesegaran dan kesejukan dengan vegetasi yang terdapat disekelilingnya. Dari aspek budaya pada awalnya kaum Muslimin membuat pemakaman di halaman mesjid atau langgar, kaum etnis China di halaman kebun rumah, kaum Nasrani membuat pemakaman di halaman gereja.

Sebagai perbandingan, pemerintah kota-kota yang memiliki pemakaman yang berusia tua, memberikan perhatian yang tinggi dan pemeliharaan yang intensif kawasan tersebut. Beberapa taman pemakaman dimaksud misalnya Kerkof Laan di Jakarta dibangun tahun 1844. D i sini terdapat makam istri Gubernur Jenderal Inggris Olivia Mariamne Raffles (1814), pendiri dan pencetus Stovia (Sekolah Tinggi Kedokteran Indonesia) Dr. HF. Roll (1867-1935). Berdasarkan SK Gubernur KDKI Jakarta Nomor 475 Tahun 1993 tanggal 29 Maret 1993 dan Perda Nomor 9 Tahun 1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya makam ini ditetapkan sebagai Bangunan Bersejarah. Contoh lain yaitu Canning Park di Singapura dibangun tahun 1926, Gore Hill di Sidney (1868), La Chaise Cemetery di Paris (1803), dan Central Park di New York (1858). Di Amerika Serikat Mount Auburn Cemetery di Cambridge-Massachusetts, serta Arlington National Cemetery di Washington DC (1864) diklaim sebagai taman makam modern pertama di dunia sehingga ditetapkan sebagi national historic landmark pada tahun 2003, dan ditetapkan sebagai ikon visual lanskap sejarah Amerika Serikat.

Di Kota Pontianak pemakaman umum sebagai aset budaya berkaitan dengan berdirinya Kota Pontianak yaitu Makam Kesultanan Batu Layang, di sini terdapat makam Sultan Syarif Abdurrachman pendiri Kota Pontianak pada tahun 1771. Di kawasan ini juga dimakamkan keluarga dan kerabat kesultanan Pontianak (Gambar 28). Pemakaman umum yang terdapa t di wilayah studi berdasarkan data spasial Bappeda Kota Pontianak (2002) seluas 44,59 ha yang tersebar di masing-masing Kecamatan di Kota Pontianak. Di Kecamatan Pontianak Barat tempat pemakaman umum (TPU) diantaranya TPU Gang Kenari dengan luas 0,73 ha, TPU Jalan Tabrani Achmad 1,16 ha,

Gambar 28. Makam Sultan Syarif Abdulrachman, Batu Layang, da n Pemakaman Sungai Bangkong

TPU Nipah Kuning 0,70 ha serta tempat pemakaman umum lainnya dengan total luas 4,36 ha. Di Kecamatan Pontianak Selatan diantaranya terdapat TPU Yayasan Muslimin seluas 2,24 ha, TPU Gang Meliau 0,70 ha, TPU Gang Kamboja 0,45 ha serta TPU lainnya dengan total luas 4,23 ha. Di Kecamatan Pontianak Kota diantaranya terdapat TPU Jalan Dara Hitam (Sungai Bangkong) seluas 2,47 ha, TPU Jalan Danau Sentarum 0,53 ha, TPU Gang Tengah 1,65 ha, serta TPU lain yang tersebar dengan total luas 6,65 ha. Di Kecamatan Pontianak Timur yaitu TPU Jalan Sultan Hamid luas 0,56 ha, TPU Jalan Tanjung HJilir luas 0,13 ha, TPU Dalam Bugis 0,21 ha, TPU Jalan Yusuf Karim 0,04 ha, serta tempat pemakaman umum lainnya seluas 2,68 ha. Di Kecamatan Pontianak Utara pemakaman yang merupakan asset budaya sejarah Kota Pontianak yaitu Pemakaman Kesultana n Pontianak di Batu Layang dengan luas 1,07 ha, TPU Gang Dharma Putra 1,12 ha, serta pemakaman yayasan pemakaman Tionghoa di Kelurahan Batu Layang dengan luas 21,40 ha serta tempat pe makaman umum lainnya dengan total luas 26,64 ha. Arahan pengembangan dan penataan pemakaman di wilayah studi sebagai asset, potensi dan investasi kota jangka panjang belum dimanfaatkan secara maksimal, untuk fungsi ekologi, juga fungsi ekonomi sebagai tujuan wisata kota, sarana edukatif (pendidikan ekologi, ekonomi dan sejarah, studio alam pecinta fotografi) serta untuk memberikan nilai estetis kota.

6. Green Belt

RTH ini memiliki hubungan yang tinggi dengan fungsi ekologi berdasarkan penilaian agregat jumlah penduduk, tingkat polusi, kenyamanan, perilaku, dan kesadaran lingkungan. Luas eksisting kawasan ini di wilayah studi 1.676,50 ha. Rencana pengembangan sesuai RTRW Kota Pontianak seluas 1.285,68 ha, dari kondisi tersebut terjadi pengurangan luas 390,82 ha. Jadi pengendalian kawasan ini sangat penting, karena dengan bertambahnya jumlah penduduk dan memerlukan pemukiman yang menggunakan kawasan ini. Berdasarkan RTRW Kota Pontianak 2002-2012 lahan ini merupakan kawasan konservasi, yang berfungsi sebagai penyangga kawasan sekitarnya, dan daerah tangkapan air (cathment area). Namun di sekitar kawasan ini telah direncanakan pembangunan jalan lingkar luar (outer ring road) dan saluran lingkar luar (outer

ring canal). Untuk mengimbangi perubahan tersebut, sebaiknya sepanjang jalur

ORRC dibangun jalur hijau dengan tanaman penghijauan dan tanaman produksi masyarakat.

Green belt di Kecamatan Pontianak Selatan dan Kecamatan Pontianak Utara merupakan kawasan lahan gambut yang rawan terhadap kebakaran dan erosi. Kedalaman lahan gambut di kawasan ini beragam, lahan gambut dengan kedalaman > 3 m dipertahankan sebagai kawasan lindung atau konservasi (Kepres 32 tahun 1990), fungsi utamanya melindungi kelestarian lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Lahan gambut yang sering terbakar akan mengakibatkan kawasan gambut terbuka (open area), untuk arahan pengendalian dan pengembangan perlu penanaman kembali (revegetasi). Menurut Daryono (2004), pemilihan pohon yang tepat pada kondisi yang terbuka yaitu jenis toleran yang tumbuh cepat dan pioneer (fast growing species) merupakan jenis yang arus ditanam terlebih dahulu, sebagai upaya pra kondisi lahan, jenis tersebut antara lain pulai rawa (Alstonia pnematophora), tanah-tanah (Combretocarpus rotundatus), punak (Tetramerista glabra), meranti belangeran (Shorea blangeran), Acacia crassicarpa dan Gmelina arborea. Penanaman pada lahan gambut sebaiknya dilakukan dengan bibit yang sudah cukup umur, dengan tinggi bibit sekitar 40-50 cm, sehingga bibit dapat survive pada lahan gambut

tersebut, dengan jarak tanam antar jalur 5 m dan di dalam jalur 3-4 m, sehingga dapat ditanam kurang lebih 500-610 bibit per hektar.

7. Hutan Kota

RTH hutan kota memiliki penialaian yang tingggi bila dihubungkan dengan fungsi ekologi berdasarkan penilaian agregat jumlah penduduk, tingkat polusi, kenyamanan, dan kesadaran lingkungan. Di wilayah studi kondisi eksisting RTH ini mencapai seluas 10,45 ha. Sesuai RTRW sampai dengan tahun 2012 RTH dikembangkan menjadi 13,95 ha. Penambahan luas terjadi masing-masing di Kecamatan Pontianak Barat 1,00 ha, Kecamatan Pontianak Kota 1,00 ha dan Kecamatan Pontianak Utara 1,50 ha. Berdasarkan PP Nomor 63 Tahun 2002 tentang hutan kota, minimal memiliki hamparan sebesar 0,25 ha. Hal ini dimaksudkan dengan adanya hamparan tersebut akan tercipta iklim mikro yang berbeda dengan lokasi di sekitarnya, sehingga akan memberikan kenyamanan di sekitarnya. Berdasarkan hubungan penilaian dengan fungsi ekologi, kawasan iniberfungsi antara lain sebagai daerah resapan air, pengendali tingkat polusi dan

Dokumen terkait