ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU
KOTA PONTIANAK
ISKANDAR ZULKARNAIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
ISKANDAR ZULKARNAIN. Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau
Kota Pontianak. Dibimbing oleh ARIS MUNANDAR dan BAMBANG
SULISTYANTARA.
Suatu penelitian yang bertujuan memberikan arahan pengembangan ruang
terbuka hijau (RTH) di Kota Khatulistiwa Pontianak telah dilakukan. Penelitian terdiri dari 3 bagian yang bertujuan (1) menentukan prioritas fungsi RTH berdasarkan preferensi masyarakat, (2) mengidentifikasi dan menentukan jenis RTH dan (3) menyusun arahan pengembangan RTH yang spesifik lokasi.
Konsideran utama dalam pengembangan RTH menurut penilaian
kelompok responden yang terdiri dari akademisi, praktisi dan birokrasi, berturut-turut meliputi pertimbangan ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Sedangkan hasil analisis terhadap jenis RTH secara berturut-turut jalur hijau kota merupakan urutan pertama, taman kota urutan kedua dan lapangan olah raga pada urutan ketiga.
ARAHAN PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU
KOTA PONTIANAK
ISKANDAR ZULKARNAIN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Pontianak
Nama : Iskandar Zulkarnain
NRP : A 352030051
Program Studi : Arsitektur Lanskap
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Aris Munandar, MS. Dr. Ir.Bambang Sulistyantara, M.Agr. Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Arsitektur Lanskap
Dr. Ir.Nizar Nasrullah, M.Agr Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang dilimpahkan kepada penulis dalam menyusun tesis ini, dengan
judul Arahan Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Pontianak.
Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang tak terhingga kepada :
1. Bapak Dr. Ir. Aris Munandar, MS. sebagai ketua komisi pembimbing dan
Bapak Dr. Ir. Bambang Sulistyantara, M.Agr. sebagai anggota komisi
pembimbing serta Bapak Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr. selaku Ketua Program
Studi Arsitektur Lanskap, beserta Bapak/Ibu staf pengajar dan karyawan Studio
Arsitektur Lanskap IPB, yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran
dan pelayanan.
2.
3.
Pemerintah Kota Pontianak yang telah memberikan dukungan dan izin kepada
penulis untuk melaksanakan tugas belajar pada Program Studi Arsitektur
Lanskap Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Keluarga tercinta, istri dan anak-anak, yang telah rela dan ikhlas berpisah, serta
saudara-saudarku, doa dan ketulusan kalian turut memberikan inspirasi dalam
proses belajar dan penyelesaian tesis ini.
4. Teman-teman angkatan 5 Program Studi Arsitektur Lanskap Sekolah Pasca
Sarjana IPB, teman-teman anggota asrama mahasiswa Kalimantan Barat Rahadi
Oesman Bogor dan Ibu pengasuh serta semua pihak yang telah memberikan
bantuan baik moril dan materil dalam menyelesaikan tugas ini.
Akhirnya penulis sampaikan semoga tesis ini dapat bermanfaat kepada
semua pihak.
Bogor, Juni 2006
RIWAYAT HIDUP
ISKANDAR ZULKARNAIN, dilahirkan di Pontianak Propinsi Kalimantan Barat
pada tanggal 4 Juni 1961, sebagai anak kelima dari 6 (enam) bersaudara dari
pasangan A. Rachman (almarhum) dan Natjik H. Nungtjik (almarhumah).
Pada Tahun 1974, penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada SD Negeri
No.2 Pontianak. Pendidikan menengah penulis selesaikan pada SMP Negeri 6
Pontianak tahun 1977. Pada tahun 1981 penulis menyelesaikan pendidikan
Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) Daerah Kalimantan Barat di
Pontianak, pada tahun yang sama diterima sebagai karyawan Dinas Perkebunan
Propinsi Kalimantan (Proyek PRPTE) pada UPP Sungai Pinyuh Kabupaten
Pontianak, selanjutnya pada tahun 1987 diterima sebagai pegawai negeri sipil
daerah Propinsi Kalimantan Barat (Sekolah Pertanian Menengah Atas di
Singkawang, tahun 1989 sebagai Mantri Tani Kecamatan Pontianak Timur
Kotamadya Pontianak). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya
Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Panca Bhakti (UPB) Pontianak lulus
tahun 1994. Kesempatan melanjutkan program S2 pada Program Studi Arsitektur
Lanskap, Institut Pertanian Bogor (IPB) diperoleh pada tahun 2003 atas bea siswa
Pemda Kota Pontianak.
Bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kota Pontianak dengan
jabatan Kepala Sub Bagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan Dinas Urusan
Pangan Kota Pontianak, jabatan terakhir sebagai Kepala Unit Pelaksana Teknis
Daerah (UPTD) Pusat Pengkajian dan Pengembangan Lidah Buaya Nasional di
Pontianak.
Penulis menikah pada tanggal 8 Agustus 1987, dengan Uray Sandra Panji
Anom dan dikaruniai putra Insan Rachmanda (18 tahun), Annisa Pratiwi (15
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Arahan Pengembangan Ruang
Terbuka Hijau Kota Pontianak, merupakan karya saya sendiri dan belum pernah
dipublikasikan sebelumnya. Semua sumber data dan informasi yang digunakan
telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juni 2006
Karya kecil ini kupersembahkan kepada kedua ibundaku yang tercinta: pada saat-saat terakhirnya aku pergi meninggalkan mereka, “kau mau kemane In” begitu Mak berkata ketika aku mau meninggalkan Pontianak menuju Bogor, pada 30 Juni 2003. “Bile kau balek In” kata -kata itu yang diucapkan Yang ketika aku terkahir kali bertemu dengannya pada Idul Fitri 1426 H. Kini keduanya telah menghadap Al Khalik, “jadikanlah ilmu yang kudapat menjadi Jariah untuknya, ya Allah”.
Bogor, Juni 2006
....untuk istriku Uray Sandra Panji Anom, dan anak-anakku Randa, Ica, Jihan dan Esy yang rela dan ikhlas berpisah
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan ... ... 4
1.3. Manfaat Penelitian ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kota ... 5
2.2. Ruang Terbuka Hijau... 7
2.3. Fungsi Rua ng Terbuka Hijau... 8
2.4. Jenis Ruang Terbuka Hijau ... ... 12
2.5. Luas Ruang Terbuka Hijau ... 13
2.6. Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau ... 16
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Penelitian ... 19
3.2 Metode ... 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 4.1.1. Letak Geografis dan Administratif ... 28 28 4.1.2. Iklim ... 29
4.1.3. Topografi ... 29
4.1.4. Jenis Tanah ... 30
4.1.5. Hidrologi ... 31
4.3.
4.4.
4.2.3. Mata Pencaharian ...
4.2.4. PDRB dan Pendapatan Perkapita ...
Tata Guna Lahan ...
4.3.1. Penggunaan Lahan ...
4.3.2. Potensi Pengembangan RTH ...
Analisis Pengembangan RTH ...
4.4.1. Analisis Fungsi RTH ... ...
4.4.2. Analisis Jenis RTH ...
4.4.3. Analisis Spasial ...
4.4.4. Arahan Pengembangan ...
4.4.5. Rekomendasi Pengembangan ... 38
39
41
41
42
44
44
52
64
69
84
V. SIMPULAN DAN SARAN ... ...
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN... 98
100
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Penggunaan Lahan Kota Pontianak Berdasarkan RTRW 2002-2012 dan kondisi tahun2003... 3
2. Standar luas RTH secara umum... 14
3. Standar perencanaan Ruang Terbuka Hijau di lingkungan pemukiman .. 15
4. Kriteria sumberdaya pengembangan RTH Kota Pontianak ... 25
5. Urgensi pengembangan RTH Kota Pontianak berdasarkan ketergenangan wilayah ... ... 30
6. Urgensi pengembangan RTH Kota Pontianak berdasarkan jenis tanah .... 31
7. Sungai dan Parit di Kota Pontianak ... 32
8. Urgensi pengembangan RTH Kota Pontianak berdasarkan tingkat abrasi 35
9. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Kota Pontianak tahun 2000-2003
dan kepadatan penduduk tahun 2003... .... 36
10. Urgensi pengembangan RTH Kota Pontianak berdasarkan kesesuaian
kepadatan penduduk ... 37
11. Penduduk Kota Pontianak Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 38
12. Mata Pencaharian Penduduk Kota Pontianak tahun 2003... 39
13. Perkembangan PDRB dan Pendapatan Regional Perkapita Kota
Pontianak Berdasarkan Harga Konstan 1993 Tahun 1994 – 2003 ... 40
14. Perkembangan PDRB dan Pendapatan Regional Perkapita Kota
Pontianak Berdasarkan Harga Berlaku Tahun 1994 – 2003 ... 40
15. Perubahan Peruntukan Lahan Kota Pontianak Berdasarkan RUTRK 1994 – 2004 ... 42
16. Rencana Alokasi Pemanfaatan Ruang Kota Pontianak Hingga Tahun
2012 ... 43
17. Potensi Pengembangan RTH berdasarkan rencana alokasi pemanfaatan
ruang Kota Pontianak hingga tahun 2012 ... 44
18. Urutan prioritas pengembangan RTH berdsarkan fungsi menurut
penilaian agregat ... 44
19. Analisis Alternatif Fungsi RTH Kota Pontianak menurut Kelompok
20. Luas tanam, produktivitas dan produksi lidah buaya di Kota Pontianak
(1995-2004) ... 48
21. Urgensi pengembangan RTH produktif Kota Pontianak berdasarkan produktivitas wilayah ... 49
22. Urgensi pengembangan RTH Kota Pontianak berdasarkan kawasan budaya ... 52
23. Urgensi pengembangan RTH Kota Pontianak berdasarkan tradsi budaya 52 24. Urutan prioritas pengembangan RTH berdasarkan bentuk menurut penilaian agregat ... ... 53
25. Analisis alternatif jenis RTH Metode Perbandingan Eksponensial ... 54
26. Penyebaran jalur hijau Kota Pontianak ... 57
27. Penyebaran taman kota di Kota Pontianak ... 59
28. Penyebaran lapangan olah raga di Kota Pontianak ... 60
29. Penyebaran pemakaman umum Kota Pontianak ... 62
30. Analisis kecukupan RTH Kota Pontianak ... 64
31. Pengembangan RTH Kota Pontianak berdasarkan RTRW s/d tahun 2012 69 32. Penilaian potensi relatif pengembangan RTH berdasarkan hubungan bentuk dan fungsi ... 70
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Lokasi penelitian ... 19
2. Bagan alir kerja penelitian ... 21
3. Peta administrasi Kota Pontianak ... 28
4. Kondisi lansakap yang dipengaruhin ekologis (a. perubahan iklim mikro pengaruh vegetasi di Jalan A. Yani, b. banjir di Jalan MT. Haryono akibat perubahan daerah resapan air di kawasan hulu Parit
Tokaya) ... 46
5. Kawasan terbuka mengakibatkan pendangkalan parit (lokasi DAS
Sungai Jawi) ... 47
6. Beberapa jenis tanaman di Kawasan Sentra Agribisnis; lidah buaya (Aloevera Chinensis), pepaya (Carica papaya), seledri (Apium
groveoles) dan salad ... 49 7. Taman di lingkungan Mesjid Raya Mujahidin ... 50
8. Tanaman memberikan nilai budaya antara bangunan dan lanskap (arsitektur rumah panjang dan atap kajang, Kantor Gubernur Propinsi
Kalimantan Barat dan Keraton Kadriah) ... 51
9. Salah satu kondisi jalur hijau tepi jalan di Jalan A. Yani ... 55
10. Salah satu kondisi jalur hijau median jalan di Jalan A. Yani ... 55
11. Jalur hijau tepian air, (a) sebagai drainase induk di Parit Sungai Jawi, (b) jalur hijau tepi Sungai Kapuas sebagai penahan abrasi di
Kecamatan Pontianak Utara ... 56
12. Jalur hijau penyempurna Jembatan Kapuas ... 57
13. Tugu Khatulistiwa dan festival budaya, merupakan simbol Kota
Pontianmak ... 58 14. Taman Alun Kapuas Pontianak ... 59
15. Stadion olah raga Sultan Syarif Abdurrachman ... 60
16. Taman rekreasi/agrowisata (a. Taman Ria Agro Khatulistiwa di
Kecamatan Pontianak Barat, b. Agrowisata Kawasan Sentra Agribisnis /Pusat Kajian Lidah Buaya Nasional-AVC) ... 61
17. Kondisi green belt di Kecamatan Pontianak Barat (a. kawasan hutan
sekunder yang berubah fungsi, b. kebun campuran) ... 63 18. Kondisi hutan kota (a. hutran kota di kawasan Universitas Tanjung
Pura, b. hutan kota latar belakang di Pendopo Gubernur Jalan A.
19. Peta penggunaan lahan ... 65
20. Peta kondisi RTH Eksisting ... 67
21. Peta rencana pengembangan RTH ... 68
22. Contoh Jalur hijau dengan pedestrian untuk pejalan kaki di Jalan H. Juanda Bogor dan di Kuching, Sarawak ... 71
23. Contoh penataan jalur hijau tepian air, berfungsi ekologis, ekonomis dan sosial di Kuching, Sarawak ... 72
24. Contoh taman kota dengan vegetasi tanaman buah dengan tajuk dimodifikasi di Kebun Raya Bogor ... 75
25. Buah durian (Durio zibethinus) di lokasi agrowisata Pal Lima (Pontianak Post, 6 Januari 2006) ... 77
26. Tanaman lidah buaya (Aloe vera Chinensis) di Kawasan Agrowisata -Sentra Agribisnis Pontianak ... 78
27. Tumpang sari antara tanaman pepaya (Carica papaya) dan Tanaman Kunyit (Curcuma domestica) di Kawasan Agrowisata-Sentra Agribisnis Kecamatan Pontianak Utara ... 79
28. Maka m Sultan Syarif Abdulrachman, Batu Layang dan pemakaman Sungai Bangkong ... 81
29. Peta kesesuaian berdasarkan kriteria fungsi ekologi ... 86
30. Peta kesesuaian berdasarkan kriteria fungsi ekonomi ... 88
31. Peta kesesuaian berdasarkan kriteria fungsi sosial ... 90
32. Peta kesesuaian berdasarkan kriteria fungsi budaya ... 91
33. Peta kesesuaian lahan pengembangan RTH Kota Pontianak ... 93
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Bagan Matriks Metode Perbandingan Eksponensial alternatif bentuk
dan fungsi ... ... 106
2. Data iklim Kota Pontianak tahun 1995 s/d 2004 ... 107
3. Penilaian alternatif fungsi RTH Kota Pontianak kelompok responden
akademisi ... 108
4. Penilaian alternatif fungsi RTH Kota Pontia nak kelompok responden
praktisi... ... 109
5. Penilaian alternatif fungsi RTH Kota Pontia nak kelompok responden
birokrasi.. ... 110
6. Analisis alternatif fungsi RTH Kota Pontianak ... 111
7. Penilaian alternatif bentuk RTH Kota Pontianak kelompok responden akademisi ... 112
8. Penilaian alternatif bentuk RTH Kota Pontianak kelompok responden Praktisi ... 113
9. Penilaian alternatif bentuk RTH Kota Pontianak kelompok responden Birokrasi ... 114
10. Analisis alternatif bentuk RTH Kota Pontianak ... 115
11. Penyebaran pemakaman umum Kota Pontianak ... 116
12. Pengembangan RTH Kota Pontianak berdasarkan RTRW s/d tahun
2012 ... 118
13. Skor dan pembobot kriteria fungsi RTH berdasarkan penilaian
responden ... 119
14. Arahan pengembangan RTH Kota Pontianak berdasarkan lokasi
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Perencanaan kota yang dinamis pada dasarnya merupakan upaya untuk
mengelola dan mengatur kehidupan kota yang selalu berubah namun dibatasi oleh
ketersediaan lahan yang statis (Irwan 1998). Pembangunan perkotaan sering
menimbulkan permasalahan lingkungan sejalan dengan bertambahnya jumlah
penduduk yang diikuti dengan semakin majunya semua aspek pembangunan
beserta implikasinya. Permasalahan lingkungan yang umumnya timbul di
perkotaan antara lain berupa meningkatnya suhu udara, penurunan permukaan air
tanah, banjir/tergenang, intrusi air laut, abrasi pantai/pinggiran sungai,
pencemaran air oleh logam berat, berbau, pencemaran udara seperti meningkatnya
kadar CO2,O3, hydrocarbon, SOx, NOx, debu, dan kebisingan. Selanjutnya
Wibowo (2002) menjelaskan bahwa untuk mengatasi masalah lingkungan kota ini
maka keserasian antara areal terbangun, infrastruktur kota, dan ruang terbuka
hijau (RTH) menjadi sangat penting khususnya untuk mengurangi tekanan
terhadap daya dukung lingkungan kota. Perencanaan suatu tata ruang kota
bertujuan untuk mewujudkan kota yang nyaman, indah dan sehat serta
menghindarkan potensi konflik antar kepentingan. Salah satu kriterianya adalah
dengan menyediakan zona ruang sesuai dengan peruntukannya, terutama ruang
terbuka hijau secara proporsional dan berkelanjutan.
RTH kota secara umum mempunyai fungsi yang sangat komplek bagi
sebuah lingkungan perkotaan diantaranya fungsi estetis, ekologis serta fungsi
sosial ekonomi bagi penghuninya. Berdasarkan fungsinya keberadaan RTH dapat
merupakan jaringan yang kuat antara lanskap perkotaan dengan komponen
penyusun ruang terbuka hijau diantaranya jalur hijau kota, taman kota, lapangan
olah raga, taman rekreasi/agrowisata, pemakaman umum, green belt, dan hutan
kota.
Kota Pontianak merupakan ibukota Propinsi Kalimantan Barat dalam
rencana strategis pembangunan mempunyai visi “Pontianak kota khatulistiwa
internasional”. Makna dari visi tersebut menunjukkan bahwa ciri khas Kota
Pontianak merupakan kota khatulistiwa yang berwawasan lingkungan.
Secara umum sebagian besar wilayah kota terdapat di lahan gambut, dan
pada bagian lain yang dipengaruhi oleh pasang surutnya air Sungai Kapuas
melalui parit/kanal yang tersebar di seluruh kota. Sebagai kota khatulistiwa sinar
matahari banyak, dan curah hujan yang tinggi. Pada bulan Maret dan September
setiap tahun posisi matahari tepat berada pada titik 00 di garis belahan bumi,
benda -benda yang terletak tepat pada garis ini tidak terdapat bayangan, fenomena
alam ini dikenal dengan titik kulminasi matahari.
Pengelolaan wilayah potensial tersebut dipengaruhi aspek ekologi,
ekonomi, sosial dan budaya. Dalam pelaksanaannya, seringkali terjadi bahwa
hanya aspek ekonomi yang diperhatikan dan dipacu menjadi prioritas
pengembangan, sedangkan aspek lainnya yaitu ekologi, sosial dan budaya
cenderung diabaikan. Akibatnya ha sil pembangunan yang dilaksanakan sering
diikuti dengan dampak negatif bagi masyarakat.
Perencanaan kawasan ruang terbuka hijau kota Pontianak merupakan salah
satu bentuk perencanaan sektor strategis sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda)
Kota Pontianak Nomor 4 Tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kota Pontianak tahun 2002-2012. Peraturan tersebut memuat rumusan
kebijakan dan strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah, yang disusun dan
ditetapkan untuk menyiapkan perwujudan ruang bagian-bagian kota, yang dapat
dilakukan pemerintah, masyarakat dan swasta (Pemda Kota Pontianak 2002).
Permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakannya adalah perubahan
kondisi ekologis kota yang semakin menurun, hal tersebut diakibatkan antara lain
perubahan pemanfaatan lahan, tingkat sedimentasi sungai dan parit yang tinggi
dan perubahan iklim mikro umumnya semakin kurang nyaman. Kondisi ruang
terbuka hijau yang ada semakin menurun baik secara kuantitas maupun kualitas,
lahan yang sebelumnya merupakan kawasan hijau menjadi kawasan terbangun
semakin cepat, yang diperuntukkan antara lain sebagai permukiman.
Jenis penggunan lahan menurut RTRW Kota Pontianak tahun 2002-2012
dan kondisi luas lahan tahun 2003 disajikan pada Tabel 1. Perubahan yang cukup
kondisi tahun 2003 seluas 1.676 ha, atau terjadi pengurangan seluas 390 ha atau
3,62%. Pada permukiman sesuai rencana peruntukannya yaitu seluas 5.866 ha,
dan kondisi pada tahun 2003 seluas 6.573 ha atau terjadi peningkatan luas dari
rencana yang sudah ditetapkan, yaitu seluas 707 ha atau 6,56%.
Tabel 1. P enggunaan lahan Kota Pontianak berdasarkan R TRW 2002-2012 dan kondisi tahun 2003
RTRW 2002-2012 Kondisi 2003 Jenis Penggunaan Perkantoran Pemerintah 183 1,70 135 1,25 Fasilitas sosial dan fasilitas umum 1.678 15,56 1.095 10,15 Fasilitas Pendidikan 270 2,50 185 1,72 Industri dan pergudangan 245 2,27 156 1,45 Hutan, kebun karet dan campuran 1.286 11,93 1.676 15,54 Lainnya (sungai, pulau) 600 5,56 600 5,56 Luas Total Kota Pontianak 10.782 100,00 10.782 100,00 Sumber: Bappeda Kota Pontianak 2004 dan hasil analisis
Jika berdasarkan RUTRK 1994-2004, dengan kondisi penggunaan lahan
pada tahun 1998 luas hutan, kebun karet dan campuran yaitu seluas 4.365 ha,
sampai dengan kondisi tahun 2003 yaitu seluas 1.676 ha, maka terjadi
pengurangan luas sebesar 2.689 ha atau 24,94%. Sedangkan untuk permukiman
jika kondisi pada tahun 1998 seluas 3.165 ha, dan kondisi pada tahun 2003 seluas
6.573 ha, maka terjadi penambahan luas sebesar 3.408 ha atau 31,61%. Jadi
berdasarkan analisis tersebut sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2012
pengurangan lahan hutan, kebun karet dan campuran berjumlah 3.079 ha atau
28,55%. Berkurangnya luas lahan tersebut sebagian besar akibat bertambahnya
luas permukiman. Berdasarkan analisis di atas sampai dengan tahun 2003 lahan
hutan, kebun karet dan campuran seluas 4.115 ha atau 38,16%.
Kecenderungan perubahan pemanfaatan lahan tersebut harus dikendalikan,
karena berdasarkan RTRW Kota Pontianak 2002-2012 dan kondisi spesifik
wilayah 50% dari luas lahan hutan karet dan kebun campuran diperuntukkan
sebagai kawasan konservasi. Kawasan tersebut berpotensi sebagai RTH sabuk
itu jenis tanah yang mendominasi adalah tanah gambut. Menurut Keppres Nomor
32 tahun 1990, tanah gambut dengan kedalaman >3 m harus dipe rtahankan
sebagai kawasan lindung atau konservasi.
Berdasarkan kondisi Kota Pontianak seperti diuraikan di atas, maka
penelitian ini dilaksanakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis perubahan
penggunaan lahan yang berpotensi untuk pengembangan RTH ke pe nggunaan
yang lain. Peran serta masyarakat dalam studi ini diwujudkan dalam proses
penilaian terhadap fungsi dan jenis RTH di wilayah studi. Hal yang ingin dikaji
adalah keseimbangan antara fungsi RTH dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan
budaya.
Batasan RTH dalam studi ini mencakup wilayah administratif Kota
Pontianak. Terdiri dari kawasan RTH publik yang merupakan wewenang Pemda
Kota Pontianak serta kawasan RTH yang berpeluang untuk dikembangkan.
Melalui studi ini, kondisi spesifik wilayah merupakan dasar pertimbangan dalam
menyusun rekomendasi arahan pengembangan RTH di Kota Pontianak.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini untuk:
1. Mengidentifikasi prioritas fungsi RTH berdasarkan preferensi masyarakat
2. Menganalisis jenis RTH sesuai karakter lanskap Kota Pontianak
3. Menyusun rekomendasi pe ngembangan RTH sesuai lokasi spesifik dan
karakteristik kondisi wilayah
1.3. Manfaat Penelitian
Hasil analisis penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan
pemikiran berupa informasi dan rekomendasi untuk perencanaan RTH Kota
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Kota
Pengertian kota yang dikemukakan berdasarkan berbagai sumber tidak
sama, namun dari berbagai sudut pandang para ahli, aspek utama yang digunakan
untuk menjelaskan pengertian kota antara lain adalah dari aspek morfologi,
jumlah penduduk, hukum, ekonomi, dan sosial. Badan Kerjasama Antar Kota
Seluruh Indonesia (BKS-AKSI) pada musyawarah dewan pimpinan tahun 1969 di
Bukit Tinggi, merumuskan pengertian kota adalah wadah kelompok orang-orang
dalam jumlah tertentu, hidup dan bertempat tinggal bersama dalam suatu wilayah
geografis tertentu, berpola hubungan rasional, ekonomi dan individualistis
(Fahutan IPB 1987). Menurut Bintarto (1989), dari segi geografi kota dapat
diartikan sebagai suatu siste m jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan
kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang
heterogen serta coraknya yang materialistis. Selanjutnya dijelaskan kota dapat
diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur -unsur alami dan
non alami dengan gejala -gejala pemusatan penduduk yang cukup besar, corak
kehidupan yang heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah
belakangnya. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, kota adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan,
pemusatan, dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial serta
kegiatan ekonomi. Akan tetapi konsep tentang kota tidak selalu akan demikian
tergantung kepada perkembangan dimasa yang akan datang.
Kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat perkotaan
dicirikan dengan heterogenitas dari segala aspek, terutama lapangan pekerjaan
mengakibatkan pula keanekaragaman lingkungan kehidupan. Secara umum
penduduk di wilayah studi berasal dari berbagai daerah yang bermigrasi ke dalam
suatu lingkungan kota dengan tingkat pendidikan relatif tinggi dan keterampilan
untuk menggali peluang usaha terutama sektor penyediaan barang dan jasa. Hal
tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya kegiatan sektor perdagangan
Perencanaan yang berkaitan dengan tata ruang kota menurut Soegijoko
(1997) yang menekankan kepada perencanaan tata ruang kota dewasa ini
mencakup pengertian yang luas, yaitu merencanakan lingkungan pemukiman di
kota dan wilayahnya dalam lingkungan peruntukan lahan dan seluruh fasilitasnya
untuk kegiatan bekerja, rekreasi, dan pemukiman demi berlangsungnya kehidupan
masyarakat kota yang layak dan baik. Kota yang baik merupakan kesatuan ruang
yang direncanakan berdasarkan kebutuhan komponen penyusun ruangnya,
sehingga dapat menciptakan suasana kenyamanan dan kesehatan bagi warganya
(Aji 2000).
Selanjutnya dijelaskan oleh Budihardjo (1997) kota selalu bersifat dinamis.
Struktur, bentuk, wajah serta penampilan kota merupakan hasil dari penyelesaian
konflik perkotaan yang selalu terjadi, dan mencerminkan perkembangan
peradaban warga kota maupun pengelolanya. Salah satu konflik yang terjadi
akhir-akhir ini yang meningkat di wilayah perkotaan adalah masalah lingkungan
hidup. Diperlukan pengintegrasian perencanaan lingkungan hidup ke dalam
perencaan tata ruang perkotaan. Sistem perencanaan kota yang melibatkan
partisipasi masyarakat dalam penentuan tata ruang kota merupakan salah satu
persyaratan apakah penentuan kebijakan tata ruang kota sesuai dengan sasaran.
Komponen penyusun ruang kota tersebut meliputi wisma (perumahan),
karya (tempat bekerja), marga (jaringan jalan), suka (fasilitas umum dan hiburan)
dan penyempurna (pelengkap). Selanjutnya Sujarto (1991), membagi wilayah kota
menjadi tiga jenis, yaitu: (a) wilayah pengembangan dimana wilayah terbangun
bisa dikembangkan secara optimal, (b) wilayah kendala dimana pengembangan
kawasan terbangun dapat dibangun secara terbatas dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan, dan (c) wilayah limit dimana peruntukannya hanya untuk
menjaga kelestarian alam, sedangkan keberadaan kawasa n terbangun tidak dapat
ditolerir. Keberadaan RTH menempati bagian-bagian tertentu dalam komponen
penyusun tata ruang pada wilayah pengembangan, pada sebagian wilayah kendala
yang berfungsi menjaga kelestarian alam, dan wilayah limit yang memang hanya
2.2. Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Menurut Fakuara (1987), RTH merupakan ruang yang terdapat tumbuhan
atau vegetasi di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang
sebesar-besarnya seperti proteksi, rekreasi, estetika dan kegunaan khusus lainnya.
Menurut Grey dan Deneke (1986), RTH berfungsi sebagai tempat yang ditumbuhi
oleh pepohonan dan vegetasi lainnya yang saling berasosiasi sehingga dapat
memberikan sumbangan lingkungan hidup yang baik kepada manusia. Menurut
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1988, ruang terbuka hijau
merupakan ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk
areal/kawasan maupun dalam bentuk memanjang atau jalur dalam
pemanfaatannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan.
Menurut Sulistyantara (2002) ruang terbuka hijau merupakan ruang
terbuka, yang memiliki kekhususan sifat yang dimilikinya, yaitu pengisian ruang
terbuka ini lebih didominasi oleh unsur hijau (tumbuhan) , sedangkan unsur
lainnya yaitu struktur bangunan merupakan pengisi dalam persentase penutupan
yang kecil (kurang dari 20%). Menurut Nurisyah (1997), ruang terbuka hijau
adalah ruang terbuka yang ditanami dengan tanaman, mulai dari yang bersifat
alami (rumput, jalur hijau, taman bermain dan taman lingkungan di daerah
pemukiman). Selanjutnya menurut Handikto (1997), ruang terbuka hijau adalah
suatu ruang terbuka yang ditumbuhi oleh pepohonan dengan persentase ideal
20-30 % dari luas bidang tanah termasuk yang ditempati bangunan rumah, misalnya
halaman rumah.
Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian dari ruang perkotaan yang
berfungsi sebagai kawasan lindung, berupa kawasan hijau pertamanan kota,
kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan
olahraga, kawasan perumahan, pertanian, jalur hijau dan pekarangan (Fandeli
2002). Budihardjo dan Sujarto (1999), mengemukakan bahwa keberadaan RTH
memerlukan pengelolaan secara berkelanjutan agar tercipta kota yang
berwawasan lingkungan untuk ke pentingan warga kota generasi sekarang maupun
mendatang. Kota yang berwawasan lingkungan akan tercapai apabila terdapat
keseimbangan antara ketersediaan RTH dengan ketersediaan ruang terbangun
Jadi ruang terbuka hijau (RTH) sesuai kondisi wilayah studi merupakan
ruang yang tidak terbangun, dengan perbandingan unsur tanaman yang lebih luas
dan memiliki fungsi utamanya yaitu untuk perlindungan kawasan sekitarnya.
Pada bagian lain RTH akan memberikan hasil terhadap kebutuhan kenyamanan,
kesejahteraan, peningkatan kualitas lingkungan, dan pelestarian alam.
2.3. Fungsi Ruang Terbuka Hijau 2.3.1. Fungsi Ekologi
RTH perkotaan merupakan suatu lingkungan yang keberadaannya sangat
penting, fungsinya tidak dapat digantikan dengan unsur lain karena sifatnya yang
alami. Oleh karena itu RTH pada suatu kota diartikan sebagai suatu lingkungan
alami yang menunjukkan adanya interaksi antar mahluk hidup di dalamnya.
Mahluk hidup terdiri dari tumbuh-tum buhan, hewan, dan manusia sedangkan
lingkungan adalah sejumlah unsur-unsur dan kekuatan-kekuatan di luar organisma
yang mempengaruhi kehidupan organisma. RTH secara ekologi berfungsi
mewadahi hubungan organisma-organisma atau kelompok organisma.
Sesuai Inmendagri No. 14 Tahun 1988, RTH di perkotaan berfungsi untuk
meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan. Selain itu juga sebagai
pengaman sarana lingkungan perkotaan dan menciptakan keserasian antara
lingkungan alam dan binaan yang bermanfaat untuk masyarakat. Secara garis
besar fungsi RTH di perkotaan antara lain; (1) ameliorasi iklim, (2) konservasi
tanah dan air, (3) rekayasa lingkungan, dan (4) sebagai habitat satwa.
Keberadaan RTH dapat menciptakan iklim mikro yang nyaman ba gi
manusia melalui pengendalian suhu, cahaya, kelembaban, dan aliran udara.
Bersama vegetasi lain tanaman menguapkan uap air melalui proses
evapotranspirasi. Oleh karena itu suhu di bawah tegakan pohon menjadi rendah
dibandingkan di luar tegakan pohon. Selain itu daun-daun dapat memantulkan
sinar matahari yang keefektifannya tergantung dari kepadatan daun, bentuk daun,
dan pola percabangan. Pohon yang tumbuh tersendiri dapat mentranspirasikan
4000 liter air per hari bila air tanah cukup tersedia (Grey & Deneke, 1986).
Selanjutnya dijelaskan bahwa pohon dengan tajuk yang lebar dan terletak
sebagai pelindung terhadap angin direpresentasi oleh kemampuan vegetasi
menahan kecepatan angin 75-85%. Tanaman mengatur angin dengan
menghalangi, menyalurkan, membelokkan dan menyaring, pengaruhnya
tergantung dari ukuran daun, jenis daun, kepadatan daun, bentuk tajuk, ketahanan
serta penempatan tanaman. Forman dan Godron (1986) mengemukakan bahwa
kerapatan vegetasi berpengaruh terhadap kecepatan angin, semakin rapat semakin
menghambat kecepatan dibandingkan dengan vegetasi yang longgar. Vegetasi
dapat mengubah aliran udara di atas la ha n dan di sekeliling bangunan.
Penempatan dekat bangunan harus selektif karena dapat menghalangi aliran udara
ke dalam bangunan. Fungsi RTH dalam mengendalikan curah hujan dan
kelembaban; vegetasi tampak sebagai peran menahan butir-butir air hujan dengan
intersepsi dan memperlambat kecepatan jatuhnya air hujan sehingga mengurangi
kekuatan hempasan terhadap butir -butir tanah. Dengan demikian daya infiltrasi
tanah meningkat, aliran permukaan berkurang dan erosi menjadi kecil.
Keefektifan pengendalian ini tergantung pada tipe tanah, kandungan bahan
organik tanah, topografi, tipe dan intensitas curah hujan serta susunan vegetasi
penutup.
Pada umumnya lahan di perkotaan banyak yang tidak tertutup oleh
vegetasi dan banyak dipergunakan sebagai lahan terbangun dan ditutup oleh
perkerasan, sehingga peresapan air ke dalam tanah menjadi terganggu. Salah satu
fungsi RTH di perkotaan adalah untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan
dengan meningkatkan peresapan air melalui vegetasi dan disimpan di dalamm
tanah berupa air tanah, kemudian dipergunakan kembali sehingga terjadi siklus
hidrologi. Akar tanaman mampu menjerap air dan melepaskan secara perlahan
melalui proses transpirasi, selain itu bulu-bulu akar dapat menahan mineral tanah
dan bahan organik hasil pelapukan (Forman & Godron 1986).
Beberapa proses yang berhubungan dengan fungsi RTH dalam rekayasa
lingkungan meliputi: (a) pengendalian erosi dan aliran permukaan (erotion and surface flow), (b) aliran bawah peremukaan (sub surface flow), (c) mengatasi
penggenangan, (d) mengatasi intruisi air laut, (e) pengendalian air limbah, (f)
pengelolaan sampah, (g) penangkal kebisingan, (h) mengurangi pencemaran
RTH perkotaan dapat menyediakan habitat satwa. Salah satu satwa yang
umumnya terdapat pada kawasan RTH kota adalah burung. Burung
membutuhkan tanaman sebagai tempat bersarang atau mencari makan. E kosistem
perkotaan dapat menyediakan tempat hinggap, ini merupakan suatu faktor yang
mempengaruhi keanekaan habitat di lingkungan perkotaan (Emlen 1974).
Menurut Pakpahan (1993) kehadiran burung di perkotaan selain mempunyai nilai
keindahan, dapat menimbulkan rasa senang dan nyaman bagi manusia. Selain itu
burung dapat dijadikan tolak ukur kualitas lingkungan.
Keberadaan RTH di wilayah studi sebagai fungsi ekologis sangat penting. Berdasarkan uraian di atas banyak kawasan-kawasan yang ada di Pontianak
mengalami perubahan fungsi sebagai konsekuensi perkembangan kota, misalnya
kawasan kebun campuran menjadi permukiman, kawasan konservasi menjadi
lahan pertanian, parit/saluran ditutup menjadi tempat pedagang. Untuk itu perlu
dilakukan upaya pengendalian dan pengembangan sebagai penyeimbang antara
lain dengan mengendalikan proporsi antara kawasan yang terbangun dan kawasan
RTH, sesuai dengan fungsi wilayah.
2.3.2. Fungsi Ekonomi
RTH dapat memberikan fungsi ekonomi kepada masyarakat baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung berupa produk pertanian yang
dihasilkan yang dapat dijual, secara tidak langsung misalnya pemanfaatan
kawasan sebagai objek wisata masyarakat. Potensi sumber daya alam sebagai aset
kota dapat dijadikan paket ekowisata (hutan kota sebagai hutan tropis, hutan
mangrove), dan pemukiman masyarakat lokal tepi sungai sebagai water front
culture tourism, apabila kawasan tersebut dikelola dengan baik akan memberikan pendapatan kepada daerah (Savage & Kong 2003).
2.3.3. Fungsi Sosial
Ruang terbuka yang tersedia pada suatu kawasan perkotaan merupakan
salah satu sarana bagi masyarakat untuk meningkatkan interaksi sosial baik
diantara warga kota, maupun kepada lingkungan sekitarnya (Grey & Deneke
berkumpul, sarana rekreasi, dan tempat ibadah pada waktu-waktu tertentu. Pada
bentuk-bentuk yang lain, RTH dapat bermanfaat sebagai pelengkap keindahan,
sarana pengaman, pengarah pengguna jalan dan sebagai identitas suatu kota.
Tersedianya kawasan hijau, merupakan salah satu aspek yang penting dalam
rangka pembangunan nilai-nilai sosial suatu kota (Nagtegaal & Nas 2000).
Fungsi sosial RTH yang lain diantaranya sebagai wadah pendidikan
masyarakat terhadap permasalahan lingkungan serta solusi pemecahannya melalui
berbagai forum yang berkaitan dengan isu konservasi lingkungan. RTH dapat
merupakan motivasi penggerak pembangunan dengan merubah melalui regulasi
dan pengawasan peran serta masyarakat dalam pros es pembangunan.
Keberhasilan Kota Singapura menjadi kota taman melalui program penghijauan
“Clean and Green Week” yang dicanangkan pada tahun 1990. Program ini
melibatkan sekolah, organisasi masyarakat, dan kelompok bisnis. Hal tersebut
menunjukkan ada nya dorongan moral masyarakat untuk membangun kota (RTH),
yang selanjutnya akan dimanfaatkan secara bersama (Savage & Kong 2003).
2.3.4. Fungsi Budaya
Penanaman pohon menjadikan budaya tanggap terhadap pengelolaan
lingkungan (Savage & Kong 2003). Adanya variasi baik secara individual
maupun kolektif akan memberikan fungsi arsitektural, serta bagian dari
perkembangan sejarah kota (Nagtegaal & Nas 2000). Fungsi RTH dalam
meningkatkan identitas lingkungan kota akan terwujud apabila RTH yang
dikembangkan mampu membangkitkan kesan yang mendalam bagi warga kota
akan ciri khas suatu kawasan atau unit administrasi tertentu (Nurisyah 1997).
Kawasan RTH di wilayah studi yang mencerminkan budaya belum
dikembangkan secara optimal. Di kawasan studi terdapat banyak jenis tanaman
lokal yang memberikan ciri khas yang memiliki nilai budaya yang dapat
digunakan sebagai elemen lanskap, misalnya tanaman putat (Ba rringtonia sp) sebagai barisan pagar tepi sungai (barau hidup), tanaman hanjuang (Cord yline sp),
pinang (Areca pinata), sirih (Piper betel) sebagai elemen adat budaya melayu, dan
2.4. Jenis Ruang Terbuka Hijau
Menurut Fakuara (1987), jenis RTH berdasarkan kriteria sasaran dan fungsi
penting, vegetasi, intensitas manajemen serta statusnya dapat berupa taman (city park), kebun dan pekarangan, jalur hijau dan hutan kota (urban forest). Taman
bukan hanya memiliki nilai keindahan saja, namun tanaman sebagai komponen
pembentuknya harus dipilih secara selektif sesuai dengan kondisi kawasan.
Kebun dan pekarangan (halaman) merupakan kumpulan tanaman yang
mendukung paling sedikit kebutuhan oksigen penduduk kota, selain juga untuk
tujuan produksi yang bernilai ekonomi, yaitu yang dapat menghasilkan
buah-buahan, sayuran dan hasil lainnya. Jalur hijau yang dibangun dapat berupa jalur
dengan ukuran yang sesuai dengan bentuk tapak yang ada. Jenis tanaman dipilih
berdasarkan tujuan dan fungsi tertentu, misalnya sebagai pemisah median jalan,
pengarah, peredam kebisingan, penangkal angin, penghasil oksigen dan
sebagainya.
Jalur hijau tediri atas beberapa bentuk yaitu jalur hijau jalan termasuk jalur
hijau median jalan, jalur hijau tepian air, dan jalur hijau penyempurna. Menurut
Brabec et al. (1994), jalur hijau jalan merupakan koridor vegetasi yang digunakan
sebagai outdoor recreation untuk berjalan, jogging, bersepeda. Selanjutnya dijelaskan bahwa jalur hijau jalan merupakan jalur yang kompak yang digunakan
pada persimpangan jalan di pemukiman, sebagai fitur alami koridor sungai dan
jembatan, sepanjang jalur kereta, saluran, dan interaksi sosial serta penelitian
perubahan lanskap. Untuk melindungi kualitas air, jalur hijau yang terdapat pada
koridor sungai berfungsi sebagai penyerap polutan dan pengikisan oleh arus air
yang mengandung pupuk pertanian (Brabec e t a l. 1994).
Jenis-jenis RTH lainnya dapat berupa lapangan olah raga, taman
rekreasi/kawasan agrowisata, pemakaman umum, green belt, dan hutan kota.
Dalam pengelolaannya RTH dapat difungsikan sebagai perlindungan lahan
pertanian, kehutanan, dan komponen rekreasi. Grey dan Deneke (1986)
menjelaskan bahwa komponen RTH yang fungsi dan manfaatnya sangat beragam,
apabila dikelola dengan baik akan memberikan manfaat (benefit) kepada
2.5. Luas Ruang Terbuka Hijau
Menurut Odum (2004), suatu kawasan perkotaan terdiri atas beberapa
zoning peruntukan (compartment) dengan kapasitas ukuran yang rasional setiap kompartemennya, sehingga hubungan antara masing-masing tipe ekosistem, aliran
energi dan pergerakan materi akan memberikan manfaat saling menguntungkan.
Kompartemen tersebut dibagi dalam 4 kelompok biotik dasar, yaitu (1) produktif,
yang memberikan hasil, baik langsung maupun tidak langsung, (2) protektif, yang
memberikan fungsi perlindungan, (3) gabungan antara areal produktif dan
protektif, pada skala yang luas merupakan kawasan protektif. Pengaturan dan
pengelolaan yang sesuai pada kondisi tertentu misalnya akibat tekanan populasi
dan polusi bisa berfungsi sebagai kawasan produktif, sehingga terjadi
keseimbangan antara alam dan kebutuhan manusia, dan (4) industri, untuk
memenuhi kebutuhan aktifitas ini memerlukan aliran energi dan material yang
banyak. Mekanisme pembatasan eksploitasi dan pengendalian penggunaan
sumberdaya merupakan pengontrol lingkungan yang alami.
Zoning wilayah perkotaan dalam pengembangan RTH dilakukan dengan
membagi wilayah perkotaan sesuai dengan kompartemen seperti penjelasan di
atas. Beberapa asumsi sebagai pertimbangan dalam penentuan luas pengembangan
RTH kota, namun hal mendasar yang perlu dipertimbangkan adalah kondisi
spesifik wilayah. Kondisi umum yang menjadi pertimbangan di wilayah studi
diantaranya kawasan tergenang, jenis tanah, kawasan pinggiran sungai/parit, dan
penyebaran penduduk serta tradisi.
Menurut Simond (1983), kebutuhan standar RTH dalam suatu kota
berdasarkan pembagian wilayah secara umum yaitu 40 m2 per kapita, seperti
tertera pada Tabel 2. Di wilayah studi struktur RTH ketetanggaan terdapat pada
kawasan yang masih memiliki areal terbuka. Bentuknya dapat berupa kebun
campuran, pekarangan, dan lapangan olah raga. Kawasan ini terdapat di
Kecamatan Pontianak Barat, Kecamatan Pontianak Selatan, Kecamatan Pontianak
Timur, dan Kecamatan Pontianak Utara. Struktur RTH komunitas, termasuk
struktur RTH ketetanggaan serta kawasan tepian parit dan lapangan olah raga
yang terdapat di Kecamatan. Struktur RTH kota, termasuk struktur RTH
kota. Di wlayah studi kawasan ini antara lain Taman Alun Kapuas, Lapangan Bal
Keboen Sayoek, Taman Mesjid Raya Mujahidin, Tugu Khatulistiwa, dan hutan
kota Universitas Tanjung Pura. Struktur RTH wilayah termasuk struktur RTH
kota serta kawasan terbuka yang dimanfaatkan masyarakat dalam suatu wilayah.
Tabel 2. Standar luas RTH secara umum
Hirarki wilayah Ketetanggaan 1.200 4.320 12.000 Lapangan bermain,
areal rekreasi, taman Komunitas 10.000 36.000 20.000 Lapangan bermain, la-
pangan atau taman (ter-masuk ruang terbuka ketetanggaan)
Kota 100.000 40.000 Ruang terbuka umum, taman areal bermain (termasuk ruang ter-buka untuk komuniti) Wilayah/Region 1.000.000 80.000 Ruang terbuka umum,
taman areal rekreasi, berkemah (termasuk ruang terbuka kota) Sumber: Simonds 1983.
Di wilayah studi, kawasan ini antara lain stadion olah raga Sultan Syarif
Abdulrachman, bantaran Sungai Kapuas, Kawasan Sentra Agribisnis, dan green
belt.
Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 tentang
Penataan Ruang Terbuka Hijau Perkotaan standar luas RTH minimal 40% sampai
60% dari total luas wilayah kota. Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 378/Kpts/1987 tentang Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan
Kota yang mengatur standar perencanaan RTH di lingkungan pemukiman kota,
kebutuhan kota terhadap taman kota, hutan kota, jalur hijau dan pemakaman
dihitung berdasarkan kebutuhan masing-masing penduduk (Tabel 3).
Penentuan kebutuhan luas RTH juga dapat dihitung berdasarkan
kebutuhan per kapita penduduk, misalnya di Malaysia sebesar 1,9 m2/penduduk,
berolahraga diusulkan 1,5 m2/penduduk (Affandi 1994). Dalam perkembangan
pembangunan suatu wilayah kota dengan berbagai masalah lingkungan yang
dihadapi tentulah kebutuhan luas RTH tergantung dari berbagai aspek yang
mempengaruhinya.
Tabel 3. Standar perencanaan ruang terbuka hijau di lingkungan Pemukiman
No. Unit lingkungan dan jumlah penduduk
200.000 jiwa Taman dan stadion
4 ha 0,20 Dikelompokkan
Sumber : Kepmen PU No. 378/Kpts/1987 tentang Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota
Besarnya luasan RTH dalam suatu wilayah menurut Nurdin (1999) untuk
kebutuhan 100-300 orang diperlukan paling sedikit 40.000 m2 luasan RTH, yang
didistribusikan menjadi; (1) taman lingkungan ketetanggaan (neighbourhood park) = 4.000 m2 dengan jangkauan pelayanan 10-200 m, (2) taman lingkungan
komunitas = 100.000 m2 dengan jangkauan pelayanan 625-900 m,dan (3) taman
kota atau taman regional dengan luasan yang lebih besar dan berada di daerah
strategis.
Beberapa asumsi di atas, dipergunakan dalam analisis pengembangan RTH
Kota Pontianak namun disesuaikan dengan potensi wilayah dan karakteristik yang
ada. Kota Pontianak merupakan kawasan delta kapuas yang dipengaruhi oleh
pasang surut Sungai Kapuas, jenis tanah yang mendominasi yaitu tanah gambut,
RTH. Secara umum pengembangan RTH didasarkan Kepmen PU Nomor
378/1987, menggunakan standar luas 15m2 per penduduk.
2.6. Pengelolaan Ruang Terbuk a Hijau
2.6.1. Partisipasi Masyarakat
Salah satu prinsip penting dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan
adalah peranan pemerintah dan partisipasi masyarakat. Secara sederhana peran
serta masyarakat didefinisikan sebagai komunikasi dari pemerintah kepada
masyarakat tentang suatu kebijakan dan komunikasi dari masyarakat ke
pemerintah atas suatu kebijakan (Baliwati 2004). Hal tersebut berarti bahwa
peran serta masyarakat merupakan isu sentral dalam pelaksanaan pembangunan
termasuk perencanaan RTH suatu kota. Kesadaran akan pentingnya peran serta
masyarakat dalam pembangunan merupakan perwujudan dari perubahan orientasi
pembangunan: (1) dari pelayanan yang bersifat dilayani menjadi pelayanan yang
bersifat melayani, (2) dari bekerja untuk masyarakat menjadi bekerja untuk dan
bersama masyarakat, dan (3) dari pendekatan yang bersifat patient oriented menjadi pendekatan community oriented.
Dalam sistem perencanaan partisipatif, pergeseran paradigma perencanaan
yang semula bersifat parsial, menjadi perencanaan yang terintegrasi. Dalam
pelaksanaannya perencanaan ini mempersyaratkan pendekatan partisipasi aktif
seluruh pelaku pembangunan (stakeholders). Perencanaan partisipatif juga dapat
berfungsi sebagai instrumen pembelajaran masyarakat (social lerning) secara
kolektif melalui interaksi antar seluruh stakeholders. Pembelajaran ini pada akhirnya akan meningkatkan kapasitas seluruh stakeholders dalam upaya
memobilisasi sumberdaya yang dimiliki secara luas. Dalam proses pembelajaran
ini, yang lebih ditekankan adalah peran dan kapasitas fasilitator untuk
mendefinisikan dan mendeteksi stakeholder secara tepat. Selain itu mengarahkan
untuk memformulasikan masalah secara kolektif, merumuskan strategi dan
rencana tindak kolektif, serta melakukan mediasi konflik kepentingan dalam
pemanfaatan sumberdaya publik.
Dalam proes perencanaan RTH di wilayah studi, salah satu hal penting
wadah masyarakat untuk melakukan proses mobilisasi pemahaman, pengetahuan,
argumen, dan ide menuju terbangunnya sebuah kesepakatan tentang RTH.
Institusi masyarakat yang dipilih dalam studi ini diwakili oleh masyarakat ilmiah
(akademisi), pelaku usaha (praktisi), dan pemerintah (birokrasi).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (direvisi menjadi UU nomor 32
tahun 2005) tentang otonomi daerah, memberikan wewenang yang lebih besar
kepada daerah, untuk menentukan kebijakan termasuk dalam pengaturan RTRW.
Perda Nomor 4 tahun 2002 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota
Pontianak tahun 2002-2012, memuat rumusan kebijakan dan strategi pelaksanaan
pemanfaatan ruang wilayah, yang disusun dan ditetapkan untuk menyiapkan
perwujudan ruang bagian-bagian kota, yang dapat dilakukan pemerintah,
masyarakat dan swasta (Pemda Kota Pontianak 2002).
Beberapa kendala yang masih perlu diperhatikan dalam pengembangan
RTH Kota Pontianak terutama adalah keterlibatan masyarakat terhadap RTH
publik. Dalam penelitian ini keterlibatan masyarakat yang terwakili melalui
kelompok pakar/ahli akan memberikan penilaian terhadap prioritas
pengembangan baik dari aspek bentuk maupun fungsi RTH, sehingga diperoleh
keputusan yang merupakan suatu kebijakan yang akan dilaksanakan secara
bersama.
2.6.2. Peran Pemerintah
Peranan pemerintah dalam pengembangan RTH adalah bagaimana
memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Mengacu kepada PP 63 Tahun 2002
dan Inmendagri Nomor 14 Tahun 1988, kondisi tersebut diformula sikan dalam
perencanaan, pembangunan, pengeloaan, dan pengendalian RTH. Penyusunan
perencanaan RTH Kota merupakan wewenang Pemerintah Daerah (Kota). Tugas
dan tanggung jawabnya meliputi; (1) penelitian, penyusunan rencana, penetapan
rencana, dan peninjauan kembali RTH, dan (2) melaksanakan program kegiatan
RTH sesuai dengan ciri dan watak wilayah kota. Dalam studi ini, proses
perencanaan RTH, pemerintah bersama masyarakat mempertimbangkan beberapa
aspek, antara lain luas wilayah kota (ketersediaan lahan), jumlah penduduk,
aspek teknis (berhubungan dengan sumberdaya manusia), ekologis (berhubungan
dengan perilaku dan kesadaran lingkungan), ekonomi (biaya dan pendapatan),
serta sos ial dan budaya (perilaku masyarakat).
Pada kegiatan pembangunan RTH merupakan implementasi dari
perencanaan yang telah disusun, meliputi kegiatan penataan areal, penanaman,
pemeliharaan, dan pembangunan sipil teknis. Hasil pembangunan akan
bermanfaat kepada masyarakat apabila keberhasilan itu dapat dirasakan langsung
(aksessibilitas).
Pengelolaan RTH dapat dilakukan bersama-sama antara pemerintah,
swasta, dan masyarakat. Dalam pengelolaan RTH yang perlu dipertimbangkan
adalah bia ya dan aspek kelembagaan. Pembiayaan dari swasta dan masyarakat
dapat berupa kewajiban membangun dan mengelola RTH di lingkungannya,
maupun melalui retribusi, pembiayaan dari pemerintah dapat berupa anggaran
pembangunan daerah. Sedangkan aspek kelembagaa n untuk mengelola RTH dari
masyarakat dan swasta dapat dalam bentuk kelompok yang peduli lingkungan,
dan dari pemerintah secara langsung adalah dinas yang bertanggung jawab
terhadap RTH.
Pengendalian RTH ditetapkan dengan kebijakan pemerintah melalui
peraturan daerah (Perda). Kebijakan tersebut diantaranya tidak memberikan ijin
perubahan penggunaan RTH untuk kepentingan/peruntukan lain. Dalam
pengendalian/pengelolaan RTH penerapan punishment dan reward yang
benar-benar memadai akan memberikan motivasi kepada masyarakat.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Kota Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat, (Gambar 1). Penelitian ini berlangsung dari bulan Nopember 2004 sampai
Agustus 2005.
3.2. Metode
Penelitian dilakukan dalam 4 tahap, yaitu: (1) persiapan, (2) pengumpulan
data, (3) pengolahan data, dan (4) penyusunan rekomendasi, (Gambar 2).
Persiapan merupakan penetapan wilayah penelitian serta pengumpulan peraturan,
perundang-undangan, kebijakan, dan ketetapan lainnya. Data yang dikumpulkan,
antara lain bio fisik, sosial budaya yang berasal dari survey lapang maupun
sumber pustaka. Pengolahan data merupakan proses analisis diskriptif kuantitatif
dan analisis spasial. Rekomendasi yang disusun merupakan hasil sintesis antara
kontribusi fungsi dan jenis yang dikombinasikan dengan hasil overlay peta
menggunakan GIS (Geographic Information System). Sistem ini banyak
digunakan untuk menyimpan, menarik, memelihara, mema nipulasi, menganalisa
dan membuat format digital dari data spasial. Selain itu system ini juga berguna
untuk membuat suatu data spasial dalam format hard copy maupun softcopy
(Aronoff 1991).
Menurut Star (1990) SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang
untuk bekerja dengan data yang mereferensi pada koordinat geografi atau spasial
dan juga non spasial. Selanjutnya dijelaskan bahwa SIG sangat membantu
pekerjaan dalam bidang perencanaan kota dan daerah, pengelolaan sumberdaya,
dan bidang lain yang menggunakan informasi geografis. Metoda SIG,
environmental mapping approach yang digunakan saat analisis spasial sangat
tergantung pada komponen yang dipilih, dan merupakan parameter yang akan
memberikan hasil pada evaluasi tapak. Lyle (1985) menjelaskan bahwa SIG
dapat mengumpulkan data yang berbentuk struktur, fungsi dan juga lokasi. Dua
buah file yang berbeda dapat digunakan secara interaktif, misalnya digabung
menjadi satu file.
Dalam studi ini, penggunaan SIG membantu dalam klasifikasi sua tu tipe
penutupan lahan. Berdasarkan proses tersebut dapat diidentifikasi pola
penggunaan lahan yang terdiri dari pemukiman, badan air, dan RTH. Hasil
overlay peta tematik membantu dalam menentukan arahan pengembangan RTH di
Persiapan
Inventarisasi
Analisis
Sintesis
3.2.1. Metode Analisis Fungsi dan Jenis RTH
Analisis fungsi dan jenis RTH merupakan suatu survey terhadap pendapat masyarakat melalui wawancara dan kuisioner. Survey pendapat masyarakat untuk
pengembangan RTH melalui penilaian agregat terhadap aspek fungsi dan jenis
RTH di wilayah studi. Selanjutnya hasil penilaian agregat tersebut dijadikan
referensi arahan pengembangan.
Alternatif fungsi yang akan ditentukan sebagai keputusan penelitian ini
adalah: (1) ekologi, (2) ekonomi, (3) sosial dan (4) budaya. Sedangkan kriteria
yang ditentukan adalah: (1) jumlah penduduk, (2) tingkat polusi, (3) kenyamanan,
(4) pendapatan, (5) perilaku dan (6) kesadaran lingkungan.
Alternatif jenis RTH yang akan ditentukan sebagai keputusan dalam penelitian ini adalah; (1) hutan kota, (2) lapangan olah raga, (3) jalur hijau kota
Gambar 2 . Bagan alir kerja penelitian
Menentukan Tujuan dan Perumusan Masalah
(4) taman kota, (5) taman rekreasi/agrowisata, (6) pemakaman umum dan (7)
green belt. Sedangkan kriteria yang ditentukan, antara lain: (1) ketersediaan
lahan, (2) sumberdaya manusia, (3) aksessibilitas, (4) aspek kelembagaan, (5)
biaya, (6) kebijakan pemerintah dan (7) motivasi.
Analisis dilakukan terhadap fungsi dan jenis serta hubungan antara fungsi
dan jenis sehingga diperoleh prioritas dan arahan pengembangan. Pemilihan
beberapa alternatif tersebut didasarkan atas respon/hasil dari responden dan
wawancara dengan pakar serta pengorganisasian pengetahuan dari berbagai
publikasi tentang RTH (Marimin 2005). Sedangkan pemilihan kriteria mengacu
kepada peraturan dan undang-undang yang berkaitan dengan pengembangan RTH
antara lain Undang-undang Nomor 4 tentang tata ruang, PP Nomor 63 tahun 2003
tentang hutan kota, Inmendagri Nomor 14 tahun 1988 tentang penataan RTH di
wilayah perkotaan, dan Kepmen PU Nomor 378/1987 tentang petunjuk
perencanaan kawasan perumahan kota. RTH yang potensial untuk dikembangkan
adalah yang mempunyai nilai tertinggi untuk setiap kriteria. Penilaian alternatif
pada setiap kriteria menggunakan selang nilai 1 – 5 dimana nilai 1 sangat rendah
kontribusinya terhadap alternatif fungsi yang dinilai (Ma’arif 2001).
Bobot kriteria merupakan nilai hasil judgement dari pakar yang terlibat
dalam penelitian ini, yang terba gi atas kelompok pakar akademisi, praktisi dan
birokrasi. Kelompok pakar akademisi mewakili pakar yang mempunyai latar
belakang pekerjaan sebagai pengajar (dosen) dan mahasiswa yang mengetahui
tentang RTH, dalam hal ini adalah dari Fakultas Pertanian Universitas Tanjung
Pura Pontianak. Dari kelompok praktisi mewakili pakar yang mempunyai latar
belakang pekerjaan sebagai konsultan pertamanan, penangkar bibit tanaman,
pengusaha di bidang pertanian dan anggota kelompok sosial masyarakat yang
bergerak di bidang penghijuan kota. Kelompok birokrasi mewakili pakar yang
mempunyai latar belakang pekerjaan sebagai pegawai negeri, terutama dari
instansi yang berkaitan dengan pengembangan RTH Kota Pontianak, yaitu: Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda), Dinas Kebersihan,
Pertamanan dan Pemakaman (DKPP), Bappeda, Dinas Penataan Ruang dan
Pemukiman, Dinas Kimpraswil dan Dinas Urusan Pangan. Masing-masing
orang. Selang nilai yang diberikan 1 – 5. Penghitungan total nilai setiap pilihan
keputusan menurut Ma’arif dan Tanjung (2003) diformulasikan sebagai berikut:
Rkij = derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada keputusan ke-i,
yang dapat dinyatakan dengan skala ordinal (1,2,3,4,5),
pada Lampiran 6 dan 10 dinyatakan dalam skor kriteria
TKKj = derajat kepentingan kriteria keputusan, yang dinyatakan dengan
bobot (Lampiran 6 dan 10)
n = jumlah kriteria keputusan
Penerapan metode perbandingan eksponensial pada penelitian ini disajikan
pada Lampiran 1, yaitu alternatif jenis dan fungsi RTH. Hasil analisis dapat
dilihat pada Lampiran 6 dan 10. Masing-masing alternatif yang menjadi pilihan
keputusan dalam penelitian ini yaitu alternatif yang merupakan prioritas urutan
pertama dengan total nilai yang tertinggi dari alternatif yang lainnya.
Selanjutnya untuk memperoleh arahan pengembangan, hubungan anta ra
jenis dan fungsi RTH dianalisis dengan kategori hubungan tinggi, rendah, sedang
dan kurang. Dengan membandingkan hasil analisis dengan analisis GIS dapatlah
dibuat rekomendasi tentang letak spesifik pengembangan, perkiraan luas
dibanding kondisi eksisting.
3.2.2. Metode Analisis Data Spasial
Analisis spasial dilakukan melalui interpretasi data dengan cara
digitasi dan mengklasifikasi data, yang selanjutnya akan dijadikan basis data
spasial. Data yang digunakan diantaranya peta penggunaan lahan Kota Pontianak
tahun 2003, peta RTRW Kota Pontianak tahun 2002-2012 dan citra satelit Landsat
TM Kota Pontianak tahun 2003.
Proses identifikasi penutupan lahan dilakukan dengan cara
menumpangsusunkan (overlay) peta -peta tematik yang memuat karakteristik,
diantaranya peta pemanfaatan lahan yang tersusun dalam bentuk format digital,
dan tersimpan dalam layer-layer peta dan basis data tabular. Dari overlay yang
n
Total Nilai = ? ( Rkij) TKKj ………...(1)
dilakukan akan dengan mudah mengenali pe nutupan lahan pada suatu kawasan.
Dengan demikian suatu kawasan dapat diklasifikasi berdasarkan kepada bentuk
penutupan lahan antara lain pemukiman, badan air, RTH dan lahan dengan
penggunaan lainnya.
Identifikasi masing-masing jenis RTH serta penutupan lahan lainnya
didasarkan pada perbedaan kombinasi dasar nilai digital piksel yang terekam pada
sifat pantulan (reflektensi) dan pancaran (emisi) spektral yang dimilikinya.
Dengan memanfaatkan perbedaan pola spektral (spectral patern recognition) dan
pola spasial (spatial patern recognition) berupa aspek tekstur citra, pengulangan
rona, bentuk dan ukuran objek, arah, hubungan serta posisi piksel yang
berdekatan, maka suatu bentuk kawasan RTH dapat diidentifikasi untuk dianalisis
sehingga diperoleh peta penggunaan lahan, RTH eksisting dan peta rencana
pengembangan RTH Kota Pontianak .
3.2.4. Rekomendasi Pengembangan
Rekomendasi pengembangan RTH Kota Pontianak merupakan hasil
analisis data meliputi analisis diskriptif kuantitatif dan analisis spasial berdasarkan
kriteria kesesuaian terhadap karakter spesifik wilayah studi. Berdasarkan data
Bappeda Kota Pontianak tahun 2002 kriteria kesesuaian yang dinilai untuk
pengembangan RTH di wilayah studi seperti tertera pada Tabel 4. Dari beberapa
kriteria tersebut pada subkriteria pemukiman, yang diperhitungkan adalah
pemukiman memiliki peluang pengembangan RTH binaan, misalnya pada
kawasan industri, perkantoran, dan pusat pelayanan publik lainnya. Sedangkan
pada pemukiman yang tidak diperhitungkan adalah pada kawasan yang tidak
memiliki peluang pengembangan, misalnya pada kawasan privat dan
perdagangan. Proses selanjutnya merupakan penetapan parameter yang
digunakan sebagai input pengelompokan berdasarkan studi pustaka dan publikasi
serta penilaian pakar.
Berdasarkan penelitian Shapiro (1997), evaluasi kesesuaian dimaksudkan
untuk mengidentifikasi potensi kawasan berdasarkan sumberdaya, sehingga
ditemukan kawasan yang memiliki kemampuan (capability), dalam kontek ini
beberapa subkriteria yang menunjukkan karakter spasial mulai tidak sesuai hingga
sangat sesuai untuk mendukung pengembangan RTH Kota Pontianak. Data
meliputi kriteria di wilayah studi, yaitu; 1) ekologi, 2) ekonomi, 3) sosial, dan 4)
budaya. Subkriteria pada masing-masing kriteria ditumpangtindihkan secara
bersama dengan subkriteria -subkriteria sumberdaya ekologi, ekonomi, sosial, dan
budaya untuk menghasilkan nilai kesesuaian pada masing-masing sumberdaya.
Tabel 4. Kriteria sumberdaya pengembangan RTH Kota Pontianak
No. Kriteria Simbol Skor (Rerata)
2.1. Taman rekreasi/agrowisata 2.2. Kebun campuran/hutan
4.1. RTH kawasan budaya 4.2. RTH kawasan tradisi budaya
rkb rkt
0-3 0-3 Sumber: Bappeda Kota Pontianak 2002 dan analisis data
Untuk memperoleh nilai kesesuaian pengembangan RTH berdasarkan
kesesuaian kriteria fungsi ekologi dengan model persamaan sebagai berikut:
Keterangan:
NKSekol (Nilai Kesesuaian Lahan kriteria ekologi), a = skor rerata kawasan tergenang, ß = skor rerata jenis tanah, ? = skor rerata kawasan abrasi. Fkt = faktor kawasan tergenang, Fjt = faktor jenis tanah, Fka = faktor kawasan abrasi.
Untuk memperoleh nilai kesesuaian pengembangan RTH berdasarkan kesesuaia n
kriteria fungsi ekonomi dengan model persamaan sebagai berikut:
Keterangan:
NKSekol = [a (Fkt) + ß(Fjt) + ?(Fka)] ...(2)
( a+ ß+ ?)
NKSekon = [a (Ftra) + ß(Fkch)] ...(3)
NKSekon (Nilai Kesesuaian Lahan kriteria ekonomi), a = skor rerata taman rekreasi/agrowisata, ß = skor rerata kawasan kebun campuran dan hutan, Ftra = faktor taman rekreasi/agrowisata, Fkch= faktor kawasan kebun campuran/hutan.
Untuk memperoleh nilai kesesuaian pengembangan RTH berdasarkan kesesuaian
kriteria fungsi sosial dengan model persamaan sebagai berikut:
Keterangan:
NKSsos (Nilai Kesesuaian Lahan kriteria sosial), a = skor rerata kawasan pemukiman, ß = skor rerata
kawasan olah raga, ? = skor rerata taman kota, Fkp = faktor kawasan pemukiman, Fkor = faktor kawasan olah raga, Ftk = faktor taman kota.
Untuk memperoleh nilai kesesuaian pengembangan RTH berdasarkan kesesuaian
kriteria fungsi budaya dengan model persamaan sebagai berikut:
Keterangan:
NKSbud (Nilai Kesesuaian Lahan kriteria budaya), a = skor rerata kawasan RTH kawasan budaya, ß =
skor rerata RTH kawasan tradisi budaya, Frkb = faktor RTH kawasan budaya, Frkt = faktor RTH kawasan tradisi budaya.
Untuk memperoleh peta lokasi pengembangan RTH yang sesuai
berdasarkan kondisi wilayah studi, maka dilakukan overlay terhadap peta
kesesuaian masing-masing kriteria di atas, sehingga dihasilkan peta komposit
berdasarkan fungsi pengembangan RTH. dengan model persamaan sebagai
berikut:
Keterangan:
NKS (Nilai Kesesuaian Lahan), a =jumlah kriteria ekologi, ß = jumlah skor kriteria ekonomi, ? = jumlah skor kriteria sosial, d = jumlah skor kriteria budaya. N K Skomp = Nilai Kesesuaian Lahan berdasarkan komposit, NKSekol = Nilai Kesesuaian Lahan berdasarkan kriteria ekologi, NKSekon = Nilai
Kesesuaian Lahan berdasarkan kriteria ekonomi, NKSsos = Nilai Kesesuaian Lahan berdasarkan
kriteria sosial, N K Sbud = Nilai Kesesuaian Lahan berdasarkan kriteria budaya .
Evaluasi kesesuaian untuk memperoleh nilai dalam pengembangan RTH
dengan kategori tidak sesuai hingga sangat sesuai dilakukan dengan cara overlay
antar subkriteria pada masing-masing kriteria pengembangan. Operasi yang NKSsos = [a (Fkp) + ß(Fkor) + ?(Ftk)] ...(4)
(a+ ß+ ?)
NKSbud = [a (Frkb) + ß(Frkt)] ...(5)
(a+ ß+ ?)
NKSkomp = [a(NKSekol) + ß (NKSekon) + ?(NKSsos) + d(NKSbud)] ...(6)
dilakukan dalam proses overlay adalah dengan menjumlahkan nilai kriteria dan
subkriteria, sehingga diperoleh peta hasil tumpang susun. Untuk memperoleh
nilai arahan pengembangan dilakukan dengan cara menjumlahkan perkalian
antara peringkat masing-masing subkriteria dengan pembobotnya dibagi dengan
total pembobot kriteria pengembangan. Bobot dan peringkat kriteria diperoleh
dari penilaian responden yang memberikan judgement.
Skor nilai yang diberikan kepada masing-masing kriteria sumberdaya
diperoleh berdasarkan penilaian responden, dengan peringkat (skor) yang
ditetapkan adalah skor rerata antara 0 – 3 dimana 0 (tidak sesuai dan tidak ada
pengaruh), 0 – 0,99 (memiliki tingkat pengaruh dan kesesuaian yang rendah), 1 –
1,99 (memiliki tingkat pengaruh dan kesesuaian sedang), dan 2 - 3 (memiliki
tingkat pengaruh dan kesesuaian yang tinggi). Skor nilai yang digunakan
merupakan angka rata-rata dari jumlah skor yang diberikan oleh responden.
Penilaian terhadap bobot kriteria dan subkriteria dilakukan karena
masing-masing parameter tersebut memiliki pengaruh yang berbeda dan selalu berubah.
Nilai yang diberikan berdasarkan penilaian responden, nilai yang diambil
merupakan nilai rerata kumulatif yang diberikan, dengan selang nilai 1 – 5 dimana
nilai 1 kurang berpengaruh, nilai 2 sedikit berpengaruh, nilai 3 berpengaruh, nilai
4 cukup berpengaruh, dan nilai 5 sangat berpengaruh terhadap bobot kriteria dan
subkriteria yang dinilai (Ma’arif 2001).
Dalam studi ini analisis spasial menggunakan GIS masih terdapat
keterbatasan, karena kriteria yang berpe ngaruh dalam pengembangan RTH tidak
selalu dapat diterjemahkan dalam bentuk spasial. Keterbatasan tersebut misalnya
pada kriteria budaya, tidak semua data atribut budaya dapat mewakili suatu
kawasan. Maka perlu kehati-hatian dalam menginterpretasikan atr ibut budaya
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
4.1.1. Letak Geografis dan Administratif
Kota Pontianak terletak pada posisi 0002’24’’LU – 0001’37’’LS dan 109016’25’’BT – 109023’04’’BT dengan luas wilayah 107,82 km2. Secara
administratif terdiri atas 5 (lima) Kecamatan, sesuai dengan Peraturan Daerah
Kota Pontianak Nomor 5 Tahun 2002 yaitu, Kecamatan Pontianak Utara,
Kecamatan Pontianak Selatan, Kecamatan Pontianak Timur, Kecamatan
Pontia nak Barat dan Kecamatan Pontianak Kota (Gambar 3).