• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta Berdasarkan Penggunaan Lahan Dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta Berdasarkan Penggunaan Lahan Dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN KOTA HIJAU YOGYAKARTA

BERDASARKAN PENGGUNAAN LAHAN DAN

KECUKUPAN RUANG TERBUKA HIJAU

AMALIA RATNASARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta Berdasarkan Penggunaan Lahan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015

Amalia Ratnasari

(4)

RINGKASAN

AMALIA RATNASARI. Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta Berdasarkan Penggunaan Lahan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau. Dibimbing oleh SANTUN RISMA PANDAPOTAN SITORUS dan BOEDI TJAHJONO.

Kota Yogyakarta adalah salah satu kota yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat. Pertumbuhan kota yang tidak terkendali mengakibatkan tingginya alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun dan semakin berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Dampaknya adalah kerusakan lingkungan dan berkurangnya kenyamanan kota. Salah satu alternatif penyelesaian permasalahan kota yang berkembang adalah dengan menerapkan konsep Kota hijau. Kementrian Pekerjaan Umum merumuskan konsep kota hijau di Indonesia dalam Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yaitu untuk mewujudkan 30% dari wilayah kota sebagai RTH.

Penelitian ini memiliki tujuan utama untuk merumuskan arahan pengembangan RTH dalam mewujudkan Kota Yogyakarta menjadi kota hijau. Beberapa hal yang telah dilakukan untuk mencapainya seperti : (1) Mengidentifikasi luas dan persebaran penggunaan lahan dan RTH eksisting Kota Yogyakarta tahun 2014, (2) Menghitung luas kecukupan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk dan nilai THI, (3) Menentukan area-area berpotensi untuk pengembangan RTH, (4) Menyusun arahan pengembangan RTH menuju Kota Hijau Yogyakarta.

Pada tahap awal dilakukan interpretasi citra Quickbird untuk mengidentifikasi penggunaan lahan dan RTH eksisting. Kecukupan RTH dihitung berdasarkan luas wilayah sesuai dengan ketentuan UU No. 26 tahun 2007 (30% dari luas administrasi kota), berdasarkan proyeksi jumlah penduduk pada tahun 2029 sesuai dengan standarisasi kebutuhan RTH per penduduk dalam Permen PU No.05/PRT/M/2008 (20m2 per penduduk), berdasarkan indeks kenyamanan thermal menggunakan metode yang dikembangkan oleh Niewolt (1975) (selang kenyaman THI 20 – 26 °C). Banyaknya lahan terbangun di Kota Yogyakarta, maka penambangan RTH dapat memanfaatkan lahan-lahan kosong milik pemerintah atau masyarakat. Arahan pengembangan RTH dilakukan berdasarkan penggunaan lahan, RTH eksisting, luas kecukupan RTH dan area berpotensi RTH dengan mempertimbangkan RTRW dan Zoning Regulation Kota Yogyakarta.

Hasil penelitian menunjukkan penggunaan lahan eksisting Kota Yogyakarta tahun 2014 didominasi oleh permukiman seluas 1333,75 ha (40.58%). Permukiman ini tersebar merata di seluruh Kota Yogyakarta. RTH eksistingnya seluas 584,45 ha (17,78%) terdiri dari RTH publik seluas 329,63 ha (10,03%) dan RTH privat seluas 254,82 ha (7,75%). Pada pusat kota, RTH tersebar secara linear umumnya berupa RTH publik seperti taman kota dan rekreasi, sedangkan di pinggiran kota RTH tersebar secara acak didominasi oleh RTH privat seperti sawah.

(5)

terdapat kelebihan seluas 3,12 ha.

Area yang berpotensi untuk pengembangan RTH adalah seluas 126,02 ha atau 3,84%. Area potensi 1 berupa jalur hijau jalan terdapat 15,62 ha (0,48%), area potensi 2 yang berupa lahan kosong seluas 15,32 ha (0,47%) dan area 3 berupa sempadan sungai seluas 95,08 ha (2,89%). Luas total RTH hanya mampu mencapai 710,47 ha atau 21,62%. Hal ini menunjukkan bahwa RTH di Kota Yogyakarta masih jauh dari standar kebutuhan yang harus dipenuhi untuk menuju Kota Hijau yaitu 30%.

Arahan pengembangan RTH Kota Yogyakarta untuk menuju Kota Hijau adalah mempertahankan RTH eksisting seluas 584,45 ha yang berupa area hijau, taman kota dan sempadan sungai; menambah RTH seluas 126,02 ha yang ditujukan untuk membangun RTH publik seperti jalur hijau jalan, taman lingkungan permukiman dan merefungsi sempadan sungai; pengembangan RTH di Kota Yogyakarta di fokuskan pada pengembangan RTH kenyamanan seperti meningkatkan kualitas RTH eksisting dengan penambahan vegetasi terutama jenis peneduh dan menghijaukan bangunan dengan roof garden atau vertical garden.

(6)

SUMMARY

AMALIA RATNASARI. Yogyakarta Green City Planning based on Land Use and Adequacy of Green open Space. Supervised by SANTUN RISMA PANDAPOTAN SITORUS and BOEDI TJAHJONO.

Yogyakarta is one of the cities that growth rapidly. Uncontrolled urban growth causing the land conversion into developed land and decreasing the green open space (RTH). The impact are environmental damage and reduced city comfortability. An alternative resolution of developing city is by applying green city concept. Ministry of Public Works formulate green cities concept in Indonesia in the Green City Development Program (P2KH) is to actualize 30% of the city area as green open space.

The main purpose of this research is to formulate RTH development strategy in realizing the city of Yogyakarta into a green city. Several activities have been carried out to achieve it such as: (1) Identifying vast and distribution of land use existing and RTH existing of Yogyakarta city in 2014, (2) Calculating the adequacy of RTH based on vast territory, total population and values of THI, (3) Determining potential areas that could be developed for green open space, (4) Arranging RTH development strategy toward Yogyakarta Green City.

Interpreting of Quickbird image has been carried out to identify the existing land use and existing RTH. Adequacy of RTH calculated based on vast territory in accordance with Act No. 26 in 2007(30% of the total area of city administration), based on projection of the total population in 2029 due to the standard needs of RTH per population in Permen PU No.05/PRT/M/2008 (20m2 per population), based on thermal comfort index using method developed by Niewolt (1975) (THI comfort range of 20-26 °C). Yogyakarta has many of developed land, so that to increasing RTH, it can utilize vacant land owned by the government or the citizens. RTH development strategy is conducted based on land use, existing RTH, adequacy of RTH and potential areas by considering RTRW and Zoning Regulation of Yogyakarta city.

The results showed that existing land use of Yogyakarta in 2014 was dominated by settlement covering 1333.75 ha (40.58%). These settlements are spread evenly throughout Yogyakarta city. Existing RTH is 584.45 ha (17.78%) consisting of public RTH covering an area of 329.63 ha (10.03%) and private RTH for 254.82 ha (7.75%). RTH linearly dispersed at the city center, generally in the form of public RTH such as city parks and recreation park. While in suburban RTH randomly scattered as a private RTH dominated by rice fields.

Adequacy of RTH Yogyakarta based on vast territory is 975 ha. RTH adequacy based on projections of the total population in 2029 is 805.36 ha and based on the value of THI required RTH minimum covering 177 ha. Generally vast adequacy of RTH every district in Yogyakarta city is can not be fulfilled. Currently adequacy of RTH based on total population that can be fulfilled is in District Umbulharjo, there is an extra RTH of 3.12 ha.

(7)

that is 30%.

RTH development strategy of Yogyakarta toward Green City are maintaining the existing RTH of 584.45 ha in the form of green areas, city parks and riparian area; adding RTH of 126.02 ha to build public RTH such as a green corridors, residential park and refunction of riparian area; RTH development in Yogyakarta focussed on developing RTH comforts such as improving the quality of existing RTH by adding vegetation especially on shady type and greening the building with roof garden or vertical garden.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

BERDASARKAN PENGGUNAAN LAHAN DAN

KECUKUPAN RUANG TERBUKA HIJAU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan mulai bulan Februari 2014 ini adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan judul Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta Berdasarkan Penggunaan Lahan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau.

Terima kasih dan penghargaan setinggi-tinginya penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr Ir Santun R.P. Sitorus selaku Ketua Komisi Pembimbing dan

Bapak Dr Boedi Tjahjono, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberi arahan, saran dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini. 2. Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr selaku penguji luar komisi yang telah

memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.

3. Ketua Program Studi serta segenap dosen pengajar, asisten dan staf pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

4. Orang tua tercinta Ir Agoes Sriyanto, MSi dan Dr Rugayah, MSc yang terus mendukung dengan doa dan semangat. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. 5. Rekan-rekan Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah yang telah

mendukung selama penyusunan Tesis.

6. Semua pihak yang berperan dalam proses penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga karya tulis ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2015

(13)

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

Kerangka Pemikiran Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 7

Pengertian dan Atribut Kota Hijau 7

Muatan Rencana Aksi Kota Hijau 7

Penggunaan Lahan dan Pola Ruang Kota 8

Ruang Terbuka Hijau 9

Jenis Ruang Terbuka Hijau 10

Fungsi Ruang Terbuka Hijau 12

Suhu dan Kelembaban Udara 13

Suhu Udara 13

Kelembaban Udara 13

Temperature Humidity Index (THI) 14

Hubungan Ruang Terbuka Hijau dengan Suhu Udara 15

Hasil-hasil Penelitian Terdahulu 15

BAHAN DAN METODE 20

Lokasi dan Waktu Penelitian 20

Jenis dan Sumber Data serta Alat Penelitian 20

Teknik Analisis Data 21

Metode Analisis Data 21

Analisis Data Citra 21

Analisis Kecukupan RTH 24

Analisis Area Prioritas untuk Pengembangan RTH 28

Penyusunan Arahan Pengembangan RTH 28

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 30

Letak Geografis 30

Iklim 31

Hidrologi 31

Kependudukan 32

Penggunaan Lahan 33

(14)

Potensi dan Permasalahan 37

HASIL PEMBAHASAN 42

Penggunaan Lahan Eksisting dan RTH Eksisting di Kota Yogyakarta 42

Kecukupan RTH di Kota Yogyakarta 46

Kecukupan RTH Berdasarkan Luas Wilayah 46

Kecukupan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk 48

Kecukupan RTH Bersadarkan Temperature Humidity index (THI) 51

Area Prioritas untuk Pengembangan RTH 54

Arahan RTH menuju Kota Hijau Yogyakarta 56

Tahapan Perencanaan Pengembangan RTH Kota Yogyakarta 61

SIMPULAN DAN SARAN 64

Simpulan 64

Saran 64

DAFTAR PUSTAKA 66

LAMPIRAN 69

RIWAYAT HIDUP 78

DAFTAR TABEL

1 Muatan Rencana Aksi Kota Hijau 7

2 Kepemilikan RTH 11

3 Selang Kenyamanan Beberapa Negara 15

4 Matrik Hubungan Antara Tujuan Penelitian, Jenis Data, Sumber Data,

Teknik Analisis Data dan Output 21

5 Titik pengecekan tiap kecamatan di Kota Yogyakarta berdasarkan jenis

penggunaan lahan 23

6 Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk 25

7 Titik pengambilan sampel tiap kecamatan di Kota Yogyakarta

berdasarkan jenis RTH 26

8 Klasifikasi Nilai THI (Temperature Humidity Index) 26

9 Kelembapan Udara dan Suhu Udara di Kota Yogyakarta Tahun 2013 31 10 Distribusi Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta Menurut Kecamatan

Tahun 2010-2013 33

11 Luas Penggunaan Lahan Berdasarkan Status Peruntukan Lahan Tahun

2007-2010 Kotaa Yogyakarta 33

12 Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Yogyakarta Tahun 2007-2010 34 13 Komposisi RTH Publik dan Privat Kota Yogyakarta Tahun 2009 34

(15)

2007 47

16 Proporsi Kecukupan RTH Berdasarkan Luas Wilayah 47

17 Kebutuhan RTH Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

No.05/PRT/M/2008 pada 3 titik tahun 49

18 Proporsi Kecukupan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk pada Tahun

2013 50

19 Proporsi Kecukupan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk pada Tahun

2029 50

20 Sebaran Nilai THI di Kota Yogyakarta 52

21 Proporsi THI pada tiap kecamatan 53

22 Proporsi THI dan luas penambahan RTH minimal Kota Yogyakarta 54

23 Luas Area Berpotensi RTH di Kota Yogyakarta 55

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitian 6

2 Tipologi RTH 10

3 Peta sebaran titik pengecekan lapangan 24

4 Peta sebaran titik pengukuran suhu dan kelembapan 27

5 Diagram Alir Penelitian 29

6 Peta Wilayah Kota Yogyakarta 30

7 Kondisi 3 sungai utama di Kota Yogyakarta 32

8 Suasana pusat Kota Yogyakarta 38

9 Taman Sari Yogyakarta 38

10 Beberapa macam RTH Publik 40

11 Beberapa macam RTH Privat 40

12 Beberapa permasalahan lingkungan kota 41

13 Proporsi penggunaan lahan Kota Yogyakarta tahun 2014 42

14 Peta Penggunaan Lahan Eksisting Kota Yogyakarta tahun 2014 43

15 Proporsi RTH Eksisting Perkecamatan 45

16 Peta RTH Eksisting Kota Yogyakarta 46

17 Proporsi RTH Berdasarkan Luas Wilayah Perkecamatan 48

18 Proporsi RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk Perkecamatan 51

19 Sebaran Tingkat kenyamanan di Kota Yogyakarta 53

20 Area Berpotensi RTH 56

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan penggunaan lahan eksisting Kota Yogyakarta tahun 2014 69

2 Perhitungan RTH eksisting Kota Yogyakarta tahun 2014 70

3 Peraturan Zonasi Kota Yogyakarta 71

(17)

Latar Belakang

Kota sebagai suatu perwujudan aktivitas manusia senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Suatu kota berawal dari komunitas kecil yang lama kelamaan berkembang menjadi sebuah komunitas besar. Perkembangan kota merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dan salah satu hal krusial yang mempengaruhinya adalah terbukanya aksesibilitas (Putri dan Zain 2010). Kemudahan aksesibilitas, kondisi lingkungan fisik, dan lingkungan sosial suatu wilayah akan menjadi daya tarik seseorang untuk bermigrasi atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain (Royuela et al. 2010). Mereka bermigrasi dengan tujuan untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Menurut Rodgers et al. (2011) migrasi dari desa ke kota merupakan penyebab utama pertumbuhan penduduk kota. Menurut Cropper dan Griffiths (1994) pertumbuhan kota sering dituduh sebagai penyebab degradasi lingkungan terutama apabila pertumbuhan populasi penduduk kota sudah melebihi kapasitas daya dukung lingkungannya. Semakin padat penduduk kota maka kualitas lingkungan semakin rendah (Todaro dan Smith 2006). Bahaya pencemaran lingkungan hidup di kota-kota Indonesia semakin hari semakin serius dan akan memberi dampak yang berbahaya untuk jangka panjang jika tidak segera diambil langkah-langkah konkrit dalam menanggulangi masalah lingkungan hidup. Permasalahan lingkungan yang terjadi di kota adalah polusi udara, polusi air, dan sampah padat (Kahn 2006).

Tingginya jumlah penduduk ini mengakibatkan kebutuhan penduduk terhadap ruang semakin tinggi terutama untuk lahan terbangun. Hal ini pada akhirnya akan menjadi pemicu terjadinya proses konversi lahan dari lahan non terbangun menjadi lahan terbangun. Permasalahan laju perubahan penggunaan lahan yang tinggi disebabkan terutama oleh tingkat pemanfaatan lahan kota yang relatif tinggi, sedangkan luas lahan kota relatif terbatas/ tetap.

Salah satu alternatif penyelesaian permasalahan kota yang berkembang di Indonesia yaitu konsep Kota Hijau (Green City) sebagai bagian dari proses pembangunan dan peremajaan kota. Menurut Ernawi (2012) konsep kota hijau memiliki makna strategis karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain pertumbuhan kota yang begitu cepat dan berimplikasi pada berbagai permasalahan perkotaan seperti kemacetan, banjir, permukiman kumuh, kesenjangan sosial, dan berkurangnya luasan ruang terbuka hijau. Kementerian PU (2012) menerangkan bahwa konsep kota hijau memiliki 8 atribut yaitu : 1. Green Planning and Design,

2. Green Open Space, 3. Green Waste, 4. Green Transportation, 5. Green Water,

6. Green Energi, 7. Green Building, 8. Green Community.

(18)

Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah perkotaan adalah untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lainnya. RTH sangat diperlukan untuk meningkatkan ketersediaan air dan udara bersih bagi masyarakat serta menciptakan estetika kota (Joga dan Ismaun 2011). Menurut UU No. 26 tahun 2007 luas minimal RTH di wilayah perkotaan agar dapat menjalankan proses-proses ekologis tersebut minimal 30% dari total luas wilayah kota, terdiri atas RTH publik 20% dan RTH privat 10% (Direktorat Jendral Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum 2007).

Salah satu kota di Jawa yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat adalah Kota Yogyakarta yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Keadaan ini akan terus mengalami perkembangan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan aktifitas yang ada di Kota Yogyakarta. Secara administratif Kota Yogyakarta adalah Ibukota Provinsi DIY yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, dan perekonomian. Sebagai salah satu kota kuno di Indonesia Kota Yogyakarta merupakan kota yang lahir secara terencana dengan baik dalam pemilihan lokasi hingga rencana tata ruangnya.

Pusat kota dijadikan sebagai pusat kehidupan penduduk kota karena di dalamnya terdapat komponen yang merepresentasikan aspek kehidupan sosial, politik, keagamaaan, dan ekonomi. Dalam kawasan ini terdapat berbagai macam bangunan yang digunakan sebagai kawasan permukiman maupun pusat kegiatan perdagangan dan jasa yang berguna untuk menunjang kehidupan bermasyarakat. Pusat kota ini membentuk pola tertentu, pola-pola tersebut adalah alun-alun lor yang merupakan pusat kota yang dikelilingi oleh Masjid Agung di sebelah baratnya, Pekapalan (pendopo kecil) disebelah timur, Keraton di sebelah selatannya, dan Pasar di sebelah utara.

Saat ini kawasan pusat kota mengalami perkembangan pesat dimana ruang-ruang pengembangan semakin sempit dan tidak mampu menampung perkembangan kota yang semakin kompleks. Menurut Sitorus et al. (2011) ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan luas RTH, yaitu alokasi RTH dalam RTRW, fasilitas kesehatan, jumlah pendatang, kepadatan penduduk, dan fasilitas pendidikan. Jumlah penduduk Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 jumlah penduduk sebanyak 388.627 jiwa, dibandingkan dengan tahun 2012 yang berjumlah 394.012 jiwa, sehingga telah mengalami kenaikan sebesar 5.385 jiwa dengan rata-rata kepadatan penduduk 12.123 jiwa/km2 (BPS Kota Yogyakarta 2013). Walaupun pertumbuhannya rendah tetapi jumlah penduduk akan terus bertambah setiap tahunnya, bahkan pada bulan tertentu seperti liburan sekolah Kota Yogyakarta semakin penuh sesak dan biasanya timbul kemacetan di berbagai tempat.

(19)

Penggunaan lahan di kota Yogyakarta pada tahun 2012 didominasi oleh lahan permukiman, sedangkan penggunaan lahan yang mengalami peningkatan adalah sektor jasa seperti kegiatan perdagangan dan pariwisata. Peningkatan ini menggambarkan dinamika perekonomian kota Yogyakarta yang ditopang oleh sektor jasa, sebaliknya untuk lahan pertanian luasannya sangat rendah yaitu hanya 76 ha (BPS Kota Yogyakarta 2013). Mengingat posisi Kota Yogyakarta sebagai daerah perkotaan, maka di dalam RTRW sudah tidak terdapat lagi alokasi lahan pertanian.

Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta tahun 2011, ruang terbuka hijau (RTH publik) yang dibangun pemerintah hanya 17,17% (557,90 hektar) dari luas wilayah Kota Yogyakarta. Kurangnya luas RTH publik di wilayah kota diakibatkan oleh kendala keterbatasan lahan. Maraknya pembangunan beragam proyek yang melanggar aturan lingkungan menyebabkan semakin kritisnya ketersediaan ruang terbuka hijau di Kota Yogyakarta. Permintaan lahan kota yang terus tumbuh untuk pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, sering mengubah konfigurasi alami lahan/ bentang alam perkotaan dan menyita lahan-lahan tersebut atau berbagai bentukan ruang terbuka lainnya. Pembangunan mal, hotel dan beragam fasilitas lainnya hampir tidak ada yang memenuhi ketentuan untuk berpihak kepada aturan menjaga lingkungan.

Salah satu dampak akibat berkurangnya RTH yang dapat dirasakan secara langsung adalah menurunnya tingkat kenyamanan kota. Menurut Niewolt (1975) kenyamanan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan pengaruh keadaan lingkungan yang dinyatakan secara kuantitatif melalui hubungan kelembaban udara dan suhu udara yang disebut dengan Temperature Humidity Index (THI). Hasil penelitian Niewolt (1975) juga menyatakan bahwa THI Indonesia adalah pada kisaran 20 – 26 °C. Menurut Rushayati et al. (2011) suhu udara tinggi dipengaruhi oleh jenis penutupan lahan yaitu berupa lahan terbangun, sebaliknya suhu udara rendah dipengaruhi oleh ruang terbuka hijau. Semakin tinggi persentase lahan terbangun di suatu area, maka akan semakin tinggi juga suhu udara di area tersebut. Sebaliknya semakin tinggi persentase ruang terbuka hijau, maka semakin rendah suhu udaranya. Pengembangan dan pembangunan ruang terbuka hijau akan efisien dan efektif jika dilakukan di area yang tepat yaitu di area dengan suhu udara tinggi.

Untuk membuat suatu arahan tata ruang dalam konsep kota hijau dan mendukung RTRW Kota Yogyakarta yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan maka diperlukan suatu pemanfaatan lahan yang optimal berdasarkan kesesuaian lahan wilayah tersebut. Penerapan konsep kota hijau diharapkan mampu menambah Ruang Terbuka Publik dan Ruang Terbuka Privat serta merelokasikan kegiatan komersil dan aktifitas umum lainnya sebagai bagian dari upaya menjaga laju pertumbuhan dan kebutuhan ruang kota. Sementara yang terjadi adalah aktifitas yang terus berkembang di pusat kota, sedangkan permasalahan kota belum terselesaikan secara optimal.

(20)

Pada umumnya keberadaan RTH kota kurang mendapat perhatian, terutama dalam tata letak penempatannya. Dengan mengetahui tipe dan lokasi-lokasi yang tepat dalam penempatan RTH, fungsi RTH dapat dimaksimalkan sehingga dapat memberikan manfaat yang cukup signifikan pada masyarakat sekitar. Diharapkan pengembangan RTH secara langsung akan mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam membangun dan merencanakan suatu kota yang layak huni dan mampu mendukung kehidupan warganya.

Perumusan Masalah

Perkembangan Kota yogyakarta yang sangat pesat menyebabkan turunnya kualitas lingkungan. Tingginya jumlah penduduk di kota ini mengakibatkan kebutuhan penduduk terhadap ruang semakin tinggi terutama untuk lahan terbangun. Hal ini pada akhirnya akan menjadi pemicu terjadinya proses konversi lahan dari lahan non terbangun menjadi lahan terbangun. Pembangunan infrastruktur kota untuk memfasilitasi kebutuhan warganya seringkali mengambil bagian dari ruang hijau sehingga jumlah ruang terbuka hijau yang ada di perkotaan menjadi berkurang.

Salah satu alternatif penyelesaian permasalahan konversi lahan di kota adalah dengan menerapkan konsep Kota Hijau (Green City). Konsep kota hijau di Indonesia dirumuskan dalam Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Menurut Kementerian PU (2011) Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) merupakan salah satu langkah Pemerintah Pusat bersama dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota/ Kabupaten dalam memenuhi ketetapan Undang– Undang Penataan Ruang, terutama terkait pemenuhan luasan RTH perkotaan. Penerapan konsep Kota Hijau di Kota Yogyakarta di fokuskan untuk memenuhi 30% dari total luas wilayah kota menjadi RTH, yaitu RTH publik 20% dan RTH privat 10%.

Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta tahun 2010, ruang terbuka hijau publik yang dibangun pemerintah masih kurang dari 20% atau hanya 17,17% (557,90 hektar) dari luas wilayah Kota Yogyakarta. RTH publik kota ini didominasi oleh area hijau pasif yaitu 11,14% sedangkan taman kota, taman rekreasi dan lapangan olah raga sebagai ruang interaksi hanya terdapat 2,27%. RTH privat sudah melebihi syarat yang ditentukan yaitu 14,49% yang didominasi oleh area pertanian (6,25%) dan taman perkantoran (6,67%). Tetapi angka ini dapat berubah karena area pertanian adalah area yang cepat sekali berubah menjadi lahan terbangun. Meskipun didominasi oleh kawasan permukiman tetapi taman lingkungan permukimannya hanya mencapai 1,63%. Hal ini menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta kekurangan ruang publik sebagai tempat interaksi warganya.

(21)

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka dapat disusun beberapa pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut :

1. Berapakah luas dan bagaimanakah persebaran penggunaan lahan aktual dan RTH eksisting Kota Yogyakarta tahun 2014?

2. Berapakah luas kecukupan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, dan nilai THI?

3. Bagaimanakah cara menentukan area prioritas untuk pengembangan RTH? 4. Arahan pengembangan RTH seperti apa yang dapat direkomendasikan agar

sesuai dengan konsep Kota Hijau?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi luas dan persebaran penggunaan lahan aktual dan RTH eksisting Kota Yogyakarta tahun 2014.

2. Menghitung luas kecukupan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, dan nilai THI.

3. Menentukan area prioritas untuk pengembangan RTH.

4. Menyusun arahan pengembangan RTH menuju Kota Hijau Yogyakarta.

Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat :

1. Memberikan gagasan dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah mengenai penerapan konsep Green City di Indonesia dan khususnya di Kota Yogyakarta.

2. Memperkaya ilmu pengetahuan dan bahan pustaka bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dengan tujuan memberikan arahan pengembangan RTH menuju Kota Hijau Yogyakarta. Konsep Kota hijau menurut Kementrian PU (2011) memiliki 8 atribut yaitu : 1. Green Planning and Design,

2. Green Open Space, 3. Green Waste, 4. Green Transportation, 5. Green Water,

6. Green Energi, 7. Green Building, 8. Green Community. Namun demikian, dalam penelitian ini hanya digunakan 2 atribut saja yaitu green Planning and Design dan Green Open Space. Analisis tahap pertama yang dilakukan adalah mengkaji kondisi eksisting dilihat dari penggunaan lahan dan RTH-nya menggunakan interpretasi Citra Quickbird. Luas wilayah, jumlah penduduk dan nilai THI Kota Yogyakarta dijadikan parameter untuk menghitung kecukupanan RTH-nya. Setelah didapatkan jumlah kebutuhan RTH kemudian menentukan area prioritas untuk dikembangkan menjadi RTH publik yang akan menjadi dasar dalam penentuan arahan pengembangan RTH di Kota Yogyakarta.

Kerangka Pemikiran Penelitian

(22)

untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana warganya. Undang-undang No.26/2007 menyatakan proporsi Ruang Terbuka Hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota dimana 20% berupa ruang terbuka hijau publik. Untuk memenuhi proporsi tersebut dipilih salah satu konsep pencapaian yaitu kota hijau dengan menganalisis 2 atributnya yaitu Green Planning and Design dan Green Open space.

Analisis penggunaan lahan digunakan untuk mengetahui distribusi peruntukan ruang yang meliputi ruang untuk fungsi lindung dan ruang untuk fungsi budidaya, sedangkan analisis RTH dilakukan untuk mengetahui kecukupan dan menentukan area yang berpotensi untuk RTH. Hasil analisis ini selanjutkan digunakan untuk menentukan arahan pengembangan RTH di Kota Yogyakarta. Alur kerangka berfikir yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian Kondisi eksisting

Kota Yogyakarta

Pertumbuhan Penduduk Degradasi Lingkungan

Meningkatnya Ruang Terbangun dan Berkurangnya Ruang Terbuka Hijau

Analisis Green Planning and Design

Pola dan Distribusi Peruntukan Ruang

Penggunaan Lahan

Analisis Green Open Space

Kecukupan Ruang Terbuka Hijau

Area prioritas untuk RTH

(23)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Atribut Kota Hijau

Kota hijau adalah kota dimana semua konstruksi buatan manusia seperti jalan dan bangunan berpadu dalam harmoni yang seimbang dengan lingkungan, masyarakat, dan perekonomian. Kesemuanya itu dikelola oleh pemerintah yang bertanggung jawab, terbuka kepada rakyatnya serta bekerja sama dengan masyarakat melalui proses partisipatif (Kementerian Pekerjaan Umum 2011).

Terdapat 8 atribut kota hijau, yaitu :

1. Green Planning and Design, Perencanaan dan perancangan yang sensitif terhadap agenda hijau.

2. Green Open Space, Perwujudan kualitas, kuantitas, dan jejaring RTH perkotaan.

3. Green Waste, Penerapan prinsip 3R yaitu mengurangi sampah/limbah, mengembangkan proses daur ulang dan meningkatkan nilai tambah.

4. Green Transportation, Pengembangan sistem transportasi yang berkelanjutan, misalnya: transportasi publik, jalur sepeda, dsb.

5. Green Water, Peningkatan efisiensi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya air.

6. Green Energi, Pemanfaatan sumber energi yang efisien dan ramah lingkungan. 7. Green Building, Penerapan bangunan ramah lingkungan (hemat air, energi,

struktur, dsb)

8. Green Community, Peningkatan kepekaan, kepedulian, dan peran serta aktif masyarakat dalam pengembangan atribut-atribut Kota Hijau. (Kementerian Pekerjaan Umum, 2011)

Muatan Rencana Aksi Kota Hijau

Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) adalah kegiatan yang telah dirintis oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang - Kementerian Pekerjaan Umum, merupakan salah satu langkah nyata pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten dalam memenuhi ketetapan UUPR, terutama terkait pemenuhan luasan RTH perkotaan, sekaligus menjawab tantangan perubahan iklim di Indonesia. P2KH merupakan inovasi program perwujudan RTH perkotaan yang berbasis komunitas. Muatan Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH) tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Muatan Rencana Aksi Kota Hijau

Atribut Indikator Aksi Bentuk Rencana Aksi

Green Planning & Design

Perencanaan Kota Aksi-1 Mengembangkan rencana tata ruang yang telah mengadopsi prinsip-prinsip kota hijau dan menjamin karakter

kota/kawasan

(24)

mixed used, dan berorientasi yang kuat dan mengikat, baik perda/perwal/perbup,

termasuk peraturan mengenai RTH

Green Open Space

Kuantitas RTH Aksi-4 Meningkatkan kuantitas RTH publik dan privat sesuai dengan amanat UUPR 26//2007 (berdasarkan peta RTH eksisting, peta rencana dan program perwujudannya) Kualitas RTH Aksi-5 Menjamin akses yang mudah

bagi masyarakat pada RTH dengan mengembangkan jejaring RTH (network) yang sesuai dengan karakteristik kota/kawasan

Perlindungan dan restorasi Habitat dan Cagar Alam

Aksi-6 Melindungi dan merestorasi habitat yang kritis dari

Sumber : Kementrian Pekerjaan Umum, (2011)

Penggunaan Lahan dan Pola Ruang Kota

Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Arsyad 1989). Sepuluh kelas penggunaan lahan menurut Barlowe (1978) adalah sebagai berikut: 1) lahan permukiman, 2) lahan industri dan perdagangan, 3) lahan bercocok tanam, 4) lahan peternakan dan penggembalaan, 5) lahan hutan, 6) lahan mineral/pertambangan, 7) lahan rekreasi, 8) lahan pelayanan jasa, 9) lahan transportasi dan 10) lahan tempat pembuangan.

(25)

yang mampu untuk menguasainya. Dari aspek pelaku, kota merupakan hasil kreatifitas yang mencerminkan pandangan manusia yang membentuknya.

Penggunaan lahan merupakan salah satu produk kegiatan manusia di permukaan bumi yang memiliki berbagai macam variasi bentuk. Dilihat dari sistem keruangan kota penggunaan lahan memiliki peran yang berpengaruh terhadap pola tata ruang suatu wilayah. Pengaruh penggunaan lahan terhadap pola tata ruang kota tergantung dari beberapa faktor. Kemudahan transportasi dan komunikasi dari dan ke daerah-daerah di sekitar kota utama, kondisi topografis, kondisi hidrologis merupakan beberapa faktor yang menentukan pengaruh penggunaan lahan terhadap pola tata ruang kota. Dalam menganalisis pengaruh penggunaan lahan terhadap pola tata ruang kota perlu pemahaman bentuk-bentuk penggunaan lahan yang mewarnai daerah terbangun, daerah peralihan kota-desa serta daerah perdesaan (Yunus 2006).

Menurut UU 26/2007, Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukkan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukkan ruang untuk fungsi budidaya. Menurut Rustiadi (2004), tata ruang sebagai wujud pola dan struktur pemanfaatan ruang terbentuk secara alamiah dan merupakan wujud dari proses pembelajaran (learning process) yang terus menerus. Sebagai alat pendeskripsian, istilah pola spasial (ruang) erat dengan istilah-istilah kunci seperti pemusatan, penyebaran, pencampuran dan keterkaitan, posisi/lokasi, dan lain-lain. Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap jenis aktifitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda, dan tingkat penyebaran yang berbeda-beda pula (Rustiadi et al. 2011).

Menurut Rustiadi et al. (2011), pola pemanfaatan ruang juga dicerminkan dengan gambaran pencampuran atau keterkaitan spasial antar sumberdaya dan pemanfaatannya. Kawasan perkotaan dicirikan oleh pencampuran yang lebih rumit antara aktifitas jasa komersial dan permukiman. Adapun, kawasan sub urban di daerah perbatasan perkotaan dan perdesaan dicirikan dengan kompleks pencampuran antara aktifitas permukiman, industri dan pertanian. Peta penggunaan lahan (land use map) dan peta penutupan lahan (land cover map) adalah bentuk deskriptif terbaik dalam menggambarkan pola pemanfaatan ruang yang ada.

Ruang Terbuka Hijau

Ruang Terbuka Hijau dikenal dengan istilah RTH, merupakan istilah yang telah lama diperkenalkan. Pedoman Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan (Inmendagri Nomor 14 Tahun 1988), menegaskan bahwa untuk meningkatkan kualitas hidup di wilayah perkotaan yang mencakup bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung didalamnya, diperlukan upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan kawasan-kawasan hijau. Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan dititikberatkan pada hijau sebagai unsur kota, baik produktif maupun non produktif, dapat berupa kawasan jalur hijau pertamanan kota, kawasan hijau pertanian, kawasan jalur hijau pesisir pantai, kawasan jalur hijau sungai dan bentuk ruang terbuka hijau lainnya.

(26)

luas, baik dalam bentuk areal kawasan maupun dalam bentuk areal memanjang atau jalur dimana di dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, pada dasarnya tanpa bangunan. Dalam Ruang Terbuka Hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya.

Menurut Irwan (2005) Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan merupakan bagian dari penataan ruang kota yang berfungsi sebagai kawasan hijau pertamanan, hutan kota, rekreasi, olah raga pemakaman, pertanian, pekarangan/halaman, green belt dan lainnya.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, menyebutkan bahwa Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Luas ideal RTHKP minimal 20% dari luas kawasan perkotaan.

Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) diperlukan guna meningkatkan kualitas lingkungan hidup di wilayah perkotaan secara ekologis, estetis, dan sosial. Secara ekologis, ruang terbuka hijau berfungsi sebagai pengatur iklim mikro kota yang menyejukkan. Vegetasi pembentuk hutan merupakan komponen alam yang mampu mengendalikan iklim mikro melalui pengendalian fluktuasi atau perubahan unsur-unsur iklim mikro yang ada di sekitarnya misalnya suhu, kelembaban, angin dan curah hujan.

Jenis Ruang Terbuka Hijau

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008 dalam Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, jenis RTH dapat dikelompokkan sesuai dengan tipologinya yang disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Tipologi RTH

(27)

Dilihat dari fungsi RTH dapat berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika, dan ekonomi. Secara struktur ruang, RTH dapat mengikuti pola ekologis (mengelompok, memanjang, tersebar), maupun pola planologis yang mengikuti hirarki dan struktur ruang perkotaan. Dari segi kepemilikan, RTH dibedakan ke dalam RTH publik dan RTH privat. Pembagian jenis-jenis RTH publik dan RTH privat tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Kepemilikan RTH

No. Jenis RTH

Publik

RTH Privat 1. RTH Pekarangan

a. Perkarangan rumah tinggal √

b. Halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha √

c. Taman atap bangunan √

2. RTH Taman dan Hutan Kota

a. Taman RT √ √

b. Taman RW √ √

c. Taman kelurahan √ √

d. Taman kecamatan √ √

e. Taman kota √

f. Hutan kota √

g. Sabuk hijau (green belt) √

3. RTH Jalur Hijau Jalan

a. Pulau jalan dan median jalan √ √

b. Jalur pejalan kaki √ √

c. Ruang dibawah jalan layang √

4. RTH fungsi tertentu

a. RTH sempadan rel kereta api √

b. Jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi √

c. RTH sempadan sungai √

d. RTH sempadan pantai √

e. RTH pengaman sumber air baku/mata air √

f. Pemakaman √

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau, jenis Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan terdiri dari:

a. Taman kota b. Taman wisata alam c. Taman rekreasi

d. Taman lingkungan perumahan dan permukiman e. Taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial f. Taman hutan raya

g. Hutan kota h. Hutan lindung

i. Bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah j. Cagar alam

(28)

l. Kebun binatang m. Pemakaman umum n. Lapangan olah raga o. Lapangan upacara p. Parkir terbuka

q. Lahan pertanian perkotaan

r. Jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET) s. Sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa

t. Jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian u. Kawasan dan jalur hijau

v. Daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara dan w. Taman atap (roof garden)

Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008, RTH memiliki fungsi utama dan tambahan sebagai berikut: a. Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis:

Memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota)

Pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar

Sebagai peneduh Produsen oksigen Penyedia habitat satwa

Penyerap air hujan, polutan media udara, air dan tanah, serta Penahan angin

b. Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu: Fungsi sosial dan budaya:

- Menggambarkan ekspresi budaya lokal - Media komunikasi warga kota

- Tempat rekreasi

- Wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam

Fungsi ekonomi:

- Sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur

- Bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan lain-lain dan

Fungsi estetika:

- Meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukimam, maupun makro: lanskap kota secara keseluruhan

(29)

Dalam suatu wilayah perkotaan, empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan kota seperti perlindungan tata air, keseimbangan ekologi dan konservasi hayati.

Fungsi hijau dalam RTH kota sebagai paru-paru kota, sebenarnya hanya merupakan salah satu aspek berlangsungnya fungsi daur ulang, antara gas karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2) hasil fotosintesis khususnya pada dedaunan. Sistem tata hijau ini berfungsi semacam ventilasi udara dalam rumah / bangunan (Hakim 1987). Lebih dari itu, masih banyak fungsi RTH termasuk fungsi estetika yang bermanfaat sebagai sumber rekreasi publik secara aktif maupun pasif, yang diwujudkan dalam sistem koridor hijau sebagai alat pengendali tata ruang lahan dalam suatu sistem RTH kota (urban park system). RTH juga berfungsi sebagai sumber penampungan air dan pengatur iklim tropis yang terik dan lembab (peneduh) (Purnomohadi 2006).

Suhu dan Kelembaban Udara

Suhu Udara

Suhu merupakan faktor iklim yang mempengaruhi kenyamanan manusia. Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan mengganggu kegiatan manusia. Suhu dikatakan sebagai derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan termometer dan merupakan unsur iklim yang sangat penting. Suhu atau temperatur udara ini berubah sesuai dengan tempat dan waktu. Variasi harian dari suhu atau temperatur pada umumnya sama.

Suhu di permukaan bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu (Tjasyono 1996) :

Jumlah radiasi yang diterima pertahun-perhari-permusim Pengaruh daratan atau lautan

Pengaruh ketinggian tempat

Pengaruh angin secara tidak langsung Pengaruh panas laten

Tipe dan penutup tanah

Pengaruh sudut datang sinar matahari

Suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata selama setiap periode 24 jam. Suhu udara harian maksimum tercapai beberapa saat setelah intensitas cahaya maksimum tercapai (Santosa 1986). Setiap hari, suhu udara maksimum terjadi sesudah tengah hari, biasanya sekitar jam 14.00 dan akan mencapai minimum sekitar jam 06.00 atau sekitar matahari terbit. Suhu udara yang bertambah secara kontinu ini, dari matahari terbit sampai kira-kira jam 15.00 ditahan oleh angin laut (Tjasyono 1996). Peningkatan panas laten akibat penguapan dapat menurunkan suhu udara karena proporsipanas terasa yang menyebabkan kenaikan suhu udara menjadi berkurang.

(30)

Kelembaban Udara

Menurut Kartasapoetra (2008) kelembaban adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Dalam kelembaban dikenal beberapa istilah, seperti:

1. Kelembaban mutlak adalah masa uap air yang berada dalam satu satuan udara yang dinyatakan dalam gram/m3.

2. Kelembaban spesifik, merupakan perbandingan massa uap air di udara dengan satuan masa udara yang dinyatakan dalam gram/Kg.

3. Kelembaban relatif, merupakan perbandingan jumlah uap air di udara dengan jumlah maksimum uap air yang dikandung udara pada temperatur tertentu dan dinyatakan dalam persen. Angka kelembaban relatif dari 0%-100%. Dimana 0% artinya kering, sedangkan 100% artinya udara jenuh dengan uap air dimana akan terjadi titik-titik air.

Keadaan kelembaban di atas permukaan bumi berbeda-beda. Kelembaban udara yang lebih tinggi pada udara dekat permukaan pada siang hari disebabkan karena penambahan uap air hasil evapotranspirasi dari permukaan. Proses ini berlangsung karena permukaan tanah menyerap radiasi selama siang hari tersebut. Pada malam hari akan berlangsung proses kondensasi atau pengembunan yang memanfaatkan uap air yang berasal dari udara. Oleh karena itu kandungan uap air di udara dekat permukaan tersebut akan berkurang (Soedomo 2001).

Proses-proses dimana kelembaban relatif dapat naik menjadi 100% dengan penurunan temperatur adalah :

Proses pendinginan oleh radiasi

Proses pendinginan oleh konduksi dan pemindahan panas turbulensi oleh eddies

Proses pendinginan adiabatik oleh penurunan tekanan

Kelembaban relatif (RH) akan lebih kecil bila suhu udara meningkat dan sebaliknya jika suhu udara lebih rendah maka RH atau kelembabannya tinggi, hal ini dapat terjadi pada saat tekanan uap aktual (ea) tetap. RH akan mencapai maksimum pada pagi hari sebelum matahari terbit, yang dapat menyebabkan proses pengembunan bila udara bersentuhan dengan bidang atau permukaan yang suhunya lebih rendah dari suhu titik embun (Handoko 1994). Di Indonesia kelembaban rata-rata harian atau bulanan relatif tetap sepanjang tahun dan umumnya RH lebih dari 60%. Perubahan kelembaban tidak terlalu jelas karena variasi suhu harian yang juga sangat kecil.

Temperature Humidity Index (THI)

Pengaruh keadaan lingkungan fisik atmosfer atau iklim terhadap manusia dinyatakan dengan istilah kenyamanan. Beberapa ahli telah berusaha untuk menyatakan pengaruh parameter-parameter iklim terhadap kenyamanan manusia dengan bantuan persamaan yang mengandung dua atau lebih parameter iklim, misalnya indeks ketidaknyamanan (Tjasyono 1996).Suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan mengganggu kegiatan manusia, sedangkan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi lingkungan yang tidak nyaman bagi manusia. Landsberg (1981) dalam Kalfuadi (2009) menyatakan suhu ideal bagi kenyamanan manusia adalah 27ᴼC–28ᴼC dan kelembaban 40%-75%

(31)

kelembaban. Faktor iklim yang mempengaruhi kenyamanan manusia adalah suhu udara, radiasi matahari, curah hujan dan kelembaban. Akan tetapi dalam penentuan tingkat kenyamanan suatu daerah atau wilayah tidak semua parameter iklim dapat digunakan secara langsung. Selang kenyamanan beberapa negara tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Selang Kenyamanan Beberapa Negara Negara Selang Kenyamanan

Hubungan Ruang Terbuka Hijau dengan Suhu Udara

Ruang terbuka hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Menurut Purnomohadi (2006) adanya RTH sebagai paru-paru kota, dengan sendirinya akan terbentuk iklim yang sejuk dan nyaman. Kenyamanan ini ditentukan oleh adanya saling keterkaitan antara faktor-faktor suhu udara, kelembaban udara, cahaya, dan pergerakan angin. RTH membantu sirkulasi udara. Pada siang hari, dengan adanya RTH maka secara alami udara panas akan terdorong ke atas dan sebaliknya pada malam hari udara dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon adalah pelindung yang paling tepat dari terik matahari disamping sebagai penahan angin kencang, peredam kebisingan dan bencana alam lain, termasuk erosi tanah.

Peningkatan penutupan vegetasi akan memberikan pengaruh secara signifikan terhadap penurunan suhu udara dalam taman dan sekitarnya apabila pada taman tersebut terisi vegetasi yang rapat dan padat. Pada taman dengan penutupan vegetasi yang minim tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan suhu udara. Oleh karena itu, efektifitas taman menurunkan suhu udara bergantung kepada dominasi elemen vegetasi yang ada pada taman dan sekitarnya. Semakin jauh jarak dari taman, suhu udara cenderung semakin tinggi, dan sebaliknya (Harti 2005).

Selain itu Effendi (2007) juga menyatakan bahwa keberadaan RTH yang didominasi oleh pepohonan di suatu kota sangat penting untuk dipertahankan karena setiap pengurangan RTH berakibat naiknya suhu udara dengan nilai relatif lebih besar di wilayah perkotaan dibandingkan wilayah kabupaten.

Hasil-hasil Penelitian Terdahulu

(32)

aktifitas manusia terutama di wilayah kota dan juga adanya program pemerintah untuk membangun kota hijau di beberapa wilayah Indonesia. Penelitian mengenai RTH sudah banyak dilakukan tetapi kajian akan berbeda tergantung kondisi wilayah penelitian dan tema yang menjadi fokus utamanya. Beberapa hasil penelitian dengan topik yang berkaitan dengan penelitian ini tertera di bawah ini.

Penelitian Sasmita (2009) dengan judul Arahan Penataan Ruang Terbuka Hijau pada Koridor Jalan Jendral Sudirman Kota Singkawang menjelaskan bahwa penataan Ruang Terbuka Hijau di koridor jalan harus memperhatikan penggunaan lahan, kepadatan lalu lintas, karakteristik aktivitas, peran dan fungsi koridor jalan, serta harus sesuai dengan ketentuan pemerintah yang berlaku. Konsep Green Corridor adalah konsep yang menekankan penghijauan sebagai pendukung aktivitas lain yang ada seperti aktivitas sosial dan ekonomi, sehingga terjadi keharmonisan dan keseimbangan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan serta ekologi.

Pancawati (2010) dengan judul Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Tangerang menyatakan kebutuhan RTH dapat dihitung berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan oksigen dan kebutuhan air bersih. Arahan pengembangan RTH didasarkan pada hasil analisis penutupan lahan, RUTR kota, proyeksi kebutuhan RTH tahun yang akan datang, dan mempertimbangkan preferensi masyarakat terhadap bentuk dan fungsi yang diharapkan.

Pujirahayu (2010) dengan judul Identifikasi Karakteristik Ruang Terbuka Hijau pada Kota Dataran Rendah di Indonesia (Studi Kasus: Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan) menyatakan bahwa luasan RTH di Kota Yogyakarta tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan yaitu 30% dari luas kota, baik dalam skala kota maupun skala kecamatannya. Untuk Kota Yogyakarta disarankan untuk menambah jumlah RTH pada halaman atau pekarangan rumah, mengingat kawasan Kota Yogyakarta ini didominasi oleh kawasan permukiman. Perkembangan lahan terbangun sangat mempengaruhi keberadaan tata guna lahan di sekitarnya, terutama RTH kota. Berdasarkan hasil analisis pada hasil klasifikasi citra landsat dapat terlihat adanya pola sebaran RTH di Kota Yogyakarta. Pada pusat kota dengan kepadatan bangunan yang tinggi, jenis RTH yang mendominasi adalah RTH dengan bentuk jalur hijau jalan, alun-alun kota, taman lingkungan, taman pulau jalan, pekarangan rumah, kebun binatang, Taman Makam Pahlawan, serta pemakaman umum. Alun-alun kota merupakan RTH yang masih dipertahankan dan masih berfungsi sebagai tempat masyarakat berinteraksi sosial.

Rachman (2010) dengan judul Perencanaan Hutan Kota untuk Meningkatkan Kenyamanan di Kota Gorontalo menyatakan bahwa Hutan kota yang didominasi lahan bervegetasi pohon dalam bentuk kompak lebih efektif dalam menurunkan suhu. Hutan kota merupakan bentuk RTH yang paling efektif untuk meningkatkan kenyamanan kota.

Heksaputri (2011) dengan judul Rencana Pengembangan Ruang Terbuka Hijau berdasarkan distribusi suhu permukaan dan Temperature Humidity Index

(33)

Aprihatmoko (2013) menjelaskan bahwa kawasan yang memiliki RTH akan memiliki suhu udara yang lebih rendah dibandingkan dengan kawasan yang tidak memiliki RTH. Semakin besar suatu kawasan RTH maka pengaruh cooling effect

yang terjadi akan semakin besar pula. Kawasan dengan RTH yang lebih banyak akan memiliki kondisi suhu udara yang lebih rendah. Kondisi lingkungan di RTH seperti kerapatan penutupan kanopi pohon di sekitar area, kondisi lalu lintas di sekitar RTH, dan objek di sekitar dan di dalam RTH menjadi faktor yang menyebabkan melemahnya pengaruh cooling effect di daerah tersebut.

Susilowati dan Nurini (2013) dengan judul Konsep Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada Permukiman Kepadatan Tinggi menjelaskan bahwa Konsep pengembangan RTH pada permukiman kepadatan tinggi dalam konsep

human settlement diarahkan pada pengembangan fungsi RTH dalam pencapaian elemen nature (alam) dan elemen society (masyarakat). Secara garis besar konsep pengembangan RTH dalam konsep human settlement (nature dan society) dengan pendekatan pada masing-masing tipologi RTH sebagai berikut :

a. Konsep pengembangan RTH yang didasarkan pada bentuk dan proses penyediaan RTH dalam mewujudkan human settlement (tipologi fisik).

Pengembangan RTH alami dalam konsep human settlement (elemen

nature) lebih diwujudkan melalui pendekatan kawasan sempadan sungai dapat dipertahankan dan dikembangkan sesuai dengan fungsinya yaitu kawasan perlindungan setempat. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam mendukung keberhasilan konsep antara lain :

- Penetapan zona-zona yang berfungsi sebagai fungsi lindung dan budi daya dalam pengembangan sempadan sungai sebagai taman.

- Pemilihan vegetasi berupa tanaman keras yang mempunyai fungsi ekologis dalam pengembangan tanaman di zona lindung pada kawasan sempadan sungai.

- Pemilihan vegetasi berupa tanaman produktif dalam pengembangan tanaman di zona budidaya dengan mengoptimalkan lahan melalui media tanam berupa pot-pot tanaman.

- Pemeliharaan kawasan sempadan sungai yang didukung oleh masyarakat atau kelompok masyarakat secara berkala.

Pengembangan RTH non-alami dalam konsep human settlement (elemen

society) lebih diwujudkan melalui pendekatan proses perencanaan taman dan lapangan olahraga untuk dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai ruang publik dan tempat interaksi sosial. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam mendukung keberhasilan konsep antara lain :

- Penentuan zona budidaya dalam bentuk lapangan olahraga (lapangan olahraga sepakbola, panahan, jalur track sepeda, lapangan bermain anak)

- Penentuan zona budidaya dengan dukungan pengembangan fasilitas taman bermain, bangku-bangku taman, sanggar budaya, perpustakaan, teather seni budaya, dan lainnya sebagai media interaksi sosial budaya. b. Konsep pengembangan RTH yang didasarkan pada peningkatan fungsi RTH

dalam mendukung terwujudnya konsep human settlement (tipologi fungsi).

(34)

- Pengembangan RTH pekarangan dalam konsep human settlement

(elemen naturesociety) dilakukan dengan pendekatan pemilihan jenis vegetasi RTH pekarangan dan optimalisasi lahan melalui penanaman dengan media pot-pot berupa tanaman yang dapat dimanfaatkan dalam mendukung kehidupan seperti tanaman sayuran, obat-obatan, dan buah-buahan.

- Pengembangan RTH taman RT, taman RW, taman kelurahan dengan konsep human settlement (elemen nature) lebih diwujudkan melalui pengembangan taman sebagai suatu community garden dengan menanam tanaman obat keluarga/apotik hidup, sayur, dan buah-buahan yang dapat dimanfaatkan oleh warga dalam skala lingkungan RT, RW, dan kelurahan.

- Pengembangan RTH pulau dan median jalan dalam konsep human settlement (elemen nature) yaitu pengembangan RTH tersebut untuk dapat dimanfaatkan sebagai fungsi lain seperti pembentuk arsitektur kota, penahan debu, dan keindahan/estetika.

- Pengembangan RTH sempadan sungai, dan jalur hijau jalan dalam konsep human settlement (elemen nature) lebih diwujudkan melalui pengembangan RTH untuk lebih mempunyai fungsi ekologis, yang dilakukan dengan pengembangan jenis tanaman keras dan mempunyai fungsi ekologis tinggi.

Peningkatan RTH dengan fungsi sosial budaya dan ekonomi dalam mendukung elemen society konsep human settlement. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam mendukung keberhasilan konsep antara lain :

- Pengembangan RTH pekarangan rumah tinggal dalam konsep human settlement (elemen society) pada RTH pekarangan dengan luasan lahan yang memenuhi difungsikan sebagai tempat interaksi skala keluarga. - Pengembangan RTH halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat

usaha dalam konsep human settlement (elemen society) dilakukan melalui pengembangan RTH pada halaman perkantoran, pertokoan, yang dapat dimanfaatkan pula sebagai area parkir terbuka, dan tempat untuk menyelenggarakan berbagai aktivitas di luar ruangan seperti bazar, olah raga, dan lain-lain.

- Pengembangn RTH taman atap bangunan dalam konsep human settlement (elemen society), pada lahan yang memenuhi dapat difungsikan sebagai tempat interaksi skala keluarga atau rumah tangga.

- Pengembangan RTH pejalan kaki dalam konsep human settlement

(elemen society) yaitu dapat dimanfaatkan sebagai:

o Fasilitas untuk terjadinya interaksi sosial baik pasif maupun aktif serta memberi kesempatan untuk duduk dan melihat pejalan kaki lainnya (elemen society)

o Sebagai penyeimbang temperatur, emisi kendaraan, dan faktor

visual (elemen nature).

c. Konsep pengembangan RTH yang didasarkan pada peningkatan sebaran dan skala layanan RTH (tipologi struktur). Kegiatan yang dapat dilakukan dalam mendukung keberhasilan konsep antara lain :

(35)

hijau jalan, dan sempadan sungai untuk memenuhi kebutuhan RTH dalam mendukung fungsi ekologis kawasan.

- Pengembangan struktur RTH pola planologis dalam konsep human settlement (elemen society) melalui pengembangan RTH taman RT, dan RW yang disediakan di setiap lingkungan RT dan RW dan dapat dimanfaatkan masyarakat dalam mendukung aktivitas masyarakat.

d. Konsep pengembangan RTH yang didasarkan pada proses pemeliharaan dan pengelolaan RTH (tipologi kepemilikan). Kegiatan yang dapat dilakukan dalam mendukung keberhasilan konsep antara lain :

- Pengembangan RTH publik dalam konsep human settlement (elemen

society), RTH publik berupa taman RT, taman RW, dan kelurahan harus dapat berfungsi untuk mewadahi aktivitas dan kepentingan publik, sesuai fungsinya sebagai taman RT, taman RW dan kelurahan dalam mendukung kegiatan sosial dan budaya masyarakat.

- Pengembangan RTH publik dalam konsep human settlement (elemen

nature), RTH publik taman RT harus juga dikelola dan dipelihara oleh masyarakat selaku pengguna RTH publik tersebut.

- Pengembangan RTH privat dalam konsep human settlement (elemen

(36)

20

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi 14 kecamatan yaitu : Danurejan, Gedongtengen, Gondokusuman, Gondomanan, Jetis, Kotagede, Kraton, Mantrijeron, Mergangsan, Ngampilan, Pakualaman, Tegalrejo, Umbulharjo, dan Wirobrajan dengan luas wilayah 3.250 ha. Penelitian dilaksanakan selama 8 bulan pada periode bulan Februari sampai Oktober 2014, yang meliputi tahap studi pustaka, pengamatan lapangan, pengolahan data, dan penyusunan tesis.

Jenis dan Sumber Data serta Alat Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian, diperlukan informasi dan data dari berbagai sumber. Data tersebut akan digunakan sebagai bahan untuk menganalisis dan menyusun arahan pengembangan RTH Kota Yogyakarta. Data yang dikumpulkan berupa data primer yang diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi yang terkait. Adapun rincian data tersebut adalah sebagai berikut :

1. Data primer berupa :

Data eksisting diperoleh dari hasil interpretasi citra Quickbird berdasarkan jenis penggunaan lahan di Kota Yogyakarta. Hasil ini kemudian divalidasi dengan cek lapangan untuk melihat kondisi sesungguhnya di lapangan. Pengecekan penggunaan lahan dilakukan di kecamatan berikut : Permukiman di Kecamatan Mantrijeron, Perdagangan dan jasa di Kecamatan Gedongtengen, Industri di Kecamatan Kotegede, Perkantoran di Kecamatan Umbulharjo, Pendidikan di Kecamatan Gondokusuman, Kesehatan di Kecamatan Gondokusuman, Pariwisata di Kecamatan Kraton, Sarana transportasi di Kecamatan Gedongtengen, Pertanian di Kecamatan Tegalrejo, TPU di Kecamatan Wirobrajan, Rekreasi dan olahraga di Kecamatan Umbulharjo.

Data suhu dan kelembapan yang diukur langsung di lapangan berdasarkan jenis peruntukan RTH yaitu sempadan sungai, jalur jalan, jalur hijau, kebun binatang, lapangan OR, parkir terbuka, taman kota, taman rekreasi, TPU, lapangan upacara, pertanian, taman lingkungan perkantoran dan taman lingkungan perumahan. Sampel diambil di seluruh kecamatan di Kota Yogyakarta yang mampu mewakili tiap jenis peruntukan RTH, sebanyak 24 titik pengukuran.

Dokumentasi berupa foto. 2. Data sekunder berupa :

Citra Quickbird tahun 2014 diperoleh dari LAPAN.

Peta Administrasi Kota Yogyakarta yang diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG).

Peta RTH, RTRW, RDTR, buku rencana, dan peraturan terkait diperoleh dari Bapeda, PU, dan dinas pertamanan.

(37)

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan Sistem Informasi Geografis, Global Positioning System (GPS),

Thermo Hygrometer, dan kamera digital.

Teknik Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini di awali dengan interpretasi Citra Quickbird, kemudian menghitung kecukupan RTH berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, dan nilai THI; selanjutnya menentukan area yang belum termanfaatkan untuk menentukan area-area prioritas untuk pengembangan RTH. Hasil keluaran tujuan 1, 2, dan 3 dipadukan dengan RTRW dan peraturan zonasi sehingga menghasilkan arahan pengembangan RTH menuju Kota Hijau Yogyakarta. Matrik analisis penelitian tertera pada Tabel 4.

Tabel 4. Matrik Hubungan Antara Tujuan Penelitian, Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis Data dan Output Pada Setiap Tahapan Penelitian.

No. Tujuan Penelitian Jenis Data Sumber Data Teknik Analisis

Data Output

(38)

1. Koreksi geometrik

Koreksi geometrik yaitu penentuan tipe proyeksi dan sistem koordinat yang akan digunakan. Penyeragaman data ke dalam sistem koordinat dan proyeksi yang sama perlu dilakukan, guna mempermudah dalam proses pengintegrasian dengan data yang lain.

2. Pemotongan (subset) wilayah penelitian

Pemotongan (subset) batas area penelitian sesuai dengan wilayah penelitian ditentukan berdasarkan pada batas administrasi wilayah Kota Yogyakarta. 3. Interpretasi citra

Interpretasi citra untuk penggunaan lahan dan RTH di wilayah studi dilakukan secara visual pada Citra Quickbird melalui digitasi on screen yaitu proses pengubahan data grafis digital dalam struktur data vektor yang disimpan dalam bentuk point, line, atau area. Klasifikasi penggunaan lahan merujuk pada klasifikasi pola ruang RTRW yang berupa lahan terbangun, seperti kawasan permukiman, perdagangan dan jasa, industri, perkantoran, pendidikan, kesehatan, pariwisata, sarana transportasi; dan lahan hijau seperti pertanian, TPU, rekreasi dan olahraga. Interpretasi kenampakan RTHnya adalah sebagai berikut:

a. RTH jalur hijau jalan.

Karakteristik visual: berwarna hijau, memanjang membentuk jalur atau berbentuk pulau dengan pola teratur, berasosiasi dengan jalan kota dan jalan tol.

b. RTH sempadan sungai

Karakteristik visual: berwarna hijau, bentuknya seperti jalur memanjang mengikuti pola sungai yang berkelok-kelok, berasosiasi dengan sungai, dan tekstur agak kasar

c. RTH olahraga

Karakteristik visual: berwarna hijau, berbentuk mengelompok dan berasosiasi dengan lapangan olahraga.

d. RTH tempat pemakaman umum

Karakteristik visual: berbentuk mengelompok, berasosiasi dengan vegetasi berwarna hijau, terdapat titik-titik berwarna putih (nisan), pola tidak teratur, dan tekstur agak kasar.

e. RTH rekreasi (taman kota, kebun binatang)

Karakteristik visual: berwarna hijau, berbentuk mengelompok dengan luasan tertentu, teratur, dan terletak di tengah kota.

f. RTH privat ( taman lingkungan perkantoran dan perumahan)

Karakteristik visual: berwarna hijau, bentuknya tidak beraturan, berasosiasi dengan bangunan/permukiman, dan polanya tidak teratur. g. Sawah (Pertanian)

Karakteristik visual : berwarna hijau atau coklat, berbentuk mengelompok dan berpetak-petak, bertekstur halus, dan terletak di pinggir kota

(39)

koordinat pada peta hasil interpretasi. Pengecekan lapang dilakukan pada tiap jenis penggunaan lahan, dimana lokasi tersebut mewakili kelas penutupan lahan sesuai dengan hasil interpretasi yang telah ditentukan, serta pada obyek-obyek yang masih sulit untuk dikenali. Jika terjadi perbedaan antara hasil interpretasi dengan hasil pengecekan lapangan, maka akan dilakukan pengeditan kembali sesuai dengan kondisi di lapangan.

Jenis penggunaan lahan yang terdapat di Kota Yogyakarta dapat dibedakan menjadi permukiman, perdagangan dan jasa, industri, perkantoran, pendidikan, kesehatan, pariwisata, sarana transportasi, dan RTH. Jika dilihat dari citra agak sulit untuk dibedakan antara kawasan perkantoran dan perdagangan karena umumnya mereka sama-sama terletak di sepanjang jalan. Demikian juga dengan kawasan industri dan perumahan karena industri yang tersebar di Kota Yogyakarta umumnya industri mikro kecil dan menengah dan mereka biasa menggunakan rumah sebagai tempat produksi, oleh karena itu pengecekan lapangan sangat diperlukan. Jumlah titik pengecekan lapang di tiap kecamatan tertera pada Tabel 5 dan peta sebaran titik pengecekan lapang disajikan pada Gambar 3.

Tabel 5. Jumlah titik pengecekan lapang tiap kecamatan di Kota Yogyakarta berdasarkan jenis penggunaan lahan.

No Kecamatan Jenis Penggunaan Lahan Banyaknya Titik

1. Danurejan Perkantoran 1

2. Gedongtengen Perdagangan dan jasa, RTH

2

3. Gondokusuman Kesehatan, RTH 2

4. Gondomanan Perdagangan dan jasa, perkantoran

2

5. Jetis Perdagangan dan jasa,

perkantoran

2

6. Kotagede Industri, perdagangan dan jasa

2

7. Kraton Pariwisata 1

8. Mantrijeron Permukiman 1

9. Mergangsan Industri 1

10. Ngampilan Perdagangan dan jasa 1

11. Pakualaman Perdagangan dan jasa, perkantoran

2

12. Tegalrejo Perumahan, industri 2

13. Umbulharjo Pendidikan, permukiman 2

14. Wirobrajan Perdagangan dan jasa 1

Jumlah titik pengecekan 22

Gambar

Tabel 4.  Matrik Hubungan Antara Tujuan Penelitian, Jenis Data, Sumber Data,
Gambar 3. Tabel 5.  Jumlah titik pengecekan lapang tiap kecamatan di Kota Yogyakarta
Gambar 3. Peta sebaran titik pengecekan lapang
Tabel 6. Penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil akhir dari Tugas Akhir ini adalah analisis dan desain sistem informasi HRD khususnya pada proses bisnis penerimaan dan pelatihan karyawan yang nantinya

Perhitungan volume waduk dihitung dengan cara mencari selisih antara garis penjumlahan debit yang didapat dari kumulatif debit andalan selama 11 tahun dengan

Menurut Kristin Munandar selaku Kepala Subbag Infokom & Organisasi PMI Kota Bandung, Bulan Dana merupakan pengumpulan dana yang dilakukan di masyarakat yang

Alasan terbanyak melanggar maksim kwantitas adalah memberi penjelasan yang lebih rinci untuk menghindari kesalahpahaman dan penonton mendapat penjelasan yang jelas

Pada gambar 4.11 dan gambar 4.12, kita dapat melihat pengaruh heat flux yang diberikan terhadap nilai koefisien perpindahan kalor aliran dua fasa, dimana semakin besar heat

Anestesia blok saraf perifer ekstremitas atas adalah tindakan anestesia dengan menyuntikkan obat anestesia lokal (dengan atau tanpa adjuvan) ke sekitar saraf (hingga perineural

Maka pada saat ini kami berdiri di hadapan Anda melalui tulisan yang akan merubah paradigma kita semua, dan pada saat yang lain kami akan berdiri dengan nyata di depan orang lain

Agar pengajaran afeksi yang dilaksanakan untuk anak tunalaras dapat mencapai sasaran secara optimal, efektif, dan efesien, maka dalam pelaksanaanya perlu memegang beberapa