• Tidak ada hasil yang ditemukan

Letak Geografis

Secara geografis, Kota Yogyakarta terletak antara 110º24’19” - 110º28’53”

Bujur Timur dan 07º15’24” - 07º49’26” Lintang Selatan dengan kemiringan lereng yang relatif datar antara 0%-3% ke arah selatan dan rata-rata ketinggian 114 mdpl. Jarak terjauh dari Utara ke Selatan kurang lebih 7,5 km dan dari Barat ke Timur kurang lebih 5,6 km dengan luas wilayah sebesar 3.250 ha atau 32,5 km2.Batas-batas wilayah kota Yogyakarta adalah:

• Batas wilayah utara : Kab.Sleman

• Batas wilayah selatan : Kab.Bantul

• Batas wilayah barat : Kab.Bantul dan kab.Sleman

• Batas wilayah timur : Kab.Bantul dan kab.Sleman

Dengan kedudukan tersebut, secara umum Kota Yogyakarta memiliki posisi strategis antara lain sebagai ibukota Provinsi dan pusat kegiatan regional yang mencakup kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Bagian Selatan. Posisi ini membentuk pola aktifitas, potensi dan permasalahan yang khas sebagai wilayah yang bersifat terbuka dengan mobilitas yang tinggi. Posisi sebagai pusat dari semua aktifitas masyarakat yang berkaitan dengan keseluruhan dari aspek urusan dan kewenangan pemerintahan mendorong Kota Yogyakarta menuju pada ciri-ciri masyarakat perkotaan (urban society) yang mengandalkan pada sektor- sektor pelayanan dan jasa ketimbang sektor-sektor manufaktur dan produksi berskala besar. Lokasi penelitian merupakan Peta wilayah Kota Yogyakarta yang tertera pada Gambar 6.

Iklim

Secara umum, rata-rata curah hujan tertinggi selama tahun 2013 terjadi pada bulan Januari, yaitu sebanyak 384 mm. Kelembapan udara rata-rata cukup tinggi, tertinggi terjadi pada bulan Juni sebesar 90% dan terendah pada bulan Oktober sebesar 80%. Tekanan udara rata-rata 1014,78 mb dan suhu udara rata-rata 26,1 ᴼC. Fluktuasi kelembaban dan suhu udara Kota Yogyakarta sepanjang tahun tertera pada Tabel 9.

Tabel 9. Kelembaban udara dan suhu udara di Kota Yogyakarta tahun 2013.

Bulan Kelembaban Udara (%) Suhu Udara (ᴼC)

Min. Max. Rata-rata Min. Max. Rata-rata

Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember 64 59 59 51 53 58 57 47 56 44 58 54 88 98 97 98 97 98 98 98 97 97 97 98 88 89 87 87 89 90 88 83 81 80 84 88 22.9 22.5 22.7 23.6 22.4 22.0 20.0 18.4 19.2 21.2 21.8 22.0 32.7 33.2 34.2 29.2 33.6 32.2 31.6 26.8 26.9 36.7 33.2 32.0 26.4 26.5 27.0 27.0 26.7 26.2 25.2 25.0 25.1 25.6 26.3 26.0 Sumber : BMKG-Stasiun Geofisika Kelas I Yogyakarta (2013)

Hidrologi

Terdapat 3 sungai besar yang mengaliri Kota Yogyakarta dari arah utara ke selatan yaitu Sungai Gajahwong yang mengalir di bagian timur kota, Sungai Code dibagian tengah, dan Sungai Winongo di bagian barat kota serta sungai Belik yang mengalir di tengah kota, hal tersebut menjadi kerentanan yang cukup tinggi untuk terjadinya genangan air. Bencana banjir di Kota Yogyakarta memang dirasakan oleh sebagian masyarakat pada wilayah-wilayah tertentu walaupun persentasinya kecil. Menurut data survei Dinas Kimpraswil Kota Yogyakarta ada 32 titik/lokasi genangan air terjadi di beberapa jalan kota dan daerah permukiman.

Pada bantaran Sungai Code, Belik dan Gadjah Wong yang masuk pada wilayah Kecamatan Umbulharjo, Kecamatan Kotagede dan sebagian Kecamatan Mergangsan serta Kecamatan Mantrijeron dikategorikan sebagai Zona Rawan Genangan tingkat I (tinggi). Bantaran Sungai Winongo yang mengaliri wilayah Kecamatan Tegalrejo, Jetis, Gedongtengen, Ngampilan dan sebagian Kecamatan Wirobrajan dan Mantrijeron, masuk dalam kategori Zona Rawan Genangan tingkat II (sedang). Sedangkan bantaran hulu Sungai Gadjah Wong masuk pada Zona Rawan Genangan tingkat III (rendah) pada sebagian wilayah Kecamatan Muja-muju dan Gondokusuman. Penyebabnya bisa karena fungsi saluran drainase sebagai pembuangan air hujan yang tidak lancar, juga disebabkan karena sumbatan sampah limbah masyarakat. Kadang fungsi drainase oleh masyarakat dijadikan fungsi ganda sebagai pembuangan air limbah rumah tangga, sehingga

daya tampung saluran drainase tersebut tidak mencukupi volume air akibat hujan. Kondisi 3 sungai utamanya terlihat pada Gambar 7.

Sungai Winongo Sungai Code

Sungai Gajahwong

Gambar 7. Kondisi 3 sungai utama di Kota Yogyakarta pada saat penelitian dilakukan

Menurunnya kualitas air bersih karena pencemaran air disebabkan oleh buangan limbah baik limbah rumah tangga maupun industri yang tidak memperhatikan aturan pembuangan limbah. Selain itu, disebabkan pula oleh sumber air dari bagian hulu yang airnya bercampur dengan lumpur akibat gerusan tanah karena erosi dan penggundulan vegetasi di perbukitan dan hutan. Walaupun pihak pemerintah telah memberikan bantuan jaringan PDAM dengan sistem perpipaan dan non-perpipaan, namun cakupan pelayanannya baru sekitar 60% saja. Kebutuhan air masyarakat Kota Yogyakarta sebagian besar masih berasal dari sumur yaitu mencapai 63,96% (BPS Kota Yogyakarta 2011). Agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, kualitas dan kuantitas air tanah perlu dijaga dan diperhatikan. Beralih fungsinya RTH menjadi daerah permukiman menyebabkan daya serap tanah terhadap air berkurang karena tanah telah tertutup oleh aspal jalan raya dan bangunan-bangunan yang jelas tidak tembus air, padahal air tanah sebagian besar berasal dari rembesan air hujan di tanah.

Kependudukan

Jumlah penduduk Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan, pada tahun 2013 sebanyak 402.679, dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar 388.627 jumlah penduduk Kota Yogyakarta tahun 2013 mengalami kenaikan sebesar 14.052 orang, jadi selama 4 tahun mengalami peningkatan 3,5% dengan laju pertumbuhan penduduk pertahun sebesar 0.89%. Prediksi jumlah penduduk Kota Yogyakarta pada tahun 2014 adalah sebesar 406.262 orang. Peningkatan laju pertumbuhan ini karena banyaknya urbanisasi yang terjadi ke Kota Yogyakarta dengan alasan mencari pekerjaan dan sekolah. Mengingat Kota

Yogyakarta disamping sebagai pusat pemerintahan juga merupakan pusat perekonomian (perdagangan dan jasa) serta pusat pariwisata. Perkembangan penduduk Kota Yogyakarta selama tahun 2010-2013 secara rinci tertera pada Tabel 10.

Tabel 10. Distribusi jumlah penduduk Kota Yogyakarta menurut kecamatan tahun 2010-2013. No Kecamatan 2010 2011 2012 2013 1. Danurejan 18342 18433 18433 18764 2. Gedongtengen 17185 17270 17273 17583 3. Gondokusuman 45293 45517 45526 46335 4. Gondomanan 13029 13093 13097 13327 5. Jetis 23454 23570 23570 23992 6. Kotagede 31152 31308 32052 32986 7. Kraton 17471 17557 17561 17874 8. Mantrijeron 31267 31421 31695 32383 9. Mergangsan 29292 29437 29448 29965 10. Ngampilan 16320 16401 16402 16696 11. Pakualaman 9316 9362 9366 9533 12. Tegalrejo 34923 35096 35789 36757 13. Umbulharjo 76743 77127 78831 81073 14. Wirobrajan 24840 24962 24969 25411 Jumlah 388627 390554 394012 402679

Sumber Data : BPS Kota Yogyakarta (2010, 2011, 2012, 2013) Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di kota Yogyakarta pada tahun 2007-2010 didominasi oleh lahan permukiman. Sesuai dengan RTRW Kota Yogyakarta yang dominasi guna lahan adalah permukiman, sedang guna lahan yang mengalami peningkatan adalah pada sektor jasa seperti kegiatan perdagangan dan pariwisata. Peningkatan ini menggambarkan dinamika perekonomian kota Yogyakarta yang ditopang oleh sektor jasa, sebaliknya untuk lahan pertanian luasannya sangat rendah yaitu 118,591 ha, dan sesuai dengan posisi Kota Yogyakarta sebagai daerah perkotaan. Data penggunaan lahan di Kota Yogyakarta tahun 2007-2010 tertera pada Tabel 11.

Tabel 11. Luas penggunaan lahan berdasarkan status peruntukan lahan tahun 2007-2010 Kota Yogyakarta

Tahun

Jenis Penggunaan Lahan (ha)

Perumahan Jasa Perusahaan Industri Pertanian Non

Produktif Lain- Lain Jumlah 2007 2008 2009 2010 2.104,357 2.106,338 2.105,108 2.105,391 275,467 275,562 275,713 279,373 275,617 277,565 284,498 286,138 52,234 52,234 52,234 52,234 134,052 130,029 124,166 118,591 20,113 20,041 20,113 20,113 388,160 388,160 388,118 388,160 3.250 3.250 3.250 3.250

Sumber Data : Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta dalam Kota Yogyakarta Dalam Angka (2007-2011)

Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Pembangunan Ruang Terbuka Hijau merupakan salah satu prioritas untuk mewujudkan Yogyakarta yang nyaman bagi warga masyarakat. Pada tahun 2011 persentase RTH diKota Yogyakarta mencapai 32,86% yang terdiri dari 14% RTH private dan 17% RTH umum. Persentase ini meningkat sejak tahun 2007 hingga tahun 2011 dan diharapkan setiap tahunnya luasannya meningkat. Pada tahun 2007 luas taman yaitu 56.000 m2 dan pada tahun 2011 menjadi 62.305 m2 dimana terdapat sebanyak 8.158 pohon perindang, banyaknya RTH dikota akan menjadikan kota menjadi lebih nyaman dan dapat menyerap CO2, sehingga udara menjadi lebih segar. Tantangan ke depan adalah pencapaian prosentase RTH terhadap luasan Kota Yogyakarta sebesar 20% untuk RTH publik, sehingga perlu fasilitasi pembangunan RTH di masing-masing wilayah. Dibawah ini tertera data RTH Kota Yogyakarta Tahun 2007 hingga 2011 (Tabel 12) dan komposisi RTH publik dan privat tahun 2009 (Tabel 13).

Tabel 12. Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Yogyakarta Tahun 2007-2010 No Tahun Luas Taman

(m2) Jumlah Pohon Perindang (batang) Luasan RTH (%) 1. 2007 56.000 4.287 26,80% 2. 2008 56.000 4.708 26,80% 3. 2009 56.862 5.058 31,65% 4. 2010 60.659 8.158 31,99% 5. 2011 62.305 10.341 32,86%

Sumber Data : Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta (2011)

Tabel 13. Komposisi RTH Publik dan Privat Kota Yogyakarta tahun 2009 Kecamatan Luas wilayah

(ha) RTH (ha) RTH Publik (ha) RTH Privat (ha) Danurejan Gedongtengen Gondokusuman Gondomanan Jetis Kotagede Kraton 110,06 96,04 398,99 112,04 170,11 306,91 140,09 20,66 21,70 129,53 26,86 30,26 118,02 24,06 12,91 17,90 99,70 14,88 26,30 72,18 18,38 11,6 12,36 29,83 12,21 10,76 71,96 10,10 Mantrijeron Mergangsan Ngampilan Pakualaman Tegalrejo Umbulharjo Wirobrajan 260,92 231,09 82,07 63,05 290,96 811,69 175,99 100,56 52,32 10,48 10,31 102,34 300,99 56,73 48,22 26,30 5,90 4,61 31,69 144,79 37,94 52,34 26,02 4,58 5,70 70,65 156,70 18,79 Total 3250,01 1004,82 561,70 493,60

Sumber Data : BAPPEDA Kota Yogyakarta (2009)

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Yogyakarta Tahun 2010-2029 Pengembangan ruang Kota Yogyakarta mengacu pada hierarki fungsional sesuai dengan RTRWN dan selaras dengan RTRW Provinsi antara lain: Pusat

Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL), sehingga dalam penataan ruang Kota Yogyakarta tidak terlepas dari penataan ruang di wilayah sekitarnya, yaitu :

Dalam konteks nasional Kota Yogyakarta adalah Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang membutuhkan keterkaitan aksesibilitas antarwilayah secara optimal.

Dalam konteks Provinsi D.I Yogyakarta merupakan Ibukota Provinsi, sehingga dituntut terjadinya aksesibilitas yang tinggi ke sistem kota-kota dibawahnya (Sleman, Bantul, Kulonprogo dan Gunungkidul) maupun pusat-pusat pengembangan lainnya

Fungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional dan Ibukota Provinsi dituntut adanya keterkaitan Kota Yogyakarta dengan kota-kota hinterland di sekitarnya yang berhimpitan untuk membagi beban dan fungsi-fungsi kegiatan perkotaan secara hierarkis dan terintegrasi.

Tujuan utama penataan struktur ruang Kota Yogyakarta adalah sebagai berikut:

Memantapkan fungsi Kota Yogyakarta dan kota-kota di sekitarnya untuk mendukung fungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional yaitu sebagai pusat koleksi distribusi barang dan jasa dalam melayani wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta yang terintegrasi dengan Pusat-pusat Kegiatan Wilayah di sekitarnya dan Pusat-Pusat Kegiatan Nasional lainnya di Indonesia serta Internasional,

Meningkatkan aksesibilitas Kawasan Aglomerasi Yogyakarta dengan pusat kegiatan wilayah dan lokal di Provinsi D.I. Yogyakarta serta kota-kota nasional dan internasional melalui keterkaitan sistem jaringan transportasi primer baik jaringan jalan darat (arteri / kolektor primer),

Mempertahankan keberadaan kawasan lindung serta mengoptimalkan potensi sumber daya alam dengan tetap memperhatikan azas kelestarian, dan budaya setempat,

Mewujudkan pemanfaatan ruang kota yang serasi dan seimbang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daya dukung pertumbuhan dan perkembangan Kawasan Aglomerasi Yogyakarta,

Mengembangkan sistem pusat-pusat pelayanan kawasan yang terintegrasi dan berhierarki dengan pusat pelayanan lainnya dan sejalan dengan kebijaksanaan Pembangunan Nasional, Provinsi D.I. Yogyakarta serta Kabupaten / Kota terkait,

Mengembangkan beberapa ruas jalan baru untuk selanjutnya diintegrasikan dengan jalan arteri primer dan kolektor primer dan jalan fungsi sekunder yang telah ada di Kota Yogyakarta untuk meningkatkan aksesibilitas yang merata ke seluruh pusat-pusat kegiatan dan ke luar kota sekaligus mengurangi beban transportasi di Kota Yogyakarta yang didukung sistem terminal penumpang yang berhierarki,

Sistem pusat-pusat pelayanan mengacu pada analisis hierarki pusat-pusat kegiatan yaitu Yogyakarta sebagai Pusat Kota sekaligus PKN yang ditunjang oleh empat Kota sebagai PKL (Sleman, Bantul, Kulonprogo dan Gunungkidul), dan kota-kota ibukota kecamatan serta kota baru atau pusat kawasan pariwisata sebagai Pusat Kegiatan Lokal lainnya.

Pola pemanfaatan ruang untuk Kawasan Lindung dan Kawasan Ruang Terbuka Hijau atau Jalur Hijau yang telah ditetapkan dalam UU No 26 tahun 2007, serta

lahan pertanian sawah beririgasi merupakan limitasi pengembangan dan harus dijaga kelestariannya dan target kawasan terbuka secara total adalah 60% dan khusus untuk Kota Inti adalah 35%.

Pengembangan kawasan pariwisata tetap mempertahankan yang telah ada dan membatasi dan mengendalikan dengan ketat pengembangan baru di wilayah provinsi dan Kota Yogyakarta, dan pengarahan pada kawasan efektif pariwisata di Kecamatan Kraton dan Kota Gede sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang berkaitan

Mengintegrasikan sistem pelayanan beberapa infrastruktur yang dapat dilakukan seperti integrasi pelayanan air bersih, pengelolaan sampah, pengelolaan air limbah dan lainnya berdasarkan kesepakatan antar kabupaten/kota terkait

Mengembangkan Kawasan Prioritas untuk mengantisipasi kawasan yang cenderung tumbuh cepat, mempunyai kepentingan ekonomi, lingkungan dan sosial budaya

Mengembangkan konsep kelembagaan kerjasama antar wilayah Kabupaten / Kota dalam penataan ruang Kawasan Aglomerasi Kota Yogyakarta.

Menciptakan keserasian pembangunan dengan Kota-Kota di dalam wilayah pengembangan Provinsi D.I. Yogyakarta.

Mengembangkan konsep kelembagaan kerjasama penataan ruang dan pembangunan antar Kabupaten / kota dalam Kawasan Aglomerasi Yogyakarta atau wilayah Kabupaten / Kota lainnya.

Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau Kota Yogyakarta terdiri dari:

1. Kawasan RTH disediakan guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang evakuasi bencana meliputi taman kota, lapangan olah raga, lapangan upacara, jalur hijau, taman lingkungan dan pemakaman umum.

2. Penyediaan dan pemanfaatan RTH diarahkan untuk mempertahankan dan mengendalikan fungsi lingkungan.

3. RTH meliputi:

a. RTH publik terdiri dari;

Taman kota meliputi Taman Senopati, Kotabaru, Demangan, Abubakar Ali dan lainnya;

Kebun binatang yaitu Kebun Binatang Gembiraloka;

Pemakaman umum, meliputi Pakuncen, Gedongkiwo, Taman Makam Pahlawan Kusumanegara dan lainnya;

Lapangan olah raga meliputi, Mandalakrida, Kotagede, Mantrijeron dan lainnya;

Lapangan upacara, meliputi lapangan Gedung Agung, Lapangan Balaikota dan lainnya;

Sempadan sungai sepanjang Sungai Code, Sungai Winongo, Sungai Gajahwong;

Jalur hijau meliputi Jalan Magelang, Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Cik Ditiro, Jalan Suroto dan lainnya;

Taman lingkungan perumahan dan permukiman;

b. Ruang terbuka hijau privat berupa bentangan ruang terbuka hijau yang berada didalam persil perorangan termasuk didalamnya taman atap (roof garden).

4. RTH publik direncanakan untuk mencapai minimal 20% (dua puluh perseratus) dari luas wilayah administrasi Daerah.

5. RTH privat direncanakan untuk dipertahankan minimal 10% (sepuluh perseratus) dari luas wilayah administrasi Daerah.

6. RTH Kota Yogyakarta dikelola dan dilestarikan untuk mempertahankan luasan minimal sebesar 30% dari luas wilayah administrasi Daerah;

Potensi dan Permasalahan

Kota Yogyakarta sebagai salah satu kota kuno di Indonesia merupakan kota yang lahir secara terencana. Dalam hal ini baik pemilihan lokasi hingga rencana tata ruang semua terencana dengan baik. Central Business Distric (CBD) di pusat Kota Yogyakarta ini memberntuk sebuah pola tertentu yang berfungsi sebagai pusat bagi berbagai macam kegiatan penduduk, baik sebagai pusat politik, spiritual, ekonomi, pertahanan, dan rekreasi. Adapun yang menjadi pusat kota ini merupakan kawasan keraton dan sekitarnya hingga kepatihan. Pola kota dengan sumbu imajiner Utara-Selatan yang kuat secara imajinatif menghubungkan Gunung Merapi di utara dengan Samudera Indonesia di Selatan. Di bagian utara sumbu itu terdapat jalan Malioboro. Kraton (dianggap sakral) direncanakan sepanjang garis sumbu, terletak di sebelah selatan menghadap ke utara melalui sebuah alun-alun. Diikuti panggung Krapyak, Alun-alun Kidul di Selatan kraton dan Mesjid, Alun-alun Lor, pasar dan Pal Putih di Utara kraton. Suasana pusat kota terlihat pada Gambar 8.

Pada CBD Kota Yogyakarta berbagai potensi terkait dengan ekonomi, pariwisata, kebudayaan, dan keagamaan itulah yang membuat Kota Yogyakarta dapat berkembang dalam segi perkonomian. Hal ini dikarenakan menarik minat investasi dan wisatawan untuk berkunjung sehingga menambah jumlah lalu lintas barang dan jasa yang terjadi. Permukiman yang terdapat di pusat Kota Yogyakarta berupa permukiman penduduk kuno digambarkan dalam bentuk keanekaan profesi, asal, dan lapisan penduduk Yogyakarta masa lampau seperti Pacinan, yang merupakan kawasan permukiman orang-orang Cina, Sayidan, yang merupakan kawasan permukiman orang Arab, Gerjen yang merupakan kawasan permukiman penjahit, Dagen yang merupakan permukiman tukang kayu, Siliran yang merupakan permukiman para selir-selir.

Perilaku masyarakat yang masih menjungjung tinggi nilai kepercayaan adat budaya jawa akan terus menjaga dan melestarikan wilayah ini dari pengaruh modernitas. Walaupun modernisasi berkembang di luar pusat kota tapi perkembangannya akan tetap memasukkan unsur-unsur budaya lokal. Salah satu peninggalan budaya yang masih terpelihara adalah Taman Sari yang dulunya merupakan taman atau kebun istana Keraton Yogyakarta. Kawasan ini sekarang berkembang menjadi permukiman warga. Banyak warga sekitar yang menjadi pemandu wisata untuk mengantar pengunjung mengitari kawasan dan ada beberapa rumah yang dijadikan galeri atau tempat penjualan souvenir. Suasana lingkungan sekitar Taman Sari terlihat pada Gambar 9.

Jl. Malioboro Keraton dan alun-alun

Alun-alun utara

Gambar 8. Suasana pusat Kota Yogyakarta

Aktifitas warga sekitar Gedhong Gapura Hageng

Umbul Pasiraman

Pemerintah Kota Yogyakarta mempunyai komitmen yang tinggi dengan permasalahan ruang terbuka hijau. Program-program yang menunjang terciptanya ruang terbuka hijau, baik yang bersifat publik maupun privat mendapat prioritas yang tinggi dalam pembangunan wilayahnya. Dalam rangka pengaturan ruang terbuka hijau maka Pemerintah Kota Yogyakarta mengeluarkan regulasi dalam bentuk peraturan walikota yakni Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Privat. Hal ini menunjukkan komitmen yang tinggi bagi pemerintah kota terhadap ruang terbuka hijau tersebut.

Pemanfaatan ruang terbuka di kota Yogyakarta bersifat menyebar pada beberapa titik tertentu. Ruang terbuka ini dapat diklasifikasikan sebagai RTH publik. Di tengah kota Yogyakarta terdapat sebuah alun-alun yang berupa lapangan luas. Lapangan tersebut digunakan masyarakat untuk kegiatan formal, aktivitas olah raga, dan lainya. Untuk ruang terbuka yang lain yaitu lahan pertanian terutama terdapat di bagian utara dan selatan kota dengan lokasi yang terbesar. Sedangkan di kawasan tengah kota tidak ada lahan pertanian diakibatkan padatnya lahan terbangun dikawasan tersebut.

Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta tahun 2010, ruang terbuka hijau publik yang dibangun pemerintah masih kurang dari 20 persen atau hanya 17,17 persen (557,90 hektar) dari luas wilayah Kota Yogyakarta. RTH publik disumbang dari pembangunan jalur hijau, areal pemakaman, jalur pengaman atau median jalan, kebun binatang, lapangan olahraga, taman kota dan tempat rekreasi serta tempat parkir terbuka sedangkan RTH privat disumbang dari sawah, taman kantor dan taman perumahan. Kondisi RTH di Kota Yogyakarta terlihat terawat dan terjaga kebersihannya. Berbagai macam RTH publik di Kota Yogyakarta terlihat pada Gambar 10 dan RTH privat pada Gambar 11.

Permasalahan yang berkaitan dengan ruang terbuka publik atau ruang terbuka hijau secara umum terkait dengan beberapa tantangan tipikal perkotaan, separti menurunnya kualitas lingkungan hidup di kawasan perkotaan dan di lingkungan permukiman warga, pencemaran udara yang semakin meningkat dengan semakin tingginya laju pertumbuhan kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak, dan perubahan perilaku sosial masyarakat terutama pendatang yang cenderung kontra-produktif dan individual sehingga menurunnya tingkat kepedulian terhadap lingkungan.

Kurangnya pembangunan RTH publik di wilayah kota diakibatkan karena keterbatasan lahan yang bisa digarap untuk pembangunan RTH tersebut. Banyaknya pembangunan yang melanggar aturan lingkungan menjadi penyebab semakin kritisnya ketersediaan ruang terbuka hijau di Kota Yogyakarta. Permintaan akan pemanfaatan lahan kota yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif utuk pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, termasuk kemajuan teknologi, industri dan transportasi, selain sering mengubah konfigurasi alami lahan / bentang alam perkotaan juga menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang terbuka lainnya. Pembangunan mal, hotel dan beragam fasilitas lainnya hampir tidak ada yang memenuhi ketentuan untuk berpihak kepada menjaga lingkungan.

Trotoar Jalan Jalur Hijau

Taman Median Jalan Alun-alun

Taman Benteng Vredeburg Taman bawah rel

Gambar 10. Beberapa macam RTH Publik

Sawah Taman permukiman

Peningkatan kepadatan lalu lintas di Kota Yogyakarta berimplikasi bagi meningkatnya tingkat polusi udara di kota ini. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kendaraan yang melintas. Masalah penurunan kualitas udara sehat dan bersih di Kota Yogyakarta juga disebabkan karena semakin berkurangnya pepohonan sebagai akibat dari adanya alih fungsi lahan menjadi kawasan budidaya baik untuk kawasan permukiman maupun kawasan komersial. Berkurangnya daerah penyangga yang walaupun berada di luar wewenang Kota Yogyakarta juga turut memberi akibat bagi penurunan kualitas udara kota.

Warga yang tidak memiliki ruang publik, menjadikan beberapa tempat seperti pinggir rel kereta api, gang-gang sempit dan beberapa ruas jalan di Kota Yogyakarta sebagai tempat berkumpul dan berinteraksi. Salah satunya adalah angkringan pinggir jalan, karena begitu banyaknya bahkan telah menjadi ikon kuliner yang berasal dari Kota Yogyakarta. Beberapa kawasan umum terutama ruang yang seharusnya menjadi ruang interaksi warga telah hilang dan berubah fungsi menjadi areal parkir. Sangat ironis bahwa program-program yang menunjang terciptanya ruang terbuka hijau, baik yang bersifat publik maupun privat mendapat prioritas yang tinggi dalam pembangunan wilayahnya, tetapi pada kenyataannya tidak mendapatkan prioritas dalam realisasinya. Berbagai macam permasalahan perkotaan terlihat pada Gambar 12.

Pedagang kaki lima di trotoar Parkir motor di trotoar

Sampah di sungai Banyaknya kendaraan bermotor

Dokumen terkait