BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.2. Arsitektur, Anatomi, dan Fisiologi Tidur
2.2.1 Arsitektur tidur
Tidur merupakan proses aktif, repetitif, dan reversibel yang dibutuhkan oleh
berbagai fungsi seperti misalnya untuk perbaikan dan pertumbuhan, konsolidasi
memori, dan proses restoratif. Proses tingkah laku (behavioral), fisiologi, dan
neurokognitif terlibat dalam tidur, seperti halnya pula fungsi imunologis (Curcio dkk,
2006; Lange dan Born, 2011).
Pada saat tidur terdapat pergeseran antara keseimbangan sintesis dan degradasi
di seluruh tubuh, dan sintesis adenosin triphosphate (ATP) mencapai tingkat yang
lebih tinggi pada saat tidur (Lumbantobing, 2008).
Mitosis sel aktif, termasuk ginjal, usus, dan kulit terjadi secara aktif saat tidur.
Hormon anabolik (hormon pertumbuhan, kortikosteroid, gonadotropin) lebih banyak
dijumpai saat tidur (Lumbantobing, 2008).
Berdasarkan tiga rekaman fisiologis yang dilakukan sewaktu tidur, yaitu
elektroensefalografi (EEG), elektrookulografi (EOG), dan elektromiografi (EMG),
tidur dibagi menjadi 2 tahapan nyata yang berlangsung sesuai dengan pola siklus,
yaitu :
1. Tidur Non- Rapid Eye Movement (REM), dibagi menjadi 4 stadium, yaitu :
- Tingkat 1 (tidur ringan)
- Tingkat 2 (tidur terkonsolidasi)
- Tingkat 3 dan 4 (tidur dalam atau tidur gelombang lambat)
2. Tidur REM
Siklus akan berulang sebanyak 4-6 kali tiap tidur secara normal pada orang
dewasa, dan setiap siklus berlangsung sekitar 90-110 menit (Lumbantobing, 2008;
Chokroverty, 2010).
Pada manusia dewasa sepertiga bagian awal tidur didominasi oleh tidur
gelombang lambat atau slow wave sleep (SWS) sedangkan sepertiga bagian akhir tidur
didominasi oleh tidur REM. Tidur NREM berlangsung sekitar 75%-80 % dari setiap
waktu tidur pada orang dewasa dan dibagi menjadi 4 stadium, stadium 1-4 sesuai
berdasarkan rekaman EEG, stadium tidur dibagi menjadi 3, yaitu N1, N2 dan N3.
Waktu tidur REM berkisar antara 20%-25% dari total waktu tidur keseluruhan.
Petanda spesifik tidur REM adalah adanya gerakan mata cepat ke segala arah dan
ketiadaan aktivitas otot yang dapat direkam oleh EMG (Chokroverty, 2010).
Tabel 2.1 berikut ini menunjukkan kriteria spesifik tingkah laku dan fisiologi
yang terjadi sepanjang fase terjaga, tidur NREM, dan REM.
Tabel 2.1
Kriteria tingah laku dan fisiologi fase bangun tidur (Chokroverty, 2010)
Kriteria Fase bangun Tidur NREM Tidur REM
Postur Mobilitas Respon terhadap stimulasi Tingkat kewaspadaan Kelopak mata Gerakan mata EEG
EMG (tonus otot) EOG Berdiri, duduk Normal Normal Waspada Terbuka Waking eye movement Gelombang alfa, desinkronisasi Normal Waking eye movement Berbaring Postural shift, immobile Menurun
Tidak sadar tapi reversibel Tertutup
Slow rolling eye movement Sinkronisasi
Sedikit menurun Slow rolling eye movement Berbaring Immobile, myoclonic jerks Menurun, bahkan tidak berespon Tidak sadar tapi reversibel Tertutup Rapid eye movement
Thetha, saw tooth wave Desinkronisasi Menurun bahkan tidak ada, Rapid eye movement
2.2.2 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur
Temuan-temuan genetik terbaru mengindikasikan bahwa mekanisme
molekulerlah yang mengontrol irama sirkadian dan mengatur stadium tidur
terkonservasi secara filogenetik. Gangguan tidur dalam jangka lama mempengaruhi
manusia, instruksi genet
genetik yang lebih tingg
neuronal subkortikal yan
yang dijelaskan oleh gamba
Gambar 2.1 Substrat a
Hobson, 2002
Jam sirkadian molekul
yang berlokasi secara bil
tersebut mengandung meka terhadap siklus siang mala
Setelah demikian lam
bangun-tidur, ternyata me
netik diekspresikan secara progresif pada leve
nggi, sintesis protein, dan hubungan dinamis
ang terlibat dalam membentuk substrat anatomi
mbar dibawah ini (Pace-Schott dan Hobson, 2002
t anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur (Pac on, 2002).
olekuler secara genetik diekspresikan oleh 20.000
bilateral di hipotalamus, tepat di atas kiasma opt
ekanisme “master clock” yang mengatur ritme fis alam selama 24 jam (Pace-Schott dan Hobson, 2002
lama ditemukannya sirkadian spesifik dan mekani
mekanisme irama biologis juga melibatkan strukt
evel transkripsi
is antar bagian
omi tidur seperti
on, 2002). Pace-Schott dan 20.000 sel-sel SCN optikum. Sel-sel fisiologis tubuh on, 2002). kanisme kontrol
selain SCN yang berlokasi dekat dengan nukleus tersebut. Struktur tersebut antara lain
nukleus paraventrikular pada subparaventrikular zone (SPZ), daerah hipotalamus yang
menerima sejumlah besar proyeksi dari SCN, dan nukleus dorsomedial hypothalamic
(DMH) yang menerima proyeksi dari SPZ (Pace-Schott dan Hobson, 2002).
Substrat neuanatomi tidur dan fisiologi bangun tidur terdiri dari mekanisme
kompleks yaitu jalur aktivasi dan inhibisi yang bersifat umpan balik antara berbagai
pusat yang terletak di rostral batang otak dan korteks seperti yang dijelaskan pada
gambar 2.2 di bawah. Mekanisme bangun tidur dimediasi oleh ascending reticular
activating system (ARAS) dan jalur inhibisinya yang berproyeksi melalui
nukleus-nukleus formasio retikularis batang otak dan rostral batang otak ke talamus dan basal
forebrain (BF). Terdapat dua jalur proyeksi yang terlibat dalam mekanisme tersebut.
Jalur pertama melalui bagian dorsal, yaitu neuron-neuron kolinergik pedunculopontine
tegmental atau lateral dorsal tegmental (PPT/LDT) yang mengeksitasi neuron-neuron
retikular dan talamokortikal. Jalur kedua adalah melalui bagian ventral yang meliputi
hipotalamus dan BF. Proyeksi jalur tersebut bermula dari nukleus locus coeruleus
(LC) yang bersifat noradrenergik, nukleus rafe dorsalis yang bersifat serotonergik,
nukleus di daerah ventral periaquductal greymatter (PAG) yang bersifat
dopaminergik, tuberomamillary nucleus (TMN) yang bersifat histaminergik, serta
hipotalamus bagian lateral yang menghasilkan oreksin dan melanin-concentrating
hormone. Kelompok neuron-neuron tersebut lebih aktif saat fase bangun dibandingkan
Ventrolateral preoptic nucleus (VLPO) diperkirakan berperanan dalam sirkuit
inhibisi ARAS. Mekanisme inhibisi oleh nukleus preoptik dan aktivasi oleh ARAS
disebut “flip-flop switch design”. Sistem ini secara indirek distabilisasi oleh neuron-neuron oreksin dan neuron-neuron yang mengandung melanin-concentrating hormone di
daerah lateral hipotalamus, yang mencegah mekanisme aktivasi/inhibisi secara
spontan, seperti halnya pada kondisi narkolepsi. Neuron-neuron VLPO yang aktif saat
tidur tersebut menghasilkan neurotransmiter inhibisi gamma-aminobutyric acid
(GABA) dan galanin (gambar 2.2 B) (Saper dkk., 2005, Fuller dkk., 2006).
Gambar 2.2 Sirkuit bangun-tidur; (A) ARAS yang terdiri dari jalur dorsal dan ventral, (B) jalur inhibisi terhadap sirkuit ARAS (Fuller dkk., 2006)
Lesi eksitotoksik pada SPZ menyebabkan gangguan irama sirkadian tidur,
aktivitas lokomotor dan temperatur tubuh. Proyeksi SPZ adalah pada VLPO yang
berperan dalam regulasi tidur NREM. Target proyeksi SPZ yang lain adalah DMH
VLPO. Lesi pada daerah DMH menyebabkan penurunan amplitudo sirkadian dan
temperatur tubuh pada binatang coba. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa terdapat
hubungan daerah tersebut dengan SCN. Terdapat aliran impuls transinaptik retrograd
yang menunjukkan adanya proyeksi indirek dari SCN melalui DMH. Proyeksi ini
kemudian diteruskan ke nukleus VLPO di hipotalamus kemudian ke nukleus
noradrenergik di LC. Oreksin meningkat pada aktivitas LC (Pace-Schott dan Hobson,
2002).
Gambar 2.3 dan 2.4 di bawah ini menunjukkan skema sirkadian manusia saat
siang dan malam dan jalur yang terlibat dalam pengontrolan bangun-tidur mulai dari
retina ke hipotalamus (traktus retinohipotalamus).
Gambar 2.3 Skema sirkadian manusia (Culebras dkk., 2007)
Serat-serat saraf retinal postgalionik membentuk traktus retinohipotalamik menuju
pineal. Sistem neuronal di
oleh cahaya (Culebras dkk., 2007
Gambar 2.4 Jalur
(Shne
Impuls lainnya dari
superior, dan SPZ. Nukle
ini dipengaruhi oleh mel
tidur (Shneerson, 2005).
Aktivasi reseptor α
konsentrasi cyclic adhenos
arylalkilamine N-acetyltr
Irama harian sekresi me berlokasi di SCN. Gamb
SCN dengan sekresi mela
onal di retina distimulasi oleh situasi gelap dan da
dkk., 2007).
lur yang menghubungkan retina, SCN dan ba hneerson, 2005)
ri sel ganglion retina mencapai daerah pretektu
Nukleus kolinergik PPT atau LDT juga berproyeksi ke
elatonin yang menginhibisi aktivitas SCN dan m
).
α -1 dan β -1 adrenergik di badan pineal m
adhenosin monophosphat (c-AMP) dan kalsium serta
ltransferase yang mengawali sintesis dan produk
melatonin dikontrol oleh “master pacemaker” e
bar 2.3 juga menjelaskan hubungan temporal ant
elatonin dalam periode 24 jam (Culebras dkk., 2007
dapat diinhibisi n badan pineal ktum, kolikulus ksi ke SCN. Jalur n menyebabkan meningkatkan rta mengaktivasi oduksi melatonin. endogen yang antara aktivitas dkk., 2007).
Substrat neuroanatomi tidur REM dan NREM berlokasi pada bagian susunan saraf
pusat yang berbeda. Tidak ada pemisahan antara keduanya dengan pusat pengaturan
bangun tidur, namun kedua fase tidur ini dihasilkan oleh perubahan pada sistem
interkoneksi neuronal yang dimodulasi oleh neurotransmiter dan neuromodulator.
Substrat neuroanatomi tidur REM diperkirakan adalah pada area kecil di tegmentum
pontin dorsolateral yaitu sublaterodorsal (SLD) yang berhubungan dengan dorsal
subcoeruleus atau perilocus coeruleus alpha. Selama tidur NREM dan fase terjaga,
neuron pada SLD akan diinhibisi (hiperpolarisasi) oleh input GABA-ergik dari neuron
REM-off GABA-ergik REM yang berlokasi di SLD, mesensefalon dan nukleus
retikularis pontin, serta ventrolateral periaquaductal graymatter (VLPAG) seperti
halnya dengan neuron REM-off monoaminergik. Neuron-neuron GABA-ergik dan
glutaminergik memainkan peranan penting dalam tidur REM. Neuron GABA-ergik
bertanggung jawab terhadap inaktivasi neuron monoaminergik selama tidur REM.
Neuron kolinergik tidak memainkan peranan dalam aktivasi REM (Chokroverty,
2010).
2.3 Gangguan Tidur pada Remaja
2.3.1 Prevalensi dan insidensi gangguan tidur pada remaja
Fase remaja adalah fase tumbuh kembang dengan karakteristik terdapat perubahan
penting dalam fungsi kognitif, perilaku, sosial, dan emosional sesuai perkembangan
biologis, serta adanya fungsi dan tuntutan baru dalam lingkungan keluarga maupun
sosial. Pada remaja terdapat perubahan dramatis dalam pola tidur-bangun meliputi
dan akhir pekan sehingga kualitas tidur remaja juga cenderung berkurang (Mindell dan
Owens, 2003).
Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian epidemiologi mengungkapkan bahwa
jumlah remaja yang mengalami gangguan tidur semakin meningkat. Ohida dkk.,
(2004) menunjukkan prevalensi gangguan tidur pada siswa sekolah menengah
bervariasi yaitu 15,3%-39,2%. Sedangkan menurut hasil penelitian Bruni dkk., (1996),
prevalensi gangguan tidur pada remaja adalah 73,4%.
Uji tapis gangguan tidur pada anak dilakukan oleh Haryono dkk., (2009) pada
remaja usia 12-15 tahun di Jakarta Timur mendapatkan hasil prevalensi gangguan
tidur sebesar 62,9% dengan jenis gangguan berupa gangguan transisi tidur-bangun.
Suatu analisis terhadap 28 studi epidemiologi memberikan data bahwa insomnia
berhubungan dengan gangguan psikologis yang menjadi faktor risiko untuk terjadinya
depresi, gangguan cemas, alkohol, dan penyalahgunaan obat, penurunan imunitas
tubuh, serta percobaan bunuh diri. Gangguan tidur bahkan disebutkan merupakan
faktor risiko penyakit kardiovaskuler (Leger dkk., 2008).
Gangguan tidur pada remaja dapat berupa kurangnya durasi, kualitas, dan
kuantitas tidur. Terdapat kesepakatan antara peneliti mengenai kebutuhan tidur remaja
yaitu kurang lebih 9-10 jam setiap malam agar tercapai fungsi biologis tubuh yang
optimal seperti misalnya regulasi mood dan fungsi kognitif yang baik. Menurut suatu
survei nasional mengenai pola tidur remaja di Amerika serikat, ternyata hanya 20%
remaja berumur 11-17 tahun yang memenuhi kebutuhan tidur malam selama 9 jam
Suatu penelitian epidemiologi skala besar yang dilakukan di Eropa menunjukkan
bahwa 30% remaja berumur 15-18 tahun mengeluhkan setidaknya satu keluhan
gangguan tidur. Hampir 20% mengeluh mengantuk sepanjang siang hari (daytime
sleepiness), 13,8% mengalami tidur non restoratif, 12,4% mengeluh sulit untuk jatuh
tertidur, sedangkan 9,25% mengeluh kesulitan mempertahankan tidur (Moran dan
Everhart, 2012).
Studi epidemiologi memperkirakan bahwa 14%-33% remaja mengalami masalah
tidur, 10%-40% siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) mengalami SD sesaat dan SD
skala menengah (Liu dkk., 2008).
Kebiasaan tidur erat kaitannya dengan transmisi genetik. Penelitian mengenai
berbagai aspek tidur yang dilakukan pada populasi anak kembar, memberikan hasil
yang menarik. Heritabilitasnya diperkirakan 20%-57% dalam aspek waktu mulai tidur
malam, durasi tidur, kualitas tidur secara menyeluruh, dan parameter tidur
polisomnografi. Kontribusi genetik diperkirakan sekitar 40%-70% (Liu dkk., 2008).
2.3.2 Pola dan kualitas tidur remaja
Masa remaja ditandai dengan adanya perubahan biologis, kognitif dan emosional.
Perubahan waktu tidur yang nyata misalnya, tidur malam terlambat, bangun terlalu
cepat, pola tidur yang tidak teratur, insufisiensi tidur, dan mengantuk di siang hari.
Remaja juga rentan terhadap gangguan tidur seperti insomnia, excessive daytime
sleepiness (EDS), dan gangguan irama sirkadian (Liu dkk., 2008).
Remaja (usia 12-17 tahun) sangat rentan mengalami gangguan tidur yang pada
dalam menentukan pola tidur remaja. Fase pubertas yang dialami remaja secara
biologis akan menyebabkan perubahan fase sirkadian mereka yang cenderung akan
menjadi lebih lambat dalam hal keterlambatan waktu tidur dan onset bangun. Secara
fisiologis remaja memang mengalami kesulitan untuk tidur lebih awal. Beberapa
faktor ekternal seperti kebiasaan minum kopi, penggunaan alat elektronik pada saat
malam hari membuat keterlambatan fase tidur lebih parah. Demikin pula dengan
kegiatan sosial remaja di sekolah yang membutuhkan waktu bangun lebih cepat
menyebabkan kecenderungan remaja untuk mengantuk pada siang harinya lebih besar
(Lund dkk., 2010).
Perkembangan tidur pada remaja tidak terlalu pesat jika dibandingkan pada
anak-anak. Perubahan pola tidur pada remaja disebabkan oleh perubahan hormonal dan
pergeseran irama sirkadian. Rerata durasi tidur harian menurun dari 11 jam di usia 6
tahun menjadi 10 jam di usia 9 tahun dan sekitar 8-9 jam saat usia 16 tahun. Maturasi
arsitektur tidur ditandai dengan penurunan secara bertahap proporsi tidur dalam
non-REM dan sebagai kompensasi adalah meningkatnya proporsi stadium tidur ringan
non-REM. Kantuk di siang hari yang dialami remaja dapat diukur dengan multiple
sleep latency test (MSLT). Hasilnya adalah meningkatnya nilai MLST yang
mencerminkan adanya efek berkurangnya durasi tidur secara relatif terhadap kebuuhan
tidur remaja. Terlebih lagi, kebanyakan remaja sehat menunjukkan tendensi
keterlambatan fase sirkadian, yaitu waktu tidur malam mengalami keterlambatan
Lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap perubahan pola tidur remaja. Para
remaja mulai bisa memutuskan sendiri mengenai jadwal tidurnya sendiri yang
menyebabkan terjadinya pola tidur yang tidak teratur dan insufisiensi tidur kronik.
Penggunaan komputer atau internet, game video, telepon, lazim digunakan oleh
remaja mengganggu waktu tidur dan meningkatkan risiko mengantuk pada saat siang
hari. Paparan media elektronik seperti televisi (3 jam per hari), penggunaan fasilitas
internet (2,5 jam per hari) akan meningkatkan risiko lateni tidur dan mengurangi
waktu tidur anak dan remaja (Hoban, 2010;Schochat dkk., 2010).
Pola tidur remaja dipengaruhi pula dengan sangat kuat oleh keterlambatan fase
tidur sirkadian secara alami. Seseorang didiagnosis mengalami gangguan irama
sirkadian terutama tipe delayed sleep phase (DSP) apabila tendensi ini mengakibatkan
gangguan memulai tidur dan bangun pada saat yang tepat. Kebiasaan untuk tidur larut
malam dan bangun terlambat saat waktu libur sekolah menyebabkan kecenderungan
terjadinya DSP (Hoban, 2010).
Kualitas tidur merupakan gambaran secara subyektif yang menjelaskan tentang
kemampuan untuk mempertahankan waktu tidur serta tidak adanya gangguan yang
dialami selama periode tidur. Komponen-komponen yang kualitas tidur dapat diukur
secara obyektif dengan polisomnografi, sedangkan pengukuran kualitas tidur secara
subyektif dapat dilakukan dengan beberapa kuesioner misalnya dengan menggunakan
PSQI (Pilcher dkk., 1997).
Kualitas tidur meliputi beberapa aspek kebiasaan tidur seseorang, termasuk
tidur berkorelasi dengan perasaan cemas, depresi, marah, kelelahan, kebingungan,
mengantuk di siang hari, dan kekecewaan menyeluruh terhadap kehidupan. Kualitas
tidur yang diukur melalui instrumen PSQI berkorelasi dengan kualitas hidup
dibandingkan dengan kuantitas tidur semata (Pilcher dkk., 1997).
Menurut Grose dan Engelke, seperti dikutip oleh Arifin (2011), SD merupakan
gangguan tidur atau keadaan tidur dengan jumlah waktu normal tapi kualitas tidur
tidak adekuat yang ditandai dengan tidur sering terbangun.
Gangguan ini dapat mempengaruhi aktifitas fungsi sistem saraf pusat yang selama
periode tidur. Dampak dari SD dapat bersifat individual. Gangguan yang berlangsung
dalam waktu lama dapat mempengaruhi respon emosional, kemampuan kognitif, daya
ingat, perhatian, pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan (Dinges dkk.,
2011).
Bila SD terjadi dalam 60-200 jam, manusia akan tambah mengantuk, lelah, lekas
marah, sulit berkonsentrasi, berkurangnya kemampuan aktivitas motorik terutama
yang membutuhkan kecepatan. Ekskresi katekolamin sebagai hormon katabolik
meningkat karena SD. Keseimbangan nitrogen yang negatif berarti bahwa kekurangan
tidur menyebabkan hilangnya protein atau pergeseran ke arah katabolisme
(Lumbantobing, 2008).
Tanda dan gejala neurologi yang dapat tercapai bila SD terjadi secara persisten
adalah adanya nistagmus ringan, gangguan gerak bola mata sakadik, gangguan
akomodasi, tremor di tangan, ptosis, wajah tanpa ekspresi, bicara pelo, pengucapan
Sleep deprivation memberikan konsekuensi berat terhadap perkembangan fisik
dan mental remaja. Suatu penelitian berbasis populasi dilakukan terhadap anak
sekolah yang tergolong remaja (usia 11-17) tahun menilai kualitas tidur dan
faktor-faktor prediktor gangguan tidur pada remaja menggunakan beberapa parameter yaitu
PSQI dan Epworth Sleepness Scale (ESS) dan lain-lain. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan hubungan yang kuat antara restriksi tidur kronik dengan kecemasan,
depresi, kelelahan, dan nyeri somatik. Penelitan tersebut menyebutkan bahwa rerata
waktu tidur anak sekolah adalah sekitar 7,02 jam. Hanya 29,4% dari responden
penelitian yang tidur lebih dari 8 jam dalam sehari. Kualitas tidur yang buruk (skor
PSQI ≥8) berhubungan signifikan dengan peningkatan mood negatif (kemarahan,
kecemasan, depresi, kelelahan, dan ketegangan). Responden dengan kualitas tidur
buruk juga berkorelasi signifikan dengan penyakit fisik. Faktor-faktor predisposisi
kualitas tidur yang buruk pada remaja yang ditunjukkan oleh penelitian tersebut antara
lain mood (ketegangan dan stres), konsumsi alkohol dan kopi, keteraturan jadwal
tidur,dan paparan alat-alat elektronik seperti telepon, televisi, dan komputer atau
internet (Lund dkk., 2010; Dinges dkk., 2011; Moran dan Everhart, 2012).
Stres merupakan faktor predisposisi yang paling signifikan mempengaruhi
kualitas tidur remaja. Terdapat beberapa alasan mengenai hal tersebut. Pertama, gaya
hidup remaja merupakan faktor presipitasi yang meningkatkan tekanan pada mental
remaja. Kedua, adanya perubahan karena maturasi neuroendokrin. Perkembangan
aksis HPA saat remaja menyebabkan sekresi kortisol sepanjang waktu tidur
seperti halnya peningkatan perasaan negatif seperti kecemasan dan depresi pada
remaja. Ketiga, remaja belum memiliki strategi “coping” untuk mengelola kejadian-kejadian pemicu stres (Lund dkk., 2010; Moran dan Everhart, 2012).
Gangguan tidur irama sirkadian tipe DSP merupakan tipe gangguan tidur yang
paling sering dialami oleh remaja. Gejala sindroma DSP adalah adanya keterlambatan
waktu tidur sebanyak 2 jam atau lebih dari waktu tidur yang diinginkan dan adanya
pertentangan dengan aktivitas harian remaja (sekolah, pekerjaan, jadwal aktivitas
lain). Gejala klinis sindrom DSP yang paling utama adalah adanya keluhan terbangun
terlalu dini yaitu sekitar pukul 3 atau 4 dini hari dan kemudian sangat sulit untuk
bangun saat pagi hari. Keluhan kesulitan tidur sebelum tengah malam dan amat sulit
bangun sebelum pukul 10 di pagi hari juga sering dialami. Hal ini terjadi akibat waktu
tidur remaja yang tidak konsisten dengan waktu biologis internalnya. Sindrom DSP
merupakan gangguan multi komponen yang dipengaruhi oleh faktor genetik, biologis,
dan psikososial (Mindell dan Meltzer, 2008).
Stadium tidur yang mengalami perubahan sesuai umur adalah stadium SWS.
Stadium tidur ini maksimal pada usia kanak-kanak dan menurun sekitar 40% saat
dekade kedua dalam kehidupan. Remaja umur 11-17 tahun mengalami penurunan
gelombang delta dan theta pada stadium tidurnya dan secara simultan tidur stadium 2
meningkat. Penurunan gelombang EEG pada seluruh stadium tidur terjadi secara
signifikan. Perubahan pola ini diperkirakan disebabkan oleh reorganisasi atau maturasi
Keterbatasan data dan penelitian mengenai DSP menyebabkan prevalensi
sindroma DSP tidak diketahui secara pasti namun diperkirakan antara 7%-16% pada
populasi remaja (Tikotzky dan Sadeh, 2012).
Remaja dengan sindroma DSP akan mengalami SD secara kronik dan akan
mengalami “mabuk tidur” pada pagi hari yang ditandai dengan kesulitan untuk bangun secara ekstrem dan kebingungan. Sekresi melatonin yang terlambat pada fase ini
merupakan salah satu faktor yang ditengarai mendasari sindroma ini disamping
adanya disregulasi sistem waktu sirkadian endogen dengan lingkungan. Remaja
dengan DSP gagal mensinkronisasikan waktu sirkadian internal karena penurunan
sensitivitas terhadap siklus gelap terang (Tikotzky dan Sadeh, 2012).
Gangguan tidur yang dialami remaja selain DSP adalah insomnia. Menurut
Diagnostic and Statistical Manual (DSM)-V seperti yang dikutip oleh Tikotzky dan
Sadeh (2012), insomnia ditandai dengan adanya kesulitan memulai tidur,
mempertahankan tidur, atau tidur nonrestoratif yang berlangsung setidaknya satu
bulan dan menyebabkan gangguan harian dan distres klinik yang signifikan. Suatu
penelitian berbasis populasi menyatakan bahwa sebanyak sekitar 10,7% remaja usia
13-16 tahun pernah mengalami insomnia sepanjang hidupnya dan 9,4% sedang
mengalami insomnia. Insomnia juga disebutkan sebagai faktor paling prominen dari
kualitas tidur yang buruk. Selain faktor genetik, faktor psikososial remaja juga
Berbagai gangguan tidur pada remaja seperti sindroma DSP, insomnia, dan
sleep-related breathing disorder berkorelasi kuat dengan timbulnya nyeri kepala saat pagi
hari (Calhoun dan Ford, 2007).