BAB IV METODE PENELITIAN
6.2 Prevalensi NKP dan Kualitas Tidur Remaja
Prevalensi NKP pada penelitian ini adalah 85,41% atau sekitar 82 orang dari 96
orang subyek penelitian.
Suatu review sistematik yang dilakukan di Kanada terhadap 185 penelitian di
beberapa tempat yang meawakili negara-negara Amerika, Asia dan Eropa yang
menilai nyeri pada remaja menunjukkan bahwa NKP merupakan keluhan yang
tersering dialami oleh remaja dengan prevalensi bervariasi mulai dari 8%-82,9% (King
dkk., 2011).
Larsson dan Fichtel (2014) memperoleh nilai prevalensi yang cukup tinggi pula
pada penelitian mereka yaitu 58,4%. Hasil penelitian tersebut juga didukung oleh
beberapa penelitian yang dilakukan di Scandinavia, Belanda, dan Taiwan yang
mengemukakan peningkatan prevalensi nyeri kepala pada remaja usia sekolah
sepanjang dekade terakhir. Nyeri kepala primer yang terjadi dengan frekuen
berdampak pada kualitas hidup anak dan remaja dan menyebabkan peningkatan
masalah emosional terutama kecemasan dan depresi serta beberapa keluhan somatik
Dua penelitian berbasis populasi remaja yang dilakukan di Jerman Barat
memperolah angka prevalensi NKP sangat tinggi yaitu 90,0% dan 75,4% (Fendrich
dkk., 2007).
Suatu studi review sistematis dilakukan di Glasgow, Inggris, terhadap 50
penelitian berbasis populasi anak dan remaja yang mengalami NKP dengan metode
pengambilan sampel yang sama yaitu secara acak. Penelitian-penelitian yang
dianalisis tersebut dilakukan di negara-negara Eropa dan Asia sepanjang rentang
waktu 1 Januari 1990 hingga 31 Desember 2007. Prevalensi NKP yang didapatkan
adalah 58,4% (Abu-Arafeh dkk., 2010).
Penelitan lain yang memberikan data prevalensi NKP pada remaja adalah Lima
dkk. (2014) di Brazil dengan angka yang tinggi yaitu 87,8%.
Rentang angka prevalensi NKP yang bervariasi kemungkinan disebabkan karena
perbedaan populasi, instrumen atau kuesioner yang digunakan serta lokasi geografi
penelitian tersebut dilakukan (Lima dkk., 2014).
Prevalensi NKP remaja perempuan pada penelitian ini adalah 88,89%. Angka ini
lebih besar dibanding dengan prevalensi NKP pada remaja laki-laki yang hanya sekitar
82,35%. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian mengenai NKP yang mengambil
populasi remaja melaporkan bahwa prevalensi NKP pada remaja perempuan memang
lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki (Fendrich dkk., 2007).
Abu-Arafeh dkk. (2010) menunjukkan bahwa prevalensi NKP pada remaja
Pada beberapa penelitian menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi
tingginya prevalensi NKP pada remaja perempuan berkaitan dengan faktor psikososial
yaitu adanya kecemasan dan depresi dan rendahnya kepercayaan diri yang sering
menjadi masalah psikologis remaja perempuan (King dkk., 2011).
Prevalensi NKP pada remaja perempuan dilaporkan secara bermakna lebih tinggi
daripada remaja laki-laki. Perubahan hormonal diperkirakan menjadi salah satu faktor
penyebabnya. Adanya perubahan kadar estradiol pada saat fase menstruasi dari siklus
ovarium berhubungan dengan munculnya beberapa gangguan neurologi misalnya pada
penderita migren (Fendrich dkk., 2007; Lima dkk., 2014).
Tidur memainkan peranan penting dalam perkembangan remaja. Selama masa
remaja pola tidur secara umum mengalami keterlambatan waktu memulai tidur tetapi
remaja dituntut harus bangun lebih cepat untuk berangkat ke sekolah. Keterlambatan
fase tidur merupakan konsekuensi dari keterlambatan jam biologis irama sirkadian
pada remaja dan adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi misalnya pola tidur
orang tua atau aktivitas di sekitar lingkungannya (Sivertsent dkk., 2013).
Masalah tidur pada remaja sangat sering terjadi dan dilaporkan memiliki
prevalensi yang bervariasi mulai 5% hingga 43% dari penelitian (Reigstad dkk.,
2009).
Penelitian ini menunjukkan bahwa 69 dari 96 orang (71,87%) subyek penelitian
memiliki kualitas tidur buruk. Remaja perempuan dengan kualitas tidur buruk
mencapai 36,45% sedangkan remaja laki-laki 35,42% dari keseluruhan jumlah sampel
Guo dkk. (2014) mempublikasikan hasil penelitian tentang gangguan tidur pada
remaja di China yang memperoleh angka prevalensi 39,6%. Penelitian lain yang
serupa mendukung penelitian tersebut dengan nilai prevalensi 66%-90%. Hasil
penelitian tersebut mendukung data-data yang diperoleh dari berbagai penelitian yang
dilakukan negara-negara Barat dengan angka prevalensi sekitar 43%. Adanya variasi
angka prevalensi mungkin disebabkan oleh perbedaan metode penelitian, populasi,
besar sampel, intsrumen penelitian serta lokasi geografi tempat dilakukannya
penelitian.
Terdapat 2 faktor yang berperan terhadap kebiasaan yang mempengaruhi sleep
hygiene remaja, yaitu ketidakadekuatan pengaturan waktu tidur meliputi waktu
bangun tidur yang tidak teratur, terlambat tidur siang, dan waktu tidur malam yang
kurang sesuai. Faktor yang kedua adalah meningkatnya waktu terjaga yang disebabkan
oleh penggunaan media elektronik seperti televisi, game di dalam kamar tidur,
kebiasaan mengkonsumsi minuman berkafein. Efisiensi tidur malam yang tidak
adekuat karena berbagai faktor tersebut dapat diperbaiki dengan mengambil waktu
tidur siang 30-45 menit, namun demikian perbedaan jadwal waktu tidur harian tidak
boleh melebihi 1-2 jam untuk mendapatkan sleep hygiene yang baik (Mindell dan
Meltzer, 2008).
Selama masa remaja, terjadi interaksi faktor biologis, psikologis dan sosial yang
menyebabkan pemendekan durasi tidur. Hal ini pada akhirnya memberikan
konsekuensi terhadap kualitas hidup remaja yang dimetaforakan sebagai “the perfect storm”. Durasi tidur yang pendek ini tidak disertai oleh penurunan kebutuhan tidur
sehingga terjadi insufisiensi tidur pada remaja. Masalah tidur yang berkepanjangan
menyebabkan penurunan performa remaja di sekolah, meningkatkan kecenderungan
masalah-masalah mental, dan sejalan dengan itu juga terjadi peningkatan insiden
kecelakaan lalu lintas pada remaja (Carskadon, 2011; Hysing dkk., 2013).
Karakteristik tidur remaja berupa adanya ketidaksesuaian antara jadwal tidur
harian dan pola tidur mingguan termasuk pergeseran waktu tidur menjadi lebih larut
sekitar 1-2 jam pada saat akhir pekan. Sekitar 20%-26% remaja mengalami
pergeseran latensi tidur lebih dari 30 menit. Suatu penelitian gangguan tidur pada
remaja di Islandia menunjukkan, pergeseran rerata latensi tidur sekitar 16,8 menit.
Adanya perpanjangan latensi tidur menunjukkan adanya karakteristik suatu gangguan
tidur insomnia yang memang sering diderita remaja sesuai dengan DSM-IV (Hysing
dkk., 2013).
Beberapa penelitian mengenai pola tidur remaja menunjukkan karakteristik
tertentu yaitu adanya keterlambatan waktu tidur, perpanjangan latensi tidur, dan
pemendekan latensi tidur, yang menyebabkan insufisiensi tidur sekitar 2 jam setiap
harinya dari kebutuhan tidur yang seharusnya dipenuhi oleh remaja. Remaja wanita
memiliki prevalensi lebih tinggi terhadap kecenderungan gangguan tidur ini dibanding
remaja laki-laki (Hysing dkk., 2013).