KEPALA PRIMER PADA SISWA-SISWI SEKOLAH
MENENGAH ATAS NEGERI 1 AMLAPURA
KABUPATEN KARANGASEM
AGUS ANTARA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
i
KEPALA PRIMER PADA SISWA-SISWI SEKOLAH
MENENGAH ATAS NEGERI 1 AMLAPURA
KABUPATEN KARANGASEM
AGUS ANTARA
NIM : 1014068103
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
ii
MENENGAH ATAS NEGERI 1 AMLAPURA
KABUPATEN KARANGASEM
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
AGUS ANTARA
NIM : 1014068103
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iii
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 3 PEBRUARI 2015
Pembimbing I,
dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K) NIP 195610101983121001
Pembimbing II,
Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K) NIP 195503211983031004
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And, FAACS NIP 194612131971071001
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
iv
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,
v
Dengan ini saya nyatakan bahwa tesis dengan judul “Korelasi Kualitas Tidur dengan Nyeri Kepala Primer pada Siswa-siswi Sekolah Menengah Negeri 1 Amlapura Kabupaten Karangasem” adalah memang benar karya asli saya dan pernyataan ini dapat dipertanggungjawabkan di kemudian harinya.
Denpasar, 19 Pebruari 2015
Yang membuat pernyataan,
vi
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya akhir ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan besar sehingga penulis dapat menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi dan Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada pembimbing karya akhir ini, dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K) dan Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S (K) atas segala bimbingan, masukan dan saran khususnya terkait penyusunan karya akhir ini. Kepada dr. I Putu Eka Widyadharma, M. Sc, Sp. S (K) penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan bimbingannya khususnya yang berkenaan dengan statistik.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr.
Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Putu Astawa, M. Kes, Sp. OT (K) atas ijin dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf FK
UNUD/RSUP Sanglah
vii
Spesialis I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah dan Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana FK UNUD/RSUP Sanglah.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Direktur Utama RSUP Sanglah
Denpasar dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MARS dan mantan Direktur Utama RSUP
Sanglah Denpasar, dr.Wayan Sutarga, MPHM atas ijin, tempat dan fasilitas yang
sudah diberikan. Terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ketua TKP
PPDS I FK UNUD/ RSUP Sanglah,dr. Nyoman Semadi, Sp. BTKV dan mantan Ketua
TKP PPDS I FK UNUD/RSUP Sanglah, dr. I Wayan Kondra, Sp. S (K) atas
kesempatan mengikuti pendidikan ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para
penguji, dr. I Made Oka Adnyana, Sp. S (K), Dr. dr. D. P. G. Purwa Samatra, Sp. S
(K), Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K), dr. I.G.N. Purna Putra, Sp. S (K) dan
Dr .dr. A. A. A. Putri Laksmidewi, Sp. S (K) atas bimbingan, saran dan koreksi dari
tahap praproposal, ujian proposal, seminar hasil penelitian, ujian hasil penelitian
hingga ujian akhir tesis.
viii
Kedokteran Universitas Udayana pada saat penulis diterima sebagai PPDS neurologi dan Dr. dr. A. A. A. Putri Laksmidewi, Sp. S (K) selaku Plt. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, atas kesempatan, fasilitas yang diberikan serta dorongan yang tiada henti kepada
penulis untuk mengikuti dan segera menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu
Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah. Kepada dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp. S sebagai pembimbing akademik, penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga atas segala bimbingan, didikan, nasehat, motivasi dan petunjuk yang diberikan selama proses pendidikan.
ix
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Luh Putu Lina Kamelia, Sp. S, dr. Yosi
P. Silalahi, Sp. S, dr. Ni Putu Witari, Sp. S, dr. I Dewa Ngurah Agung Satriawan, Sp.
S, dr. Desie Yuliani, Sp. S dan dr. I Gusti Martin Widanta, M. Biomed, Sp. S yang
selalu memberi bimbingan dan dorongan semangat kepada penulis untuk
menyelesaikan karya akhir ini. Terima kasih kepada semua teman sejawat PPDS-1
Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar atas kerjasama, dorongan semangat,
dan pengertian teman-teman selama penulis mengikuti pendidikan ini, khususnya
kepada dr. I Nyoman Darsana, M. Biomed, Sp. S, dr. Bhaskoro A. W. Nugroho, dr I.
A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S, dr. Sri Yenni Trisnawari, M. Biomed, Sp. S dan
dr. I Wayan Widyantara, M. Biomed, Sp. S. Terima kasih kepada dr. Octavianus
Darmawan, dr. Ni Made Dwita Pratiwi, dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi dan dr.
Ayuna Putri Sundari atas bantuannya dalam karya akhir ini. Terima kasih kepada
tenaga administrasi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah I
Wayan Sika Priantha, Ni Putu Oka Swardani, Ni Kadek Arie Ardhiani, Amd, Akun.,
Ni Made Febriyanti, S. E., dan Ni Wayan Ayu Sukyartini, S. E. atas kerjasama dan
bantuannya selama penulis mengikuti pendidikan.
Pada kesempatan ini secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada seluruh siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura dan Bapak Wakasek Drs. I
x
kasih sayang, doa, nasehat, semangat dan dorongan. Terima kasih kepada
saudara-saudara tercinta dan seluruh keluarga besar atas doa dan bantuannya.
Penulis menyadari bahwa karya akhir ini jauh dari kata sempurna baik dari aspek
materi maupun penyajiannya, sehingga tetap mengharapkan kritik dan saran dalam
perbaikan karya akhir ini.
Terakhir penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak, bila
dalam proses pendidikan maupun dalam pergaulan sehari-hari ada tutur kata dan sikap
yang kurang berkenan dihati. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih selalu
melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu
pelaksanaan dan penyelesaian karya akhir ini.
“Ilmu pengetahuan adalah antidot dari segala ketakutan”
Denpasar, Pebruari 2015
xi
dijumpai pada remaja. Keduanya berhubungan secara resiprokal. Prevalesi NKP pada remaja cukup tinggi. Beberapa faktor yang berhubungan dengan timbulnya NKP antara lain kualitas tidur yang buruk, obesitas, depresi, kecemasan, stres dan kelelahan. Gangguan tidur pada remaja sering dikaitkan dengan penurunan prestasi belajar di sekolah dan rendahnya angka kelulusan siswa. Kabupaten Karangasem menempati peringkat kedua tertinggi angka ketidaklulusan siswa dari seluruh kabupaten/kota di Bali. Masih sedikitnya data mengenai hubungan gangguan tidur dengan NKP khususnya di Bali melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini.
Penelitian ini merupakan analitik observasional potong lintang dengan pengambilan sampel secara simple random sampling. Analisis deskriptif untuk menentukan karakteristik subyek sedangkan korelasi antara kualitas tidur dengan NKP dilakukan dengan uji koefisien kontingensi. Data dianalisis dengan program SPSS 16.0 for windows.
Sampel sebanyak 96 orang siswa ini diambil pada bulan September 2014 di SMA Negeri 1 Amlapura didapatkan proporsi kualitas tidur buruk dan NKP yang tinggi (71,87% dan 85,41%) sedangkan kualiatas tidur yang buruk dengan NKP berkorelasi sedang (r = 0,421 dan p < 0,01).
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kualitas tidur buruk akan meningkatkan kemungkinan menderita NKP.
xii
Primary headache and sleep disturbance are common in adolescent. This two phenomenon has resiprocal relationship. Primary headache prevalence in adolescent is high. There are several factor related to primary headache such as: poor sleep quality, obesity, depression, anxiety, psychological stress and fatique. Sleep disturbance in adolescent assosiated with their low achievement and take an efect to low passing grade in school. The rate of high school unpassing grade students in Karangasem Regency taking second place in Bali.
There are lack of data about the correlation between sleep disturbance and primary headache in adolescent especially in Bali. This research background is to determine relationship between sleep quality and primary headache.
This is an observasional study with cross sectional design and use simple random sampling. Descriptive analysis was performed to determine the correlation between sleep quality and primary headache.
We collected data from ninety six high school students in SMA Negeri 1 Amlapura during September 2014. The reseach found that high proportion of poor sleep quality and primary headache (71,87% and 85,41%), showing significantly moderate positive correlation between poor sleep quality and primary headache (p <0,01; r = 0,421)
This study showed that subject with poor sleep quality more likely suffering primary headache.
xiii
HALAMAN SAMPUL DALAM... i
PRASYARAT GELAR... ii
LEMBAR PENGESAHAN... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI... ... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
ABSTRAK ... xi
ABTRACT ... xii
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR SINGKATAN... xvii
DAFTAR TABEL... xx
DAFTAR LAMPIRAN ... xxi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.3.1. Tujuan Umum ... 7
1.3.2. Tujuan Khusus ... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 7
1.4.1. Manfaat Akademis... .... 7
1.4.2. Manfaat Praktis... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA.. ... 9
2.1. Kronobiologi dan Irama Sirkadian... 9
2.2. Arsitektur, Anatomi, dan Fisiologi Tidur... 12
2.2.1 Arsitektur tidur... 12
xiv
2.3.2 Pola dan kualitas tidur remaja……….. 22
2.4 Hubungan NKP dengan Gangguan Tidur………... 29
2.4.1 Faktor-faktor pencetus dan prevalensi NKP pada remaja 29 2.4.2 Prevalensi gangguan tidur pada remaja penderita NKP.. 34
2.4.3 Peranan SCN dan melatonin pada patofisiologi NKP…. 37 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 46
3.1. Kerangka Berpikir ... 46
3.2. Konsep Penelitian ... 48
3.3. Hipotesis Penelitian ... 48
BAB IV METODE PENELITIAN……….. 49
4.1. Rancangan Penelitian……….. 49
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ………. 49
4.3. Ruang Lingkup Penelitian……….. 49
4.4. Penentuan Sumber Data ... 50
4.4.1. Populasi Target ... 50
4.4.2. Populasi Terjangkau ... 50
4.4.3. Kriteria Inklusi ... 50
4.4.4. Kriteria Eksklusi ... .... 50
4.5. Sampel ... .... 51
4.5.1. Besar Sampel ... 51
4.5.2. Teknik Pengambilan Sampel ... .... 51
4.6. Variabel Penelitian ... .... 51
4.6.1. Identifikasi Variabel ... .... 51
4.6.2. Definisi Operasional Variabel ... 52
4.7. Instrumen Penelitian ... 57
4.8. Prosedur dan Alur Penelitian ... 59
xv
6.1 Karakteristik Subyek Penelitian ... 67
6.2 Prevalensi NKP dan Kualitas Tidur Remaja ... 69
6.3 Korelasi Kualitas Tidur dengan NKP ... 73
6.4 Korelasi Faktor-faktor lain dengan NKP... 78
6.4 Limitasi dan Kelebihan Penelitian ... 80
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 81
DAFTAR PUSTAKA... 83
xvi
Halaman
2.1 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur ………… 15
2.2 Sirkuit bangun-tidur (A) ARAS yang terdiri dari jalur dorsal dan ventral; (B) jalur inhibisi terhadap sirkuit ARAS……….. 17
2.3 Skema sirkadian manusia………. 18
2.4 Jalur yang menghubungkan retina, SCN, dan badan pineal…. 19 2.5 Struktur anatomi sistem trigeminovaskular yang terlibat dalam patofisiologi nyeri kepala……….. 34
3.1. Bagan kerangka berpikir... 46
3.2. Bagan konsep penelitian... 48
4.1. Bagan rancangan penelitian... 49
xvii
ARAS : Ascending Reticular Activating System
ATP : Adenosin Triphosphat
cAMP : cyclic Adenosin Monophosphat
BPS : Badan Pusat Statistik
CDH : Chronic Daily Headache
CGRP : Calcitonin Gene Related Peptide
CSD : Cortical Spreading Depression
DASS : Depression Anxiety Stress Scale
DMH : Dorsomedial Hypothalamic
DSM : Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
DSP : Delayed Sleep Phase
DSPS : Delayed Sleep Phase Syndrome
EDS : Excessive Daytime Sleepiness
EEG : Elektroensefalografi
EOG : Elektrookulografi
EMG : Elektromiografi
ESS : Epworth Sleepness Scale
GABA : Gamma Aminobutyric Acid
HARS : Hamilton Anxiety Rating Scale
xviii IMT : Indeks massa tubuh
LC : Locus Coeruleus
LDT : Lateral Dorsal Tegmental
MSLT : Multiple Sleep Latency Test
NKK : Nyeri kepala klaster
NKP : Nyeri kepala primer
NREM : Non Rapid Eye Movement
OSA : Obstructive Sleep Apnea
PAG : Periaquductal Greymatter
PP : Pedunculopontine Tegmental
PSQI : Pittsburg Sleep Quality Index
REM : Rapid Eye Movement
NPRS : Numeric Pain Rating Scale
NREM : Non Rapid Eye Movement
SCN : Suprachiasmatic Nucleus
SD : Sleep Deprivation
SLD : Sub Lateral Dorsal
SMA : Sekolah Menengah Atas
SPDH : Skala Penilaian Pepresi Hamilton
xix SWA : Slow Wave Activity
SWS : Slow Wave Sleep
TMN : Tuberomamillary Nucleus
TNC : Trigeminal Nucleus Caudalis
TTH : Tension Type Headache
VBM : Voxel Based Morphometry
VIP : Vasoactive intestinal polypeptide
VLPAG : Ventrolateral Peri-aquaductal Graymatter
xx
Halaman
2.1. Kriteria tingah laku dan fisiologi fase bangun dan tidur….. 14
2.2. Faktor-faktor yang mencetuskan NKP……….. ……. 31
2.3. Struktur anatomi yang terlibat dalam nyeri kepala... 32
2.4 Klasifikasi nyeri kepala yang dikaitkan dengan komponen tidur……….. 36
2.5 Beberapa peranan melatonin dalam patofisiologi nyeri kepala……… 43
5.1 Karakteristik subyek penelitian………. 61
5.2 Kualitas tidur berdasarkan jenis kelamin ……….62
5.3 Kualitas tidur berdasarkan IMT ………. 63
5.4 Proporsi NKP berdasarkan jenis kelamin ……….. 63
5.5 Korelasi kualitas tidur dengan NKP ……….. 64
xxi
Halaman
1
1.1 Latar Belakang
Nyeri kepala primer (NKP) dan gangguan tidur merupakan dua fenomena yang
sering dialami oleh segala usia dalam praktik sehari-hari.
Gangguan tidur dan nyeri kronik, salah satunya nyeri kepala, telah lama
mendapatkan perhatian. Kedua hal tersebut berhubungan secara resiprokal. Nyeri
kepala dapat timbul karena pola tidur yang tidak sehat, sedangkan gangguan tidur bisa
terjadi karena nyeri kepala (Doufas dkk., 2012).
Data prevalensi NKP di Indonesia menunjukkan bahwa NKP merupakan salah
satu keluhan tersering yang dialami di praktik klinik. Adapun pengamatan terhadap
jenis penyakit pasien yang berobat jalan di praktik klinik selama tahun 2003, nyeri
kepala menduduki tempat teratas dengan proporsi sekitar 42% dari seluruh pasien
neurologi (Sjahrir, 2009).
Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa dengan 26,67%
di antaranya adalah remaja. Sedangkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2010 di daerah Bali sendiri jumlah penduduk remaja adalah sekitar 611,033 dari
3.890.757 juta jiwa (atau sekitar 15,70%). Kabupaten Karangasem merupakan
kabupaten dengan luas daerah nomor 3 di Bali memiliki penduduk 408,7 ribu jiwa.
Besarnya penduduk remaja akan berpengaruh pada pembanguan dari aspek sosial,
ekonomi maupun demografi saat ini dan yang akan mendatang. Remaja perlu
berisiko terhadap masalah-masalah kesehatan dan sosial (BPS, 2010; Wahyuni dan
Rahmadewi, 2011).
Masalah kesehatan yang sering dialami remaja adalah nyeri kepala. Pada
penelitian internasional berbasis populasi anak dan remaja melaporkan tingginya
prevalensi nyeri kepala pada golongan tersebut yaitu berkisar antara 23-51%.
Tingginya prevalensi nyeri kepala pada remaja tentunya berimbas pada kehidupan
remaja tersebut dan pada akhirnya menurunkan kualitas hidup mereka yang salah
satunya dapat dinilai melalui penurunan prestasi di sekolah (Falafigna, dkk.,
2010;King dkk., 2011).
Lewis (2002) melakukan penelitian epidemiologi terhadap 9000 orang anak-anak
dan remaja, mendapatkan prevalensi nyeri kepala anak usia 7 tahun sekitar 37%-51%
dan prevalensi pada remaja usia 15 tahun berkisar 57%-82%.
Suatu penelitian observasional mengenai chronic daily headache (CDH) di
Kanada terhadap 70 orang remaja laki-laki dan perempuan berusia kurang dari 18
tahun mendapatkan hasil bahwa 77% peserta penelitian mengalami rekurensi nyeri
kepala sebelum berkembang menjadi CDH. Migren dan tension tipe headache (TTH)
kronik merupakan 2 jenis NKP terbanyak diderita pada penelitian tersebut (Seshia
dkk, 2008).
Penelitian mengenai nyeri kepala pada usia remaja yang dilakukan di Medan oleh
Sjahrir dan Nasution (2003) terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara mendapatkan hasil perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki
Prevalensi migren mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) di Bali
adalah 23,7%, lebih tinggi daripada prevalensi nyeri kepala pada populasi umum
(Adnyana, 2012).
Nyeri kepala primer pada remaja dapat bersifat kronik dan berkaitan dengan
keluaran yang tidak menguntungkan. Suatu studi kohort yang dilakukan terhadap 103
subyek dengan waktu pengamatan selama 8 tahun menyimpulkan bahwa remaja yang
mengalami perubahan menjadi CDH memiliki skor disabilitas lebih tinggi (Wang
dkk., 2009).
Penelitian di Denmark memberikan gambaran mengenai faktor-faktor yang
mencetuskan migren dan TTH dianta awitan umur, menstruasi, kehamilan,
penggunaan obat-obat kontrasepsi hormonal, gaya hidup yang mencakup aktivitas
fisik, merokok, konsumsi kopi, alkohol, stres mental dan pola tidur. Pada penelitian
tersebut stres mental, konsumsi alkohol dan pola tidur berkorelasi sangat signifikan
dengan timbulnya migren dan TTH. Sedangkan studi di Brazil pada 200 orang
responden yang mengalami kekambuhan migren, sekitar 81% responden memiliki
masalah tidur (Rassmusen, 1993; Fukui dkk., 2008).
Tidur merupakan salah satu kebutuhan fisiologis bagi manusia. Tidur yang tidak
adekuat dan berkualitas buruk dapat menyebabkan gangguan keseimbangan fisiologis
dan psikologis (Craven dan Hirnle, 2000).
Dampak fisiologis dan psikologis yang muncul akibat buruknya kualitas tidur
meliputi penurunan aktivitas sehari-hari, kelelahan, respon motorik terganggu,
Gangguan tidur telah lama dikaitkan dengan nyeri, termasuk nyeri kepala. Namun
demikian belum banyak penelitian yang memberikan informasi mengenai prevalensi
gangguan tidur pada penderita NKP (Houle dkk., 2012).
Sancisi dkk. (2010) melakukan penelitian kasus kontrol terhadap 105 pasien
dengan NKP episodik, mendapatkan prevalensi gangguan tidur terutama insomnia
cukup tinggi pada penderita nyeri kepala tersebut.
Beberapa penelitian telah memberikan informasi yang mendukung hubungan
antara gangguan tidur dan nyeri kepala pada populasi umum. Namun penelitian yang
memberikan informasi mengenai hubungan gangguan tidur dengan NKP pada
populasi remaja masih terbatas.
Tidur yang tidak adekuat merupakan masalah kompleks yang dialami oleh remaja.
Tidur yang tidak adekuat meliputi berkurangnya durasi tidur, kualitas dan konsistensi
tidur yang rendah. Berdasarkan penelitian mengenai kecukupan tidur pada anak dan
remaja, waktu tidur yang adekuat untuk usia remaja adalah sekitar 9-10 jam tiap
malamnya untuk mendapatkan fungsi optimal kemampuan mereka di sekolah, regulasi
mood, proses kognitif meliputi ketangkasan reaksi dan atensi, dan kesehatan secara
menyeluruh (Moran dan Everhart, 2012).
Dampak dari tidur yang tidak adekuat apabila berlangsung terus menerus dapat
menurunkan prestasi belajar dan angka kelulusan remaja di sekolah.
Berdasarkan data ujian akhir nasional dari Disdikpora pada tahun 2014,
Kabupaten Karangasem menempati peringkat kedua setelah Kabupaten Buleleng
Faktor psikososial pada pubertas merupakan stresor eksternal yang mempengaruhi
kehidupan usia remaja misalnya meningkatnya keinginan untuk mandiri, tanggung
jawab akademik dan meningkatnya aktivitas sosial pada remaja menyebabkan
pengurangan durasi tidur. Secara internal, terjadi pula perubahan biologis yang
mempengaruhi durasi tidur remaja. Keterlambatan fase sirkadian selama
perkembangan usia remaja menyebabkan memanjangnya latensi tidur remaja
(Carskadon dkk., 1998; Moran dan Everhart, 2012).
Inkonsistensi dan pengurangan durasi tidur pada remaja mengakibatkan gangguan
sosial, pekerjaan dan fungsi lain sehingga dapat digolongkan sebagai suatu Delayed
Sleep Phase Syndrome (DSPS) yang tergolong gangguan irama sirkadian menurut
International Classification of Sleep Disorder (ICSD-Revised). Akibat durasi tidur
tidak adekuat dan kualitas tidur buruk menyebabkan berbagai efek yang beragam
mulai dari kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan kesulitan untuk mempertahankan
perhatian, kapabilitas kognitif menurun khususnya untuk melakukan aktivitas yang
kompleks. Beberapa penelitian mengatakan menurunnya fungsi ekskutif terjadi pada
remaja yang lebih sering mengalami kantuk. Pembatasan durasi tidur dan buruknya
kualitas tidur yang kronik dapat berpengaruh buruk pada kesehatan remaja secara
menyeluruh selain dampaknya pada fungsi kognitif (El Gendy dkk., 2009; Moran dan
Everhart, 2012).
Nyeri kepala dan gangguan tidur sering terjadi pada usia remaja dan bisa muncul
bersamaan pada satu individu. Nyeri kepala bisa timbul saat tidur, setelah tidur dan
dikutip oleh Linawaty dkk. (2013) menunjukkan anak-anak dan remaja dengan migren
diketahui memiliki kualitas tidur yang lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak
dan remaja yang tidak menderita migren. Hubungan antara kedua fenomena ini
membuat beberapa peneliti mengajukan hipotesis peranan faktor kronobiologis pada
nyeri kepala khususnya migren. Keterlibatan hipotalamus diduga sangat berperanan
dalam hubungan keduanya. Serangan migren dapat berpola sesuai dengan perubahan
waktu sirkadian. Hal tersebut yang melandasi kemungkinan keterlibatan mekanisme
kronobiologi pada migren.
Beberapa indeks pengukuran telah digunakan untuk menilai kualitas tidur pada
berbagai kelompok populasi. Salah satu indeks pengukur kualitas tidur yang lazim
digunakan adalah The Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI) dengan pemeriksaan 7
komponen tidur yaitu latensi, durasi, kualitas, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan
tidur, penggunaan obat tidur, dan gangguan fungsi tubuh di siang hari. Instrumen ini
mengukur kualitas tidur secara subyektif dan memberikan dua keluaran yaitu kualitas
tidur baik ataupun buruk (Buysse, 1989).
Berdasarkan data yang telah disebutkan sebelumnya, maka perlunya dilakukan
suatu penelitian untuk mencari masalah kesehatan yang mungkin bisa menjadi salah
satu faktor yang berkaitan dengan menurunnya prestasi belajar remaja di daerah
Karangasem. Terlebih lagi, daerah Bali, khususnya Karangasem, belum memiliki data
mengenai masalah kesehatan pada remaja. Tingginya prevalensi nyeri kepala dan
mengenai hubungan tidur dengan nyeri kepala primer melatarbelakangi dilakukannya
penelitian ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1.2.1 Apakah terdapat korelasi antara kualitas tidur dengan NKP pada remaja?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui adanya korelasi kualitas tidur dengan NKP pada remaja
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui proporsi NKP siswa-siswi SMA Negeri 1 Amlapura
2. Mengetahui proporsi kualitas tidur siswa-siswi SMA Negeri1 Amlapura
3. Mengetahui korelasi kualitas tidur dengan NKP siswa-siswi SMA Negeri 1
Amlapura
4. Mengetahui korelasi faktor-faktor lain dengan NKP siswa-siswi SMA Negeri 1
Amlapura
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar proporsi kualitas tidur dan
NKP pada remaja serta korelasi antara keduanya sehingga dapat diketahui besarnya
1.4.2 Manfaat praktis
Dengan mengetahui adanya korelasi antara kualitas tidur dan faktor-faktor lain
dengan NKP pada remaja diharapkan dapat membantu tenaga kesehatan khususnya
dokter dalam menangani NKP yang berhubungan dengan masalah tidur dengan jalan
memberikan informasi kepada remaja mengenai pola tidur yang baik. Dalam bidang
pendidikan dapat dipakai sebagai sumber data dalam rangka meningkatkan prestasi
9
2.1 Kronobiologi dan Irama Sirkadian
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia, memiliki mekanisme jam biologis.
Irama biologis tidak hanya meliputi waktu istirahat dan waktu beraktifitas makhluk
hidup tersebut, namun kehidupan itu sendiri merupakan proses fisiologi dan ritme
biologis memainkan peranan penting dalam proses tersebut (Bohm, 2012).
Kronobiologi menjelaskan mengenai ritme biologi dan meliputi irama atau siklus
tahunan, siklus lunar atau 29,5 hari, harian, ataupun siklus yang berulang di bawah 24
jam. Tubuh manusia memiliki kemampuan internal mengukur waktu dalam tubuh.
Sistem sirkadian ini terorganisasi secara pola hirarki dan pacemaker sentral yang
mensinkronisasi osilator sirkadian seluler pada badan-badan sel paling perifer. Jam
biologis ini meliputi pengaturan irama fungsi-fungsi tubuh seperti tekanan darah,
kadar hormonal, temperatur tubuh, dan tentu saja siklus bangun tidur. Osilator
sirkadian terdiri dari kurang lebih 20.000 neuron-neuron jam biologis/clock neurons
yang terletak di suprachiasmatic nucleus (SCN) daerah ventrolateral. Nukleus ini
merupakan “master clock” dalam tubuh manusia yang berlokasi secara bilateral di bagian anterior hipotalamus, di atas kiasma optikum. Bila terjadi kerusakan pada SCN
maka irama sirkadian bangun tidur menjadi tidak teratur lagi (Mahdi dkk, 2011;
Bohm, 2012).
Selain berfungsi sebagai pengatur fungsi-fungsi fisiologis, SCN juga berperanan
terhadap “zeitgeber” utama, yaitu matahari, yang silih berganti dengan keadaan gelap. Setiap manusia memiliki waktu tersendiri dimana waktu sirkadian endogen mengalami
sinkronisasi dengan waktu harian yaitu selama 24 jam. Hal ini disebut sebagai
kronotipe dan dipengaruhi oleh faktor genetik serta keadaan karakteristik individu,
misalnya umur dan jenis kelamin. Penting untuk diketahui bahwa kronotipe
masing-masing individu menentukan durasi tidur seseorang, sehingga sering didapati orang
dengan waktu tidur lama atau sebaliknya. Siklus gelap terang, irama biologis tubuh,
dan lingkungan sangat berpengaruh terhadap kronotipe seseorang (Bohm, 2012).
Fungsi sistem waktu sirkadian adalah untuk mengkoordinasikan mekanisme
humoral, fisiologis, dan tingkah laku tidur-bangun. Regulasi ini dimodulasi oleh 2
faktor yang saling bertolak belakang, yaitu : (1) drive homeostatik untuk tidur yang
meningkatkan kecenderungan untuk mengantuk dan (2) irama sirkadian yang
mempromosikan status terjaga (wakefulness). Faktor sirkadian berarti variasi fisiologis
dalam hal tidur-bangun (waktu, durasi, dan karakteristik lain) menurut siklus tertentu
seharian. Pada pagi hari setelah bangun pagi, drive homeostatik untuk tidur, secara
nyata menjadi sangat rendah bahkan nol, keluaran SCN rendah seperti yang terlihat
dalam rekaman intracerebral firing rate. Drive homeostatik secara gradual meningkat
sepanjang hari dan perkembangannya dihambat oleh meningkatnya output SCN. Saat
pagi, drive homeostatik yang mulai menurun dibatasi oleh pengaruh circadian arousal
yang menyebabkan kita terbangun. Terdapat dua periode yang sangat rentan untuk
mengantuk yaitu jam 2 dini hari hingga jam 6 pagi dan jam 2 siang hingga jam 6 sore.
Cahaya mempengaruhi tubuh untuk memproduksi berbagai substansi yang erat
kaitannya dengan dengan pola sirkadian tubuh seperti misalnya kortisol, serotonin,
dan terutama melatonin. Kortisol adalah hormon penanda stres yang produksinya
mengikuti irama sirkadian. Kortisol meningkat saat pagi hari dan menurun di malam
hari. Namun dengan adanya perubahan fungsi aksis hypothalamus-pituitary-adrenal
(HPA) berpengaruh terhadap produksi kortisol. Pada beberapa keadaan gangguan
aksis HPA, misalnya fibromialgia produksi kortisol diurnal cenderung tidak
mengalami peningkatan namun terjadi lonjakan kadar kortisol pada malam harinya.
Sedangkan pada sleep deprivation (SD) juga terjadi perubahan kadar kortisol. Kadar
kortisol meningkat secara perlahan sepanjang paruh kedua tidur dengan kenaikan
tajam sebelum waktu bangun fisiologis (Mahdi dkk, 2011, Bohm, 2012).
Beberapa sitokin dihasilkan secara konsisten mengikuti irama diurnal dengan
kadar puncak sepanjang malam terutama saat dini hari, saat dimana kadar kortisol
terendah dan melatonin dalam kadar tertinggi. Interleukin (IL)-6 merupakan sitokin
proinflamasi yang kadarnya meningkat pada orang-orang dengan kualitas tidur yang
buruk. Kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan aktivitas inflamasi melalui
reaktivasi stres. Gangguan fungsi aksis HPA menyebabkan peningkatann kadar IL-6.
Sleep deprivation yang terjadi selama 36 jam meningkatkan kadar IL-6. Peningkatan
kadar sitokin ini diduga berhubungan dengan kondisi mengantuk dan kelelahan setelah
SD (Mahdi dkk, 2011; Prather dkk., 2014).
Produksi melatonin biasanya terjadi di malam hari (secara subyektif). Produksi
histamin dan oreksin, dua substansi yang meningkatkan kewaspadaan. Melatonin
merupakan mediator antara stimulus cahaya eksternal dengan adaptasi fisilogis tubuh
sepanjang siang dan malam dan memfasilitasi kecenderungan untuk tidur yang
meningkat saat malam dan menurun di kala siang hari (Mahdi dkk, 2011).
Kronotipe remaja adalah cenderung terlambat untuk memulai tidur. Remaja yang
berumur 12 tahunan, yang memulai awitan akil balik, mulai mengalami keterlambatan
fase tidur dan akan mencapai puncak keterlambatan saat berumur 20 tahun.
Roennerberg dan Kuehnle (2004) memperkirakan perubahan irama internal ini sebagai
suatu “marker biologis pertama yang menunjukkan akhir fase remaja”. Remaja perempuan cenderung mengalami puncak keterlambatan tidur saat berusia sekitar 19,
5 tahun, sedangkan remaja laki-laki saat umur 20, 9 tahun. Keterlambaan fase tidur
laki-laki dibandng wanita akan berlangsung hingga umur 50 tahunan.
2.2 Arsitektur, Anatomi dan Fisiologi Tidur
2.2.1 Arsitektur tidur
Tidur merupakan proses aktif, repetitif, dan reversibel yang dibutuhkan oleh
berbagai fungsi seperti misalnya untuk perbaikan dan pertumbuhan, konsolidasi
memori, dan proses restoratif. Proses tingkah laku (behavioral), fisiologi, dan
neurokognitif terlibat dalam tidur, seperti halnya pula fungsi imunologis (Curcio dkk,
2006; Lange dan Born, 2011).
Pada saat tidur terdapat pergeseran antara keseimbangan sintesis dan degradasi
di seluruh tubuh, dan sintesis adenosin triphosphate (ATP) mencapai tingkat yang
lebih tinggi pada saat tidur (Lumbantobing, 2008).
Mitosis sel aktif, termasuk ginjal, usus, dan kulit terjadi secara aktif saat tidur.
Hormon anabolik (hormon pertumbuhan, kortikosteroid, gonadotropin) lebih banyak
dijumpai saat tidur (Lumbantobing, 2008).
Berdasarkan tiga rekaman fisiologis yang dilakukan sewaktu tidur, yaitu
elektroensefalografi (EEG), elektrookulografi (EOG), dan elektromiografi (EMG),
tidur dibagi menjadi 2 tahapan nyata yang berlangsung sesuai dengan pola siklus,
yaitu :
1. Tidur Non- Rapid Eye Movement (REM), dibagi menjadi 4 stadium, yaitu :
- Tingkat 1 (tidur ringan)
- Tingkat 2 (tidur terkonsolidasi)
- Tingkat 3 dan 4 (tidur dalam atau tidur gelombang lambat)
2. Tidur REM
Siklus akan berulang sebanyak 4-6 kali tiap tidur secara normal pada orang
dewasa, dan setiap siklus berlangsung sekitar 90-110 menit (Lumbantobing, 2008;
Chokroverty, 2010).
Pada manusia dewasa sepertiga bagian awal tidur didominasi oleh tidur
gelombang lambat atau slow wave sleep (SWS) sedangkan sepertiga bagian akhir tidur
didominasi oleh tidur REM. Tidur NREM berlangsung sekitar 75%-80 % dari setiap
waktu tidur pada orang dewasa dan dibagi menjadi 4 stadium, stadium 1-4 sesuai
berdasarkan rekaman EEG, stadium tidur dibagi menjadi 3, yaitu N1, N2 dan N3.
Waktu tidur REM berkisar antara 20%-25% dari total waktu tidur keseluruhan.
Petanda spesifik tidur REM adalah adanya gerakan mata cepat ke segala arah dan
ketiadaan aktivitas otot yang dapat direkam oleh EMG (Chokroverty, 2010).
Tabel 2.1 berikut ini menunjukkan kriteria spesifik tingkah laku dan fisiologi
yang terjadi sepanjang fase terjaga, tidur NREM, dan REM.
Tabel 2.1
Kriteria tingah laku dan fisiologi fase bangun tidur (Chokroverty, 2010)
Kriteria Fase bangun Tidur NREM Tidur REM
Postur
2.2.2 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur
Temuan-temuan genetik terbaru mengindikasikan bahwa mekanisme
molekulerlah yang mengontrol irama sirkadian dan mengatur stadium tidur
terkonservasi secara filogenetik. Gangguan tidur dalam jangka lama mempengaruhi
manusia, instruksi genet
genetik yang lebih tingg
neuronal subkortikal yan
yang dijelaskan oleh gamba
Gambar 2.1 Substrat a
Hobson, 2002
Jam sirkadian molekul
yang berlokasi secara bil
tersebut mengandung meka terhadap siklus siang mala
Setelah demikian lam
bangun-tidur, ternyata me
netik diekspresikan secara progresif pada leve
nggi, sintesis protein, dan hubungan dinamis
ang terlibat dalam membentuk substrat anatomi
mbar dibawah ini (Pace-Schott dan Hobson, 2002
t anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur (Pac on, 2002).
olekuler secara genetik diekspresikan oleh 20.000
bilateral di hipotalamus, tepat di atas kiasma opt
ekanisme “master clock” yang mengatur ritme fis alam selama 24 jam (Pace-Schott dan Hobson, 2002
lama ditemukannya sirkadian spesifik dan mekani
mekanisme irama biologis juga melibatkan strukt
evel transkripsi
is antar bagian
omi tidur seperti
selain SCN yang berlokasi dekat dengan nukleus tersebut. Struktur tersebut antara lain
nukleus paraventrikular pada subparaventrikular zone (SPZ), daerah hipotalamus yang
menerima sejumlah besar proyeksi dari SCN, dan nukleus dorsomedial hypothalamic
(DMH) yang menerima proyeksi dari SPZ (Pace-Schott dan Hobson, 2002).
Substrat neuanatomi tidur dan fisiologi bangun tidur terdiri dari mekanisme
kompleks yaitu jalur aktivasi dan inhibisi yang bersifat umpan balik antara berbagai
pusat yang terletak di rostral batang otak dan korteks seperti yang dijelaskan pada
gambar 2.2 di bawah. Mekanisme bangun tidur dimediasi oleh ascending reticular
activating system (ARAS) dan jalur inhibisinya yang berproyeksi melalui
nukleus-nukleus formasio retikularis batang otak dan rostral batang otak ke talamus dan basal
forebrain (BF). Terdapat dua jalur proyeksi yang terlibat dalam mekanisme tersebut.
Jalur pertama melalui bagian dorsal, yaitu neuron-neuron kolinergik pedunculopontine
tegmental atau lateral dorsal tegmental (PPT/LDT) yang mengeksitasi neuron-neuron
retikular dan talamokortikal. Jalur kedua adalah melalui bagian ventral yang meliputi
hipotalamus dan BF. Proyeksi jalur tersebut bermula dari nukleus locus coeruleus
(LC) yang bersifat noradrenergik, nukleus rafe dorsalis yang bersifat serotonergik,
nukleus di daerah ventral periaquductal greymatter (PAG) yang bersifat
dopaminergik, tuberomamillary nucleus (TMN) yang bersifat histaminergik, serta
hipotalamus bagian lateral yang menghasilkan oreksin dan melanin-concentrating
hormone. Kelompok neuron-neuron tersebut lebih aktif saat fase bangun dibandingkan
Ventrolateral preoptic nucleus (VLPO) diperkirakan berperanan dalam sirkuit
inhibisi ARAS. Mekanisme inhibisi oleh nukleus preoptik dan aktivasi oleh ARAS
disebut “flip-flop switch design”. Sistem ini secara indirek distabilisasi oleh neuron-neuron oreksin dan neuron-neuron yang mengandung melanin-concentrating hormone di
daerah lateral hipotalamus, yang mencegah mekanisme aktivasi/inhibisi secara
spontan, seperti halnya pada kondisi narkolepsi. Neuron-neuron VLPO yang aktif saat
tidur tersebut menghasilkan neurotransmiter inhibisi gamma-aminobutyric acid
(GABA) dan galanin (gambar 2.2 B) (Saper dkk., 2005, Fuller dkk., 2006).
Gambar 2.2 Sirkuit bangun-tidur; (A) ARAS yang terdiri dari jalur dorsal dan ventral, (B) jalur inhibisi terhadap sirkuit ARAS (Fuller dkk., 2006)
Lesi eksitotoksik pada SPZ menyebabkan gangguan irama sirkadian tidur,
aktivitas lokomotor dan temperatur tubuh. Proyeksi SPZ adalah pada VLPO yang
berperan dalam regulasi tidur NREM. Target proyeksi SPZ yang lain adalah DMH
VLPO. Lesi pada daerah DMH menyebabkan penurunan amplitudo sirkadian dan
temperatur tubuh pada binatang coba. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa terdapat
hubungan daerah tersebut dengan SCN. Terdapat aliran impuls transinaptik retrograd
yang menunjukkan adanya proyeksi indirek dari SCN melalui DMH. Proyeksi ini
kemudian diteruskan ke nukleus VLPO di hipotalamus kemudian ke nukleus
noradrenergik di LC. Oreksin meningkat pada aktivitas LC (Pace-Schott dan Hobson,
2002).
Gambar 2.3 dan 2.4 di bawah ini menunjukkan skema sirkadian manusia saat
siang dan malam dan jalur yang terlibat dalam pengontrolan bangun-tidur mulai dari
retina ke hipotalamus (traktus retinohipotalamus).
Gambar 2.3 Skema sirkadian manusia (Culebras dkk., 2007)
Serat-serat saraf retinal postgalionik membentuk traktus retinohipotalamik menuju
pineal. Sistem neuronal di
oleh cahaya (Culebras dkk., 2007
Gambar 2.4 Jalur
(Shne
Impuls lainnya dari
superior, dan SPZ. Nukle
ini dipengaruhi oleh mel
tidur (Shneerson, 2005).
ri sel ganglion retina mencapai daerah pretektu
Nukleus kolinergik PPT atau LDT juga berproyeksi ke
elatonin yang menginhibisi aktivitas SCN dan m
).
α -1 dan β -1 adrenergik di badan pineal m
adhenosin monophosphat (c-AMP) dan kalsium serta
ltransferase yang mengawali sintesis dan produk
melatonin dikontrol oleh “master pacemaker” e
bar 2.3 juga menjelaskan hubungan temporal ant
elatonin dalam periode 24 jam (Culebras dkk., 2007
Substrat neuroanatomi tidur REM dan NREM berlokasi pada bagian susunan saraf
pusat yang berbeda. Tidak ada pemisahan antara keduanya dengan pusat pengaturan
bangun tidur, namun kedua fase tidur ini dihasilkan oleh perubahan pada sistem
interkoneksi neuronal yang dimodulasi oleh neurotransmiter dan neuromodulator.
Substrat neuroanatomi tidur REM diperkirakan adalah pada area kecil di tegmentum
pontin dorsolateral yaitu sublaterodorsal (SLD) yang berhubungan dengan dorsal
subcoeruleus atau perilocus coeruleus alpha. Selama tidur NREM dan fase terjaga,
neuron pada SLD akan diinhibisi (hiperpolarisasi) oleh input GABA-ergik dari neuron
REM-off GABA-ergik REM yang berlokasi di SLD, mesensefalon dan nukleus
retikularis pontin, serta ventrolateral periaquaductal graymatter (VLPAG) seperti
halnya dengan neuron REM-off monoaminergik. Neuron-neuron GABA-ergik dan
glutaminergik memainkan peranan penting dalam tidur REM. Neuron GABA-ergik
bertanggung jawab terhadap inaktivasi neuron monoaminergik selama tidur REM.
Neuron kolinergik tidak memainkan peranan dalam aktivasi REM (Chokroverty,
2010).
2.3 Gangguan Tidur pada Remaja
2.3.1 Prevalensi dan insidensi gangguan tidur pada remaja
Fase remaja adalah fase tumbuh kembang dengan karakteristik terdapat perubahan
penting dalam fungsi kognitif, perilaku, sosial, dan emosional sesuai perkembangan
biologis, serta adanya fungsi dan tuntutan baru dalam lingkungan keluarga maupun
sosial. Pada remaja terdapat perubahan dramatis dalam pola tidur-bangun meliputi
dan akhir pekan sehingga kualitas tidur remaja juga cenderung berkurang (Mindell dan
Owens, 2003).
Dalam beberapa dekade terakhir, penelitian epidemiologi mengungkapkan bahwa
jumlah remaja yang mengalami gangguan tidur semakin meningkat. Ohida dkk.,
(2004) menunjukkan prevalensi gangguan tidur pada siswa sekolah menengah
bervariasi yaitu 15,3%-39,2%. Sedangkan menurut hasil penelitian Bruni dkk., (1996),
prevalensi gangguan tidur pada remaja adalah 73,4%.
Uji tapis gangguan tidur pada anak dilakukan oleh Haryono dkk., (2009) pada
remaja usia 12-15 tahun di Jakarta Timur mendapatkan hasil prevalensi gangguan
tidur sebesar 62,9% dengan jenis gangguan berupa gangguan transisi tidur-bangun.
Suatu analisis terhadap 28 studi epidemiologi memberikan data bahwa insomnia
berhubungan dengan gangguan psikologis yang menjadi faktor risiko untuk terjadinya
depresi, gangguan cemas, alkohol, dan penyalahgunaan obat, penurunan imunitas
tubuh, serta percobaan bunuh diri. Gangguan tidur bahkan disebutkan merupakan
faktor risiko penyakit kardiovaskuler (Leger dkk., 2008).
Gangguan tidur pada remaja dapat berupa kurangnya durasi, kualitas, dan
kuantitas tidur. Terdapat kesepakatan antara peneliti mengenai kebutuhan tidur remaja
yaitu kurang lebih 9-10 jam setiap malam agar tercapai fungsi biologis tubuh yang
optimal seperti misalnya regulasi mood dan fungsi kognitif yang baik. Menurut suatu
survei nasional mengenai pola tidur remaja di Amerika serikat, ternyata hanya 20%
remaja berumur 11-17 tahun yang memenuhi kebutuhan tidur malam selama 9 jam
Suatu penelitian epidemiologi skala besar yang dilakukan di Eropa menunjukkan
bahwa 30% remaja berumur 15-18 tahun mengeluhkan setidaknya satu keluhan
gangguan tidur. Hampir 20% mengeluh mengantuk sepanjang siang hari (daytime
sleepiness), 13,8% mengalami tidur non restoratif, 12,4% mengeluh sulit untuk jatuh
tertidur, sedangkan 9,25% mengeluh kesulitan mempertahankan tidur (Moran dan
Everhart, 2012).
Studi epidemiologi memperkirakan bahwa 14%-33% remaja mengalami masalah
tidur, 10%-40% siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) mengalami SD sesaat dan SD
skala menengah (Liu dkk., 2008).
Kebiasaan tidur erat kaitannya dengan transmisi genetik. Penelitian mengenai
berbagai aspek tidur yang dilakukan pada populasi anak kembar, memberikan hasil
yang menarik. Heritabilitasnya diperkirakan 20%-57% dalam aspek waktu mulai tidur
malam, durasi tidur, kualitas tidur secara menyeluruh, dan parameter tidur
polisomnografi. Kontribusi genetik diperkirakan sekitar 40%-70% (Liu dkk., 2008).
2.3.2 Pola dan kualitas tidur remaja
Masa remaja ditandai dengan adanya perubahan biologis, kognitif dan emosional.
Perubahan waktu tidur yang nyata misalnya, tidur malam terlambat, bangun terlalu
cepat, pola tidur yang tidak teratur, insufisiensi tidur, dan mengantuk di siang hari.
Remaja juga rentan terhadap gangguan tidur seperti insomnia, excessive daytime
sleepiness (EDS), dan gangguan irama sirkadian (Liu dkk., 2008).
Remaja (usia 12-17 tahun) sangat rentan mengalami gangguan tidur yang pada
dalam menentukan pola tidur remaja. Fase pubertas yang dialami remaja secara
biologis akan menyebabkan perubahan fase sirkadian mereka yang cenderung akan
menjadi lebih lambat dalam hal keterlambatan waktu tidur dan onset bangun. Secara
fisiologis remaja memang mengalami kesulitan untuk tidur lebih awal. Beberapa
faktor ekternal seperti kebiasaan minum kopi, penggunaan alat elektronik pada saat
malam hari membuat keterlambatan fase tidur lebih parah. Demikin pula dengan
kegiatan sosial remaja di sekolah yang membutuhkan waktu bangun lebih cepat
menyebabkan kecenderungan remaja untuk mengantuk pada siang harinya lebih besar
(Lund dkk., 2010).
Perkembangan tidur pada remaja tidak terlalu pesat jika dibandingkan pada
anak-anak. Perubahan pola tidur pada remaja disebabkan oleh perubahan hormonal dan
pergeseran irama sirkadian. Rerata durasi tidur harian menurun dari 11 jam di usia 6
tahun menjadi 10 jam di usia 9 tahun dan sekitar 8-9 jam saat usia 16 tahun. Maturasi
arsitektur tidur ditandai dengan penurunan secara bertahap proporsi tidur dalam
non-REM dan sebagai kompensasi adalah meningkatnya proporsi stadium tidur ringan
non-REM. Kantuk di siang hari yang dialami remaja dapat diukur dengan multiple
sleep latency test (MSLT). Hasilnya adalah meningkatnya nilai MLST yang
mencerminkan adanya efek berkurangnya durasi tidur secara relatif terhadap kebuuhan
tidur remaja. Terlebih lagi, kebanyakan remaja sehat menunjukkan tendensi
keterlambatan fase sirkadian, yaitu waktu tidur malam mengalami keterlambatan
Lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap perubahan pola tidur remaja. Para
remaja mulai bisa memutuskan sendiri mengenai jadwal tidurnya sendiri yang
menyebabkan terjadinya pola tidur yang tidak teratur dan insufisiensi tidur kronik.
Penggunaan komputer atau internet, game video, telepon, lazim digunakan oleh
remaja mengganggu waktu tidur dan meningkatkan risiko mengantuk pada saat siang
hari. Paparan media elektronik seperti televisi (3 jam per hari), penggunaan fasilitas
internet (2,5 jam per hari) akan meningkatkan risiko lateni tidur dan mengurangi
waktu tidur anak dan remaja (Hoban, 2010;Schochat dkk., 2010).
Pola tidur remaja dipengaruhi pula dengan sangat kuat oleh keterlambatan fase
tidur sirkadian secara alami. Seseorang didiagnosis mengalami gangguan irama
sirkadian terutama tipe delayed sleep phase (DSP) apabila tendensi ini mengakibatkan
gangguan memulai tidur dan bangun pada saat yang tepat. Kebiasaan untuk tidur larut
malam dan bangun terlambat saat waktu libur sekolah menyebabkan kecenderungan
terjadinya DSP (Hoban, 2010).
Kualitas tidur merupakan gambaran secara subyektif yang menjelaskan tentang
kemampuan untuk mempertahankan waktu tidur serta tidak adanya gangguan yang
dialami selama periode tidur. Komponen-komponen yang kualitas tidur dapat diukur
secara obyektif dengan polisomnografi, sedangkan pengukuran kualitas tidur secara
subyektif dapat dilakukan dengan beberapa kuesioner misalnya dengan menggunakan
PSQI (Pilcher dkk., 1997).
Kualitas tidur meliputi beberapa aspek kebiasaan tidur seseorang, termasuk
tidur berkorelasi dengan perasaan cemas, depresi, marah, kelelahan, kebingungan,
mengantuk di siang hari, dan kekecewaan menyeluruh terhadap kehidupan. Kualitas
tidur yang diukur melalui instrumen PSQI berkorelasi dengan kualitas hidup
dibandingkan dengan kuantitas tidur semata (Pilcher dkk., 1997).
Menurut Grose dan Engelke, seperti dikutip oleh Arifin (2011), SD merupakan
gangguan tidur atau keadaan tidur dengan jumlah waktu normal tapi kualitas tidur
tidak adekuat yang ditandai dengan tidur sering terbangun.
Gangguan ini dapat mempengaruhi aktifitas fungsi sistem saraf pusat yang selama
periode tidur. Dampak dari SD dapat bersifat individual. Gangguan yang berlangsung
dalam waktu lama dapat mempengaruhi respon emosional, kemampuan kognitif, daya
ingat, perhatian, pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan (Dinges dkk.,
2011).
Bila SD terjadi dalam 60-200 jam, manusia akan tambah mengantuk, lelah, lekas
marah, sulit berkonsentrasi, berkurangnya kemampuan aktivitas motorik terutama
yang membutuhkan kecepatan. Ekskresi katekolamin sebagai hormon katabolik
meningkat karena SD. Keseimbangan nitrogen yang negatif berarti bahwa kekurangan
tidur menyebabkan hilangnya protein atau pergeseran ke arah katabolisme
(Lumbantobing, 2008).
Tanda dan gejala neurologi yang dapat tercapai bila SD terjadi secara persisten
adalah adanya nistagmus ringan, gangguan gerak bola mata sakadik, gangguan
akomodasi, tremor di tangan, ptosis, wajah tanpa ekspresi, bicara pelo, pengucapan
Sleep deprivation memberikan konsekuensi berat terhadap perkembangan fisik
dan mental remaja. Suatu penelitian berbasis populasi dilakukan terhadap anak
sekolah yang tergolong remaja (usia 11-17) tahun menilai kualitas tidur dan
faktor-faktor prediktor gangguan tidur pada remaja menggunakan beberapa parameter yaitu
PSQI dan Epworth Sleepness Scale (ESS) dan lain-lain. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan hubungan yang kuat antara restriksi tidur kronik dengan kecemasan,
depresi, kelelahan, dan nyeri somatik. Penelitan tersebut menyebutkan bahwa rerata
waktu tidur anak sekolah adalah sekitar 7,02 jam. Hanya 29,4% dari responden
penelitian yang tidur lebih dari 8 jam dalam sehari. Kualitas tidur yang buruk (skor
PSQI ≥8) berhubungan signifikan dengan peningkatan mood negatif (kemarahan,
kecemasan, depresi, kelelahan, dan ketegangan). Responden dengan kualitas tidur
buruk juga berkorelasi signifikan dengan penyakit fisik. Faktor-faktor predisposisi
kualitas tidur yang buruk pada remaja yang ditunjukkan oleh penelitian tersebut antara
lain mood (ketegangan dan stres), konsumsi alkohol dan kopi, keteraturan jadwal
tidur,dan paparan alat-alat elektronik seperti telepon, televisi, dan komputer atau
internet (Lund dkk., 2010; Dinges dkk., 2011; Moran dan Everhart, 2012).
Stres merupakan faktor predisposisi yang paling signifikan mempengaruhi
kualitas tidur remaja. Terdapat beberapa alasan mengenai hal tersebut. Pertama, gaya
hidup remaja merupakan faktor presipitasi yang meningkatkan tekanan pada mental
remaja. Kedua, adanya perubahan karena maturasi neuroendokrin. Perkembangan
aksis HPA saat remaja menyebabkan sekresi kortisol sepanjang waktu tidur
seperti halnya peningkatan perasaan negatif seperti kecemasan dan depresi pada
remaja. Ketiga, remaja belum memiliki strategi “coping” untuk mengelola kejadian-kejadian pemicu stres (Lund dkk., 2010; Moran dan Everhart, 2012).
Gangguan tidur irama sirkadian tipe DSP merupakan tipe gangguan tidur yang
paling sering dialami oleh remaja. Gejala sindroma DSP adalah adanya keterlambatan
waktu tidur sebanyak 2 jam atau lebih dari waktu tidur yang diinginkan dan adanya
pertentangan dengan aktivitas harian remaja (sekolah, pekerjaan, jadwal aktivitas
lain). Gejala klinis sindrom DSP yang paling utama adalah adanya keluhan terbangun
terlalu dini yaitu sekitar pukul 3 atau 4 dini hari dan kemudian sangat sulit untuk
bangun saat pagi hari. Keluhan kesulitan tidur sebelum tengah malam dan amat sulit
bangun sebelum pukul 10 di pagi hari juga sering dialami. Hal ini terjadi akibat waktu
tidur remaja yang tidak konsisten dengan waktu biologis internalnya. Sindrom DSP
merupakan gangguan multi komponen yang dipengaruhi oleh faktor genetik, biologis,
dan psikososial (Mindell dan Meltzer, 2008).
Stadium tidur yang mengalami perubahan sesuai umur adalah stadium SWS.
Stadium tidur ini maksimal pada usia kanak-kanak dan menurun sekitar 40% saat
dekade kedua dalam kehidupan. Remaja umur 11-17 tahun mengalami penurunan
gelombang delta dan theta pada stadium tidurnya dan secara simultan tidur stadium 2
meningkat. Penurunan gelombang EEG pada seluruh stadium tidur terjadi secara
signifikan. Perubahan pola ini diperkirakan disebabkan oleh reorganisasi atau maturasi
Keterbatasan data dan penelitian mengenai DSP menyebabkan prevalensi
sindroma DSP tidak diketahui secara pasti namun diperkirakan antara 7%-16% pada
populasi remaja (Tikotzky dan Sadeh, 2012).
Remaja dengan sindroma DSP akan mengalami SD secara kronik dan akan
mengalami “mabuk tidur” pada pagi hari yang ditandai dengan kesulitan untuk bangun secara ekstrem dan kebingungan. Sekresi melatonin yang terlambat pada fase ini
merupakan salah satu faktor yang ditengarai mendasari sindroma ini disamping
adanya disregulasi sistem waktu sirkadian endogen dengan lingkungan. Remaja
dengan DSP gagal mensinkronisasikan waktu sirkadian internal karena penurunan
sensitivitas terhadap siklus gelap terang (Tikotzky dan Sadeh, 2012).
Gangguan tidur yang dialami remaja selain DSP adalah insomnia. Menurut
Diagnostic and Statistical Manual (DSM)-V seperti yang dikutip oleh Tikotzky dan
Sadeh (2012), insomnia ditandai dengan adanya kesulitan memulai tidur,
mempertahankan tidur, atau tidur nonrestoratif yang berlangsung setidaknya satu
bulan dan menyebabkan gangguan harian dan distres klinik yang signifikan. Suatu
penelitian berbasis populasi menyatakan bahwa sebanyak sekitar 10,7% remaja usia
13-16 tahun pernah mengalami insomnia sepanjang hidupnya dan 9,4% sedang
mengalami insomnia. Insomnia juga disebutkan sebagai faktor paling prominen dari
kualitas tidur yang buruk. Selain faktor genetik, faktor psikososial remaja juga
Berbagai gangguan tidur pada remaja seperti sindroma DSP, insomnia, dan
sleep-related breathing disorder berkorelasi kuat dengan timbulnya nyeri kepala saat pagi
hari (Calhoun dan Ford, 2007).
2.4 Hubungan NKP dengan Gangguan Tidur
2.4.1 Faktor-faktor pencetus dan prevalensi NKP pada remaja
Nyeri kepala adalah suatu rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada daerah
kepala termasuk meliputi daerah wajah, tengkuk dan leher (PERDOSSI, 2013).
Beberapa bentuk nyeri kepala yang digolongkan sebagai NKP adalah migren
(umum dan aura), TTH, nyeri kepala klaster (NKK), dan yang tergolong NKP lainnya
(PERDOSSI, 2013):
Beberapa mekanisme diajukan sebagai dasar patofisiologi migren kronik meliputi
inflamasi neurogenik kronik, sensitisasi sentral, defek pada modulasi nyeri sentral,
disfungsi hipotalamus dan kombinasi keempat mekanisme tersebut (Gilman dkk.,
2007).
Insiden NKP meningkat dan mencapai puncak di usia 13 tahun pada kedua jenis
kelamin. Pada penelitian berbasis populasi pada remaja umur 11-12 tahun, lebih dari
90% mengalami keluhan NKP jenis apapun dalam setahun (Gilman dkk., 2007).
Nyeri kepala merupakan keluhan yang paling sering dialami pada populasi umum,
demkian pula pada anak dan remaja. Prevalensi nyeri kepala pada populasi usia
sekolah berdasarkan 50 penelitian berbasis populasi di Amerika dan Eropa bahwa
sekitar 58,7% anak sekolah mengalami nyeri kepala dalam satu bulan. Terdapat
sampai 17 tahun yaitu 45,2%-78,7%. Nyeri kepala primer yang dialami oleh remaja
tidak menunjukkan (Straube dkk., 2013).
Prevalensi migren pada mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES)
Bali adalah 23,7%, lebih tinggi daripada prevalensi nyeri kepala yang didapat pada
populasi umum (Adnyana, 2012).
Berbagai laporan mengenai faktor predisposisi timbulnya NKP yaitu stres,
kecemasan, kelelahan, menstruasi, gangguan tidur, relaksasi setelah stres, melewatkan
waktu makan, perubahan cuaca, kelembaban yang tinggi, ketinggian, paparan sinar
yang berkedip atau cahaya yang benderang, suara yang keras, aroma minyak wangi
dan bahan kimia, perubahan postural, aktivitas fisik, batuk, faktor makanan (coklat,
keju, minuman beralkohol khususnya anggur merah, jeruk, makanan yang
mengandung monosodium glutamat, nitrat atau aspartat), pemakaian dan efek putus
obat kokain (Silberstein, 2002; Fragoso, 2003).
Menurut Kutlu dkk. (2010) yang meneliti faktor-faktor pencetus NKP terutama
migren di Turki, terdapat berbagai faktor lain sebagai pencetus. Faktor stres
psikologis, suara, gangguan tidur dan kelelahan merupakan kontributor pencetus NKP
yang paling umum.
Tidur merupakan faktor pencetus yang unik karena di satu sisi kekurangan tidur
dapat memprovokasi nyeri kepala, di sisi lain tidur dapat meredakan nyeri kepala.
Kualitas tidur yang menurun berhubungan langsung dengan timbulnya serangan
migren dan seringkali tidak dapat dijelaskan secara eksklusif oleh komorbiditasnya
hari yang terjadi secara kronik dan pola timbulnya nyeri kepala saat pagi hari
merupakan hal yang mendasari pemikiran bahwa gangguan tidur memicu timbulnya
nyeri kepala. Hipotalamus sebagai pusat otonom mengatur homeostatik tubuh dan
mengontrol nyeri. Hipotalamus dan area pada batang otak yang terkoneksi secara
anatomi bertanggung jawab terhadap gejala kronobiologi pada beberapa jenis nyeri
kepala primer. Pada penelitian di Turki ini, gangguan tidur merupakan faktor pemicu
NKP tersering yang ketiga setelah stres psikologis dan faktor lingkungan (Alstadhaug,
2006).
Tabel berikut ini mengklasifikasikan faktor-faktor pencetus timbulnya NKP.
Tabel 2.2
Faktor-faktor yang mencetuskan NKP (Silberstein, 2002)
Faktor-faktor pencetus nyeri kepala primer
1. Faktor internal :
- Perubahan pola atau kebiasaan (misalnya pola makan, kebiasaan kerja)
- Perubahan postural - Aktivitas fisik - Batuk
2. Faktor eksternal :
- Makanan (coklat, keju, jeruk, alkohol) dan rokok - Perubahan cuaca
- Kelembaban yang tinggi - Ketinggian
- Paparan cahaya yang berkedip dan benderang - Suara keras
Beberapa teori telah dikemukakan para ahli untuk menjelaskan patofisiologi nyeri
kepala primer khususnya migren. Demkian pula perubahan NKP episodik yang
bertransformasi menjadi NKP kronik. Adapun mekanisme yang diperkirakan
mendasari proses ini yakni inflamasi neurogenik kronik, sensitisasi sentral, gangguan
modulasi nyeri sentral, disfungsi hipotalamus, dan kombinasi seluruh mekanisme
tersebut (Peres dkk., 2001).
Keterlibatan hipotalamus dalam patofisiologi NKK telah diketahui sejak lama.
Hipotalamus diperkirakan pula memiliki peranan dalam terjadinya NKP lainnya
seperti migren terutama dalam bentuk migren kronik. Beberapa jalur dan sistem
seperti jalur hipotalamik-tuberoinfundibular (prolaktin dan hormon pertumbuhan),
aksis HPA yang memproduksi kortisol, dan peranan badan pineal dalam patofisiologi
migren (Peres dkk., 2001).
Secara umum struktur neuroanatomi yang terlibat dalam patofisiologi NKP dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.3
Struktur anatomi yang terlibat dalam nyeri kepala (Silberstein dkk., 2002)
Orde Struktur Keterangan
Pertama Ganglion trigeminalis Berlokasi di fossa cranii
media spinalis servikalis (lamina I/II)
Ketiga Talamus Kompleks ventrobasal dan
nukleus medialis
Selama serangan migren, serabut saraf sensoris melepaskan peptida-peptida yang
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Serabut
saraf yang berasal dari ganglion trigeminovaskular mengandung substansi P,
calcitonin gene-related peptide (CGRP), neurokinin A, yang diproduksi apabila sistem
trigeminovaskular distimulasi. (Silberstein dkk, 2002).
Peptida-peptida ini bertanggung jawab terhadap suatu respon inflamasi steril pada
duramater dan menyebabkan sensitisasi pada serabut saraf sensoris terhadap stimulus
non noksius terdahulu (misalnya pulsasi pembuluh darah, atau perubahan tekanan
vena). Sensitisasi tersebut bermanifestasi sebagai peningkatan mekanosensitivitas
intrakranial dan hiperalgesia yang diperberat dengan batuk atau gerakan kepala yang
mendadak. Kadar CGRP ditemukan meningkat pada vena jugularis selama serangan
migren berlangsung dan normal kembali setelah pemberian sumatriptan yang
kemudian meredakan nyeri kepala. Vasoactive intestinal polypeptide (VIP) dan CGRP
merupakan petanda aktivasi saraf parasimpatis intrakranial yang banyak ditemukan
pada penderita NKP kronik (Silberstein dkk., 2002).
Nukleus batang otak termasuk di antaranya PAG, LC, dan nukleus rafe dorsalis
tidak aktif sebagai respon terhadap timbulnya nyeri kepala. Nukleus noradrenergik dan
serotonergik berpartisipasi dalam respon stres, kecemasan dan depresi. Pada penderita
migren menunjukkan terjadinya hipersensitivitas sentral terhadap stimulasi
dopaminergik yang berhubungan dengan tingkah laku yang terjadi selama serangan
migren (menguap, iritabilitas, hipereaktivitas, gastroparesis, mual dan muntah)
Berikut ini adalah ilustrasi secara anatomi sistem trigeminovaskular yang terlibat
dalam patofisiologi nyeri kepala primer dalam hal ini migren.
Gambar 2.5 Struktur anatomi sistem trigeminovaskular yang terlibat dalam
patofisiologi nyeri kepala (Silberstein dkk., 2002)
Disamping teori vaskuler dan inflamasi steril tersebut serotonin diduga
memainkan peranan penting pada patofisiologi migren. Metabolit utama serotonin,
5-hydroxyindoleacetic ditemukan meningkat dalam urin penderita migren. Di lain pihak,
kadar serotonin platelet menurun dengan cepat pada serangan migren akut. Penurunan
kadar serotonin diduga justru dapat memicu serangan migren (Silberstein dkk., 2002).
2.4.2 Prevalensi gangguan tidur pada remaja penderita NKP
Beberapa perbedaan jenis hubungan antara tidur dan nyeri kepala yang biasa
1. Gangguan tidur bersifat primer sedangkan nyeri kepala adalah bagian dari
gejalanya.
2. Sindrom nyeri kepala bersifat primer yang menyebabkan terjadinya gangguan
tidur.
3. Gangguan tidur dan nyeri kepala merupakan gejala dari suatu entitas patologi yang
berbeda.
4. Gangguan tidur dan sindrom nyeri kepala terjadi pada satu individu, tanpa ada
interaksi antara kedua fenomena tersebut.
Prevalensi gangguan tidur pada penderita nyeri kepala cukup besar. Pada
penelitian Paiva dkk. (1997) menunjukkan bahwa 26 dari 49 sampel (53%) yang
teridentifikasi mengalami gangguan tidur merupakan penderita nyeri kepala primer.
Boardman dkk. (2005) menunjukkan data bahwa penderita dengan NKP kronik
memiliki kemungkinan 17 kali lebih besar mengalami gangguan tidur dibandingkan
dengan populasi normal. Meningkatnya kecenderungan gangguan tidur juga
berkorelasi dengan derajat keparahan NKP pada penelitian lainnya (Rain dkk., 2008).
Pada remaja penderita NKP, gangguan tidur merupakan fenomena klinis.
Beberapa penelitian yang memfokuskan perhatian pada hubungan antar kedua
fenomena ini melaporkan adanya variasi bentuk gangguan tidur seperti misalnya
kesulitan untuk jatuh tertidur, frekuensi terbangun malam hari yang sering, terbangun
terlalu pagi, dan mengantuk hebat pada siang hari. Data mengenai hubungan antara
tidur dan NKP, karakteristik NKP yang timbul, intensitas, durasi dan frekuensi NKP
penelitian yang ada dengan metode yang beda-beda sehingga sulit untuk
dibandingkan. National Sleep Foundation di Amerika pada tahun 2006 memberikan
data bahwa 45% remaja tidak mencapai kebutuhan tidur dalam semalam. Suatu
penelitian terhadap 69 remaja berumur 13-17 tahun yang mengidap NKP memberikan
data bahwa 65,7% partisipan penelitian tersebut mengalami masalah dengan tidur
dengan pemenuhan kebutuhan tidur yang tidak mencukupi (Gilman dkk., 2007).
Sahota dan Dexter mengajukan klasifikasi kompleks mengenai NKP yang
berhubungan dengan gangguan tidur seperti yang dikutip oleh Dodick dkk. (2003)
pada Tabel 2.4 berikut ini.
Tabel 2.4
Klasifikasi nyeri kepala terkait dengan komponen tidur (Dodick dkk, 2003)
Hubungan antara nyeri kepala dan tidur
Nyeri kepala yang berkaitan dengan tidur (selama atau setelah tidur)
Nyeri kepala yang berkaitan dengan fase-fase tidur Fase III, IV, fase REM : migren
Fase REM: nyeri kepala klaster, hemikrania paroksismal kronik
Durasi tidur dan nyeri kepala Tidur dalam yang berlebihan Kurangnya waktu tidur Kekacauan pola tidur
Nyeri kepala yang diredakan dengan tidur Migren dan jeis kepala lainnya
Gangguan tidur dan nyeri kepala Sleep apnea dan nyeri kepala Somnambulisme dan nyeri kepala Parasomnia lainnya dan nyeri kepala Efek nyeri kepala pada tidur