• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arti Perlindungan Konsumen dan Kerahasiaan Informal . 26

Berbicara tentang pengertian perlindungan konsumen, maka terlebih dahulu akan diuraikan tentang pengertian konsumen. Pengertian konsumen menurut pendapat umum atau dengan kata lain pengertian konsumen menurut pendapat masyarakat secara umum adalah pembeli, penyewa, nasabah, penumpang angkutan umum atau pada pokoknya adalah langganan dari pada pengusaha, baik itu berupa barang atau jasa atau dapat juga kita katakan sebagai pemakai.

Pengertian konsumen menurut masyarakat secara umum disini adalah tidak salah, karena hal tersebut mereka alami setiap harinya. Masyarakat umum memberikan batasan konsumen tersebut adalah berdasarkan pada pengalaman sehari-hari.

Mengenai pengertian konsumen ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) terdapat beberapa istilah yang pada satu sisi dapat merupakan konsumen dan pada sisi lainnya dapat pula merupakan sebagai pelaku usaha. Namun kesemuanya itu (istilah-istilah KUHP dan KUHD) tidak ada menyebutkan batasan konsumen secara khusus. Istilah-istilah tersebut antara lain, pembeli, penyewa, peminjam, pemakai dan sebagainya. Yang jika diteliti lebih dalam maka kesemua istilah tersebut di atas adalah

merupakan pemakai yang dalam hal ini dapat pula disebut konsumen, begitu juga didalam KUHD juga ditemukan istilah penumpang namun juga tidak ada mengatur batasan khusus tentang konsumen.

Konsumen (consumer), secara harfiah berarti "seseorang yang membeli barang atau yang menggunakan jasa" atau "seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu" juga "sesuatu atau seorang yang menggunakan persediaan atau sejumlah barang". 16 Menurut AZ. Nasution pengertian konsumen adalah : "Tiap orang yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang atau jasa untuk suatu kegunaan tertentu". 17

16

AZ. Nasution I, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 46.

17

Ibid.

Setiap orang sebagaimana yang dimaksud di atas adalah orang alamiah maupun yang diciptakan oleh hukum (badan hukum), perkataan mendapat disini dimaksudkan memperoleh barang atau jasa itu oleh konsumen (transaksi konsumen) tidak saja berdasarkan suatu hukum (sewa menyewa, pinjam pakai, jual beli, perjanjian jasa angkutan dan sebagainya). Tetapi mungkin juga terjadi karena pemberian hadiah, sumbangan, baik yang berkaitan dengan suatu hubungan komersil maupun non komersil.

Dalam pada itu, perkataan mendapat secara sah di sini dimaksudkan adalah mendapatkan suatu barang atau jasa-jasa dengan cara yang tidak bertentangan atau melawan hukum, sedangkan maksud kegunaan tertentu disini memberikan tolak ukur perbedaan antara berbagai konsumen atau dengan kata lain bahwa barang yang didapat itu mempunyai tujuan tertentu dengan didapatnya barang tersebut.

Berkaitan dengan itu Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) merumuskan batasan konsumen yaitu : "Pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak untuk diperjual belikan". 18

Sementara itu Yayasan Lembaga konsumen Indonesia (YLKI) memberikan batasan konsumen sebagai berikut yaitu "Pemakai barang atau jasa yang disediakan dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak diperdagangkan kembali". 19 Sementara pada ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah : "Pemakai terakhir dari benda dan jasa (uiten

delijke gebruiken van goerdeven en de ensten) yang diserahkan kepada mereka oleh

pengusaha (order nemer)". 20

Menurut Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan batasan arti konsumen, yaitu : "Setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan". 21

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa pengertian konsumen adalah "Setiap orang pemakai barang maupun jasa yang tidak untuk diperdagangkan kembali". 22

18

Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1981, hal. 13.

19

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Perlindungan Konsumen Indonesia, Sumbangan Pikiran Tentang Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen, Jakarta, 1981, hal. 4.

20

Ibid, hal. 4.

21

AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cet I, Daya Widya, 1999, hal. 11-12.

22

Selanjutnya, perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri.23

Perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Cakupan perlindungan konsumen dalam dua aspeknya itu, dapat dijelaskan sebagai berikut

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan :

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

24

:

Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkannya kepada konsumen barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar sehubungan keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Juga, persoalan tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengkonsumsi produk yang tidak sesuai.

Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan, purnajual, dan sebagainya. Hal ini berkaiatan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.

23

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 9.

24

2. Kerahasiaan Informal

Dewasa ini aturan hukum tentang kerahasiaan informal yang berkaitan dengan pemanfaatan internet muncul terutama disebabkan oleh sistem hukum tradisional yang tidak sepenuhnya mampu merespon persoalan-persoalan tersebut dan karakteristik dari internet itu sendiri. Hal ini pada gilirannya akan melemahkan atau bahkan mengusangkan konsep-konsep hukum yang sudah mapan seperti

kedaulatan dan yurisdiksi. Kedua konsep ini berada pada posisi yang dilematis ketika harus berhadapan dengan kenyataan bahwa para pelaku yang terlibat dalam

pemanfaatan internet tidak lagi tunduk pada batasan kewarganegaraan dan

kedaulatan suatu negara. Dalam kaitan ini, seorang pakar cyberlaw dari Michigan State University yang bernama Aron Mefford, sampai pada kesimpulan bahwa dengan meluasnya pemanfaatan internet, sebenarnya telah terjadi semacam ”paradigma baru yang lebih khusus” dalam menentukan jati diri pelaku satu perbuatan hukum dari lebih khusus (citizens) menjadi lebih global (nitizens).

Dilema yang dihadapi oleh hukum tradisional dalam menghadapi fenomena

cyberspace ini merupakan alasan utama perlunya membentuk satu regulasi yang

cukup akomodatif terhadap fenomena-fenomena baru yang muncul akibat

pemanfaatan internet. Aturan hukum yang akan dibentuk itu harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hukum (the legal needs) para pihak yang terlibat di dalam transaksi-transaksi lewat internet. Berkaitan dengan hal tersebut, Atif Latifulhayat, cenderung menyetujui proposal dari Arron Mefford tersebut yang mengusulkan adaya “Lex Informatica/peraturan khusus tentang teknologi informasi” (Independent

Net Law/peraturan yang independen yang mengatur mengenai dunia maya) sebagai “Foundation of Law on the Internet/lembaga yang khusus memberikan

peraturan/hukum mengenai dunia cyber”. Proposal Mefford ini tampaknya diilhami oleh pemikiran mengenai “Lex Mercatoria” yang merupakan suatu sistem hukum yang dibentuk secara evolutif untuk merespon kebutuhan-kebutuhan hukum (the

legal needs) para pelaku transaksi dagang yang mendapati kenyataan sistem hukum

nasional tidak cukup memadai dalam menjawab realitas-realitas yang ditemui dalam transaksi bisnis atau perdagangan internasional. Dengan demikian, maka cyberlaw dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang berkaitan langsung dengan persoalan-persoalan yang muncul akibat dari pemanfaatan internet.

Secara garis besar, ruang lingkup cyberlaw ini berkaitan dengan persoalan-persoalan atau aspek hukum dari transaksi bisnis melalui media elektronik/internet, Merek dagang/alamat di internet (Trademark/Domain Name), kerahasiaan dan keamanan di internet (Privacy and Security on the internet), hak cipta (copyright), peraturan-peraturan mengenai isi situs di internet (content regulation), penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan sebagainya. Ruang lingkup cyberlaw ini akan terus berkembang seiring dengan perkembangan yang terjadi pada pemanfaatan internet di kemudian hari.

B. Prinsip Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen.

Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang hukum ini. Tentunya prinsip-prinsip tersebut bukan sesuatu yang khas hanya terdapat dalam hukum perlindungan konsumen, akan tetapi juga diterapkan dalam banyak area hukum lain. Prinsip-prinsip itu ada yang masih berlaku sampai sekarang, tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum masyarakat yang meningkat.

Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen. Prinsip-prinsip tersebut antara lain25

a. Let The Buyer Beware

:

Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor sebagai embrio lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi, pelaku usaha dan konsumen adalah pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagai konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya, konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang dikonsumsikannya. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan kemampuan konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya. Akhirnya konsumen didikte oleh pelaku usaha, jika konsumen mengalami kerugian, pelaku usaha dapat dengan ringan berdalih hal itu karena kelalaian konsumen itu sendiri.

b. The Due Care Theory

Prinsip ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan. Untuk mempersalahkan si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan pelaku usaha melanggar prinsip kehati-hatian.

c. The Privity of Contract

25

Prinsip ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban uintuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan, artinya konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat sejumlah asas yang terkandung di dalam usaha memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Asas-asas tersebut antara lain :

1. Asas Manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2. Asas Keadilan

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dalam arti materil dan spirituil.

Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Tujuan yang ingin dicapai melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 adalah :

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Dalam penerapan hukum pidana di bidang perlindungan konsumen dikenal beberapa asas baru yang selama ini cenderung belum diterapkan dalam penggunaan hukum pidana, terutama dalam KUHP, asas-asas tersebut antara lain :

1. Asas Pembuktian Terbalik

Sistem pembuktian terbalik (omkering van bewijsslast) merupakan sistem baru dalam hukum pidana. Pembuktian terbalik yang dikenal dalam sistem pertanggungjawaban pidana ini berbeda dengan sistem pembuktian konvensional, dimana seseorang yang mengajukan sesuatu dalil, dalam hal ini jaksa penuntut umum, membuat dakwaan atau tuduhan melakukan perbuatan pidana kepada pelaku usaha, maka jaksa penuntut umum tersebutlah yang dibebani kewajiban membuktikan kesalahan terdakwa.

Namun dengan asas pembuktian terbalik, terdakwa dibebankan kewajiban untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepadanya. Dalam Pasal 22 UUPK beban pembuktian terbalik tidak semata-mata dibebankan kepada terdakwa (pelaku usaha), tetapi jaksa penuntut umum juga mempunyai hak untuk melakukan pembuktian jika dipandang perlu. 2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Pasal 61 UUPK menentukan, penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan atau pengurusnya. Pasal ini menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang konsumen. Korporasi

dikualifikasikan sebagai subjek tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan disamping orang atau pengurus. Dengan demikian criminal liability dapat dibebankan baik kepada direksi, pengurus atau pimpinan suatu perusahaan (factual leader), maupun juga terhadap pihak pemberi perintah dari perusahaan itu (instruction giver). Kesimpulan itu berangkat dari kemampuan korporasi melakukan tindak pidana dan kemampuan korporasi untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.

3. Vicarious Liability

Dalam teori pertanggungjawaban pidana, pelaku usaha tidak dapat berdalih bahwa suatu perbuatan yang ada dilingkungan usahanya bukan dilakukannya, atau bukan atas perintahnya. Pelaku usaha dalam sistem hukum pidana tertentu dituntut bertanggung jawab atas setiap perbuatannya termasuk perbuatan orang lain tetapi masih di dalam lingkungan aktivitas usahanya atau akibat bersumber dari aktivitasnya yang dapat merugikan orang lain.

Vicarious Liabilty dapat diidentifikasi oleh undang-undang jika timbul

hal-hal sebagai berikut 26

a. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan orang lain bilamana seseorang tersebut telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-undang kepada orang lain. Di sini dibutuhkan suatu syarat tanggung jawab yang bersifat dilimpahkan (the delegation principle)

:

26

Hamzah Hatrik, Asas-Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability Dan Vicarious Liability), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996 hal. 116

Seorang majikan dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik atau jasmaniah dilakukan oleh buruh atau pekerja, jika menurut hukum perbuatan buruhnya itu dipandang sebagai perbuatan majikannya (the servants act is the

matters act in law).

Dokumen terkait