• Tidak ada hasil yang ditemukan

Artikel 2: Yang Harus Kampus Lakukan Mengatasi Pelecehan Seksual

Dalam dokumen BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum (Halaman 40-44)

4.2.3 Dimensi Socio-cultural Practice

4.2.3.2 Artikel 2: Yang Harus Kampus Lakukan Mengatasi Pelecehan Seksual

Artikel ini menghadirkan fakta pelecehan seksual dalam kampus yang jarang diberitakan oleh media di Indonesia. Banyak argumen yang digunakan untuk mengadvokasi korban, dan sebaliknya, tidak ada argumen dari sisi pelaku ataupun pihak otoritas kampus atau pihak berwajib. Tirto.id berupaya menghadirkan wacana baru soal apa yang sebenarnya terjadi, yaitu bahwa kampus sama tidak amannya dengan dunia luar dalam hal pelecehan seksual. Justru kampus lebih tertutup dan

65

sewenang-wenang dalam menangani kasus pelecehan seksual karena ada status yang dijaga kampus, yaitu nama baiknya.

“Sama halnya, dengan kasus di kampung yang saya ceritakan itu kan, kampung aja mau jaga nama baik, apalagi institusi pendidikan, gitu. Memang harusnya educate others, kan. Nah kalau menurut saya kalau memberikan punishment yang berat itu menjaga nama baik kampus. Itu bukti bahwa kampus menindak tegas pelaku kekerasan seksual,”15

Artikel ini dibuat diatas anggapan masyarakat bahwa kampus adalah rumah kedua dan institusi mentereng yang aman dan nyaman bagi mahasiswanya. Sehingga artikel ini, yang membeberkan kisah suram pelecehan seksual kampus menjadi suatu kritik bagi institusi yang telah dipercaya oleh masyarakat.

Artikel ini menampilkan fakta sosial bahwa kampus cenderung menyelesaikan laporan kasus-kasus pelecehan seksual tanpa campur tangan dari pihak luar, seperti Kemenristekdikti. Fakta sosial tersebut telah nampak dari beberapa cara penanganan Kementristekdikti terhadap kasus pelecehan seksual dalam kampus, seperti yang terjadi di Universitas Airlangga, yang mana salah seorang akademisinya melakukan pelecehan terhadap anak di bawah umur.

Disebutkan bahwa Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Tinggi, Kemeristekdikti, Ali Ghufron Mukti, yang menyatakan bahwa kampus memiliki komite disiplin mereka sendiri yang menangani kasus-kasus yang dialami tenaga pendidik, dan pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada kamous UNAIR terkait (Jawapos, 2017).

Masyarakat di artikel ini juga digambarkan sebagai masyarakat yang apatis, dan menganggap suatu pelecehan seksual adalah hal yang tabu dan rikuh dibicarakan, apalagi dilaporkan dan dikorek-korek, bahkan hanya untuk diproses di jalur hukum.

Kritik media terutama ditujukan kepada pihak kampus, satu-satunya badan yang punya peran besar dan langsung terhadap kasus pelecehan seksual yang dialami oleh civitas akademikanya. Ada anggapan bahwa kampus tidak berperan secara signifikan dalam menangangi kasus pelecehan seksual di kampus.

“Iya. Kami punya asumsi seperti itu [kampus tidak punya ketegasan menangangi pelecehan seksual], dan dibuktikan di lapangan. Ternyata ya memang

66

iya, kan. Kampus tidak punya aturan jelas untuk menangani pelecehan seksual. Kasihan mahasiswanya jadinya, kan,”16

Penulis mengonfirmasi hal tersebut dengan akademisi di Universitas Kristen Satya Wacana, Linda Susilowati dan mendapati dua hal, yaitu (1) kampus tidak memiliki urgensi untuk menyebarkan data soal kasus-kasus pelecehan seksual dalam kampus dengan media,

“Tapi bukan berarti harus expose ya, karena kalau not expose itu bukan saja menjaga nama baik, tapi juga menjaga kelangsungan hidup korban. Jadi, menindak tegas bukan berarti mengekspos besar-besaran,

“Apa pentingnya untuk korban, itu kan kepentingan media dapat berita,”17

dan (2) Kampus memiliki prosedur penanganan untuk kasus semacam itu, namun kendala sosialisasi dan edukasi ke civitas akademikanya, sehingga korban tidak tahu harus berbuat apa. Ketidaktahuan inilah kemudian yang menjadi dasar narasumber yang diwawancarai mengira bahwa tidak ada prosedur resmi penanganan kasus pelecehan seksual dalam kampus.

Jika ditilik lebih dalam, sebagaimana disampaikan oleh akademisi yang menjadi narasumber penulis, kampus memang tidak memiliki urgensi menyebar atau mempertontonkan data-data penting soal kasus pelecehan seksual yang terjadi di kampus. Media Tirto.id tentu mengetahui hal ini, namun di bagian berita tetap menyebut bahwa “kampus tidak punya data resmi soal kasus pelecehan seksual yang terjadi di dalam institusi kampus,” dan “Kampus menympan fenomena bungkam”. Ada pelanggaran fungsi cross-check yang dilakukan Tirto.id pada titik ini, yang kemungkinan salah satunya disebabkan karena narasumber terkait tidak mau bicara, padahal tenggat waktu atau deadline sudah nyaris habis, sehingga ditulis lah kalimat melipur, seperti “kampus menyimpan fenomena bungkam,”, dan hal ini dijaga benar oleh media, sebagaimana yang dilakukan media pada umumnya, untuk alasan kepentingan ekonomi media dan tingginya persaingan dengan media lainnya (Partao, 2006:78).

“Sempat ada satu kasus yang ditangani oleh PR III periode sebelumnya, sempat beliau mendampingi juga, artinya berarti ada [prosedur pelaporan kasus pelecehan seksual]. Nah, Cuma untuk prosedurnya seperti apa, sosialisasinya seperti

16 Hasil wawancara dengan wartawan Tirto.id

67

apa, catatan pelaporannya seperti apa dan segala macam itu bukan kapasitas saya untuk menjawab. Saya hanya melihat case by case, gitu,”18

Artikel ini dibangun di atas kesaksian seorang korban yang menyayangkan topik yang diajarkan dosen, yaitu feminisme, yang seharusnya mengajarkan juga tentang pmeberdayaan perempuan. Argumen yang dibangun dalam artikel ini kemudian menyoroti ketidaksesuaian antara ilmu pengetahuan seseorang dengan penerapan atau akhlaknya di dunia nyata.

Tirto.id berupaya memberi arahan langsung ke kampus, bahwa yang harus menjadi konsen kampus adalah korban terlebih dahulu untuk ditangani. Hal ini serupa dengan hasil diskusi penulis dengan aktivis Lingkat Feminis Salatiga (LFS), yaitu korban harus diprioritaskan penanganannya.

Karena kan yang pertama ditangani korban dulu. Ini kamu pelakunya mau diapain? Jadi kaya, biar korbannya lega gitu lho. Daripada kita ke polisi dan kasusnya gak selesai-selesai dan kasusnya malah makin larut,”

“Korban pasti terganggu secara psikologis. Dan aku lebih ke support system sih. Kalau ada korban berani speak up tapi kalau gak ada support system yang mau bantu dia, yaudah padam dengan cepat. Kaya kasusnya Agni, dia berani speak up karena banyak juga dorongan dari masyarakat dan sosialnya.”19

4.3 Refleksi

Dimensi Teks atau disebut Mikrostruktural dalam analisis wacana kritis metode

Norman Fairclough yang dalam proses analisisnya dibagi menjadi tiga, yaitu Situasional, Institusional, dan Sosial. Dari analisis yang dilakukan penulis terhadap dua artikel, yaitu “Relasi Kuasa dan Budaya Perkosaan dalam Menara Gading Kampus” dan “Yang Harus Kampus Lakukan Mengatasi Pelecehan Seksual”, ketiga bagian dimensi teks dapat dijabarkan, sebagai berikut;

1. Representasi; kedua artikel sedng menggambarkan kondisi masyarakat dan sikap

kampus terhadap kasus pelecehan seksual yang terjadi dalam kampus. Kontribusi budaya patriarki, kecenderungan menyalahkan korban pelecehan, dan mengganggap tabu urusan pelecehan seksual adalah kondisi sosial masyarakat yang ditampilkan artikel Tirto.id. Sedangkan, belum adanya kejelasan prosedur pelaporan dan penanganan pelecehan seksual, dan relasi kuasa dalam kampus

18 Hasil wawancara denga akademisi UKSW

68

adalah keadaan yang digambarkan sebagai status quo di kampus. Aspek representatif lainnya, adalah pihak pemerintah digambarkan menyerahkan otonomi prosedur pelaporan, penindakan, dan penyelesaian kasus pelecehan, sebagaimana kasus-kasus lainnya yang terjadi di kampus kepda kampus dan Kemenristekdikti tidak ikut campur terhadapnya.

Dalam dokumen BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum (Halaman 40-44)