• Tidak ada hasil yang ditemukan

Artikel 1: Relasi Kuasa dan Budaya Perkosaan dalam Menara Gading Kampus

Dalam dokumen BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum (Halaman 37-40)

4.2.3 Dimensi Socio-cultural Practice

4.2.3.1 Artikel 1: Relasi Kuasa dan Budaya Perkosaan dalam Menara Gading Kampus

Tirto.id menghadirkan status quo dalam wacana dari perspektif korban dan tidak memberi ruang bagi pihak pelaku atau pihak otoritas kampus, yang mana menguatkan posisi korban sebagai pihak yang aktif, memiliki daya, dan dukungan penuh. Pemberitaan pelecehan seksual semacam ini cukup jarang ditemukan di tahun-tahun sebelumnya di media berita Indonesia. Hal tesebut selaras dengan ideologi yang diyakini Tirto.id, dan wartawannya yang berpihak pada minoritas.

62

“Tirto.id memberi ruang kepada minoritas, dan korban pelecehan seksual itu termasuk minoritas, kan. Sudah perempuan, minoritas, maka dari itu kami memberi ruang kepada mereka,”12

Tirto.id mengambil satu langkah berbeda, yaitu dari perspektif korban, bukan kepolisian, atau penyidik, atau pelaku tapi menempatkan korban di posisi pertama. Ada semacam perombakan yang dilakukan media berita Tirto.id untuk mengajak pembaca menyelami kondisi korban dalam kasus pelecehan seksual.

Tirto.id juga mengambil topik yang tidak umum diberitakan media, yaitu pelecehan seksual dalam kampus, yang memang jarang diberitakan di media. Tirto ingin menghadirkan suatu gambaran nyata bahwa kampus sama tidak amannya mengenai pelecehan seksual. Bahkan dapat lebih mengecilkan korban karena ada unsur kekuasaan yang ditampilkan agar korban tidak melapor atau menggugat pelaku; pelaku punya andil besar dalam bidang akademi dan masa depan korban, atau paling tidak nasib korban selama di kampus. Ada istilah relasi kuasa yang dipakai wartawan untuk menggambarkan kondisi ketidakberdayaan korban atas pelaku.

Jika dilihat dari Teori Kekuasaan milik Michel Foucault, dalam bukunya Historie de la sexualité I: La volonté de savoir (HS-I), ia menyatakan sebuah tesis bahwa seksualitas berkaitan erat dengan kekuasaan (Martono, 2014:122). Foucault menyatakan secara historis bahwa seks adalah sesuatu yang menjadi urusan raja, yang memegang penuh legalitas seksual sebagai wacana. Kemudian, kekuasaan dilegitimasi oleh gereja yang otoriter masa itu. Berlanjut ke masa modern, pemerintah saat ini mengendalikan seksualitas warganya untuk kepentingan kependudukan, namun wacana ternyata sudah berkembang lebih dari itu, yaitu bahwa seksualitas berkaitan dengan HAM, kesetaraan gender, dan nilai moral sosial. Lewat kekuasaan seksualitas membatasi “dengan siapa individu harus bergaul”, seksualitas telah membatasi “apa pantas untuk siapa”. Adanya represi atau pembatasan atau penekanan terhadap topik seksualitas dari masa ke masa tersebut kemudian dimanfaatkan oleh kapitalisme sebagai alat komoditas. Semakin tabu suatu hal, semakin alam bawah sadar memproses itu sebagai hal penting, rahasia, dan unik untuk dibahas. Tangan-tangan kapitalisme diperlukan untuk meramu informasi-informasi pemberitaan yang berkaitan dengan seksualitas menjadi suatu produk (yang selain memiliki nilai berita) yang juga memiliki nilai jual (Sukmono, 2013:4).

63

Dalam kultur Indonesia, tidak lazim bahwa katakanlah dosen (kelompok yang lebih dominan) memiliki hubungan atau interaksi seksual dengan mahasiswa (kelompok yang didominasi) tanpa melalui institusi pernikahan. Di luar intitusi pernikahan, kegiatan seksual apapun dianggap tabu dan diatur pemerintahan dan institusi, pun tanpa kesepakatan kedua belah pihak, disebut pelecehan atau kekerasan seksual.

Istilah relasi kuasa yang disematkan pada pelecehan seksual dalam kampus oleh media Tirto.id bukanlah hal khusus atau baru melainkan, sebagaimana tesis yang diungkapkan Foucault, bahwa seksualitas memang selalu berhubungan dengan kekuasaan, tak terkecuali di arena kampus.

Wacana berikutnya yang coba ditampilkan Tirto.id adalah “budaya perkosaan”, yaitu kecenderungan menyalahkan korban di masyarakat. Hal tersebut memang ada, sebagaimana disampaikan oleh Linda Sulistiowati, akademisi di Universitas Kristen Satya Wacana.

Misal, kasus di UGM. Ada kasus pelecehan seksual, tapi kemudian, ketika perempuannya misal gamau damai, beberapa orang bilang bahwa, ‘kok gamau damai sih, kan udah ditawarin damai,’ padahal dia kan punya hak untuk tidak berdamai dan menuntut hukuman. Itu haknya dia. Cuman, karena ada kecenderungan juga menyalahkan korban, jadi beberapa pelaku kejahatan juga memperoleh pembenaran. Lha contohnya tadi. Contohnya aja konteks rumah dimaling tadi. ‘kamu sih gak kunci pintu, kamu sih gak ini’. Akhirnya malingnya jadi punya peluang deh. Jadi kan sama aja ya. Berarti nanti bukan malingnya yang salah, artinya kamu buka peluang. Padahal, dalam konteks itu, kalau rumah dibuka lebar-lebar, mau diapa segala macam kalo gak ada niat mencuri ya, ada orang yang punya integitras dan tidak niat mencuri maka gak akan terjadi pencurian. Jadi, budaya itu tu sudah ada dari jaman dulu banget dan untuk bisa berubah, gitu kan gak bisa instan. Jadi, kalau ngomongin kebudayaan itu sifatnya pergeseran ya. Jadi perubahannya gak langsung 180 derajat berubah. [...] Ya memang harus educate others gak capek-capek”13

Kampus adalah tempat yang dianggap menjadi tingkat intelektual tertinggi yang dihormati di negara ini, oleh karena itu, penggambaran artikel soal pelecehan seksual memberikan kritik ke masyarakat, pemerintah, dan kampus sendiri bahwa

64

citra mereka selama ini menyimpan kebobrokan yang bukannya membangun tapi justru merusak.

Artikel ini dibuat di atas anggapan bahwa kampus adalah tempat menimba ilmu dan loncatan masa depan yang baik bagi civitas akademikanya, serta dipenuhi kaum intelektual yang bermoral. Namun, argumen di dalamnya menunjukkan bahwa anggapan naif masyarakat tidaklah sepenuhnya benar. Dalam urusan pelecehan seksual, kampus bisa jadi lebih payah dalam penanganan.

Serta menampilkan fakta sosial, bahwa kampus memang badan independen, yang mana setiap kasus pelecehan seksual yang terjadi tidak dapat disentuh oleh kepolisian, bahkan Kemeristekdikti untuk penanganan kecuali kampus sendiri mengizinkan, yang biasanya tidak diizinkan.

Tirto.id mengkritik Kemenristekdikti yang tidak membuat dasar hukum untuk yang dapat digunakan kampus untuk membuat aturan atau undang-undang untuk menangani pelecehan seksual dalam kampus.

“Sama Kemenristekdikti juga. […] Jadi begini, kalau kampus ingin membuat suatu aturan soal pelecehan seksual, harus ada dasarnya dari Kemenristekdikti. Kemenristekdikti harus ada hukumnya untuk kampus bisa buat aturannya. Nah, ini Kemenristekdikti aja tidak ada dasar hukumnya, jadi kampus kesulitan untuk membuat aturan soal pelecehan seksual,”14

Ada faktor ketimpangan kuasa yang tergambar kuat dalam artikel ini. Meskipun ada anggapan bahwa kampus adalah ruang egaliter antara dosen dan mahasiswa, namun ketimpangan kuasa ini sangat kuat mencengkeram saat berhubungan dengan pelecehan seksual. Tirto.id, lewat artikel ini ingin menghadirkan persepsi baru kepada pembaca bahwa kampus lebih lemah dalam pelecehan seksual karena ada unsur ‘kekuasaan’ dan ‘budaya perkosaan’ yang terbangun di dalamnya.

Dalam dokumen BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum (Halaman 37-40)