• Tidak ada hasil yang ditemukan

Artikel 1 : Relasi Kuasa dan Budaya Perkosaan dalam Menara Gading Kampus

Dalam dokumen BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum (Halaman 31-34)

Artikel ini adalah artikel panjang berbentuk laporan mendalam (indepth) di laman berita Tirto.id. Pembaca Tirto.id umumnya sudah hafal dengan jenis-jenis artikel yang ada di Tirto.id. Laporan yang berbentuk narasi panjang umumnya adalah mild report dan indepth reporting. Namun, keduanya memiliki perbedaan, diantaranya, mild report pada umumnya adalah timeless content, jenis berita yang tidak memerlukan aktualitas, dalam artian dapat dibuat kapan saja, misalnya soal biografi tokoh terkenal. Sedangkan, laporan mendalam membahas soal isu terkini, namun dengan pembahasan yang lebih detail dan lengkap. Laporan mendalam menjawab pertanyaan “kenapa” dan “bagaimana” tentang suatu peristiwa lebih dalam dan tidak jarang ada anjuran bagi pihak terkait untuk mengatasi permasalahan atau peristiwa yang tengah terjadi.

Artikel “Relasi Kuasa dan Budaya Perkosaan dalam Menara Gading Kampus” adalah jenis teks indepth reporting. Penulis menemukan adanya unsur keberpihakan Tirto.id kepada korban yang mengalami pelecehan seksual dalam kampus dan kritik terhadap status quo.

Bagi Kampus, Tirto.id dengan jelas menyampaikan kritiknya karena tidak memiliki prosedur maupun aturan penanganan yang tepat dan jelas untuk kasus pelecehan seksual.

“Hampir semua kampus tidak ada aturan soal menangani pelecehan seksual, […] padahal, dari artikel ini, kaya kita tu pengin bilang, ‘kok masih bisa sih kampus tidak segera buat aturan padahal ada kasus pelecehan seksual sudah sebanyak ini?’”5

Narasumber yang ditampilkan dalam artikel adalah para penggerak atau aktivis yang konsen di bidang pelecehan seksual mahasiswa, dari para narasumber ini, banyak diceritakan testimoni-testimoni soal mahasiswi yang dilecehkan oleh dosen

56

atau orang yang berkedudukan lebih tinggi di kampus. Narasi tersebut kemudian menciptakan sederat argumen tentang pelecehan seksual dalam kampus sudah mencapai tahap darurat sehingga perlu ada penanganan dari kampus, bukan hanya sekedar pihak ketiga yang juga hanya bisa menampung cerita. Ada kritik bagi kampus dari artikel ini.

Tirto.id menggunakan sumber artikel atau bacaan luar selain wawancara dengan narasumber. Artikel luar tersebut memberikan pengetahuan tentang “rape culture” atau budaya perkosaan, memberikan pengetahuan kepada pembaca, dan menyampaikan kritik atas situasi hari-hari ini.

Secara tekstual, reporter Tirto.id membangun argumen dengan pernyataan atau kalimat langsung dari narasumber, yang kompeten di bidangnya, sehingga menghindarkan wacana dari sekedar opini menjadi lebih faktual dan empiris.

Semua narasumber dihadirkan dari pihak korban, entah pendukung, aktivis, dan sumber literatur digunakan untuk mendukung korban. Tidak ada ruang bagi pelaku atau institusi berwenang, seperti kepolisian, pihak pelaku, dan otoritas kampus yang menjadi narasumber dalam artikel ini. Maka, penulis simpulkan bahwa Tirto.id memang sedang menggiring pembaca pada posisi korban.

“Sebenarnya kami selalu wawancara UGM (institusi kampus), sih, dan penuturannya kita running di artikel selnjutnya. Jadi, dibedain. […] Cuma, porsinya tidak sebesar penyintas, karena menurut kami yang harus diberi porsi lebih besar itu ya mereka yang suaranya dibungkam, minoritas,”6

Tirto.id juga menyampaikan anjuran atau nasehat bagi institusi perguruan tinggi dalam hal menangani kasus pelecehan seksual civitas akademikanya. Tidak mudah dibangun dan membutuhkan jalan panjang, yang diantaranya masyarakat lembaga pemerintah, dan kampus harus bersinergi untuk mewujudkan penanganan kasus pelecehan seksual secara tepat yang tidak merugikan korban.

“Mungkin semua kampus juga punya ini. Kampus mana sih yang gamau jaga reputasi mereka, gitu lho. Kampus meskipun dibilang tempat pendidikan mereka juga butuh uang. Butuh uang dan butuh orang. Ya bener juga sih, memelihara, apa namanya, istilah dosen mesum jadi rahasia umum. Kaya maksudnya mungkin mereka akan, apa ya, bikin skenario untuk mahasiswa menghindar, gitu lho. Kalau dah tau

57 dia itu (mesum) yaudah jangan berurusan dengan dia. Atau, kemudian kamu harus hati-hati,”7

Tirto.id memiliki keberpihakan pada korban dalam wacana ini. Selagi berdiri di pihak korban pelecehan seksual, artikel berkali-kali menunjukkan keberatannya terhadap masyarakat yang merawat dan “menjaga” budaya perkosaan yang melemahkan korban, dan kampus yang sembarangan dalam mengatasi kasus pelecehan seksual; tidak mengadvokasi korban, dan sanksi terlalu ringan terhadap pelaku.

Secara ideologis, titik berat Tirto.id dalam wacana ini juga menunjukkan bagaimana lembaga media menghadirkan pemberitaan pelecehan seksual dalam kampus kepada audiens, yaitu agar pembaca simpatik dengan keadaan korban.

Artikel juga disertai dengan infografis yang menggambarkan isi artikel tersebut. Ilustrasi maupun Infografis ditentukan oleh tim multimedia Tirto.id untuk memberikan gambaran visual kepada pembaca, yaitu poin inti dari artikel tersebut. Wartawan atau penulis artikel bekerja sama dengan tim multimedia untuk mewujudkan infografis tersebut.

“Kami cuma kirim bahan untuk infografis, ‘nanti tolong ada ini ya, poin ini, tulisan ini’,”8

Selain memuat unsur ideologi dan keberpihakan media, artikel ini memiliki agenda tersendiri media. Penyajian infografis, sebagai cotnoh adalah salah atu upaa media Tirto.id menggaet lebih banyak pembaca. Infografis yang dibuat oleh tim multimedia untuk dimuat di badan berita pada umumnya untuk dibagikan di media sosial. Hal ini memiliki dua alasan mendaras, yaitu (1) pengguna muda lebih aktif di media sosial, dan (2) informasi visual lebih efektif daripada teks, dan mayoritas orang merespon gambar visual lebih baik daripada teks (Brown, 2017). Berangkat dari dua ide ini, penulis melihat bahwa infografis adalah upaya media Tirto.id untuk menarik perhatian pembaca secara lebih efektif.

Kemudian, artikel ini muncul saat ada dua momen besar di jagad digital, yaitu gerakan media sosial #MeToo yang berskala internasional, dan kasus Agni (berskala nasional) mencuat di media massa. Saat animo masyarakat sedang tinggi terhadap kasus-kasus pelecehan seksual, Tirto.id masuk ke jangkauan pembaca dengan

7 Hasil wawancara dengan pembaca artikel Tirto.id

58

mengangkat isu soal pelecehan seksual, secara khusus dalam kampus. Tidak dipungkiri, ini adalah manifestasi politik dari media berita Tirto.id, yang selagi menjalankan fungsi pers, juga menampilkan aspek utama dari media, yaitu aspek ideologis, aspek politis, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya (Harahap, 2013:35). Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Blumer dan Gurevitch (dlm. Harahap, 2013:36) bahwa ada korelasi positif antara apa yang dianggap penting oleh media, dengan apa yang dianggap penting oleh khalayak. Tirto.id berhasil merengkuh kepentingan publik dan mengagendakannya menjadi kepentingan media, sehingga Tirto.id di mata pembaca dapat menjadi salah satu media yang signifikan dalam memberikan informasi soal kasus pelecehan seksual dalam kampus.

Dalam dokumen BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum (Halaman 31-34)