• Tidak ada hasil yang ditemukan

Artikel 2 : Yang Harus Kampus Lakukan Mengatasi Pelecehan Seksual

Dalam dokumen BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum (Halaman 34-37)

Artikel “Yang Harus Kampus lakukan Mengatasi Pelecehan Seksual” merupakan satu rangkaian dengan artikel sebelumnya. Di laman berita Tirto.id, laporan mendalam umumnya berupa rangkaian yang terdiri dari tiga hingga lima berita dengan topik bahasan yang sama. Dalam seri ini, Tirto.id mengelompokkan berita dalam seri Pelecehan Seksual Dalam Kampus.

Penulis menemukan keberpihakan artikel ini ditujukan kepada korban pelecehan seksual, yang terlihat dari setiap argumen yang digunakan adalah bentuk advokasi atau dukungan kepada korban. Selain itu, dilihat dari judulnya, artikel ini menuliskan tentang perlunya upaya kampus, untuk memerangi pelecehan seksual dalam kampus dan penanganganannya yang kerap merugikan korban.

Narasumber wacana adalah para penggerak atau aktivis yang memiliki lembaga nirlaba yang menangani konseling untuk korban-korban kekerasan seksual. Penggerak yang ditampilkan juga adalah dosen atau pengajar di Universitas Negeri di Indonesia.

Ada pula penyintas yang namanya disamarkan. Penyamaran nama adalah langkah yang dilakukan Tirto.id untuk menjaga privasi dan kenyamanan korban, serta menghindari tindakan yang tidak diinginkan terjadi pada korban maupun terhadap institusi terkait. Selain itu, salah seorang narasumber adalah dosen di sebuah universitas yang juga menyampaikan argumen soal penanganan kasus pelecehan seksual yang kerap merugikan korban.

Penyintas yang kisahnya dibahas dalam artikel ini diperoleh secara tidak langsung, lewat penggerak atau aktivis yang menjadi narasumber utama dalam artikel.

59

Oleh karena itu, ada opini, argumen dan sudut pandang aktivis terbangun dalam wacana ini, bukan murni pemikiran dari penyintas sendiri.

Artikel tidak menyertakan sumber dari pihak non-korban, seperti pihak pelaku untuk membela diri ataupun pihak otoritas kampus untuk melakukan klarifikasi ataupun konfirmasi mengenai status quo. Penulis mengidentifikasi langkah ini dilakukan wartawan Tirto.id untuk menjaga kemurnian opini dan argumen dalam artikel tetap pada satu agenda, yaitu membela korban.

Untuk pranata atau wacana luar, Tirto.id mengutip dari The Jakarta Post soal dua kasus pelecehan seksual yang sempat menjadi isu nasional, namun tetap saja penangangannya dalam ruang lingkup kampus dan seadanya.

“Iya. Jadi kami ingin mengkritik institusi kampus, terutama, yang tidak punya aturan yang jelas. Kalau aturan saja mereka sudah punya, untuk pemerkosaan, tapi untuk aturan jelas mengatasi seksual di kampus dan saat kegiatan kampus berlangsung, mereka kaya lebih pilih, ‘udahlah, damai saja lah’. Tapi ya gak bisa dong seperti itu,”9

Salah satu bahasan menarik dalam artikel ini adalah tentang “jalur kekeluargaan” dan “nama baik kampus” yang sering dilakukan kampus untuk menangani kasus pelecehan seksual. Tirto.id menyampaikan narasi bahwa langkah ini merugikan korban alih-alih mengatasi permasalahan. Sebaliknya, ada solusi yang ditawarkan Tirto.id untuk kampus dalam menangani kasus pelecehan seksual. Nama baik kampus seringkali lebih dipentingkan daripada menuntaskan kasus pelecehan seksual, yang disajikan oleh Tirto.id sebagai bentuk teguran terhadap institusi perguruan tinggi.

Kita tu punya pusat studi gender, tapi gak mungkin lembaga kampus punya sesuatu yang, istilahnya punya tendensi untuk merugikan kampus itu, contohnya aja persma. Bahkan yang di tingkat universitas, itu mereka selalu menekan untuk tidak membuat artikel yang kemudian merusak nama baik kampus. Meskipun kita punya crisis center itu juga, jangan-jangan nanti dia tidak mewakili ceritanya korban begitu, lho,”10

Langkah yang ditawarkan oleh Tirto.id bagi kampus adalah membangun crisis center, tempat khusus untuk mengadukan kasus-kasus pelecehan seksual. Linda

9 Hasil wawancarapenulis dengan wartawan Tirto.id

60 Sulistiowati, seorang akademisi memberi pendapat soal urgensi dari crisis center itu sendiri.

“Untuk mendirikan woman crisis center itu perlu banyak hal yang dipikirkan, mulai dari set up volunteer-nya, kemudian lokasinya, bangunannya, operasionalnya sehari-hari, pengelolaan dan segala macam, which means itu butuh efforts, finansial, tenaga dan segala macam. Nah, mungkin harus dipertimbangkan kalau ada yang bilang butuh. [...] tapi bukan berarti gak ada [tempat pengaduan],”

Tirto.id menghadirkan status quo “Nama Baik Kampus” dan “jalur kekeluargaan” dengan menggiring pembaca pada pemahaman bahwa kedua hal tersebut salah, sehingga perlu dibenahi agar tercipta lingkungan kampus yang lebih kondusif dan ramah korban atau penyintas pelecehan seksual. Dalam konteks wacana ini, Tirto.id ingin juga menyampaikan edukasi ke masyarakat, yang sering menganggap bahwa pelecehan seksual dalah urusan pribadi yang tidak perlu dibicarakan.

“Jadi, artikel ini juga bertujuan untuk mengedukasi masyarakat bahwa ini bukan urusan pribadi. […] Itu bukan urusan peribadi, seperti halnya kamu dengan pacarmu. Tapi kalau kamu dan dosenmu itu bukan urusan pribadi. Itu lho, yang belum dipahami soal kekerasan seksual.

“Karena itu terjadi tanpa konsen, sama seperti kasus perkosaan, tanpa persetujuan kedua belah pihak, itu yang menjadikannya bukan lagi ranah pribadi. Itu sudah masuk pidana sih, menurutku, sudah menyalahi aturan.

“Itu salah satu yang ingin ditanamkan Tirto lewat artikel ini ke masyarakat secara luas, begitu sih sebenarnya. Ini lho, pemahaman yang benar sol pelecehan seksual […] Jadi, ya menumbuhkan kepekaan terhadap kasus pelecehan seksual,”11

Secara ideologis, artikel ini menggiring pembaca Tirto.id untuk mengambil posisi mendukung korban dengan argumen, kesaksian, dan kewacanaan yang dibangun. Penempatan infografis dalam badan artikel dipakai untuk merangkum inti artikel, yang mana infografis dibuat oleh tim media Tirto.id dengan arahan dari wartawan yang meliput berita.

Dalam artikel kedua ini, wartawan banyak menyampaikan penuturan dari narasumber yang menceritakan kisah-kisah pelecehan seksual, membangun citra atau imaji kepada pembaca lewat penuturan narasumber soal keadaan korban. Inipun

61

termasuk salah satu unsur politis yang coba dibangun oleh media Tirto.id. Sajian isi media sebenarnya dipengaruhi oleh dua kepentingan yang saling Tarik menarik, yaitu kepentingan khalayak dan kepentingan media, yang umumnya didukung oleh pengiklan, prngusaha, dan kaum elit (Harahap, 2013:9). Media memiliki kemampuan untuk menarik dan mengarahkan perhatian, membujuk pendapat dan anggapan, mempengaruhi sikap, memberi status, dan memberikan legitimasi serta mampu mendefinisikan realitas (McQuail,1987). Di sisi lain, media juga menjadi jaringan komersil untuk mencari rating dan keuntungan (Kellner, 2010:291). Melihat aspek tersebut, ada tendensi bagi Tirto.id sebagai media mencari keuntungan sambal menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya. Apa yang disampaikan Tirto.id soal kasus pelecehan seksual sedemikian rupa, dengan narasi kisah, penuturan korban yang membangun imaji tertentu pada pembaca adalah upaya membangun realitas yang membuat penonton secara tidak langsung diarahkan untuk memberikan pembenaran terhadap isi yang disampaikan olehnya.

Dalam dokumen BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum (Halaman 34-37)