• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASYARAKAT JAWA DELI DAN KEBUDAYAANNYA

2.2 Masyarakat Jawa Deli

2.2.1 Asal-usul masyarakat Jawa Deli

Perpindahan para pendatang dapat dikatakan sebagai gerak pindah penduduk dari satu tempat ketempat lain dengan maksud mencari nafkah atau menetap. Perpindahan para pendatang tersebut ada yang terjadi karena didatangkan oleh seseorang atau suatu lembaga. Di sisi lain, perpindahan dilakukan secara perseorangan atau secara berkelompok.

Menurut Sabrina (1999:1) kedatangan peminat-peminat Belanda ke Tanah Deli bemula dari peranan seorang turunan Arab yang bernama Sayid Abdullah Ibnu Umar Bilsagih pada awal tahun 1863. Pedagang tembakau yang pertama sekali tertarik untuk menanam tembakau di Deli ialah Firma J.F van Leeuwen, dan mengirim pegawainya antara lain Tuan Jacobus Nienhuys dari pulau Jawa untuk datang ke Deli menggunakan kapal Josephine. Kemudian, Sultan Mahmud memberikan kepada mereka tanah dekat Labuhan (Tanjung Sepassai) secara erfpacht (kesepatana kontrak) selama 20 tahun. Walaupun mengalami berbagai kesulitan, dengan ketabahan Neinhuys ternyata tembakau Deli yang dikirim ke Rotterdam pada bulan Maret 1864 memberikan titik terang. Tembakau Deli sangat baik sebagai pembalut cerutu, hoppig en god brandeddekblad.

Panen tembakau perdana pada tahun 1865 sukses dengan gemilang dan menjadi perbincangan di Eropa karena mutunya yang sangat baik hingga terjual 189 pak daun tembakau dengan harga jual 149 sen/pound. Tersedianya lahan15 dan kualitas tembakau yang sangat baik kemudian mendorong minat

pemodal-15

pemodal besar untuk menanamkan sahamnya di daerah ini. Untuk melanjutkan usaha penanaman tembakau, Nienhuys menyediakan dana sebesar $10.000 dan membentuk perusahaan perkongsian atau bekerja sama dengan P.W Jansen dan G.C Clemen yang bernama Deli Maatschappij.

Suatu kenyataan sejarah menyebutkan bahwa pada tahun 1889 di Deli telah terdapat 170 perkebunan tembakau, meskipun jumlah tersebut menurun secara perlahan-lahan, seperti pada tahun 1914 tercatat 101 perkebunan. Pada tahun 1930 terdapat 72 perkebunan tembakau dan pada tahun 1940 tercatat 43

Suksesnya produksi tersebut didukung oleh tenaga kerja (buruh) yang membuka lahan, memelihara, memproduksi, serta membuat fasilitas-fasilitas perkebunan. Tenaga setempat (masyarakat yang mendiami wilayah Sumatera Timur) yang diharapkan ternyata mengalami kegagalan, karena umumnya masyarakat tidak terbiasa bekerja sebagai buruh. Pada umumnya mereka terbiasa bekerja di kebun sendiri yang cukup luas. Akibatnya dipakailah buruh Cina dari Pulau Pinang dan India (Keling)16 yang berasal dari Semenanjung Malaya (jajahan Inggris) untuk dijadikan pekerja.

Pada tahun-tahun berikutnya terlihat penurunan jumlah kuli Cina dan India, hal ini disebabkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mendatangkan mereka serta adanya proteksi oleh Inggeris. Selain itu, kuli-kuli Cina yang dikirim seringkali adalah para penjahat yang terlibat kejahatan disana. Menurut Sinar (1971:163) gaji para pekerja kuli kontrak ditaksir sekitar $3.50 sementara gaji bersih pengusaha Belanda pada saat itu sekitar $60-$70. Terbukti dari seringnya terjadi konflik sesama buruh maupun dengan pihak perkebunan. Pihak perkebunan pun akhirnya mencari langsung tenaga kuli Cina ke negerinya, namun

16Dalam buku ini, yang dimaksud Keling adalah merujuk kepada etnik Tamil dari India bahagian selatan. Dalam kebudayaan masyarakat Nusantara ini, istilah Keling bukanlah

“penghinaan,” tetapi merujuk kepada orang yang secara fisik berkulit hitam. Bahkan di dalam kebudayaan Melayu istilah Keling atau juga Hitam untuk menyebut seseorang yang berkulit hitam dan memiliki aura khusus yang tidak didapat pada kulit sawo matang (warna kulit umum ras Melayu). Misalnya di dalam kebudayaan Melayu, terdapat penggunaan nama yang menunjukan hal tersebut seperti Datuk Zainak Keling, Wan Ahmad Zainal bin Megat Hitam, dan lain-lain.

Bahkan raja Deli yang pertama, yakni Tuanku Gocah Pahlawan, juga adalah dari etnik Tamil.

Dalam konteks kota Medan terdapat sebuah kampung orang-orang Tamil ini yang disabut dengan Kampung Keling. Karena persepsi di kalangan orang Tamil bahwa Keling itu berkonotasi merendahkan maartabat, maka ramai-ramailah mereka meminta ditukar istilah Kampung Keling

karena biaya transportasi dan agen kuli terlalu besar akhirnya usaha tersebut dihentikan (Said, 1990:38).

Kondisi tersebut membuat pemilik perkebunan akhirnya menggunakan jasa pencari kerja atau werk (dalam bahasa Inggris disebut broker) yang bernaung dibawah AVROS (Algemeene Vereniging Rubberplanters Oostkust van Sumatra) untuk mencari dan mendatangkan tenaga kerja serta buruh Jawa yang tersedia dalam jumlah besar serta harganya yang relatif murah. Berdasarkan sifat dan produktivitasnya, buruh-buruh Jawa ini tidak jauh berbeda dengan buruh Cina.

Pengambilan buruh ini sebahagian dilakukan dengan cara menipu dengan menjanjikan upah yang besar. Ada pula yang dipaksa dengan menangkapi dan disuruh menandatangani perjanjian yang mereka tidak tahu isinya dan dijanjikan bujuk rayu dengan pemberian upah yang tinggi atau disebut dengan Penale Sanctie17.

Jumlah buruh Jawa yang didatangkan pada tahun 1884, ada sekitar 1.771 kuli18, pada tahun 1900 sudah mencapai 25.224 jiwa, dan meningkat terus pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1929, kuli Jawa diperkebunan Sumatera Timur telah mencapai 239.281 jiwa, dan pada tahun 1930 total penduduk Jawa di daerah ini telah mencapai 589.836 jiwa atau 35% dari total penduduk Sumatera Timur (Reid, 1987:850. Jumlah ini melebihi jumlah penduduk pribumi (Melayu, Karo, Simalungun) yang berjumlah 580.879 jiwa (34,5%), sedangkan jumlah

17Penale Sanctie ialah istilah yang digunakan oleh kolonial Holland (Belanda) untuk para kuli kontrak yang disertai dengan peraturan-peraturan tentang hukuman atas mereka (kuli kontrak). Lebih dalam dan rinci silahkan lihat Chatib (1995:10)

18Istilah kuli atau koeli itu sendiri dari asal muasalnya bukan rendah. Ia hanya bermakna “pengambilan upah,” dari bahasa Tamil dengan ejaan Inggriscooli. Orang yang mengambil upah ini menggunakan kemampuannya dalam merampungkan sesuatu pekerjaan yang diminta.

orang Eropa hanya sekitar 11.079 Jiwa, Cina 192.882 jiwa, sedangkan India dan timur asing lainnya berjumlah 18.904 jiwa.

Menurut Chatib (1995:10), sejak tahun 1911 dengan tiba-tiba kontrak kerja Penale Sanctie berganti menjadi istilah kontrak kerja bebas. Kontrak kerja bebas bermakna bahwa setelah kontrak berakhir, para kuli tidak bisa lagi mendapatkan upah dari kolonial Belanda. Kehidupan tenaga-tenaga kerja diperkebunan Sumatera Timur berada dibawah naungan pihak pengusaha perkebunan dan terpisah dengan aktivitas masyarakat diluarnya.

Namun yang terjadi setelah sampai di daerah imigrasi adalah jauh dari harapan mereka ketika masih ada di pulau Jawa. Karena sebenarnya semua biaya keberangkatan dari daerah asal sampai ditempat imigrasi dibebankan kepada mereka semua ditambah lagi dengan adanya judi, madat, pelacuran, serta sistem feodal Belanda yang menambah beban hutang yang melilit mereka.

Seiring pertumbuhan dan perkembangan perkebunan terjadi mobilitas penduduk yang tinggi kewilayah Deli. Pada awal abad ke-20 ada gelombang penduduk dari Jawayang tidak merupakan bagian dari kuli kontrak. Mereka adalah kelompok orang-orang Jawa priyayiyang datang karena berbagai kepentingan tugas, baik tugas dinas maupun dagang. Orang-orang Jawa dari kelompok ini tidak ingin meninggalkan kebudayaan yang mereka bawa dari tanah asalnya. Interaksi antara Jawa Priyayi dengan orang Jawa perkebunan yang telah keluar dari perkebunan dan telah tinggal di wilayah pinggiran perkotaan dimungkinkan terjadi karena adanya perpindahan pemukiman para buruh Jawa keluar daerah perkebunan.

Tabel 2.2

Jumlah Populasi Kuli Kontrak 1884 Hingga 1929

Tahun 1884 1900 1916 1920 1925 1929

Cina 21.136 58.516 43.689 23.900 26.800 25.934

Jawa 1.771 25.224 150.392 212.400 168.400 239.281

dan lain-lain 1.528 2.460 – 2.000 1.500 1.019

(sumber: Reid dalam Damanik 1987:299)

Koeli kontrak ialah sebutan untuk perjanjian contract koeli19. Sebutan ini kemudian lebih ditujukan kepada para pekerja kebun yang berasal dari Jawa. Para kuli kontrak Jawa yang merupakan pekerja tua yang umumnya dari generasi pertama, yang sejak lima puluh tahun terakhir berusaha menjauhkan diri dari status kuli kontrak, dan kebanyakan dari mereka telah memusatkan usahanya membangun rumah dan pekarangan sendiri untuk produksi pertanian kecil-kecilan ditepi-tepi perkebunan atau diatas lahan yang diserobot dari perkebunan tersebut.

Setelah selesai dari kontrak dengan perkebunan para bekas kuli banyak yang menjadi petani penyewa tanah dan banyak mendirikan permukiman yang selalu disebut sebagai Kampung Jawa, atau menjadi tenaga kerja di kota-kota di Sumatera Timur.

19Istilah coentract koeli adalah nama perjanjian kerja yang isinya mengikat pekerja kebun untuk patuh pada pengusaha perkebunan di Deli. Untuk lebih detil, silahkan lihat tulisan Avan (2012:126).

Tabel 2.3

Populasi Etnik di Sumatera Timur tahun 1930

Banyaknya Jumlah (Jiwa) Persen (%)

Suku Jawa menempati jumlah populasi penduduk terbanyak yakni berkisar 35% dari total penduduk di Sumatera Utara. Penyebab perpindahan suku Jawa ke Sumatera Utara antara lain karena adanya gelombang transmigrasi baik yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda maupun oleh pemerintahan Orde Baru.

Program transmigrasi20 yang dicanangkan Belanda, sebagai bagian dari politik

20Transmigrasi adalah salah satu bagian dari migrasi, yakni berpindahnya secara menetap sekelompok orang ke tempat yang baru. Transmigrasi (dari bahasa Belanda: transmigratie) adalah

Dokumen terkait