• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUBTOTAL PRIBUMI SUMATERA TIMUR

2.2.3 Religi dan kepercayaan

Menurut Koentjaraningrat (1995:295), suatu sistem religi dalam suatu kebudayaan selalu mempunyai ciri-ciri untuk sedapat mungkin memelihara emosi keagamaan itu diantara pengikut-pengikutnya. Dengan demikian, emosi keagaaman merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur lain yaitu: (1) sistem keyakinan, (sistem upacara keagamaan), (c) suatu umat yang menganut religi itu. Mayoritas masyarakat Jawa di Sumatera Utara adalah pemeluk agama Islam. Berdasarkan tingkat kemurnian dan ketaatan agamanya, masyarakat Jawa membedakan pemeluk agama menjadi dua kelompok, yaitu: (1) Wong Putihan, yaitu orang-orang Jawa yang taat menjalankan ajaran Islam; (2) Wong Lorek, yaitu orang yang yakin terhadap ajaran agama Islam tetapi tidak menjalankannya secara penuh, bahkan kadang-kadang mencampurkan unsur-unsur di luar Islam.

Menurut Naiborhu (2016:18-19), berbagai upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, baik berdasarkan kemurnian agama maupun percampuran antara agama dan budaya (sinkritisme) ialah upacara perkawinan, selametan, dan lain-lain. Secara tradisional, orang Jawa percaya kepada kekuatan yang melebihi kemampuan manusia, yaitu kasakten (arwah atau mahluk-mahluk halus).

Dipercaya bahwa mahluk halus tersebut dapat mendatangkan kebahagian dan

keberuntungan, dan sebaliknya dapat juga mendatangkan gangguan bahkan kematian. Untuk mengatasi gangguan tersebut dilakukan upacara berpuasa, berpantang, selamatan dan bersaji dengan maksud agar terhindar dari gangguan-gangguan pikiran bahkan kemungkinan kematian yang diakibatkannya.

Sedangkan kepercayaan berasal dari kata “percaya” adalah gerakan hati dalam menerima sesuatu yang logis dan bukan logis tanpa suatu beban atau keraguan sama sekali kepercayaan ini bersifat murni. Kata ini mempunyai kesamaan arti dengan keyakinan dan agama akan tetapi memiliki arti yang sangat luas.

Orang Jawa telah mengenal dan mengakui adanya Tuhan jauh sebelum agama masuk ke Jawa ribuan tahun yang lalu dan sudah menjadi tradisi sampai saat ini yaitu agama Kejawen yang merupakan tatanan pugaraning urip atau tatanan hidup berdasarkan pada budi pekerti yang luhur. Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada tradisi Jawa diwujudkan berdasarkan pada sesuatu yang nyata lalu kemudian direalisasikan pada tata cara hidup dan aturan positif dalam kehidupan masyarakat Jawa, agar hidup selalu berlangsung dengan baik dan bertanggung jawab.

Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama yang dianut di pulau Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Ciri khas dari agama Kejawen adalah adanya perpaduan antara animisme, agama hindu dan budha. Menurut Geetz (2000:142) penggolongan kepercayaan masyarakat Jawa terbagi menjadi 3 (tiga) tipe kebudayaan yaitu:

1. Abangan

Struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin, dan buruh kecil yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir, dan menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan abangan. Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan: (1) yang berkisar krisis kehidupan (2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa, (3) yang terkait dengan intregasi desa, dan (4) slametan untuk kejadian yang luar biasa yang ingin dislameti. Kesemuanya betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku sosial dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah dislameti.

2. Santri

Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona pada upacara. Sementara santri lebih memiliki perhatian terhadap doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam yang menipis. Untuk mempertahankan doktrin santri, mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Diantaranya pondok (pola santri tradisional), langgar, dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik Islam tradisional) dan sistem sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Kemudian memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukan pelajaran doktrin pada sekolah negeri.

3. Priyayi

Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau “berdarah biru” merupakan satu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan.

Kelompok ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi keraton Hindu-Jawa. Sebagai halnya masyarakat keraton, maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya. Kepercayaan-kepercayaan religius para abangan merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animis yang berakar dalam agama-agama Hinduisme yang semuanya telah ditumpangi oleh ajaran Islam.

Mayoritas masyarakat Jawa Deli tidak menganut sistem kebudayaan seperti diatas. Sebagian besar masyarakat Jawa Deli menganut sistem kepercayaan Abangan. Hal ini disebabkan riwayat dari kedatangan masyarakat Jawa ke Sumatera Utara yaitu dari golongan petani dan pekerja serta tidak memiliki pendidikan yang tinggi. Sedangkan sistem kepercayaan santri hanya minoritas dari jumlah penduduk Jawa Deli. Jawa santri yang ada di Sumatera Utara adalah orang Jawa yang sengaja menuntuk ilmu keagamaan dengan cara belajar khusus ke pesantren-pesantren lalu dikembangkan dilingkungan masyarakat. Seperti yang terdapat pada perkumpulan pengajian Jawa Deli yaitu MTA (Majelis Tafsir Alquran) yang terdapat didesa Lau Dendang Kabupaten Deli Serdang.

2.2.4 Bahasa

Bahasa merupakan sarana komunikasi dan interaksi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Bahasa mempunyai peranan yang cukup signifikan dalam pergaulan dalam masyarakat. Tanpa bahasa, hubungan dalam masyarakat, baik hubungan yang bersifat vertikal maupun horisontal tidak akan berjalan dengan lancar. Bahasa merupakan sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Bahasa merupakan sebuah sistem, yang artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Setiap lambang dari bahasa itu mengandung makna atau konsep. Jadi apabila seseorang berbicara dengan orang lain, maka orang lain tersebut akan mengerti tentang konsep atau makna yang disampaikan oarang yang bericara, karena dalam dialog tersebut menggunakan bahasa.

Selain digunakan sebagai alat komunikasi, bahasa juga bisa mempunyai fungsi untuk membedakan tingkatan sosial yang ada di masyarakat. Misalnya dalam bahasa Jawa sendiri, mempunyai beberapa tingkatan-tingkatan bahasa untuk membedakan status sosial maupun membedakan dari segi usia lawan bicara Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih hidup dan berkembang atau selalu mengalami perubahan dari masa ke masa dan sampai saat ini masih digunakan di Jawa Tengah. Bahasa Jawa merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa banyak memiliki variasi, yaitu salah satunya adalah variasi dialek.

Suku Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi

berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh22. Bahasa Jawa memiliki banyak tingkatan derajat penyampaian pada orang lain, tetapi sekarang di sederhanakan menjadi 3 tingkatan yaitu:

1. Bahasa krama inggil (digunakan pada percakapan dengan orang yang lebih tua);

2. Kramal madya (digunakan untuk lebih sopan pada seumuran);

3. Ngoko (bahasa yg digunakan kepada orang seumuran).

Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat. Mayoritas orang Jawa menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Sebagian lainnya menggunakan bahasa Jawa yang bercampur bahasa Indonesia. Bahasa Jawa bisa dikatakan bahasa yang rumit karena selain memiliki tingkatan berdasarkan siapa yang diajak bicara, bahasa Jawa juga memiliki perbedaan dalam hal intonasi. Aspek bahasa ini mempengaruhi hubungan sosial dalam budaya Jawa. Bahasa Jawa sendiri memiliki berbagai macam variasi dialek atau pengucapan.

22Unggah-ungguh dalam ilmu bahasa Jawa merupakan kata dwilingga salin swara dari kata/tembung 'ungguh' yang diulang dua kali. Arti kata ungguh adalah bagaimana bersikap terhadap orang lain yang kita ajak berinteraksi, yang didasarkan pada strata/tingkatan/kasta/level-nya.Unggah-ungguh bisa juga berarti (semantik) :Unggah (Indonesia: naik) : menaikkan derajat seseorang (yang diajak berinteraksi) sesuai dengan status (sosial) martabatnya...Ungguh, asal kata Lungguh (Indonesia : duduk) : mendudukkan/menempatkan diri kita dan orang lain yang diajak berinteraksi sesuai porsi, derajat dan martabatnya.Jadi unggah-ungguh = menghargai atau mendudukkan orang lain sesuai dengan 'Lungguh-e' (kedudukannya) dan siapa yang seharusnya di 'Unggah-ke'(dinaikkan), hal itu untuk menjaga orang yang kita ajak berinteraksi agar juga kembali ikut meng-unggah (menaikkan) dan me-lungguhke (menempatkan) diri kita. Contoh kalimatnya

Dialek-dialek bahasa Jawa juga dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Menurut Uhlenbeck (1964:192), pengelompokkan dialek ini didasarkan pada dialek-dialek yang digunakan dalam masyarakat yang bersangkutan serta dari segi geografisnya. Pembagian kelompok-kelompok tersebut antara lain:

1) Kelompok Barat

Bahasa Jawa Bagian Barat, yaitu Dialek Banten, Dialek Cirebon, Dialek Tegal, Dialek Banyumasan, Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas). Kelompok diatas sering disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.

2) Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah, yaitu Dialek Pekalongan, Dialek Kedu, Dialek Bagelen, Dialek Semarang, Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati), Dialek Blora, Dialek Surakarta, Dialek Yogyakarta, Dialek Madiun Kelompok kedua diatas sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta.

3) Kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur, yaitu Dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro), Dialek Surabaya, Dialek Malang, Dialek Jombang, Dialek Tengger, Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing).

Kelompok ketiga diatas sering disebut Bahasa Jawa Timuran.

Bahasa Jawa Dialek Solo-Yogya dianggap sebagai Bahasa Jawa Standar.

Hal ini di karenakan daerah Solo (Surakarta) dan Yogyakarta merupakan daerah kraton. Dimana Kraton tersebut adalah dianggap simbol yang penuh makna oleh masyarakat Jawa secara umum.

Dalam bahasa Jawa, pada dasarnya terdiri dari 3 kasta bahasa, yaitu: (1) Ngoko (kasar), (2) Madya (biasa), (3) Krama (halus) yang penggunaan tingkatan bahasa tersebut tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian ngoko, namun ketika berkomunikasi dengan orang tuanya akan menggunakan bahasa halu (krama).

Secara umum masyarakat Jawa menggunakan dua bahasa apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya, yaitu Jawa ngoko dan krama. Bahasa Jawa ngoko dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat sosialnya. Sebaliknya, bahasa Jawa krama dipergunakan untuk yang belum dikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajat, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta derajat sosialnya.

Dikalangan masyarakat Jawa Deli, bahasa pengantar adalah bahasa Jawa ngoko dan krama tanpa variasi dan kombinasi yang rumit sebagaimana halnya di Jawa. Namun, pada umumnya sebahagian besar menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat berkomunikasi baik antar sesama maupun dengan etnis lain.

Dokumen terkait