• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumatera Utara adalah salah satu wilayah administratif dan juga kebudayaan di pulau Sumatera yang mempunyai sistem sosial masyarakat heterogen.1Menurut data dari Badan Pusat Statistik tahun 2010 dijelaskan bahwa jumlah total penduduk Sumatera Utara adalah 12.980.000 jiwa yang terdiri atas beberapa kelompok etnik,2 yang terbagi atas penduduk asli (native people) yang terdiri atas etnik-etnik: Batak Toba, Mandailing, Simalungun, Karo, Nias, Pakpak, dan Nias dengan total persentase 48,31% dan Melayu 4,92%. Sumatera Utara juga dihuni oleh masyarakat pendatang, dengan populasi terbanyak yang terdiri atas suku Jawa 32,62%, Minangkabau 2,66%, Tionghoa 3,07%, serta suku pendatang

1Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah heterogen berarti terdiri atas berbagai unsur yang berbeda sifat atau berlainan jenis; beraneka ragam. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia pada edisi IV (2010:344). Dalam tesis ini, terminologi heterogen digunakan untuk menggambarkan beraneka ragam dan berlainan jenis berbagai kelompok etnik dan kebudayaannya masing-masing di Provinsi Sumatera Utara.

2Pengertian kelompok etnik (ethnic group) yang dalam bahasa Indonesia lazim digunakan kata suku bangsa atau suku, dalam tesis ini mengacu kepada pendapat Naroll, yang didefinisikannya sebagai populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial, dan bahasa.

Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesimpulan bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menghasilkan suku bangsa dan bangsa yang

berbeda-lain 8,5 %.3 Sedangkan Pola persebaran masyarakat terbagi menjadi masyarakat4 perbukitan, wilayah daratan, perkebunan, serta wilayah pesisir.

Masyarakat yang menetap dalam kurun waktu lama di Sumatera Utara telah mengalami fase perubahan pola sosial termasuk dibidang kebudayaan.

Menurut Kayam (2000:339) kesenian tradisional yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat mempunyai fungsi yang penting. Fungsi tersebut dapat terlihat dari dua segi yaitu dari segi wilayah jangkauannya dan dari segi fungsisosialnya.

Dari segi wilayah jangkauannya kesenian tradisional dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan dari segi fungsi sosialnya, daya tarik pertunjukan rakyat terletak pada kemampuannya sebagai pembangun dan memelihara solidaritas kelompok. Dari pertunjukan rakyat masyarakat dapat memahami kembali nilai-nilai dan pola perilaku yang berlaku dalam lingkungan sosialnya.

Mulai bergesernya makna dan fungsi kebudayaan leluhur disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor sosial disekitarnya. Disamping itu, dalam

3Dalam data ini, BPS berusaha menyatukan etnik-etnik Batak Toba, Mandailing, Simalungun, Karo, dan Pakpak menjadi satu kelompok etnik. Dalam kenyataannya, masyarakat ini lebih cenderung mengelompokkan dirinya sebagai etnik yang berbeda, walau disadari terdapat juga berbagai persamaan kebudayaan. Perbedaan dapat dilihat dari segi linguistik serta cerita rakyat (folklor) asal-usul mereka, dan sejumlah perbedaan lain. Persamaannya adalah memakai sistem tripartit sosial kemasyarakatan berdasarkan hubungan darah dana perkawinan, yang disebut dengan dalihan natolu (rakut sitelu atau daliken sitelu).

4Masyarakat yang dimaksud di dalam tesis magister ini adalah sesuai dengan definisi dari Koentjaraningrat, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifiat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1990: 146-147). Definisi itu menyerupai suatu definisi yang diajukan oleh J.L. Gillin dan J.P. Gillin, yang merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah: ... the largest grouping in which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are operative" (J.L. Gillin dan J.P. Gillin, Cultural Sociology (1954:139). Unsur grouping dalam definisi itu menyerupai unsur "kesatuan hidup" dalam definisi kita, unsur common customs, traditions, adalah unsur "adat-istiadat," dan unsur "kontinuitas" dalam definisi kita, serta unsur common attitudes and feelings of unity adalah sama dengan unsur "identitas bersama.” Suatu tambahan dalam definisi Gillin bersaudara tersebut adalah unsur the largest, yang "terbesar," yang memang tidak kita muat dalam definisi ini. Walaupun demikian konsep itu dapat diterapkan pada konsep masyarakat sesuatu bangsa atau negara, seperti misalnya konsep masyarakat Indonesia, masyarakat Filipina, masyarakat Belanda, masyarakat Amerika, dalam contoh di atas.

perkembangannya, berbagai bentuk kebudayaan ini juga mengalami perubahan-perubahan baik dari segi bentuk maupun dari segi isi pertunjukannya. Merriam mengemukakan bahwa perubahan dapat berasal dari dalam lingkungan kebudayaan atau intemal, dan juga dapat berasal dari luar kebudayaan atau ekstemal. Perubahan secara internal dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri dan disebut juga inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang timbul akibat pengaruh dari luar lingkup kebudayaan tersebut (Merriam, 1964:172).

Masyarakat Jawa yang berdomisili di Sumatera Utara disebut dengan masyarakat Jawa Deli atau Jawa kontrak. Jawa Kontrak adalah sebutan bagi mereka yang memiliki ikatan kerja dengan para penguasa pada zaman kolonialisme, mereka ditempatkan dikawasan-kawasan terdalam atau daerah-daerah terpencil yang memiliki potensi perkebunan seperti perkebunan karet, sawit dan juga kopi. Ketika masa kontrak mereka habis, sebagian dari orang-orang Jawa tersebut tidak kembali lagi ke Pulau Jawa, mereka memilih tetap bertahan diperkebunan yang mereka mencari tempat.

Istilah Jadel atau Jawa Deli, adalah sebutan bagi mereka yang datang dan bekerja sebagai kuli perkebunan di Tanah Deli (Sumatera Utara). Mereka bekerja sebagai kuli pada perkebunan tembakau di Medan atau pada saat itu lebih dikenal dengan sebutan Perkebunan Tembakau Deli, ketika masa kontrak habis mereka memilih untuk tinggal dipedalaman atau mencari tempat baru yang lebih tenang.

Menurut Sinar bahwa kerajaan-kerajaan yang muncul di pulau Sumatera diantaranya banyak yang silsilah raja-raja atau golongan bangsawan yang

merupakan keturunan orang-orang Jawa atau yang menjalin hubungan perkawinan dengan pihak kerajaan Jawa. Menurut Reid (2001:232):

Perpindahan orang Jawa di Sumatera secara besar-besaran dan mencolok dalam sejarah Indonesia yaitu sengaja didatangkan oleh pihak perkebunan sebagai tenaga kerja di Sumatera Timur. Sejak tahun 1880-an, bersama-sama dengan kuli orang Tionghoa mereka dibawa ke Sumatera Timur.

Disisi lain Said (1977:188) menjelaskan bahwa:

Jumlah kuli kontrak pribumi adalah mencapai 40.000 jiwa sebagian besarnya adalah orang Jawa. Setelah tahun 1910 kedatangan mereka bertambah banyak lagi disebabkan untuk menggantikan orang Cina yang pada masa itu sudah tidak terlalu menguntungkan VOC.

Masyarakat Jawa yang sudah lama berdomisili di Sumatera Utara memiliki beberapa kebudayaan yang dibawa dari tanah Jawa seperti wayang kulit, wayang wong, angguk, reog Ponorogo, jathilan, kuda kepang, tayub, ludruk, sintren, dan ketoprak. Dari sekian banyak kesenian Jawa yang masih ada dan berkembang hingga saat ini, paling banyak menarik perhatian ialah kesenian Ketoprak Dor. Ketika masyarakat Jawa yang berasal dari pulau Jawa khususnya dari daerah Surakarta atau Jawa Tengah melihat pertunjukan Ketoprak Dor Jawa Deli akan mengalami keterkejutan budaya (cultureshock). Karena sebagian besar dari pertunjukan Ketoprak Dor tidak sama bahkan sangat berbeda dengan Ketoprak Mataraman.

Ketoprak merupakan teater rakyat yang paling populer di Jawa Tengah, namun terdapat juga di Jawa Timur. Ketoprak berasal dari kata tok dan prak yaitu bunyi dari kentongan dan keprak. Dua alat musik yang terbuat dari bambu dan dipakai dalam teater rakyat tersebut. Kentongan yang bila dipukul berbunyi tok sedangkan keprak bagian samping kanan kirinya dipecahkan, sehingga ketika

dipukul berbunyi prak. Kesenian Ketoprak berbentuk pertunjukan drama musikal atau opera tradisional Jawa. Di dalam pertunjukannya seni tradisional ini terdapat beberapa unsur yang saling terkait dalam membangun bentuk pertunjukannya.

Seperti unsur gerak tari atau gaya tarian, unsur sastra, unsur teater, nyanyian rakyat (folksong), perlakonan watak, unsur musik tradisional serta tata panggung.

Menurut Sudarsono (2002:228) genre pertunjukan tradisional Ketoprak berasal dari Surakarta. Para senimannya kemudian menyebutnya sebagai Ketoprak Mataram atau Ketoprak Nengnong. Pertunjukan Ketoprak konon merupakan sebuah pertunjukan yang sangat ramai dikunjungi oleh penontonnya di pulau Jawa, khusunya didaerah Yogyakarta dan sekitarnya. Pertunjukan Ketoprak yaitu seni teater yang menggunakan dialog, drama, tarian, dan musik. Digelar disebuah panggung dengan mengambil cerita dari sejarah, cerita panji, dongeng dan lainnya dengan diselingi lawak.

Sedangkan di daerah Sumatera Utara terdapat juga jenis pertunjukan yang bernama Ketoprak Dor, yang mencirikannya sebagai khas Sumatera Utara, yang berbeda dengan kesenian sejenis dalam konteks kebudayaan Jawa didunia ini.

Istilah Dor merupakan onomatope5dari suara alat musik utama bernama kendang Jidor yang menghasilkan suara “dor” jika alat musik tersebut dipukul. Dalam konteks sejarah, menurut penjelasan para informan, keberadaan Ketoprak Dor sudah ada di Sumatera Utara sejak tahun 1940-an yaitu di daerah Pematang Siantar. Menurut Suroso keberadaan Ketoprak Dor di Pematang Siantar

5Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Jilid IV halaman 235 pengertian dari

disebabkan migrasi pertama masyarakat Jawa didaerah perkebunan Sidamanik dan Tanah Jawa (Suroso, 2006:6).

Ketoprak Dor merupakan seni pertunjukan yang lahir ditengah situasi buruh perkebunan dan perbudakan dan telah menjadi sejarah masyarakat Jawa di Jawa Deli. Awalnya Ketoprak Dor dipertunjukan oleh masyarakat Jawa di perkebunan untuk menghilangkan rasa rindu terhadap kesenian Ketoprak Mataram. Namun, perlakuan brutal yang diberikan oleh tuan kebun Belanda membuat para kuli kontrak melakukan pertunjukan Ketoprak secara sederhana dengan pakaian, alat musik, dan tata panggung yang sederhana juga.

Menurut Ladislao Székely dalam Rizaldi6bahwa:

Diantara para imigran Jawa nenek moyang para pemain Ketoprak Dor sampai ke Medan. Mereka didatangkan dari berbagai tempat di Jawa dan dikontrak selama tiga tahun, berdasarkan undang-undang kolonial, Ordonansi Kuli 1880. Kalau dalam masa kontrak melarikan diri, mereka diburu, ditangkap, dan dihukum dengan brutal.

Perlakuan buruk itu sering membuat para kuli mengamuk, marah membabi-buta karena tekanan keputus-asaan. Di tengah-tengah situasi seperti itu dan naluri untuk bertahan melalui seni, Ketoprak Dor lahir. Gending-gending yang masih mereka ingat dari kampung mereka mainkan dengan menggunakan alat musik Melayu, harmonium, alat musik sejenis akordion, ‘Jidor’ atau ‘tektek Dor’, yaitu gendang sejenis tambur yang dilengkapi kentongan (slit drum) berukuran kecil, dan kendang Jawa yang biasa dipakai mengiring wayang. Para kuli tak mungkin berharap ada gamelan tersedia, apalagi mengharap pendopo megah berlantai marmer, adem, dan angin yang berhembus semilir, seperti di Jawa. Di luar sana, dilahan buka kebun, hanya ada alas: hutan belantara yang digambarkan melalui pewayangan sebagai tempat yang “pekat dan ganas,” tempat dimana segala yang buas, jin, dan konsep kejahatan bersembunyi, atau sebalik-nya, garing setelah “babat alas” dilakukan dengan tunggul tegakan yang terbakar dan harus dicangkul dengan teknik membalik tanah yang terkenal dikuasai orang-orang Banyumas itu.

6Baca Harian Kompas dengan judul “Di tengah Perbudakan Lahir Ketoprak Dor” Edisi 13 Desember 2015

Secara umum pertunjukan Ketoprak Dor mempunyai babak atau adegan yaitu adegan pembuka, klimaks atau adegan yang biasanya berbentuk perkelahian, serta adegan penutup. Menurut Naiborhu dan Karina (2016:26) cerita atau lakon yang dibawakan adalah cerita dari babad Tanah Jawa serta cerita dari masyarakat Deli. Cerita yang menyangkut sejarah, seperti Arya Panangsang, Amandoko, Lutung Lasarung, Damarwulan, Raden Panji, Menakjinggo, Joko Bodo/Topeng Hitam, Pantai Solo, Tiga Putra Kembar, Ibu Tiri, Paman Berdosa, Air Mata Ibu yang berfungsi sebagai sarana pendidikan dan kenangan terhadap nilai-nilai sejarah Jawa juga sering ditampilkan. Cerita yang bertemakan pertanian seperti Dewi Sri yang sangat dihormati sebagai dewi kesuburan juga mereka ceritakan.

Cerita setempat yang diangkat dalam pertunjukan Ketoprak Dor antara lain adalah 1001 Malam yang berasal dari Baghdad (ibukota Irak), yang mereka sebut dengan Stambul Jawi (Istambul, atau Mesiran). Cerita Hang Tuah dan asal mula Sialang Buah, Legenda Putri Hijau, Anak Durhaka, Bersumpah di Sungai Deli juga dibawakan, atau cerita lainnya yang bersifat kekinian sesuai permintaan dan kebutuhan masyarakat penikmatnya. Sedangkan komposisi instrumen musik pengiring selama pertunjukan adalah gendang jedor, keprak, akordion, keyboard, serta drumset.

Melodi yang digunakan dalam pertunjukan Ketoprak Dor memiliki skala (scale) tangga nada pentatonis minor, zigana minor, dan slendro yang dimainkan secara berulang-ulang berdasarkan adegan yang dimainkan. Setiap melodi yang dimainkan mewakili adegan pertunjukan. Misalnya untuk membuka pertunjukan biasanya menggunakan motif Panembromo deng an menggunakan tangga nada

pentatonis dan diatonis minor.

Dalam penggunaan tembang atau lagu-lagu Jawa Ketoprak Dor mengunakan beberapa bentuk tembang yang dianggap lazim dilagukan yaitu tembang Macapat Matra Pucung, Mijil, Kinanti, Gamboh dalam cengkok7 ketoprakan atau gaya khas untuk panggung Ketoprak, sehingga biasa disebut juga mijil Ketoprakan atau pucung Ketoprakan atau kinanti Ketoprakan. Menurut Suroso (2015:43) gaya tembang ketoprakan ini dianggap tidak lagi sesuai dengan kaidah nilai seni-tembang yang baku, yang menjadi acuan kalangan kaum priyayi atau elit Jawa di Sumatera Utara, tembang pada Ketoprak dipandang sebagai

"rendah" atau "kasar."

Tiga bentuk iringan komposisi musik Ketoprak Dor yang dianggap penting dalam mengiringi adegan atau babakan adalah sebagai berikut:

1) Bentuk komposi panembrama adalah komposisi musik yang dimainkan pada saat pertunjukan pertama sekali dimulai, dengan melantunkan tembang pembuka dalam bentuk mijil8 dan kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan tembang giar-giar9 untuk tari persembahan atau pembuka.

Berikut adalah cuplikan bentuk musik panembrama yang ditulis dalam notasi balok dan tembang-tembang pembuka yang ditulis secara berurutan berdasarkan reportoar pertunjukan.

2) Bentuk komposisi suka-suka adalah bentuk komposisi musik yang digunakan dalam mengiringi adegan peperangan atau perkelahian. Musik

7Cengkok adalah gaya atau gramatik dalam olah vokal beberapa tradisi musikal di Indonesia seperti Jawa, Sunda, Bali, dan juga Melayu.

8Mijil/mi·jil/ n bentuk komposisi tembang macapat, biasanya untuk melukiskan rasa sedih atau kisah nasihat.

9Giar-giar adalah salah satu jenis dari tembang macapat.

suka-suka menurut pengamatan sementara peneliti, yaitu dimainkan dengan cara improvisasi bebas, tergantung pilihan melodi oleh pemainnya, dan biasanya dimainkan secara berulang ulang hingga puncak perkelahian selesai.

3) Bentuk komposisi sampak adalah bentuk komposisi musik yang digunakan dalam mengiringi hampir seluruh adegan. Musik sampak menurut pengamatan peneliti dibagi dalam dua bentuk, yaitu sampak yang cepat dan sampak yang lambat. Musik sampak ini terutama juga digunakan dalam adegan pertempuran dengan bentuk melodi yang refetitif atau berulang-ulang.

Di dalam pertunjukan Ketoprak Dor terdapat percampuran dialek yang diucapkan oleh para pemain. Menurut pengamatan sementara peneliti, dialek yang digunakan sangat unik seperti penggunaan dialek Jawa, Melayu, Tioghoa, serta Batak Toba di dalam sebuah pertunjukan Ketoprak Dor. Para pemain kebanyakan tidak menggunakan teks cerita atau lakon yang baku. Hal ini sangat berbeda dengan pertunjukan Ketoprak Mataram yang disetiap lakon pertunjukannya pemain membaca teks yang sudah disiapkan. Selain itu, di dalam pertunjukannya terdapat banyak sekali penggunaan bahasa lokal (slang)10 dan dialek tradisional yang sudah berasimilasi dengan kebudayaan lokal diucapkan oleh para pemain Ketoprak Dor. Seperti alamak jang, cak, awak, balek, begadoh, iya pulak, dan lain sebagainya.

10Slang adalah ragam bahasa tidak resmi dan belum baku yang sifatnya musiman.

Fenomena pertunjukan Ketoprak Dor ini menarik untuk dikaji serta di dalami bagaimana struktur pertunjukan Ketoprak Dor serta struktur musik yang disajikan di dalam sebuah pertunjukan Ketoprak Dor. Fokus yang dilakukan dalam menganalisis struktur pertunjukan dan struktur musik Ketoprak Dor ini menggunakan dua disiplin ilmu utama dalam bidang seni, yakni yang pertama kajian seni pertunjukan dan yang kedua etnomusikologi (kadangkala di Indonesia disebut musikologi etnik).

Yang dimaksud kajian seni pertunjukan atau kajian pertunjukan (performance study) adalah sebuah disiplin (ilmu) yang relatif baru, yang dalam pendekatan saintifiknya berdasar kepada interdisiplin atau multidisiplin ilmu, yaitu mempertemukan antara lain: antropologi, kajian teater, antropologi tari atau etnologi tari, etnomusikologi, folklor, semiotika, sejarah, linguistik, koreografi, kritik sastra, dan lainnya. Dua orang tokoh terkernuka pada disiplin ini adalah Victor Turner (antropolog) dan Richard Schechner (aktor, sutradara teater, pakar pertunjukan, dan editor majalah The Drama Review).

Sasaran kajian pertunjukan tidak terbatas kepada pertunjukan yang dilakukan diatas panggung saja, tetapi juga yang terjadi di luar panggung, seperti olah raga, permainan, sirkus, karnaval, perjalanan ziarah, nyekar, dan upacara. Dia menulis buku yang terkenal From Ritual to Theater On the Edge of the Bush:

Anthropology as Experience, The Anthropology of Performance, dan The Anthropology of Experience. Buku yang terakhir ini, disuntingnya bersama Victor Turner dan Edward M. Bruner tahun 1982 setahun sebelum ia meninggal dunia.

Pada karya-karyanya tersebut secara saintifik Schechner dan Turner tampaknya

menawarkan pentingnya pendekatan pengalaman, pragmatik, praktik, dan pertunjukan dalam mengkaji kesenian. Tentunya pendekatan ini diperlukan berdasarkan asumsi dasar bahwa pengalarnan yang kita alami tidak hanya dalam bentuk verbal tetapi juga dalam bentuk imajinasi dan impresi (kesan).

Disiplin kajian pertunjukan ini, menurut peneliti relevan untuk digunakan dalam konteks mengkaji Ketoprak Dor di Sumatera Utara sebagai sebuah pertunjukan budaya, yang mencerminkan aspek sosial kemasyarakatan orang-orang Jawa yang berada di Sumatera Utara, dan “jauh” dari pusat peradabannya, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Ketoprak Dor sebagai seni pertunjukan, adalah dipentaskan, dengan melibatkan seniman (tari, teater, musik), juga tata panggung, lighting, kostum, cerita, sound system, dan hal-hal sejenisnya. Secara kesejarahan pula Ketoprak Dor berbeda dan membedakan ekspresinya dengan ketoprak Mataram di Jawa Tengah. Ketoprak Dor sebagai pertunjukan, mengekspresikan kebudayaan Jawa terutama masyarakat kuli kontrak, yang hidup dalam tekanan sosiopolitis Belanda kala awal pertumbuhannya, dan perkembangannya yang melakukan pola-pola adaptasi dengan kebudayaan multikultural di Sumatera Utara. Selanjutnya seni Ketoprak Dor ini sanggat relevan dikaji menggunakan disiplin etnomusikologi.

Menurut Merriam, yang dimaksud dengan etnomusikologi adalah sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which

the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context.

Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4).11

Menurut pendapat Merriam seperti kutipan diatas, para ahli etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi (antropologi). Selanjutnya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.

Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana

11Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” diantara karya-karya yang bersifat etnomusikologis di seluruh dunia.

Dokumen terkait