• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asas-Asas Akad

Dalam dokumen sengketa ekonomi dalam islam (1) (Halaman 86-91)

BAB IV ANALISA PASAL-PASAL

D. Asas-Asas Akad

Pada awal buku II tentang ketentuan umum diawali pasal 20 yang menjelaskan pengertian umum yang dimaksud dalam KHES yang men-cakup tentang pengertian akad, bai’, syirkah, mudharabah, muzaraah, murabahah, musaqah, khiyar, ijarah, istisna, shunduq, hifzi ida’/safe deposit box, kafalah, hawalah, rahn/gadai, ghasb, Ifsad/perusakan, wa-di’ah, ju’alah, wakalah, mabi’/barang dagangan, saham, obligasi syariah, suk maliyah/reksa dana syariah, efek beragun aset syariah, surat berhar-ga komersial syariah, ta’min/asuransi, suq maliyah/pasar modal, nu-qud i’timani/pembiayaan, dain/utang, hisab mudayyan/piutang, da’in/ pemberi, mudayin/pemin-jam, waraqah tijariah/Surat berharga sya-riah, salam, tsaman/harga, qard, ta’widh/ganti rugi, lembaga keuangan syariah, sunduq mu’asyat taqa’udi/dana pensiun syariah, hisabat jariyat/ Rekening koran syariah serta bai’ al-wafa’/jual beli dengan hak membeli kembali.

Semuanya adalah istilah-istilah yang akan digunakan dalam menjelaskan terkait produk-produk maupun kegiatan yang diakui se-cara syari’ah oleh KHES. Sekilas memang menunjukkan kerumitan isti-lah. Apalagi beberapa diantaranya sangat dimungkinkan berbeda dari konsep aslinya.

Pasal 21 menyebutkan akad dilakukan berdasarkan asas: (a) ikhtiyari/sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena tekanan salah satu pihak atau pihak lain. Makna keterpaksaan bisa berasal dari ketidakberdayaan yaitu sa-lah satu pihak tidak memiliki pilihan (ikhtiyari) untuk melakukan al-ternatif lainnya. (b) amanah/menepati janji; setiap akad wajib dilaksa-nakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang sama terhindar dari cidera-ja-nji. (c) ikhtiyati/kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertim-bangan yang matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat. (d)

luzum/tidak berobah; setiap akad dilakukan dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir. (e) saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga tercegah dari praktik ma-nipulasi dan merugikan salah satu pihak. (f) taswiyah/kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang setara, dan mem-punyai hak dan kewajiban yang seimbang. (g) transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak secara terbuka. (h) kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengan kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban yang berlebihan bagi yang bersan-gkutan. (i) taisir/kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat mela-ksanakannya sesuai dengan kesepakatan. (j) itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak mengandung unsur je-bakan dan perbuatan buruk lainnya. (k) sebab yang halal; tidak berten-tangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram.

Merujuk pada asas-asas akad tersebut, intinya adalah berupaya mencegah terjadinya sengketa. Jika seluruh asas tersebut dilaksanakan oleh berbagai pihak-pihak yang terkait, maka penyelesaian sengketanya juga akan lebih mudah, mungkin akan bisa dihindari. Berikut ini adalah sebagian contoh simulasi penyebaran asas-asas akad dalam pasal-pasal KHES.

Diagram tersebut hanyalah sebagai ilustrasi bahwa, keseluruhan pasal-pasal yang ada di dalam KHES harus berlandaskan salah satu atau mungkin mencakup beberapa asas.

Berikutnya adalah analisi terhadap beberapa kemungkinan pa-sal-pasal yang menimbulkan perselisihan. Misalnya tentang kategori hukum akad dalam Pasal 26 disebutkan akad tidak sah apabila ber-tentangan dengan: (a) syariat islam; (b) peraturan perundang-undan-gan; (c) ketertiban umum; dan/atau (d) kesusilaan. Sekilas ketentuan tersebut bersifat struktural. Artinya, akad yang dianggap bertentangan dengan syari’at Islam lebih tinggi daripada yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau ketertiban umum dan kesusilaan. Jika masalah tersebut diajukan kepengadilan, pertimbangan peraturan

perundang-undanganlah yang akan menjadi dasar pegangan.

Kemudian terkait tentang ‘aib kesepakatan pada pasal 29 menyata-kan akad yang sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 huruf a ada-lah akad yang disepakati dalam perjanjian, tidak mengandung unsur ghalath atau khilaf, dilakukan di bawah ikrah atau paksaan, taghrir atau tipuan, dan ghubn atau penyamaran. Pasal ini menjelaskan pentingnya kepastian untuk menghindari resiko sengketa di masa yang akan da-tang. Intinya, semua yang disepakati dalam perjanjian harus bersih dari keragu-raguan.

Misalnya larangan penipuan pada pasal 33 dijelaskan bahwa pe-nipuan adalah mempengaruhi pihak lain dengan tipu daya untuk mem-bentuk akad, berdasarkan bahwa akad tersebut untuk kemaslahatannya, tetapi dalam kenyataannya sebaliknya. Pasal 34 menyebutkan penipuan merupakan alasan pembatalan suatu akad, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak membuat akad itu jika tidak di-lakukan tipu muslihat. Demikian juga larangan penyamaran pada pasal 35 yang disebutkan penyamaran adalah keadaan di mana tidak ada ke-setaraan antara prestasi dengan imbalan prestasi dalam suatu akad.

Baik penipuan maupun penyamaran dalam KHES dijadikan se-bagai alas an untuk pembatalan akad. Oleh karena itu, kejelasan akad merupakan salah satu hal penting untuk mencegah terjadinya sengketa. Seandainyapun terjadi sengketa, maka rujukan yang akan digunakan adalah kepastian akad.

Preventif Kejelasan Akad Resolusi

Selanjutnya penafsiran akad dalam pasal 48 dijelaskan bahwa pe-laksanaan akad atau hasil akhir akad harus sesuai dengan maksud dan tujuan akad, bukan hanya pada kata dan kalimat. Selanjutnya pada pasal 49 disebutkan: (1) pada prinsipnya akad harus diartikan dengan pen-gertian aslinya bukan dengan penpen-gertian kiasannya. (2) apabila teks

suatu akad sudah jelas, maka tidak perlu ada penafsiran.

Diperkuat lagi pada pasal 50 yang menyatakan dalam melaksana-kan suatu kalimat dalam akad lebih diutamamelaksana-kan daripada tidak melak-sanakan kalimat tersebut. Sama juga dengan pernyataan pasal 51 yang menyatakan bahwa apabila arti tersurat tidak dapat diterapkan, maka dapat digunakan makna yang tersirat. Pasal 52 memperkuatnya dengan menyatakan jika suatu kata tidak dapat dipahami baik secara tersurat maupun tersirat, maka kata tersebut diabaikan. Dilanjutkan dengan pa-sal 53 bahwa menyebutkan bagian dari benda yang tidak dapat di-bagi-bagi, berarti menyebutkan keseluruhannya. Pasal 54 menyatakan kata yang pengertiannya tidak dibatasi, diterapkan apa adanya, sepanjang tidak terbukti ketentuan syari’ah atau hasil pemahaman yang mendalam, membatasinya. Terkahir pasal 55 menjelaskan jika suatu akad dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian yang sedemikian yang memungkinkan akad itu dilaksana-kan daripada memberidilaksana-kan pengertian yang tidak memungkindilaksana-kan suatu pelaksanaan.

Hal lain yang bisa merusak akad dan menimbulkan sengketa ada-lah ingkar janji. Dalam pasal 36 disebutkan bahwa pihak dapat dianggap melakukan ingkar janji, apabila karena kesalahannya: (a) tidak mela-kukan apa yang dijanjikan untuk melamela-kukannya; (b) melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; (c) melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat; atau (d) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Ingkar janji berdasarkan pasal 36 KHES mengandung empat pola; tidak melakukan, tidak sesuai janji, terlambat dan melanggar. Keem-pat pola tersebut tanpa harus terakumulasi kedudukannya. Terjasi salah satu saja, maka pihak terkait bisa dikatakan telah melakukan ingkar ja-nji.

Selanjutnya diperjelas lagi pada pasal 37 yang menyebutkan pihak dalam akad melakukan ingkar janji, apabila dengan surat perin-tah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan ingkar janji atau demi perjanjiannya sendiri menetapkan, bahwa pihak dalam akad harus dianggap ingkar janji dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Berikutnya masih topik tentang ingkar janji, disebutkan dalam pasal 38 bahwa pihak dalam akad yang melakukan ingkar janji dapat dijatuhi sanksi: (a) membayar ganti rugi; (b) pembatalan akad; (c) peralihan ri-siko; (d) denda; dan/atau (e) membayar biaya perkara.

Hal yang menjadi perhatian adalah, apakah urutan tersebut bisa dipilih salah satunya atau harus disesuaikan dengan urutannya. Artinya jika si “G” melakukan ingkar janji, maka si “G” harus membayar ganti rugi terlebih dahulu. Jika nanti ternyata tidak mampu baru sanksi be-rikutnya. Atau, sanksi itu bersifat komulatif. Sehingga, saat si “G” mela-kukan ingkar janji maka si “G” akan dikenakan semua akumulasi sanksi.

Hal itu sangat beralasan jika merujuk pada pasal 39 yang menya-takan bahwa sanksi pembayaran ganti rugi dapat dijatuhkan apabila: (a) pihak yang melakukan ingkar janji setelah dinyatakan ingkar janji, tetap melakukan ingkar janji; (b) sesuatu yang harus diberikan atau dibua-tnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya; (c) pihak yang melakukan ingkar janji tidak da-pat membuktikan bahwa perbuatan ingkar janji yang dilakukannya tidak di bawah paksaan.

Pertanyaannya adalah bagaimana dengan sanksi lainnya? Bila di-pahami berdasarkan pasal 39 tersebut, berarti sifat sanksi bagi orang yang melanggar perjanjian bersifat struktur dan tidak pilihan apalagi kumulatif.

Meskipun demikian ada beberapa pengecualian seseorang didu-ga melakukan ingkar janji. Misalnya terdapat pada pasal 41 disebutkan bahwa syarat keadaan memaksa atau darurat adalah seperti: (a) peri-stiwa yang menyebabkan terjadinya darurat tersebut tidak terduga oleh para pihak; (b) peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak yang harus melaksanakan prestasi; (c) peristiwa yang menyebabkan darurat tersebut di luar kesalahan pihak yang harus me-lakukan prestasi; (d) pihak yang harus meme-lakukan prestasi tidak da-lam keadaan beriktikad buruk.

Menurut KHES, kerugian yang disebabkan oleh pasal 41 bukanlah ingkar janji, tetapi lebih sebagai sebuah resiko. Risiko yang tercantum dalam pasal 42 disebutkan bahwa kewajiban memikul kerugian yang

tidak disebabkan kesalahan salah satu pihak dinyatakan sebagai risiko. Oleh karena itu, resiko dalam pasal ini mengandung makna gan kedua belah pihak. Resiko tidak dimaknai hanya menjadi tanggun-gan satu pihak saja. Sehingga sangat ditentukan kesalahan yang terjadi. Meskipun demikian solusi terhadap peristiwa sebagaimana yang terjadi pada pasal 42 dijelaskan dalam pasal 43 bahwa: (1) kewajiban beban kerugian yang disebabkan oleh kejadian di luar kesalahan salah satu pihak dalam akad, dalam perjanjian sepihak dipikul oleh pihak pe-minjam; (2) kewajiban beban kerugian yang disebabkan oleh kejadian di luar kesalahan salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik, dipikul oleh pihak yang meminjamkan.

Hingga di sini, sangat jelas penyelesaian sengketa yang ditawarkan oleh KHES terhadap suatu pernyataan atau kalimat yang telah disepa-kati. Mulai dari melaksanakan sesuai dengan isi perjanjian hingga me-lakukan sesuatu daripada tidak sama sekali, meskipun ada “bau” ingkar janjinya. Tentunya selama tidak bertentangan dengan hukum Islam atau peraturan perundang-undangan.

Dalam dokumen sengketa ekonomi dalam islam (1) (Halaman 86-91)

Dokumen terkait