• Tidak ada hasil yang ditemukan

sengketa ekonomi dalam islam (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "sengketa ekonomi dalam islam (1)"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN

SENGKETA

EKONOMI

DALAM ISLAM

(Studi terhadap Buku I dan II

dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah)

S Y A I F U L I L M I

Editor:

(2)

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)

PENYELESAIAN

SENGKETA EKONOMI DALAM ISLAM (Studi terhadap Buku I dan II dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES)

Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved © 2015, Indonesia: Pontianak

Penulis: SYAIFUL ILMI

Editor:

DR. FIRDAUS ACHMAD, M.HUM Cover dan Layout: SETIA PURWADI Diterbitkan Oleh: IAIN Pontianak Press

Jl. Letjend. Soeprapto No.19 Pontianak 78121 Telp./Fax. (0561) 734170 Cetakan Pertama: September 2015

(3)

S

yukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT sela-lu melimpahkan berkah, mairah, hidayah serta perkenan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan dengan baik buku “Penye-lesaian Sengketa Ekonomi Dalam Islam (Studi terhadap Buku I dan II dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES)”

Selawat serta salam penulis haturkan kepada Baginda Nabi Agung Muhammad SAW serta para sahabat, keluarga sampai pada pen-gikut-Nya akhirulzaman, karena beliaulah kita semua dapat menikmati indahnya Iman serta Islam.

Harapan saya juga para pembaca budiman sekalian, semoga saja sajian akan isi dapat membantu mahasiswa menyiapkan materi kuliah dan secara umum lebih jauh tahu tentang penyelesaian sengketa eko-nomi dalam Islam dengan melihat aspek-aspek seperti: sejarah peru-musan kompilasi hukum ekonomi syari’ah (KHES) terhadap kebutuhan sosial dan politik hukum, beberapa Kritik terhadap KHES seperti pen-gertian umum penyelesaian sengketa, defenisi sengketa, pendekatan dalam resolusi konlik, alternative dispute resolution (ADR). Sengketa dalam ekonomi syari’ah seperti pengertian sengketa ekonomi syari’ah,

KATA

(4)

sumber hukum penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, bentuk-ben-tuk alternative dispute, resolution (ADR), penyelesaian sengketa dalam Islam. Analisa pasal-pasal terhadap akad: sengketa disekitarnya, subyek hukum dan persoalan disekitarnya, aspek-aspek amwal dan persoalan-nya, asas-asas akad, akad-akad lainnya dan sulhu/perdamaian dalam KHES.

Buku ini merupakan bagian besar dari penelitian yang dilakukan dalam melihat dunia ekonomi Islam dalam kenyataan serta menemukan titik terang penyelessaian sengketa dalam ekonomi Islam. Penulis juga mengucapakan terima kasih kepada saudara Syahbudi, M.Ag dan Dr. Firdaus Achmad, M.Hum, yang telah berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengedit buku ini sehingga layak diterbitkan.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa buku ini yang ada dihadapan pembaca tidak luput dari kekurangan serta kekhilafan baik disenggaja maupun tidak sengaja. Berangkat dari hal tersebut semoga buku yang penulis hadirkan didepan para pembaca sekalian dapat berguna. Buku ini tidak ada apa-apa kalau dibandingkan dengan kesempurnaan yang dimilik Allah SWT. Oleh karena itu, kritik serta saran yang bersifat membangun demi mencapai kesempurnaan dari para pembaca sangat diharapkan guna perbaikan buku ini kedepan. Walaupun yang memi-liki kesempurnaan mutlak hanya Allah SWT namun kita semua harus berusaha bisa memperkecil kesalahan.

Pontianak, September 2015

Penulis

(5)

KATA PENGANTAR ...3

DAFTAR ISI ...5

BAB I PENDAHULUAN ...7

BAB II TEORI ...11

A. Kajian Teks ...11

B. Teoretik Mendalam ...15

BAB III SEJARAH PERUMUSAN KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARI’AH (KHES) ...21

A. Kebutuhan Sosial dan Politik Hukum ...21

B. Beberapa Kritik terhadap KHES ...32

1. Persipan Penyusunan KHES ...32

2. Terminologi Rumusan Teori Akad ...34

3. Istilah Syari’ah dalam KHES ...35

4. Pengertian Riba dalam Akad Qardh ...36

5. Dominasi Konsep Akad ...36

6. Belum Menyebutkan Sub-Sub Topik Penting dalam Akad ...37

7. Adanya Barang Jaminan dalam Mudhorobah ...37

8. Nishab Zakat Tanaman dan Buah-Buahan ...38

BAB IV PENGERTIAN UMUM PNYELESAIAN SENGKETA ....39

A. Defenisi Sengketa ...39

B. Beberapa Pendekatan dalam Resolusi Konlik ...41

C. Alternative Dispute Resolution (ADR) ...45

D. Sengketa dalam Ekonomi Syari’ah ...47

(6)

E. Pengertian Sengketa Ekonomi Syari’ah ...49

F. Sumber Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah ...49

1. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil) ...49

2. Sumber Hukum Materiil ...50

G. Bentuk-Bentul Alternative Dispute Resolution (ADR) ...56

1. Konsultasi ...56

2. Negosiasi ...56

3. Mediasi...57

4. Arbitrase ...61

H. Penyelesaian Sengketa dalam Islam ...64

BAB IV ANALISA PASAL-PASAL ...75

A. Akad: Sengketa Disekitarnya ...75

B. Subyek Hukum dan Persoalan Disekitarnya ...79

C. Aspek-Aspek Amwal dan Persoalannya ...84

D. Asas-Asas Akad ...86

E. Akad-Akad Lainnya ...91

F. Sulhu/Perdamaian dalam KHES ...97

1. Penggantian Objek Shulh ...98

2. Gugatan dalam Shulh ...98

BAB IV PENUTUP ...103

A. Kesimpulan ...103

B. Saran ...105

(7)

S

ejak wacana dan praktek ekonomi Islam menggeliat, berbagai upaya serius dilakukan untuk mengimplementasi-kannya. Ti-dak hanya disambut dengan baik di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, tetapi juga di beberapa negara yang notabenenya dikenal sebagai penggiat ekonomi kapitalis.1 Respon positif juga

tunjukkan dengan munculnya berbagai paradigma terkait dengan di-scourse ekonomi Islam, bahkan saat ini -menggunakan skema islamisasi pengetahuannya Ismail Ruji al-Faruqi sebagaimana yang dikutip Louay Sai sudah mencapai pada tahapan desiminasi melalui pendirian pendi-dikan formal yang mengajarkan ekonomi Islam, dan penerbitan buku-buku teks terkait dengannya.2

Untuk Indonesia sendiri, hiruk pikuk ekonomi Islam juga bukan sesuatu yang baru, sekalipun institusinya baru didirikan tahun 1992.

1 Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest; A Study of the Probihition of Riba and its Contemporary Interpretation, New York; Köln: E. J. Brill, Leiden, 1996.

2 Louay Sai, he Foundation of Knowledge; A Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, Malaysia: Internasional Islamic University and IIIT, 1996.

BAB I

(8)

Namun, secara historis, ide untuk pendirian institusi keuangan berba-sis Islam sudah ada sejak tahun 1940-an sebelum masa kemerdekaan.3

Memasuki tahun 2000-an konsep ekonomi syari’ah atau ekonomi Islam mulai melembaga di berbagai institusi keuangan makro dan mikro. Un-tuk itulah, seiring dengan perkembangan tersebut, muncul tuntutan dari berbagai pihak yang bergerak di bisnis syari’ah untuk mendapa-tkan payung hukum yang tegas. Dasar hukum yang bisa memberikan kepastian dan atau keadilan hukum.

Sebagai contoh, dalam pasal 26 KHES tentang kategori hukum akad dinyatakan bahwa akad tidak sah apabila bertentangan dengan: a. syari’at Islam, b. peraturan perundang-undangan, c. ketertiban umum; dan/atau d. kesusilaan. Keempat persyaratan tersebut masih sangat ka-bur dan menimbulkan penafsiran yang saling bertolak belakang. Jika suatu akad sudah sesuai dengan pertauran perundang-undangan, na-mun dianggap belum sesuai syari’at Islam, maka dasar untuk memba-talkannya tidak kuat, karena negara Indonesia tidak menganut sistem pemahaman atau mazhab keagamaan tertentu.

Disamping itu, persyaratan yang dimaksud dalam pasal 26 KHES tersebut bersifat komulatif. Terutama kata tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam Islan sendiri, banyak terjadi perdebatan tentang sebuah produk atau sesuatu tindakan itu boleh atau tidak. Bahkan po-sisi hukumnya bisa berada pada wilayah yang absurd. Misalnya, hukum Islam menerima adanya ketetapan hukum yang kategoristik namun ti-dak berjenjang, mulai dari halal, haram, makruh, sunnah dan mubah. Lima kategorisasi tersebut sulit untuk mengidetiikasinya dalam kon-teks tidak bertentangan dengan syarat perundang-undangan, keterti-ban umum serta kesusilaan.

Sebagai contoh, kodok oleh sebagian ulama merupakan binatang yang haram dimakan, Karena masuk binatang yang hidup di dua alam. Namun, menjualnya, bagi sebagian ulama dibolehkan. Oleh karenanya,

(9)

MUI pernah mengeluarkan fatwa, bahwa memakan kodok haram ka-rena merujuk pada pendapat Imam Syai’i, sementara memperjual be-likan kodok dibolehkan karena merujuk pada pendapat Imam Malik.

Untuk itu, perlu pemahaman terhadap pasal-pasal lainnya untuk mendapatkan penyelesaian persyaratan pasal 26. Misalnya merujuk pada pasal 54 yang menyebutkan kata yang pengertiannya tidak dibatasi, diterapkan apa adanya, sepanjang tidak terbukti ketentuan syari’ah atau hasil pemahaman yang mendalam, membatasinya. Jadi, kata syari’ah Islam tidak bisa berlaku tanpa adanya pembatasan. Pembatasan-pem-batasan sekali lagi sangat subyektif. Karena di dalam Islam, kesepakatan ulama secata keseluruhan tidak terjadi dalam semua hal. Disamping itu, para ulama juga tidak melakukan kesepakatan dalam satu Majlis untuk menentukan suatu dasar fakta hukum. Kalaupun terjadi, masing-ma-sing diberi hak untuk berpendapat sendiri. Namun pada pasal 55 di-sebutkan apabila suatu akad dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian yang sedemikian yang memungkin-kan akad itu dilaksanamemungkin-kan daripada memberimemungkin-kan pengertian yang ti-dak memungkinkan suatu pelaksanaan. Pasal 55 ini mengandung asas pragmatisme, karena inti dari akad adalah bagaimana bisa diwujudkan dengan pengertian yang kuat dan jelas.

Pragmatisme merupakan salah satu aliran ilsafat yang lebih mem-berikan perhatian pada dilakukannya pengamatan empiris yang bersifat penyelidikan melalui cara eksperimen (tindak percobaan), kemudian diikuti dengan pembentukan kebenaran yang mempunyai akibat-akibat yang memuaskan. Bisa juga pragmatisme berarti keadaan mempergu-nakan segala sesuatu secara berguna atau bermanfaat.

Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani “rragma” yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). “Isme” sendiri bermakna ajaran atau paham. Oleh karenanya, pragmatisme bermakna paham yang menjelaskan bahwa tindakan yang bermanfaat adalah ukuran dari semua kebenaran tindakan.

(10)

da-sar tindakan asalkan membawa akibat praktis yang bermanfaat. Dengan kata lain, pragmatism memegang prinsip “manfaat untuk tujuan hidup praktis”.

Secara teoritis (lex generalis) yang menjadi sumber hukum sya-ri’ah memiliki kesamaan di seluruh dunia, namun dari segi prakteknya di beberapa negara memiliki perbedaan-perbedaan yang lebih rinci (lex specialis) menyesuaikan dengan pengaruh kondisi idiologi-politik, so-sial-ekonomi masing-masing tempat. Namun, adanya perbedaan-per-bedaan tersebut menjadi gambaran bahwa hukum Islam mengalami dinamika perubahan yang menunjukkan sifat elektisitasnya (al-sa`ah wa al-murunah).

Dari aspek kelembagaan, yang berwenang untuk menangani sen-gketa syari’ah adalah pengadilan agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Hal itu semakin kuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pada pasal 55 tentang Penyelesaian Sengketa disebutkan: (1). Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. (2). Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. (3). Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syari’ah.

(11)

A. Kajian Teks

Kajian teks yang mengungkap wacana penye-lesaian sengketa ekonomi syari’ah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) belum ditemukan. Selama ini, kajian penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dalam literatur iqh di bahas di dalam bab al-sulh,1 itupun tidak

dikhususkan pada kasus ekonomi saja tetapi juga terkait didalamnya masalah-masalah lain seperti hudud, dll. Pembahasan penyelesaian sengketa juga tersebar pada seluruh bab sesuai dengan masing-masing tema kecuali masalah ibadah-, misalnya ada dalam bab bayu’, bab syir-kah, bab mudharabah, bab talis dst.

Namun, terkait dengan penyelesaian sengketa dalam pengertian yang umum, ada beberapa hasil yang dapat ditampilkan. Seperti peneli-tian yang dilakukan oleh Syahbudi, dkk tahun 2009 tentang Paradigma Al-Qur’an tentang Resolusi Konlik (Studi Terhadap Ayat-Ayat Hukum

1 Lihat misalnya dalam ‘Ali Fikri, al-Mu’amalah al-Madiyah wa al-Adabiyah, Jilid 2, (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1938), h. 269-dst. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (ttp: Dar al-Fikr, 1984).

BAB II

(12)

Mu’amalah), yang direlease oleh STAIN Pontianak. Penelitian ini beru-paya mengungkap landasan ideal dan praktis perspektif al-Qur’an ten-tang konlik dan resolusinya dengan fokus pada kasus hukum syiqaq dan qishash. Menurut Syahbudi, berdasarkan lafaz-lafazh dan istilah tehnis dalam al-Qur’an yang terkait dengan resolusi konlik, secara jelas menegaskan sebuah paradigma teo-antrophomorpisme. Dari dua kasus yang dijadikan contoh, puncak resolusi yang paling tinggi adalah sanksi moral untuk mempertanggung jawabkannya pada Allah, meskipun pentingan pihak-pihak tetap diperhatikan. Terjadinya putusan atau ke-sepakatan terhadap kasus syiqaq, tidaklah hanya berorientasi pada isu yang dikemukakan masing-masing pihak. Jelas dinyatakan bahwa Al-lah senantiasa bersama pihak-pihak yang mengalami syiqâq. Ini sebuah keterlibatan teologis (theology intervention) yang memberikan warna dalam resolusi konlik syiqâq, demikian juga terhadap kasus pembu-nuhan. Kesimpulan ini sekaligus mematahkan asumsi beberapa kelom-pok masyarakat bahwa Islam dekat dengan kekerasan dan kanibalisme. Justru sebaliknya, melalui paradigmanya yang memadukan antara un-sur manusia dan teologi, Islam ingin menjadikan resolusi konlik mem-patkan manusia itu pada kedudukan yang sebenarnya.2

Hal senada juga terdapat pada artikel yang ditulis Abu Rohmad dengan judul Paradigma Islam dalam Penyelesaian Sengketa.3 Artikel

ini mengkaji bagaimana paradigma hukum Islam dalam menyelesaikan sengketa, apakah cenderung menggunakan pranata litigasi atau non-li-tigasi? Serta masalah-masalah apa saja yang dapat diselesaikan melalui dua kecenderungan tersebut? Rohmad berupaya menggambarkan se-cara luas paradigma Islam dalam menyelesaikan perkara. Namun, ar-tikel ini hanya mendasarkannya pada kasus sengketa kepemilikan tanah saja.4

2 Syahbudi, dkk, Paradigma Al-Qur’an tentang Resolusi Konlik (Studi Terha-dap Ayat-Ayat Hukum Mu’amalah), (STAIN Pontianak: P3M, 2009), tidak diterbitkan.

3 Abu Rohmad, ”Paradigma Islam dalam Penyelesaian Sengketa” dalam In-ternational Journal Ihya ’lum al-Din, Vol. 10, Number 1, June 2008, IAIN Walisongo Semarang, Indonesia.

(13)

Obyek yang berbeda juga dilakukan oleh Siti Zainab dengan ju-dul Manajemen Konlik Suami Istri dalam Perspektif al-Qur’an.5

Peneli-tian ini menitik beratkan pada kasus konlik yang terjadi dalam rumah tangga yang dianalisa berdasarkan tiga ayat yang terdapat dalam: Su-rah al-Nisa’/4: 34; 35 dan 128, dengan menggunakan pendekatan tafsir maudhu’i dan content analysis.

Pada konteks yang sama Ratno Lukito menulis artikel dengan judul Religious ADR; Mediation in Islamic Family Law Tradition.6

Di-dasarkan pada judulnya, maka dapat dipastikan tulisan Ratno Lukito terfokus pada wacana mediasi dan hubungannya dengan resolusi kon-lik dalam keluarga. Dalam tulisan ini, Ratno mendeskripsikan tentang teori umum mediasi dalam sistem keilmuan ADR (Alternative Dispute Resolution) dan kemudian menghubung-kannya dengan tradisi mediasi dalam masyarakat Islam yang diambil dari al-Qur’an surah al-Nisa’/4: 35. Menurut Ratno, ADR yang tumbuh dan berkembang sebagai meto-de mometo-dern sangat dimungkinkan untuk diterapkan tanpa mengabaikan tujuan utama dari dasar pengajaran al-Qur’an surah al-Nisa’/4: 35 yaitu tindakan menghindari terhadap putusnya perkawinan dalam konlik keluarga (the circumvention of marital dissolution in family disputes)7.

Selanjutnya buku mediasi dan Resolusi Konlik di Indonesia: dari Konlik Agama hingga Mediasi Peradilan, yang ditulis oleh Musahadi HAM (dkk). Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang menguraikan berbagai pendekatan mengenai mediasi, resolusi konlik dan peace bu-ilding dalam konteks ke Indonesiaan.8 Buku yang hampir mirip juga

ditulis oleh hoha Hamim (dkk) dengan judul Resolusi Konlik Islam

5 Siti Zainab, ”Manajemen Konlik Suami Istri dalam Perspektif al-Qur’an” dalam Jurnl Studi Agama dan Masyarakat, Volume 3, No. 1 Juni 2006, P3M STAIN Palngkaraya, Kalimantan Tengah.

6 Ratno Lukito, “Religious ADR; Mediation in Islamic Family Law Tradition” dalam Journal al-Jami’ah, Vol. 44, No. 2, 2006 M/1427 H, UIN Sunan Kalijaga, Yogya-karta.

7 Ibid., h. 343

(14)

Indonesia. Buku ini banyak membahas tentang konlik dan model reso-lusi dari perspektif etno-sosio- historis kemudian konlik dan model re-solusi dari perpektif teologis, serta membaca realitas konlik dan model resolusinya berdasarkan analisis tekstual serta diperkaya dengan hasil penelitian lapangan.9

Penelitian tentang aturan yang berkaitan dengan perdata syari’ah pernah dilakukan oleh Rahmat dengan judul Syirkah (Kerjasama) da-lam Tinjauan Kitab Undang Undang Hukum Perdata Isda-lam (KUHPI) dan Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPer). Penelitian ini tidak menjelaskan tentang penyelesaaian sengketa apabila terjadi dalam syirkah (kerjasama). Lebih pada mencari persamaan dan perbedaan sisi paradigmatik terkait dengan kerjasama (in abstracto) yang mencakup nilai-nilai dasar atau ilosois serta asas-asas kerjasama yang terdapat pada KUHPI dan KUHPer.10

Untuk penelitian yang berhubungan dengan studi terhadap Kom-pilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) seperti yang dilakukan oleh Abdul Mughist yang berjudul Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) dalam Tinjauan Hukum Islam. Tulisan ini berupaya memaha-mi KHES melalui perspektif hukum Islam. Menurut Mughist, penyu-sunan KHES merupakan upaya positiisasi hukum ekonomi ke dalam sistem hukum nasional untuk merespon secara sosiologis kebutuhan terhadap pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan syari’ah. Bagi Mu-ghist, KHES merupakan bentuk dari iqh Indonesia dan ijtihad kolektif. Dalam tulisan ini, Mughist tidak mendalami muatan makna pasal demi pasal khususnya tentang penyelesaian sengketa yang terkandung di da-lam KHES baik secara eksplisit maun implisit.11

9 hoha Hamim, dkk., Resolusi Konlik Islam Indonesia (Surabaya: Lembaga Studi Agama dan Sosial (LSAS) dan IAIN Sunan Ampel: IAIN Press, 2007).

10 Rahmat, Syirkah (Kerjasama) dalam Tinjauan Kitab Undang Undang Hu-kum Perdata Islam (KUHPI) dan Kitab Undang Undang HuHu-kum Perdata (KUHPer), (STAIN Pontianak: P3M, 2010), tidak diterbitkan.

(15)

B. Teoretik Mendalam

Apa itu teks? Pertanyaan mendasar ini tidak berkaitan dengan pe-nulisan opini atau artikel, pembuatan undang-undang atau jenis-jenis teks yang mengikat, sebaliknya, ini merupakan pertanyaan yang men-cakup berbagai macam model tekstual yang muncul dalam argumen-ar-gumen terkini mengenai apa itu hukum dan bagaimana hukum harus dipahami.12 Teks hukum hadir untuk menceritakan bagaimana kondisi

masyarakat dalam relasi kekuasaan politik dan sosialnya. Kaum post-strukturalis bahkan memahami kehadiran teks adalah ungkapan keti-dakbebasan manusia dalam ketidakberdayaan linguistik. Sebaliknya, kaum positivistik masih memiliki pandangan bahwa teks hukum harus ditafsirkan berdasarkan model proposisi logis, yaitu sebagai sebuah sta-temen yang bisa dinilai benar atau salah (dalam pengertian tertentu) menurut aturan-aturan penalaran.13

Teks berhenti sementara peristiwa bergerak (An-Nushus Mu-tanahi Wa al-Waqa’i ghairu MuMu-tanahi) adalah ungkapan dalam teori hukum Islam (baca: usul al-iqh). Ungkapan ini kemudian melahirkan dua pendekatan utama dalam penemuan hukum Islam; antara pendeka-tan teks dan pendekapendeka-tan non teks seperti teleologis. Kekuapendeka-tan teks tidak hanya terletak rumusan-rumusannya, tetapi ungkapan-ungkapannya juga memberikan keterangan atau penjelasan terhadap suatu perbuatan yang baru. Untuk itu, penelitian ini berupaya mengkaji dan mendalami pernyataan-pernyataan normatif melaluiteks atau pasal demi pasal yang terdapat dalam KHES khususnya pada buku I dan II.

12 Gerald L. Bruns, Hukum dan Bahasa: Hermeneutika Teks Hukum, dalam Gregory Leyh (ed.), Hermeneutika Hukum; Sejarah, Teori dan Praktik (Bandung: Nusa Media, 2008), h. 41.

(16)

Di Indonesia ada dua kerangka penyelesaian perkara: (1). Pen-dekatan Litigasi (peradilan). (2). PenPen-dekatan non litigasi (di luar pera-dilan). Pendekatan litigasi sifatnya formal dan menghabiskan biaya dan waktu yang lama. Sementara pendekatan terakhir bersifat informal dan lebih leksibel dalam hal waktu dan biaya. Gerald Turkel14, membuat

klasiikasi mengenai tipe-tipe penyelesaian sengketa secara hierarki atau berjenjang (Hierarchy of Dispute Resolution). Penjenjangan dibuat dari tipe penyelesaian sengketa yang paling rasional informal dan tidak berdasarkan hukum (the most informal and nonlegally rational type of dispute resolution) sampai dengan tipe yang paling rasional formal dan berdasarkan hukum (the most formal and legally rational type). Hal ter-sebut tergambar pada visualisasi berikut ini:

Informal, Non-legally Rational Formal, Legally Rational

Consultation Negotiation Mediation Arbitration Litigation

Terlepas dari keuntungan dan kerugian dari berbagai pendeka-tan tersebut, kajian terhadap pemberlakuan sebuah peraturan harus mempertimbangkan: (1). Kondisi yuridis; terkait di dalamnya tentang kesesuaian secara vertikal dan horizontal dengan aturan lainnya yang menjelaskan topik yang sama. Rumusan kaidah-kaidah ikih pada da-sarnya berupaya untuk memberikan penyelesaian terhadap berbagai sengketa yang terjadi terutama pada keadaan di mana tidak ada dalil hukum yang mengaturnya secara jelas. Namun, pendekatan linguistik saja tidak akan memadai untuk menyelesaikan beragam persoalan baru. (2). Kondisi Filosois; pertimbangan ini untuk mengkaji secara menda-lam hakikat dan tujuan dari bunyi sebuah peraturan. (3). Kondisi Sosio-logis; menyangkut pengenalan watak hukum dalam konteks sosiologis. Artinya, hukum bukanlah berada di ruang hampa, tetapi mereleksikan kehendak sosial masyarakat. 15 Penelitian ini akan lebih fokus pada

14 Gerald Turkel, Law and Society: Critical Approaches,(Needham Heights: A Simon & Schuster Company, 1996), h. 208.

(17)

aspek pertama yaitu kondisi yuridis dengan mengkaji teks normatif KHES tentang penyelesaian sengketa sebagaimana yang terdapat dalam pasal-pasal Buku I dan II.

Agak sulit membedakan defenisi yang tegas antara sengketa dan konlik. Keduanya mengandung pertentangan kepentingan, sikap, pen-dapat, keyakinan bahkan nilai-nilai, namun tidak harus sampai menim-bulkan kekerasaan isik (violance). Menurut Ralf Dahrendorf, konlik merupakan inhern omni presence baik dalam tingkatan individu mau-pun kelompok.16 Intinya, setiap adanya relasi lebih dari dua individu,

maka potensi sengketa atau konlik akan muncul. Namun, setiap ada sengketa atau konlik, maka dihadapkan pula pada upaya resolusi atau transformasinya. Tindakan tersebut menjadi satu kesatuan dalam se-buah istilah manajamen konlik.

Di dalam iqh, hubungan keperdataan antara dua individu atau le-bih disebut dengan akad.17 Melalui akad, semua bentuk kerjasama diatur

dan dirumuskan secara bersama-sama dengan aspek legalitas suka-sa-ma suka (ridho). Perjanjian yang sudah disepakati tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Jika satu pihak merasa kesulitan untuk melaksanakan isi akad, maka ada upaya yang keringanan dengan menggunakan prinsip la dharara wa la dhirara18 Sebagaimana terangkum dalam kaidah: Al

Ashl i al-Mu’amalah al-Ibahah dan Al-Ashl i al-’Aqd rid al-Muta’aki-dain Wa Natijatuhu Ma Iltajamu bi al-Ta’akud.19

Merujuk pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah sebagai lam-piran Peraturan Mahkamah Agung RI nomor: 02 tahun 2008 yang di-pergunakan sebagai pedoman para Hakim dalam lingkungan Penga-dilan Agama yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara

16 Ralf Dahrendorf, Class and Class Conlict in Industrian Society (Stamford: Stamford University Press, 1995), h. 241-243.

17 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah; Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Mu’amalat (Jakarta: RajaGraindo Persada, 2007), h. 68.

18 Imam Malik, Al-Muwatta (Mesir: Dar al-Ihya’, t.t), II, h. 754. Artinya, setiap pihak dilarang untuk merugikan diri sendiri juga merugikan orang lain.

(18)

yang berkaitan dengan ekonomi syari’ah, dalam Pasal 20 ayat 1 yang dimaksud dengan Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian an-tara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.

Oleh karena itu, berdasarkan rumusan tersebut maka akad harus merupakan perjanjian tertulis kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khu-sus. Sekalipun kata-kata ”tertulis” tidak dicantumkan, namun secara pembuktian, hukum tertulis lebih kuat daripada tidak tertulis yang bia-sanya bersifat moral.20 Setiap akad harus mengandung Ijab dan Kabul.

Ijab yaitu pernyataan keinginan dari pihak pertama tentang isi perjanjian. Sementara Kabul berupa pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Kehadiran Ijab Kabul menjadi bukti bahwa telah terjadi asas suka sama suka (ridha) di antara kedua belah pihak.

Secara umum rumusan yang penting untuk memahami akad ada empat hal, yaitu: (1) adanya hubungan hukum. Hubungan hukum ialah hubungan yang di dalamnya melekatkan ketentuan hukum yang men-gatur tentang hak dan kewajiban hukum para pihak. Apabila terjadi wanprestasi atau pembatalan sepihak terhadap hubungan hukum terse-but, maka hukum memiliki kewenangan memaksakannya agar hubun-gan tersebut dipenuhi atau dipulihkan kembali. (2) adanya para pihak. Terjadinya hubungan hukum sebagai telah dijelaskan pada paragraf se-belumnya, haruslah terjadi antara dua orang atau lebih. Mereka ini yang disebut dengan subyek perikatan/perjanjian. (3) adanya harta kekaya-an. Pada awalnya, harta kekayaan dalam arti uang atau materi lainnya menjadi mainstream sebab adanya hubungan hukum. Namun, saat ini jika masyarakat atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan hukum itu diberi akibat hukum, maka hukumpun akan melekatkan aki-bat hukum pada hubungan tersebut sebagai suatu perikatan. (4) Presta-si/ Obyek Hukum. Maksudnya di dalam akad sudah ada kesepakatan untuk melakukan jenis tindakan tertentu yang membawa manfaat atau keuntungan namun tidak bertentangan dengan hukum syari’ah.

(19)

Secara umum, apabila terjadi perselisihan atau konik atau sen-gketa, maka penanganannya bisa dilakukan dengan menggunakan ber-bagai pendekata yaitu: (1) saling menaklukan, (2) saling mengalah, (3) saling menghindari, (4) saling berkompromi dan (4) berusaha meme-cahkan masalah. Kelima pendekatan penyelesaian sengketa atau kon-lik tersebut bisa berjalan efektif sangat ditentukan oleh jenis dan model sengketanya termasuk di dalamnya pentingnya melibatkan pihak ketiga (the third intervention).21 Dalam pendekatan inilah, analisis

pasal-pa-sal dalam buku 1 dan II dalam KHES untuk menyelesaikan sengketa dikonstruksi dan dipetakan.

(20)
(21)

A. Kebutuhan Sosial dan Politik Hukum

Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI dengan Keputusan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008,merupakan respon terhadap perkembangan praktek hukum mu’amalat (ekjonomi Islam) di Indonesia. Meskipun, praktek ekonomi Islam secara institusional dan yuridis di Indonesia sudah di-mulai sejak berdirinya Bank Mu’amalat Indonesia (BMI) pada tahun 1990, yang disusul oleh beridirnya berbagai Lembaga Keuangan Sya-ri’ah (LKS) lainnya, seperti BPRS dan BMT. Perkembangan inilah yang menginspirasi Mahkamah Agung untuk membuat peraturan yang bias menjembatani atau mencegah adanya kebutuhan penyelesaian perka-ran-perkara yang berkaitan dengan ekonomi Islam.

Selama ini, jika terjadi sengketa menyangkut permasalahan ekonomi syariah maka diselesaikanlewat Badan Arbitrase Sya-riah Nasional (Basyarnas) yang bertindak sebagai mediator dan ti-dak  mengikat  secara hukum.  Artinya, jika para pihak ingin men-dapatkan putusan yang inal dan mengikat, maka pengadilannya tempatnya. Semntara di Basyarnas, peraturan  yang  diterapkan  hanya

BAB III

SEJARAH PERUMUSAN

(22)

menga-cu pada peraturan Bank Indonesia (BI) dengan meru-juk ke-pada fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).

Sedangkan fatwa itu, sebagaimana dimaklumi dalam hukum Islam, merupakan opini hukum (legal opinion) atau pendapat hukum yang tidak mengikat seluruh umat Islam. Upaya menjadikan hukum Islam sebagai dasar penyelesaian perkaran dan sifatnya menjadi hukum positif, pernah dilakukan oleh Pemerintahan Turki Usmani dalam memberlakukan Kitab Hukum Perdata Islam yaitu: Majalah al- Ahkam al-’Adliyyah, yang terdiri dari 1851 pasal.

Penting untuk dijelaskan pada bab II ini, bahwa penggunaan kata Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah (MAA) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam (KUHPI), pada dasarnya adalah dua nama yang berbeda tetapi sama kandungan isinya. Penamaan ini hanyalah perso-alan transliterasi ke dalam bahasa Indonesia. Disamping juga untuk memudahkan penerjemahannya dalam mengakomodasi istilah-istilah hukum yang sudah beredar kuat di masyarakat Indonesia atau lebih umum pada masyarakat pengguna hukum modern. Hanya ada dua isti-lah yang mudah dikenal, yaitu terkait dengan hukum pidana dan perda-ta. Oleh karenanya, MAA diterjemahkan ke dalam istilah perdata, kare-na memang isinya adalah mengekare-nai keperdataan. Untuk itu, kadangkala digunakan istilah KUHPI dan kadangkala menggunakan istilah MAA.

MAA adalah kompilasi hukum Islam di bidang iqh mu’amalah (hukum perdata Islam) yang disusun lebih kurang tujuh tahun mulai tahun 1869-1876 M dan diberlakukan sebagai hukum positif di seluruh wilayah kekhalifahan Turki Usmani, sebelum Turki menjadi negara re-publik sekuler. Namun sejalan dengan merosotnya kemampuan ber-tahan  kerajaan Turki Usmani, Majallah akhirnya tidak diberlakukan lagi di negara-negara yang termasuk ke dalam wilayah jajahannya. Mi-salnya di Libanon sejak tahun 1932, Syiria sejak tahun 1949, Iraq sejak tahun 1953 dan lain-lain.1

(23)

Sementara itu, masa kekhalifahan Turki Usmani sendiri, berdiri sejak tahun 1288-1924 M, yang sama dengan 636 tahun atau 6 abad lebih. Untuk itu, jika dikurangi sejak selesainya pembuatan MAA dan berakhirnya kekhalifahan Turki usmani, MAA hanya berlaku selama 48 tahun saja, sekitar hampir setengah abad. Pertanyaannya, apakah ini merupakan waktu yang cukup untuk menilai efektiitas dan manfa-at MAA bagi kekhalifahan Turki Usmani? Mengapa seiring runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani, berakhir pula masa berlakunya MAA? Nampaknya, ini perlu penelitian lebih lanjut.

Sebelum munculnya MAA, kekhalifahan Turki Usma-ni dihadapkan kepada masalah keberagaman keputusan dari lembaga pengadilan perdatanya, karena setiap pengadilan mengambil bahan pertimbangan hukumnya dari berbagai macam kitab iqh yang sangat banyak jumlahnya meskipun masih dari satu mazhab yaitu mazhab Ha-nai. Maka untuk lebih menjamin kepastian hukum, dibentuklah satu panitia yang terdiri dari ulama-ulama besar dan para fuqaha yang dike-tuai oleh Ahmad Judat Basya, seorang ulama ahli hukum Islam terkenal yang pada waktu itu menjabat sebagai menteri kehakiman.2 Dari hasil

jerih payah ulama pada kekhalifahan Turki Usmani ini, terwujudlah satu karya besar berupa kodiikasi hukum perdata Islam yang bersum-ber kepada al-Qur’an dan al-Hadis dan kitab-kitab iqh standar khusu-snya di dalam mazhab Hanai, yang menjadi pegangan para hakim per-data dan warga negara di seluruh wilayah kekhalifahan Turki Usmani.

Musthofa Ahmad Zarka menyebut perkembangan hukum Islam yang menggunakan cara-cara kodiikasi ini dengan istilah “hukum Islam dalam bajunya yang baru (al-Fiqh al-Islam i Tsaubihi al-jadid) artinya bajunya yang baru, sedang isinya tetap dipegang teguh mate-ri-materi yang terdapat di dalam iqh Islam khususnya mazhab Hanai.

Sesungguhnya dengan munculnya kodiikasi hukum Islam di khalifahan Turki Usmani ini, ada satu perkembangan baru yang

pen-XVII Tahun 2007, h. 10.

(24)

ting di dalam hukum Islam, yaitu: berpindahnya kewenangan peneta-pan hukum dari mujtahid fardi (individual), kepada mujtahid jama’i (ijtihad kolektif) dan lebih jauh lagi kewenangan pembentukan hukum diserahkan kepada negara, khususnya lembaga legislatif. Ini merupakan suatu cara yang menjadi kecenderungan umum di dunia Islam sekarang ini, terutama di bidang hukum keluarga, wakaf dan zakat yang sering disitilahkan dengan taqnin (نينقتلا).3

Taqnin tidak dapat dikategorikan sebagai ijtihad yang bersifat tarjih dalam konteks iqh muqarin (perbandingan mazhab dan hukum). Taqnin sekalipun hanya mengambil pendapat mazhab tertentu, tetapi upaya yang dilakukan tetap melalui proses seleksi di antara penda-pat-pendapat ulama tetapi masih dalam satu mazhab tertentu. Adapun pilihan MAA fokus pada pendapat Imam Abu Hanifah, hal itu hanyalah kebetulan yang berkembang dan populer adalah adalah Mazhab Hanai. Setidaknya mirip yang dilakukan di Indonesia terhadap Inpres No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Domi-nannya mazhab Syai’i pada dasarnya bukan karena lebih kuatnya pen-dapat Syai’i dibandingkan penpen-dapat ulama lainnya sebagaimana yang dipahami dalam ilmu tarjih. Tetapi memang yang populer dan berkem-bang adalah pendapat Syai’i dan mazhabnya.

Adapun istilah kanunisasi berasal dari akar kata “kanun” atau “qa-nun”. Sekalipun dalam Islam sendiri, kodiikasi atau kanunisasi meru-pakan istilah tehnis yang tidak dikenal di masa Nabi Muhammad SAW dan khulafaurrasyidin. Istilah tehnis kodiikasi setidaknya mendapa-tkan embrio pada akhir abad 1 H awal abad ke 2 H atau masa pemerin-tahan Umayyah.

Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang masuk menjadi bahasa Arab melalui bahasa Suryani yang berarti “alat pengukur” atau “kaidah”, “hukum” (law) “peraturan” (rule, regulation) ataupun undang-undang

(25)

(statute, code).4 Pada dasarnya hampir semakna dengan kodiikasi atau

“نيناوقلا عمج” yang di dalamnya terdapat intervensi negara.

Lahirnya ide kanunisasi, kodiikasi atau sejenisnya dapat didekati melalui tiga pokok pokiran:

1. Dengan menggunakan konsep yuristik. Ide ini berpijak pada per-nyataan bahwa yang terpenting dalam fenomenologi hukum ada-lah pengetahuan tentang yurisprudensi (iqh) dan bukan perangkat negara yang bertindak sebagai badan pembuat hukum. Pandangan dasarnya adalah bahwa suatu persoalan dapat dipecahkan hanya dengan cara membangkitkan prinsip ijtihad.

2. Teori imitatif. Ide ini sangat dipengaruhi oleh rumusan hukum yang didasarkan pada kebutuhan politis oleh para muti serta alasan sosi-ologis. Misalnya, raja Aurangzeb, seorang Sultan Moghul abad 17 di India yang bergelar ‘Alamgir tertarik untuk menghimpun fatwa-fat-wa hukum. Pengumpulan fakta-fakta itu dikerjakan oleh panitia yang diketuai oleh syaikh Nidham Burhanpuri dari Delhi. Hasil kompi-lasinya terkenal dengan nama al-Fatawa al-Hindiyah atau al-Fatawa al-‘Alamgiriyah.

3. Konsep hukum personal dengan mengikuti sistem hukum sipil. Se-bagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Turki Usmani menetapkan Kode sipil Usmani dengan iradah (dekrit sultan) yang diberinama

Majallat al-Ahkam al-Adliyah yang disusun dalam satu pendahuluan yang berisi defenisi dan qawaid iqhiyyah dan 16 buku yang berisi peraturan mengenai hukum perjanjian, seluruhnya terdiri dari 1851 pasal.

Dalam perkembangannya, kanun menurut Qodri Azizy diiden-tikkan dengan undang-undang di negara Islam atau negara yang mayo-ritas penduduknya beragama Islam, yang berupa:

1. Mengatur hal-hal yang berhubungan antarsesama manusia.

Memuat hukum Islam yang sudah jelas ketentuan pokok

(26)

ya beserta yang belum jelas melalui pendekatam ‘urf, istihsan atau

maslahah. Hal ini mengantisipasi perkembangan hukum dan mas-yarakat yang begitu cepat:

5

.ىانتت صوصنلاو ,ىانتتا ثداوحا نإ

2. Kanun berarti telah memilih salah-satu dari sekian banyak ikhtilaf dikalangan fuqaha untuk kemudian harus ditaati oleh seluruh mas-yarakat.

3. Dalam beberapa hal bisa saja melewati ketentuan hukum Islam yang berlaku dengan alasan untuk kepentingan umum (maslahah murs-alah) dengan dalih siyasah syar’iyyah (politik hukum).

4. Berupa undang-undang resmi produk lembaga legislatif atau ekse-kutif yang mempunyai fungsi legislasi.6

Kodiikasi majallah bisa dikatakan lahir dari upaya tanzimat7

yang terjadi pada waktu itu. Tanzimat adalah suatu gerakan reforma-si yang muncul secara resmi di Turki Usmani setelah wafatnya Sultan Mahmud II yang mendominasi sejak tahun 1839 hingga tahun 1871. Kemunculan ide tanzimat disebabkan oleh kemunduran masa kejayaan kekhalifahan Turki Usmani yang tidak hanya secara geograpi-politik, tetapi juga pemikiran sosial-keagamaan.8

Atas kondisi tersebut, selama era tanzimat setidaknya terdapat tiga aliran hukum: pertama, diwakili oleh kelompok Islam konserpatif

5 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, Juz 1 (Kairo: Dar al-Fikr, 1965), h. 5-7.

6 A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional; Kompetisi antara Hukum Is-lam dan Hukum Umum (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 61-61.

7 Tanzimat berasal dari bahasa arab yang bermakna “mengatur atau menata, dalam bahasa Inggris padananan dari reform yang berkna “menata kembali”.

(27)

yang ingin mempertahankan status quo hukum Islam yang ada saat itu. Alasan utamanya adalah, bahwa Islam sudah inal. Kedua, kelompok yang mengganggap pentingnya reformasi dan reformlasi hukum secara parsial terutama terkait dengan masalah-masalah yang ijtihadi. Ketiga, kelompok westernis-sekularis yang menginginkan adalah dekonstruk-si hukum-hukum Islam yang ada. Kelompok ini berpendapat bahwa hukum Islam sudah tidak applicable lagi sehingga perlu diganti den-gan hukum-hukum barat.9 Untuk itu, kehadiran kodiikasi Majallah

al-Ahkam al-‘Adliyah merupakan salah satu keberhasilan dari pentin-gnya upaya reformasi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada pada masa itu.10 MAA merupakan upaya menjembatani tiga aliran

hukum yang berkembang saat itu. Secara materil tetap mempertahan-kan pendapat-pendapat ulama, sementara dari sisi formil mengikuti aturan hukum yang berkembang di barat.

Memang benar bahwa hukum Islam di masa kini -di dalam men-ghadapi proses perubahan sosial, ekonomi dan politik, dihadapkan kepada pilihan yang tidak mudah. Apabila mengambil keseluruhan hukum Islam tanpa penafsiran kembali sering tidak realistis, dan se-baliknya, meninggalkan hukum Islam adalah tidak islami. Di dalam menghadapi masalah ini, ulama-ulama zaman Turki Usmani dengan MAA telah mengambil jalan tengah, di satu sisi melakukan per-tarjih-an (menguatkper-tarjih-an salah satu pendapat ulama) terhadap pendapat-penda-pat ulama yang ada dikalangan Mazhab Hanai. Kemudian digunakan sembilan puluh sembilan qaidah hukum Islam11 yang sering menjadi

9 Satria Efendi M. zein, “Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Muhammad Wahyu Nais, dkk (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta: IPHI-Paramadina, 1995), h. 288-289.

10 Lebih lanjut dijelaskan oleh Ikhwan, “Reformasi Hukum di Turki Usmani Era Tanzimat (Suatu Tinjauan Historis-Sosiologis)”, dalam Innovatio, Vol. 6, No. 12, Edisi Juli-Desember 2007.

(28)

acuan dari pasal selanjutnya agar tetap hukum tersebut islami. Di sisi lain dilakukan studi banding dengan hukum barat dan digunakan si-stematiknya agar tetap realisitis. Selain itu juga MAA menggunakan metode Istihsan (mengacu pada semangat hukum) seperti pada pasal 544, 1187, 1517, 1601 dsb. Adapula yang menggunakan istishab (tetap hukumnya sebelum datangnya hukum yang baru secara meyakinkan) seperti pasal 1224, 1228, 1229, 1683, dsb. Dan juga menggunakan al-’a-dah/al-‘uruf (adat kebiasaan yang masalahat) seperti pasal 168, 298, 527, 528, 574, 816, 821, 876, 1515, 1473, 1498, 1509, dsb.

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana pengaruh luar terha-dap pembuatan MAA? Jika ditelisik tanggal dan masa kodiikasinya, MAA dimungkinkan sangat dipengaruhi oleh tata hukum Eropa, tepa-tnya Perancis. Kemunduran Turki Usmani sebenarnya sudah didahului dengan takluknya Mesir di tangan Perancis melalui Napoleon Bonapar-te tahun 1798-1801. Maka sangat dimungkinkan Bonapar-terjadinya pengaruh hukum-hukum Perancis di daerah-daerah sekitar Mesir. Karena Mesir merupakan daerah jajahan Turki Usmani sejak tahun 1571. Sampai abad 18 kesultanan Usmani melalui Sultan Salim III mengambil tela-dan dari Eropa, dengan mengasumsikan bahwa reformasi di perbata-san dengan Barat akan mengembalikan keseimbangan kekuatan. Pada tahun 1789, dia membuka sejumlah sekolah militer dengan instruktur dari Perancis.12 Pada kondisi yang demikian, Perancis sudah mengalami

revolusi pada tahun 1789 jauh sebelum MAA dibuat. Kemajuan pasca revolusi Perancis, dalam beberapa catatan sejarah memberikan dampak terhadap daerah-daerah jajahan Perancis.13 Demikian juga dari tehnis

penyusunan MAA.

Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa signiikansi Majallah antara

12 Karen Amstrong, Islam: A short History (Sepintas Sejarah Islam), (Yogyakar-ta: Ikon Teralitera, 2002), h. 161

(29)

lain: (1) Majallah merupakan bukti nyata akan kemampuan iqh Islam untuk membenahi diri, dan penyesuaian dengan perkembangan zaman dengan tidak meninggalkan ruh-ruh dasarnya. (2) Majallah merupakan asas nyata bagi perkembangan yang diterima praktisi iqh islami, sebagi momentum awal untuk menemukan UU baru yang lebih komprehensif berdasarkan kemaslahatan, yang terambil dari mazhab yang tak terba-tas. (3) Majallah memberikan inspirasi lahirnya UU keperdataan Arab yang lebih dekat dengan bahasa hukum iqh. Hal ini terbukti dengan terbentuknya UU keperdataan Arab yang lebih dekat dengan baha-sa Yordania tahun 1976, dan UU Kepemerintahan Arab tahun 1985. (4) Majallah memberikan uraian istilah-istilah iqh padasetiap buku, sehingga mudah untuk diketahui .

Kemestian hadirnya Kompilasi Hukum Ekonomi syariah di In-donesia dipandang sangat mendesak, karena ekonomi syariah telah dipratekkan dalam masyarakat. Hal ini untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, sekalipun masih ada KUH Perdata konvensional yang notebene adalah terjemahan dari Borgelijk Wetbook (BW) era ko-lonial. Tidak hanya sudah ketinggalan zaman, tetapi tidak sesuai den-gan nilai-nilai syari’ah. Sekalipun ada satu dua azas yang masih bisa digunakan. “Al-Muhafazah ’alal qadim ash-sholih wal-akhzu bil jadid al-ashlah”. Memelihara hukum masa lalu yang relevan dan mengan-dung kemaslahatan dan mengambil hal-hal baru yang lebih maslahah.

Dan pada akhirnya, bentuk dan isi KHES sendiri banyak menga-dopsi atau diinspirasi oleh Majallah. Terutama yang berkaitan dengan konsep-konsep dasar tentang beberapa kegiatan ekonomi Islam yang susah dan sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, semnagat pembuatan KHES bias di pahami dari dua sisi. Per-tama, sejarah umat Islam menunjukkan bahwa peraturan hukum Islam yang mengatur tentang khusus mengatur kegiatan ekonomi sudah ada sejak lama. Kedua, adanya hubungan yang tidak terpisahkan dari sisi isi, antara peraturan hukum yang lama dengan sekarang. Sehingga, tidak dikatakan, bahwa KHES adalah benar-benar produk hukum yang baru tentang ekonomi Islam.

(30)

Undang-Un-dang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA). UU No. 3 Tahun 2006 ini mem-perluas kewenangan PA sesuai dengan perkembangan hukum dan ke-butuhan umat Islam Indonesia saat ini. Dengan demikian Pengadilan Agama semakin memiliki kewenangan yang lebih luas. Tidak hanya sekedar pada bidang-bidang perkawinan, waris, hibah, wasiat, wakaf dan shadaqah saja, tetapi meliputi hubungan keperdataan yang lebih luas lagi yaitu menyangkut setiap transaksi atau perjanjian yang telah didasarkan pada sistem syari’ah.

Sebagai sebuah produk kesepakatan, hukum tidak bisa bebas seca-ra sendiri di ruang publik. Di dalam hukum ada tarik menarik berbagai kondisi, baik itu politik, sosial, budaya, ekonomi maupun hukum In-ternasional. Keinginan umat Islam untuk menjamin „keamanan“ tinda-kan syari’ah kegiatan ekonominya, harus juga melibattinda-kan situasi-situasi yang disebutkan sebelumnya. Salah satunya adalah politik hukum. Po-litik hukum merupakan bagian dari disiplin yang secara khusus meng-gunakan hukum sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan yang di inginkan. Disamping itu sarana atau alat politik hukum juga merupa-kan kebijamerupa-kan negara (legal policy) yang diwakilmerupa-kan melalui badan-ba-dan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang di-kehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan sesuai dengan iure constituendo (ius constitutum) hukum yang seharusnya berlaku. Atau suatu upaya yang konsisten untuk me-wujudkan peraturan-peraturan yang mampu menampung berbagai ek-spresi kebutuhan sesuai dengan situasi dan waktu saat itu.

(31)

Se-mentara itu, sisi normatif-operasional merupakan ungkapan dari ha-sil berbagai kesepakatan kehendak-kehendak sosial penguasa terhadap konstruksi masyarakat yang diinginkan atau lebih tepatnya disebut se-bagai rekayasa sosial (social enggineering).

Deskripsi sisi ilosois-teoretik maupun normatif-operasional ke-duanya bertujuan untuk menjamin kepastian keadilan dalam masyara-kat serta menjamin terciptanya ketentraman hidup sekaligus menyelesa-ikan perbedaan kepentingan-kepentingan yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Berdasarkan sejarah singkat kelahiran Kompilasi Hukum Ekono-mi syari’ah di atas, maka peran politik hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses legislasi Hukum Islam dalam sejarah tata hukum di Indonesia. Tanpa adanya politik hukum, materi hukum Islam hanya ada pada kitab-kitab saja. Kelahiran Undang-undang mor 3 Tahun 2006 sebagai amandemen terhadap Undang-undang No-mor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (PA) dengan kewenangan yurisdiksi yang diperluas, merupakan bukti keberhasilan transformasi hukum Islam tersebut. Jika selama ini kewenangan Peradilan Agama terbatas hanya menyangkut hukum keluarga dan wakaf, maka sejak di-sahkannya perubahaan UU tersebut kewenangan PA menjadi diperluas, sengketa ekonomi syari‘ah kemudian menjadi bagian dari kewenangan absolut Peradilan Agama. Kenyataan inilah yang dijawab Mahkamah Agung dengan menghadirkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‘ah. Problem regulasi ini sangat disadari oleh Mahkamah Agung. Melalui SK Mahkamah Agung Nomor 097/SK/X/2006 telah ditunjuk sebuah tim (Kelompok Kerja) yang bertugas menyusun „Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‘ah (KHES). Tentu saja upaya MA melahirkan KHES ini layak diapresiasi, direspons dan disambut dengan gembira.

(32)

manu-sia (SDM) peradilan yang berkualitas. Kedua, bagaimana pula kemanu-siapan para hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa sengketa ekonomi syari’ah.

B. Beberapa Kritik terhadap KHES

Beberapa pihak memberikan catatan terhadap isi Kompilasi Hukum Ekonomi Syai’ah (KHES). Diantaranya adalah:

1. Persipan Penyusunan KHES

Sejak dari persiapan hingga selesainya penyusunan KHES terke-san kejar tengat waktu. Bagi sebagian pihak, penyusunan KHES per-lu melibatkan masukan dari berbagai pihak. Masa satu tahun diang-gap belum representative untuk menganalisa berbagai persoalan yang biasanya muncul sekaligus belum mengakomodasi berbagai khasanah local, dimana beebrapa daerah memiliki “warisan” pengetahuan ten-tang berbagai transaksi yang didasarkan pada pemahaman keagamaan. Apalagi -sebenarnya bukan hal yang tepat untuk dibandingkan- den-gan penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI dipersiapkan se-menjak tahun 1985 dengan adanya SKB Ketua 10 Mahakmah Agung RI dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tangal 25 Maret 1985. Jangka waktu pelaksanaan proyek ditetapkan selama dua tahun terhitung sejak ditetapkannya SKB. Hal yang menjadi factor pen-ting dalam pertimbangan perumusan sebuah hukum mencakup tiga aspek. (1) aspek ilosois. (2) aspek yuridis. (3) aspek sosiologis. Banya-knya pertimbangan hukum atau (legal opinion) diharapkan akan se-makin memperkuat dan menanmpung berbagai pandangan yang telah ada di masyarakat. Bagi sebagian pihk, upaya ini adalah menjembatani anatara kepentingan Islamisasi pengetahuan dengan corak budaya dan kultur masyarakat Indonesia. Tidak muncul kesan bahwa KHES hanya-lah sekedar “mengindonesiakan Majalhanya-lah”. Pada sisi yang lain, dengan banyaknya masukan baik dari aspek ilosois, yuridis maupun ssosiolo-gis, maka akan semakin menambah daya rekat KHES di tengah-tengah masyarakat.

(33)

kon-igurasi dan pemahaman masayarakat Islam Indonesia tentang ekonomi syari’ah. Sebuah peraturan hukum atau perundang-undangan, bukan-lah hidup diruang hampa, tanpa ada nilai dan perspektif yang bukan-lahir di dalamnya. Setidaknya KHES bias dianggap sebagai gerakan sejarah re-formasi pemikiran hukum Islam di Indonesia.

Menarik untuk mempertimbangkan teori sistem hukum dike-mukakan oleh Lawrence Meier Friedman memperkenalkan three ele-ments law system yaitu; struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).14

Elemen pertama adalah legal structure yaitu: First many feature of a working legal system can be called structural the moving parts, so to speak of the machine court are simple and obvious example; their structu-res can be described; a panel of such and such a size, sitting at such and such a time; which this or that limitation on jurisdiction. he shape size, and powers of legislatures is another element of structure. A written con-stitution is still another important feature in structural landscape of law. It is, or attempts to be, the expression or blueprint of basic features of the country’s legal process, the organization and frameworks of government.15

Elemen struktur dari sistem hukum mencakup berbagai lemba-ga (institusi) yang diciptakan oleh sistem hukum denlemba-gan berbalemba-gai fun-gsinya dalam rangka bekerjanya sistem hukum tersebut.

Kedua, substance element yaitu; he second type of component can be called substantives. here are the actual products of legal system – what the judges, for example, actually say and do. Substance, include, na-turally, enough, those propositions referred to as legal rules; realistically, it also include rules which are not written down, those regulates of behavior that could be reduced to general statement. Every decision, too, is in court, or enacted by legislature, or adopted by agency of government.16

Komponen substance sistem hukum adalah semua hasil dari

14 Lawrence M. Friedman, he Legal System: A Social science Perspective (New York: Russel Sage Foundation, 1975), h. 81.

15 Lawrence M. Friedman, “On Legal Development”, Reutgers Law Review, Vol. 24, (1969), h. 27.

(34)

struktur yang didalamnya termasuk norma-norma hukum baik berupa peraturan perundang-undangan, putusan-putusan, maupun doktrin-doktrin.

Ketiga, legal culture yaitu: By this means people’s attitudes toward and legal system their beliefs, values, ideas, and expectations. In other wor-lds, it is the part of the general culture which concerns the legal system.17

Budaya hukum mencakup sikap, keyakinan, nilai-nilai yang dia-nut masyarakat, serta pemahaman dan harapan masyarakat yang da-pat menentukan bekerjanya sebuah sistemhukum. Sikap dan nilai-nilai itulah yang akan memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum, sehingga budaya hukum merupakan perwujudan dari pemikiran masyarakat dan keua-tan sosial ayng menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihinda-ri atau dilecehkan.

2. Terminologi Rumusan Teori Akad

Di dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan defenisi akad dengan kese-pakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk me-lakukan atau tidak meme-lakukan perbuatan hukum tertentu. Rumusan ini terkesan hanya sebuah duplikasi dari KUH perdata yang diterjemahkan sebagai hukum perjanjian atau kontrak.18

Sebagi contoh, beberapa pendapat ahli hukum Islam tentang akad sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah Az-zuhaili yang mende-inisikan akad sebagai pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ dan menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.19

Se-mentara menurut Syamsul Anwar menjelaskan deinisi akad dengan pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.20

17 Ibid., h. 7.

18 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h 68.

19 Musthafa Ahmad Az-zarqa, al-Fiqh al-Islami i Tsaubuhi Al-Jadid; Al-mad-khal alFiqh al-‘Aam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1967-1968) I: 291.

(35)

Berdasarkan dua pandangan defenisi akad tersebut, maka dapat diambil kesimpulan: Pertama, hakikat akad adalah keterikatan atau pertemuan ijab dan kabul yang mengakibatkan hadirnya akibat hukum. Kedua, akad merupakan pilihan tindakan dari dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak dari pihak lain. Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum.21 Untuk itu,

pengertian tentang akad tidak hanya satu perspektif saja, tetapi mem-pertimbangkan pengertian yang lainnya.

3. Istilah Syari’ah dalam KHES.

Penggunaan istilah menjadi hal krusial dalam sebuah konsep. Dalam Islam sendiri, antara istilah syari’ah dan Islam memiliki akar katanya masing-masing. Sekalipun, dalam “perbincangan” masyarakat, kedua istilah ini sama dan saling melengkapi. Belum lagi jika dikai-tkan dengan istilah hukum Islam, iqh atau hukum itu sendiri. Materi KHES sebenarnya merupakan kumpulan berbagai pendapat atau pan-dangan ulama tentang ekonomi. Tentu saja, antara yang berubah dan tetap harus menjadi pertimbangan. Istilah syari’ah sendiri lebih pada padanan yang tetap dan tidak berubah, sementara ekonomi mengalami perubahan yang dinamis dan tidak kaku. KHES adalah hasil produk ijtihad dan bukan sumber hukum yang permanen. Ringkasnya, istilah syari’ah merupakan peraturan-peraturan yang mengandung sifat asasi, tetap dan cakupannya yang bersifat global. Untuk itu, mempergunakan istilah syari’ah dalam KHES, akan mengandung perdebatan karena eko-nomi adalah bagian dari iqh mu’amalat.

Terutama tingkat dinamisasi ekonomi berkaitan dengan beebrapa istilah yang mengikui perkembangan ekonomi dunia. Misalnya prinsip bursa saham atau akutansi. Istilah-istilah tersebut bukanlah bagian sya-ri’ah. Tetapi hanyalah sebuah nama yang bias berubah dan berkembang.

(36)

Seolah ada penggabungan makna syari’ah dan iqh dalam satu tubuh KHES. Pada sisi komersialisasi, penggunaan istilah syri’ah juga menga-lami “marketisasi”. Bagi sebagian orang, istilah ekonomi syari’ah terke-san terke-sangat kaku dan eksklusif dan kurang familiar.

4. Pengertian Riba dalam Akad Qardh

Pengertian al-Qrdh perlu penjelasan yang lebih konkrit. Me-rujuk pada berbagai kegiatan yang ada dalam jasa perbankan syari’ah atau LKS lainnya, pada umumnya jenis pinjaman qardh merupakan pinjaman yang bersifat kebajikan/lunak tanpa imbalan, terutama un-tuk pembelian barang-barang yang terukur dan fungsional. Sementa-ra dalam KHES tidak menyebutkan tentang status hukum riba dalam akad qardh, dipihak lain disebutkan bahwa biaya administrasi dalam akad qardh dibebankan kepada nasabah dengan tidak diberi batasaan. Di kahwatirkan hal tersebut dapat menimbulkan masalah ketika kredi-tur menafsirkan secara berlebihan dalam mengambil biaya administrasi secara zhalim dan berlebihan dari debitur. Ini bias menjadi dasar untuk melakukan hilah untuk menghindari keharaman riba. Untuk itu, pen-ting kiranya KHES mengatur mekanisme pembebanan biaya admnin-trasi sehingga semua pihak merasa terlindungi.

5. Dominasi Konsep Akad

(37)

6. Belum Menyebutkan Sub-Sub Topik Penting dalam Akad

Merujuk pada luas sempitnya cakupan KHES, tema-tema yang ditawarkan di dalamnya juga masih terlalu general. Akibatnya ada-lah pemaksaan interpretasi antara satu hakim dengan hakim lainnya. Sejatinya, sebuah aturan memiliki satu makna yang tidak memberikan peluang adanya “pengobralan” makna hukum. Penghindaran adanya globalisasi penafsiran hukum harus dihindari sesempit mungkin, agar hukum bias menemukan kepastiannya.

7. Adanya Barang Jaminan dalam Mudhorobah

Merujuk pada penjelasan iqh awal Islam, tidak menjelaskan se-cara tegas adanya barang jaminan yang harus diserahkan oleh seorang mudharid kepada pemilik modal dalam akad mudharabah. Hal itu disebabkan mudharabah adalah bersifat bantuan yang mengutamkan kekeluargaan dan perkawanan. Orang yang tidak memiliki modal, ke-mudian diberikan modal untuk berjualan, agar kehidupan ekonominya bias terbantu, sekaligus memberikan pekerjaan. Jika, orangnya tidak memiliki modal tetapi mau bekerja,bagaimana mungkin orang tersebut harus dimintai benda yang menjadi jaminan.

Tetapi memang harus menjadi kesadaran, bahwa situasi saat itu, mudhorabah bias diwujudkan dalam suasana kekeluargaan dan solida-ritas yang kuat. Di saat sekarang ini, prinsip kerjasamanya seringkali didasarkan pada dua hal, keuntungan dan jaminan modal aman. Dua prinsip ini melampaui prinsip-prinsip kekeluargaan dan gotong royong. Saat ini juga, modhorabah tidak lagi melibatkan dua pihak saja, tetapi sudah dimediasi oleh pihak ketiga seperti pihak perbankan. Seba-gai pihak ketiga, perbankan juga tidak mau rugi. Dan menanggungkan keamanan modalnya itu dengan meminta jaminan dari si mudharib. Satu-satunya pelajaran berharga dari adanya barang jaminan adanya, untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan amanah (moral hazard).

(38)

8. Nishab Zakat Tanaman dan Buah-Buahan

Nishab merupakan jumlah minimal yang wajib dikeluarkan za-katnya.22 Dalam hal ini nishab dihitung dari harta yang melebihi

keper-luan pokok: sandang, pangan, dan papan. Ketentuan nishab merupakan hal penting dalam zakat karena dengan batas berapa seseorang wajib mengeluarkan zakatnya. Dalam KHES pembahasan tentang nishab za-kat bagi tanaman dan buah-buahan belum ada ketentuannya.

Hal ini dianggap dapat melahirkan perdebatan atau perselisihan untuk menentukan jumlah minimal batasan tanaman dan buah-buahan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Namun mayoritas para ahli iqih ber-pendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat hasil tanaman dan buah-buahan sebelum mencapai lima wasaq. Berdasarkan hadis tersebut, para ulama telah menghitung persamaan lima wasaq (kata tunggal dari ausaq) dengan ukuran takaran masa kini, dan mendapati bahwa jumlah tersebut sama dengan kira-kira 653 (enam ratus lima puluh tiga) kg bi-ji-bijian makanan pokok di setiap negara.23 Di Indonesia, tentunya bisa

mempersamakannya dengan beras.

22 Abdullah Nasih Ulwan, Hukum Zakat Dalam pandangan Empat Mazhab, (Jakarta: Litera antar Nusa, 1985), h. 8

(39)

A. Defenisi Sengketa

Istilah sengketa bias juga dimaknai konlik. Sehingga antara sen-gketa dan konlik memiliki makna kata yang sama. Hanya saja, jika mengacu pada istilah dari bahasa Indonesia, maka yang paling tepat adalah istilah sengketa. Namun, dalam berbagai literatur, istilah konlik yang disadur dari bahasa Inggris lebih lajim dugunakan. Untuk itu, pe-nulis akan menggunakan istilah konlik dan sengketa secara bergantian. Konlik sendiri berasal dari kata kerja latin conligere yang berarti saling memukul, pertentangan atau perselisihan antar individu, ide, ke-pentingan dan sebagainya. Secara sosiologis, konlik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Deinisi konlik juga bisa berarti:

1. Suatu kondisi dimana tujuan, kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang bersaing dan bertabrakan walaupun belum tentu berbentuk ke-kerasan (violance).

2. Situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau perbedaan BAB IV

(40)

cara pandang di antara beberapa orang, kelompok atau organisasi. Sikap saling mempertahankan diri sekurang-kurangnya di antara dua kelompok yaitu memiliki tujuan dan pandangan berbeda dalam upaya mencapai tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi bukan kerjasama.

Menurut Caplow, konlik: ... a struggle over values, status, power and scarce resources in which the aims of the conlicting parties are not only to gain advantage but also to subjugate their vival”. Defenisi Caplow tersebut sangat memandang konlik dengan pendekatan negatif. Caplow mengasumsikan bahwa konlik cenderung untuk mencipta-kan terjadinya korban secara isik. Sedikit ungkapan yang sama dike-mukakan James F. Stoner yang mengatakan konlik itu sebagai “disa-greement about allocation of scarce resources or clashes regarding goals, values and so on, can occur on the interpersonal or organizational level”. Pendapat ini masih menekankan bahwa konlik itu adalah situasi yang negatif dan selalu bersumber dari perebutan sumber daya. Padahal, konlik dalam arti yang lebih sempit terjadi bukan karena perebutan sumber daya alam, tetapi dapat saja terjadi kerena persoalan sikap, peri-laku dan konteks (struktural).

Sementara Hocker dan Wilmot mendefenisikan sengketa lebih pada perjuangan apa yang dinyatakan (expressed struggle) dan campur tangan pihak-pihak terhadap tujuan pihak lainnya (interference of parties). Akibatnya, perbedaan kepentingan/keinginan yang dimaksud adalah fokus pada penekanan otonomi individual dan standar kewajaran indi-vidual (standard of fairness). Mitchell mendefenisikan konlik sebagai: “any situation in which two or more social entities or parties (however deined or structured) perceive that they possess mutually incompatible goals.”

(41)

dari nilai individu tidaklah dalam lingkup konlik. Ketegangan dalam skala massif yang melibatkan banyak orang dan berbagai tingkatan juga dianggap sebagai bagian dari persoalan individu. Manakala tujuan indi-vidu telah tercapai, maka konlikpun dianggap berakhir. Apakah tujuan yang disepakati itu melanggar standar etika sosial atau agama, bukan menjadi pertimbangan yang wajib.

B. Beberapa Pendekatan dalam Resolusi Konlik

Cukup rasanya, saya mengutarakan secara umum defenisi kon-lik dalam litaratur Barat, selanjutnya adalah mengemukan analisa konlik kaitannya dengan upaya resolusi. Untuk penjelasan ini, saya mengemukakan pendapatnya Johan Galtung tentang konlik, sekaligus kemungkinan untuk resolusinya. Pendapat Galtung tersebut minimal mewakili dari keseluruhan teori konlik di dunia barat.

Galtung berpendapat, bahwa konlik senantiasa terkait dengan tiga hal:Pertama, konlik (conlict). Kedua, kekerasan (violance). Ketiga, perdamaian (peace). Bagaimana ketiga unsur ini saling berkaitan, be-rikut ini visualisasinya:

Contradiction

Attitude Behaviour

e

ral t

Gambar 3: Unsur-Unsur Terkait Konlik

(42)

nilai-nilai sosial (social values) dan struktur sosial (social structure). Uraian ini, berbeda dengan defenisi konlik yang disebutkan sebelu-mnya. Galtung memahami konlik dalam ruang lingkup yang lebih luas atau sosial. Meskipun Galtung tidak menjelaskan secara rinci maksud nilai-nilai sosial, tetapi bisa dipahmi dalam artian paham atau pandan-gan tentang sesuatu yang sudah mengakar dalam keseluruhan apeksi dan kognisi masyarakat yang sifatnya mengikat mereka. Sementara struktur sosial dipahami sebagai relasi yang mengikat antara kelom-pok-kelompok dan individu-individu yang mampu mempengaruhi si-stem hukum, ekonomi, politik, budaya hingga keluarga. Struktur sosial dapat diidentiikasi melalui: (1). Relasi yang menjelaskan keberadaan atau mengumpul-kan kepada yang lain. (2). Ketetapan sistem perilaku oleh anggota kelompok dalam sebuah sistem sosial yang mengatur rela-si dengan lainnya. (3). Norma-norma yang diinstiturela-sikan atau kerangka kerja pengetahuan yang membentuk tindakan-tindakan anggota dalam sistem sosial.

(43)

(be-lief) dan conative (will).

Unsur sikap ini tidak terlihat dan susah untuk dipastikan kebe-radaannya, terutama mengukur tingkat eskalasinya. Dampak yang di-timbulkannya juga tidak berupa kekerasan isik. Namun, sikap menjadi unsur penting mendorong terjadinya konlik. Terganggunya atau teran-camnya seseorang akan memunculkan sikap perlawanan sebagai upaya pembelaan diri, sekalipun sikapnya hanya diam.

Behaviour yaitu mencakup kerjasama (cooperation) atau paksaan (coersion), perdamaian (conciliation) atau pertentangan (hostility). Kon-lik kekerasan ditandai oleh ancaman, paksaan atau serangan yang me-rusak. Sifatnya lebih kepada wujud isik.

Ketiga unsur di atas –contradiction, attitude dan behaviour- se-nantiasa hadir bersamaan dalam sebuah konlik. Hanya saja, sangat sulit untuk menentukan mana diantara ketiga unsur tersebut yang mempen-garuhi dan dipenmempen-garuhi. Meskipun demikian, ketepatan seorang analist konlik mengidentiikasi manifest-manifest ketiga unsur itu, akan me-mudahkan dalam resolusinya.

Asumsi Galtung berikutnya terkait dengan konlik adalah keke-rasan (violance). Nampaknya, asumsi Galtung menganut pandangan pertama -sebagaimana dijelaskan pada bab I- bahwa konlik itu sela-lu sifatnya negatif yang membawa korban isik dan non-isik, sehing-ga harus dihindari. Terlepas dari kontradiksi itu, Galtung menjelaskan, bahwa konlik dengan tiga unsur di atas, masing-masing melahirkan kekerasan yang berbeda-beda.

Konlik kontradiksi biasanya terkait dengan kekerasan struktu-ral akibat dari kebijakan yang salah, fungsi yang tidak berjalan dengan semestinya atau institusi yang bertindak sewenang-wenang dan meng-ganggu keinginan dan kebutuhan anggotanya. Misalnya; orang yang mati karena kelaparan, menderita karena tidak mampu berobat, makan tiwul karena harga sembako yang mahal dan sebagainya.

(44)

perempuan bukanlah suatu konlik, tetapi menjadi relasi yang wajar. Sikap terkait juga dengan identitas kelompok, tetapi menguatnya iden-titas kelompok bukan penyebab terjadinya konlik, namun konliklah yang menyebabkan sikap demi perjuangan identitas semakin menguat. Misalnya, seseorang yang dipandang secara terus-menerus sebagai penjahat atau kebencian yang terpendam menimpa salah satu anggota keluarganya, kemudia menciptakan ”istilah” negatif pada orang terse-but.

Terakhir adalah konlik perilaku (behaviour) biasanya terkait dengan kekerasan langsung (direct violance). Kekerasan yang seperti ini lebih mudah untuk ditangani dan diidentiikasiatau dianalisa. Di sam-ping wujudnya terlihat, pelakunya juga mudah untuk dilokalisir. Mi-salnya seseorang yang dibunuh. Untuk mencegah agar tindakan serupa tidak terulang lagi, cukup dengan menangkap pelakunya. Hanya saja, kekerasan yang seperti ini tidak bersifat laten atau simmering. Dari ke-tiga unsur kekerasan di atas, secara sederhana dapat divisualisasikan sebagai berikut:

Structural Violance

Cultural Violance

Direct Violance

Gambar 4: Unsur-unsur Terkait Kekerasan

(45)

yang diakibatkan kekerasan struktural, dengan menghilangkan kontra-diksi-kontradiksi struktural dan ketidakadilan, maka dapat dilakukan langkah membangun perdamaian (peace building). Jika konlik yang terjadi berasal dari perilaku (behaviour) yang mengakibatkan terjadinya kekerasan secara langsung, maka dapat dilakukan dengan menjaga per-damaian (peace keeping). Terahir, jika yang terjadi adalah konlik yang berasal dari sikap (attitude) yang mengakibatkan terjadinya kekerasan bersifat kultural, maka dapat diselesaikan dengan membuat perdama-ian (peace making). Secara sederhana, dapat divisualisasikan sebagai berikut:

(Sulh)

kim)

atha) Peace Building

Peace Making

Peace Keeping

Gambar 5: Unsur-Unsur Terkait Resolusi Konlik

C. Alternative Dispute Resolution (ADR)

(46)

konsul-tasi, negosiasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

Penjelasan tentang upaya resolusi konlik pada sub bab sebelu-mnya sangat sederhana dan bukan satu-satunya. Dalam konteks yang berbeda, terkait dengan konlik individu dengan individu lain, atau an-tara individu dengan indvidu lalin dan dalam satu ikatan sosial, ana-lisa Galtung belum bisa dijadikan panacea. Untuk itu, resolusi konlik sangat erat kaitannya dengan model konlik yang terjadi. Berikut ini, adalah uraian terkait dengan upaya resolusi konlik yang berkembang dalam spektrum yang lebih luas dengan istilah yang berbeda yaitu di-spute atau disaggrement.

Gerald Turkel1, membuat klasiikasi mengenai tipe-tipe

penyele-saian sengketa secara hierarki atau berjenjang (Hierarchy of Dispute Re-solution). Penjenjangan dibuat dari tipe penyelesaian sengketa yang pa-ling rasional informal dan tidak berdasarkan hukum (the most informal and nonlegally rational type of dispute resolution) sampai dengan tipe yang paling rasional formal dan berdasarkan hukum (the most formal and legally rational type).

Dalam menyelesaikan sengketa, para pihak dapat menggunakan tipe-tipe penyelesaian sebagaimana disebutkan di atas mulai dari tipe yang paling informal sampai dengan tipe yang paling formal rasional. Oleh karena itu, apabila negosiasi tidak berhasil untuk menyelesaikan sengketa, para pihak dapat melanjutkan pada mediasi. Apabila mediasi juga tidak berhasil, mereka dapat melanjutkan pada arbitrase. Akhir-nya, apabila arbitrase pun tidak berhasil, maka para pihak dapat me-lanjutkan kepada adjudikasi (pengadilan).

Mas Achmad Santosa, mengemukakan sekurang-kurangnya ada 5 faktor utama yang memberikan dasar diperlukannya pengembangan penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia, yaitu:

1. Sebagai upaya meningkatkan daya saing dalam mengundang pena-naman modal ke Indonesia. Kepastian hukum termasuk ketersediaan sistem penyelesaian sengketa yang eisien dan reliabel merupakan

(47)

faktor penting bagi pelaku ekonomi mau menanamkan modalnya di Indonesia. Penyelesaian sengketa alternatif yang didasarkan pada prinsip kemandirian dan profesionalisme dapat menepis keraguan calon investor tentang keberadaan forum penyelesaian sengketa yang reliabel (mampu menjamin rasa keadilan);

2. Tuntutan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang eisien dan mampu memenuhi rasa keadilan.

3. Upaya untuk mengimbangi meningkatnya daya kritis masyarakat yang dibarengi dengan tuntutan berperan serta aktif dalam proses pembangunan (termasuk pengambilan keputusan terhadap urusa-nurusan publik). hak masyarakat berperan serta dalam penetapan kebijakan publik tersebut menimbulkan konsekuensi diperlukannya wadah atau mekanisme penyelesaian sengketa untuk mewadahi per-bedaan pendapat (conlicting opinion) yang muncul dari keperanser-taan masyarakat tersebut.

4. Menumbuhkan iklim persaingan sehat (peer pressive) bagi lembaga peradilan. Kehadiran lembaga-lembaga penyelesaian sengketa alter-natif dan kuasi pengadilan (tribunal) apabila sifatnya pilihan ( option-al), maka akan terjadi proses seleksi yang menggambarkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelesaian sengke-ta tertentu. Kehadiran pembanding (peer) dalam bentuk lembaga penyelesaian sengketa alternatif ini diharapkan mendorong lemba-ga-lembaga penyelesaian sengketa tersebut meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat.

5. Sebagai langkah antisipatif membendung derasnya arus perkara mengalir ke pengadilan.

D. Sengketa dalam Ekonomi Syari’ah

Ada dua hal yang mempengaruhi pemberlakuan suatu perjanjian; pertama, dilaksanakan sesuai kesepakatan. Kedua, adanya tindakan wan prestasi salah satu pihak. Seperti kekeliruan, perbuatan curang, penga-ruh tidak pantas, dan ketidakcakapan dalam membuat perjanjian.2

Gambar

Gambar 4: Unsur-unsur Terkait Kekerasan
Gambar 5: Unsur-Unsur Terkait Resolusi Konlik

Referensi

Dokumen terkait

Setelah Perang Dunia ke II, di Jepang banyak lahir agama-agama Baru ( Shinshukkyo ) walaupun sebenarnya bukan agama baru, karena pada hakekatnya agama-agama tersebut

Gambar 9 dan gambar 10 memperlihatkan bahwa pada jarak S/D yang sama, seiring dengan meningkatnya bilangan Reynolds, maka putaran dan torsi statis dari turbin angin

Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah siswa kelas X6 telah melakukan aspek refleksi dalam pembelajaran matematika dengan

--- Menimbang, bahwa setelah Pengadilan Tinggi meneliti dan mempelajari dengan seksama berkas perkara yang terdiri dari Berita Acara Pemeriksaan oleh Penyidik, Berita

Ummi, Devi, Lena, Krisman, Fachri, Febri, Alex dan teman-teman Ekstensi Teknik Sipil USU yang telah banyak membantu, memberikan semangat kepada penulis dalam

Hasil studi pendahuluan di Rumah Sakit Paru Jember, menunjukkan bahwa pada tahun 2017 kasus TB Paru sebanyak 662 orang yang positif TB baik dari kasus baru

Hasil yang didapat pada analisis teknis adalah kebutuhan daya kompresor pada penggunaan refrigerant hidrokarbon lebih hemat 54% dibandingkan dengan refrigerant freon, untuk

sama sehingga pencarian data pinjaman dan angsuran menjadi tidak efektif. Mengingat akan pentingnya pemanfaatan teknologi informasi dalam proses koperasi simpan pinjam ini,