• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM KUHP

B. Asas Hukum dalam Perumusan Kebijakan Pidana

1. Asas Legalitas

Pasal 1 ayat (1) KUHP berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali berdasarkan suatu ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatan itu”

Asas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut dikenal dengan asas Nulla Poena atau yang secara lengkap disebut “nullum delictum nulla poena sine praevia lege

poenali, yang dikembangkan ole Phaul Johann Anselm Von Feuerbach. Asas tersebut

dikemukakan dalam hubungan dengan teorinya “Vom Psychologischen zwang” (Ajaran tentang Pemaksaan secara Psikologis) yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian, maka orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukannya. Dengan demikian, dalam batinnya (psychen-nya) lalu diadakan tekanan untuk tidak berbuat. Kalau kemudian

perbuatan tersebut tetap dilakukan, maka penjatuhan pidana kepada dirinya dapat dinyatakan sebagai persetujuan dari pelakunya.

Pada dasarnya ajaran Anselm von Feuerbach mengandung 3 ketentuan yaitu: a. Nulla poena sine lege: yang bermakna bahwa setiap penjatuhan

hukuman harus didasarkan pada suatu undang-undang (tidak ada hukuman kalau tidak ada undang-undang)

b. Nulla poena sine crimine: yang bermakna bahwa penghukuman hanya

dapat dilakukan jika perbuatan tersebut telah diancam dalam suatu undang-undang (Tidak ada hukuman kalau tidak ada kejahatan)

c. Nullum Crimen sine poena legali: yang bermakna bahwa perbuatan

tersebut telah diancam oleh suatu undang-undang yang berakibat dijatuhkannya hukuman berdasarkan ketentuan dalam undang-undang yang dimaksud. (tidak ada hukuman kalau tidak ada kejahatan yang berdasarkan undang-undang)

Dengan demikian tidak ada seorang pun yang dapat dihukum karena suatu perbuatan kecuali atas suatu undang-undang yang telah berlaku sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Ketentuan ini bersumber dari Hak Asasi Manusia agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Berdasarkan pasal 1 ayat (1) tersebut ada jaminan bagi setiap orang yakni kepastian hukum (Legal Certainty).

Menurut Groenhuijsen ada empat makna yang terkandung dalam asas legalitas. Dua dari yang pertama ditujukan untuk pembuat undang-undang (de

wetgevende macht) dan dua lainnya merupakan pedoman bagi hakim, yaitu :

1) Pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuang pidana berlaku surut.

2) Semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya.

3) Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan.

4) Terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi.

Sementara itu sebagian besar sarjana menjelaskan makna asas legalitas ke dalam 3 bagian yaitu:

1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.

Ketentuan ini secara jelas dapat kita temui dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, dimana dalam teks Belanda disebutkan “wettlijke strafbepaliing” yaitu aturan pidana dalam perundangan. Konsekwensinya adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat tidak dapat dipidana, sebab hukum pidana adat tidak dirumuskan secara tertulis. Di satu sisi secara materiil hukum pidana adat tersebut masih berlaku, walaupun hanya untuk orang-orang tertentu dan bersifat sementara.

Untuk menutup ruang tersebut, UUDS Pasal 14 ayat (2) menentukan: tidak seorang jugapun dapat dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya. Karena yang dipakai disini adalah istilah aturan hukum, maka dapat mengikat aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan demikian juga untuk berlakunya hukum pidana adat diberikan dasar yang kuat. Meskipun sekarang UUDS sudah tidak berlaku lagi, pasal 5 ayat 3b UU Darurat No. 1 tahun 1951 masih tetap dapat dijadikan dasar hukum yang kuat.

2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas)

Ketentuan bahwa untuk menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas) pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan Negara, meskipun ada beberapa sarjana yang tidak menyetujuinya. Prof. Scolter menolak adanya perbedaan antara analogi dan tafsiran ekstentif yang nyata-nyata dibolehkan. Menurutnya, baik dalam hal tafsiran ekstensif maupun dalam analogi, dasarnya adalah sama yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum atau lebih abstrak) dari norma yang ada. Dari itu kemudian didedusir menjadi aturan yang baru (yang sesungguhnya meluaskan aturan yang ada). Antara analogi dan penafsiran ekstensif itu hanya ada perbedaan gradual/tingkatan saja.

3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut

Hal yang sama dimuat dalam pasal 2 AB (Algemene Bepalingen van

Wetgeving) yang berbunyi: “undang-undang itu hanyalah yang berkenaan dengan hal-

hal yang akan datang dan tidak mempunyai kekuatan berlaku secara surut”.

Apabila suatu undang-undang telah diundangkan dalam lembaran Negara, setiap orang dianggap telah mengetahui undang-undang tersebut. Namun undang- undang tersebut baru mengikat sesuai dengan rumusan dalam undang-undang itu sendiri. Adakalanya undang-undang tersebut diberlakukan sejak hari diundangkan dalam lembaran Negara, tetapi adakalanya pula sebelum diberlakukan diberi tenggang waktu untuk memasyarakatkannya, beberapa bulan atau satu tahun tergantung urgensinya.

Menurut Leden Marpaung, ketentuan pasal 1 ayat (1) KUHP ini ditujukan kepada aparat penegak hukum terutama hakim, bukan kepada pembuat undang- undang. Hal ini bermakna bahwa walaupun pembuat undang-undang merumuskan suatu norma pidana dapat berlaku surut, hakim tidak dapat menjadikannya “berlaku surut” sebelum undang-undang tersebut dibuat.

Akan tetapi adakalanya undang-undang berlaku surut sebagaimana dimuat dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi : “Jika suatu perbuatan itu dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa”.

Maksud dari pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut adalah, akan bertentangan dengan rasa keadilan jika undang-undang pidana yang lama masih diberlakukan sedangkan telah terjadi perubahan hukum yang lebih lunak.

Dalam prospek pembaharuan hukum pidana, asas legalitas masih tetap penting untuk dipertahankan. Namun dalam pelaksanaannya tidaklah harus dilakukan secara kaku dalam artian hanya membatasinya pada ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang secara tertulis. Sebaiknya pemahamannya haruslah dipahami berdasarkan ketentuan hukum sehingga ketentuan yang tidak tertulis namun hidup di dalam masyarakat, masih dapat diserap. Jika kita perhatikan maka asas legalitas bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada rakyat dan menghindarkan penguasa dari sikap sewenang-wenang.

Pengertian the rule of law dan supremasi hukum menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukum takluk di bawah ketentuan konstitusi, undang- undang dan rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah kesadaran masyarakat. Dengan asas legalitas yang berlandaskan the rule of the law dan supremasi hukum, jajaran aparat penegak hukum tidak dibenarkan bertindak di luar ketentuan hukum (undue to law maupun undue process) bertindak sewenang-wenang (abuse of

power).

Berkaitan dengan asas Legalitas ini, Roeslan Saleh mengatakan bahwa asas ini mempuyai 3 dimensi yaitu :

1) Dimensi Politik Hukum

Arti politik hukum dari syarat ini adalah perlindungan terhadap anggota masyarakat dari tindakan sewenang-wenang pihak pemerintah. Pandangan ini menunjukkan bahwa para ahli hukum pidana sangat dipengaruhi oleh pandangan ilmu yang rasionalistis. Undang-undang yang jelas diharapkan mampu menciptakan ketertiban serta keseimbangan dan menghindarkan kemungkinan terjadinya ketidaktertiban.

Sebenarnya dari asas legalitas ini tidak lahir suatu perlindungan hukum apapun, jika realisasi dari asas ini akibatnya hanyalah bahwa pelaksanaan kekuasaan yang kejam itu beralih dari tangan hakim kepada tangan pembentuk undang-undang.

Dilihat dari politik hukum, asas legalitas karenanya juga harus dikaitkan dengan pengertian undang-undang yang dikembangkan oleh para ahli hukum sarjana pada waktu itu. Pengertian undang-undang pada waktu itu dijelaskan dengan menggunakan pikiran kontrak sosial, yaitu suatu tema pusat dari aliran hukum, kodrat yang rasional. Paradigma dari kontrak sosial atau perjanjian masyarakat, masuk ke dalam hampir semua teori hukum pidana pada waktu itu.

Servan misalnya; membatasi diri dengan menegaskan bahwa undang-undang hukum pidana itu merupakan suatu kunci dari suatu perjanjian sosial. Janji-janji kolektif mengenai norma dari kelakuan yang harus ditaati dalam masyarakat ditetapkan dengan itu, demikian juga sanksi-sanksinya jika norma tersebut tidak ditaati.

2) Dimensi Politik Kriminil

Para ahli sepakat bahwa suatu rumusan undang-undang yang jelas dan tidak menimbulkan keragu-raguan tentang kejahatan-kejahatan dan pidana-pidananya akan dapat melakukan fungsi politik kriminal yang baik. Suatu penerapan yang tegas dari asas legalitas akan memungkinkan warga masyarakat untuk menilai semua akibat merugikan yang ditimbulkan oleh dilakukannya suatu perbuatan pidana, dan hal ini dapat dipertimbangkan sendiri dengan tepat.

Menurut Beccaria, jika kita tidak mengetahui bahwa suatu perbuatan tertentu dapat dipidana, maka dorongan untuk melakukan perbuatan tersebut jauh lebih besar. Para ahli berpendapat bahwa keyakinan yang ada pada warga masyarakat yang ditimbulkan oleh perumusan undang-undang yang pasti dan jelas tentang kejahatan- kajahatan dan pidana-pidana yang dilekatkan pada kejahatan-kejahatan itu mengakibatkan sesuatu yang bersifat preventif.

3) Dimensi Organisasi

Letrosne berpendapat bahwa tidak jelasnya perundang-undangan pidana; rumusan yang samar-samar dan tidak adanya batasan yang tegas dari masing-masing wewenang dalam acara pidana mengakibatkan banyak sekali kejahatan yang tidak dipidana.

Asas legalitas dikaitkan dengan peradilan pidana mengharapkan lebih banyak lagi dari pada hanya melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan pemerintah. Asas legalitas ini diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih positif.

2. Asas Kesamaan

Bahwa secara filosofi semua manusia dimuka bumi mempunyai kedudukan/ hak-hak dan kewajiban yang sama. Pada zaman kolonial, ada penggolongan antara pribumi dan kolonial dengan sanksi yang berbeda. Untuk pribumi sanksinya lebih primitif. Penggolongan mayarakat yang tradisional dan modern didasarkan cara kelompok tersebut berfikir. Dalam kelompok masyarakat tradisional cara berfikir dilandasi pada pengalaman dan kurang kritis, sementara pada kelompok masyarakat modern lebih didasarkan pada pemikiran yang kritis.

Namun kondisi modern atau tradisionalnya kelompok masyarakat tidak dapat digunakan untuk membedakan di depan hukum. Pada abad 18 asas kesamaan di pandang sebagai suatu norma yang baru yang merupakan pendobrakan pandangan ilmuwan yang besifat rasionil.

3. Asas Proporsionalitas

Sifat kejahatan harus berpadanan dengan sanksi. Untuk kejahatan yang berbahaya seharusnya diberikan hukuman yang lebih berat, untuk kejahatan yang lebih ringan diberikan sanksi yang lebih ringan.

Asas ini masih bersifat relatif. Dalam KUHP dikenal delik hukum dan delik UU. Dalam delik Hukum (recht delict), sifatnya lebih berat karena menyentuh moral sehingga sanksi yang dijatuhkan untuk jenis delik ini lebih berat dan biasa disebut dengan kejahatan. Sedangkan Delik UU (wet delict): merupakan aturan untuk kepentingan bersama tanpa menyentuh moral, sanksinya lebih ringan, biasa disebut

pelanggaran. Kejahatan atau pelanggaran menggambarkan berat ringannya sanksi secara proporsional.

4. Asas Personalitas

Asas personalitas bertujuan untuk melokalisir sejauh mungkin agar pihak lain tidak menjadi korban apabila satu orang dijatuhi hukuman tertentu. Apabila terjadi perampasan hak si terhukum, maka yang menjadi korban bukan saja si terhukum tapi seluruh anggota keluarganya karena kehidupan keluarga terganggu dengan adanya harta benda yang disita. Asas ini sulit untuk diterapkan, harus ada aturan khusus untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

5. Asas Publisitas

Putusan pengadilan terbuka untuk umum adalah merupakan hak publik untuk mengetahui seorang tersangka diproses dengan benar sebelum dijatuhi hukuman. Asas inilah yang mendorong timbulnya lembaga pembelaan/pengacara. Pada awal abad 20 tidak ada orang yang membela pelaku, perlakuan terhadap pelaku sewenang- wenang. Saat ini sejak proses penyidikan, pelaku sudah dapat didampingi oleh pengacara.

6. Asas Subsideritas

Hukum yang terlalu berat pada awalnya disangka akan dapat memperbaiki penjahat, sesuai dengan prinsip penjeraan. Ternyata tidak bisa memperbaiki penjahat. Karena itu dalam pembuatan undang-undang hendaknya hukuman yang dirumuskan

tidak semata-mata ditujukan untuk menbuat penjeraan bagi pelaku tetapi juga memikirkan upaya preventif yang dapat diterapkan sebagai sanksi tindakan untuk membuat pelaku dan masyarakat tidak lagi melakukan kejahatan yang dilarang.

C. Penempatan Tindak Pidana Perkosaan dalam Sistematika Legislasi

Dokumen terkait