• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kebijakan Legislasi Tentang Tindak Pidana Perkosaan Di Indonesia"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

N U R S I T I

057005016/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

TESIS

Untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

N U R S I T I

057005016/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Nomor Pokok : 057005016 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Muhammad Daud, S.H.) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.) (Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B.,Msc)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Muhammad Daud, S.H. Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.

2. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum 3. Prof. Warsani, S.H.

(5)

Tempat/ Tgl Lahir : Banda Aceh, 15 Oktober 1972 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Alamat : Jl. Tgk Cot Plieng No. 13 Lampineng, Banda Aceh

Pendidikan:

- SD Negeri No. 11 Banda Aceh (Lulus Tahun 1985) - SMP Negeri No. 1 Banda Aceh (Lulus Tahun 1988) - SMA Negeri No. 6 Pekanbaru (Lulus Tahun 1991)

(6)

JUDUL TESIS

: KEBIJAKAN LEGISLASI TINDAK

PIDANA

PERKOSAAN DI INDONESIA

NAMA MAHASISWA : NURSITI

NOMOR POKOK

: 057005016

PROGRAM STUDI

: ILMU HUKUM

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Muhammad Daud, S.H. Ketua

(7)

KEBIJAKAN LEGISLASI TENTANG

TINDAK PIDANA PERKOSAAN

DI INDONESIA

TESIS

Oleh:

N U R S I T I

057005016/HK

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(8)

mendefinisikan perumusannya, sikap aparat penegak hukum dan masyarakat yang tidak responsif serta tidak adanya perlindungan bagi korban.

Batasan masalah yang diteliti adalah untuk melihat apakah perumusan tindak pidana perkosaan yang di atur dalam KUHP sudah sesuai dengan nilai-nilai dan asas hukum, bagaimana kebijakan normatif di luar KUHP tentang tindak pidana perkosaan dan bagaimana konsep Rancangan KUHP Nasional mengatur tentang tindak pidana perkosaan. Bertujuan untuk mendapatkan analisis perumusan tindak pidana perkosaan yang diatur dalam KUHP, kebijakan legislasi di luar KUHP serta analisis konsep Rancangan KUHP Nasional tentang tindak pidana perkosaan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif, dengan melakukan tahapan inventarisasi hukum positif sebagai proses identifikasi yang kritis analitis serta logis-sistematis. Tahapan selanjutnya adalah singkronisasi suatu peraturan yang dilakukan secara horizontal.

Rumusan tindak pidana perkosaan dalam KUHP belum memberikan perlindungan yang sepenuhnya kepada perempuan korban. Dalam rumusan perundangan, ditemukan sempitnya defenisi tindak pidana perkosaan Kebijakan legislasi diluar KUHP khususnya UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT telah mengatur mengenai tindak pidana perkosaan dengan istilah kekerasan seksual dengan bentuk perbuatan yang dilarang lebih luas dari KUHP dan sanksi yang lebih berat serta perlindungan khusus yang wajib diberikan kepada korban. Dalam Rancangan KUHP Nasional, rumusan tindak pidana perkosaan sudah mengalami perluasan sehingga bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya juga dirumuskan sebagai perkosaan dengan sanksi yang lebih berat dari yang diatur dalam KUHP.

(9)

ABSTRACT

Rape is a conventional crime that not yet succeeded to be handled well. It is because the limited devinition to determine it also the attitude of the police and society who is not responsive to protect the victim.

The limitation of the research here is to see wether the limitation of rape which is arranged in the Indonesian Criminal Code (KUHP) so wich value and law norm, how the norm policy outside of Indonesian Criminal Code arranged about rape and how the concept of Defice Criminal Code National can arrange about rape. The aim of the research is to get analysis of the crime of rape that is arranged in Indonesian Crime Code and policy legislation analysis normatively about rape outside of Criminal Code and the analysis concept of Defice Criminal Code National about rape.

Mathodelogy for this research is normative law research, where the researcher make an positive law stocktaking as an identification process identify analytical critical and sistematic logic. Next step is sinkronitation of the rule which is done horizontally.

The formula of the crime of rape in Indonesian Criminal Code is still limited in giving the protection for the victim and identified that how limited the law defined the rape. The legislation outside of Indonesian Criminal Code especially law No. 23/2002 about Child Protection and Law No. 23/2004 about Domestic Violence actually has arranged about the crime of rape where the technical term used sexsual violence. both of the law, prohibited deed form is broader than Indonesian Criminal Code more heavy sanction and special protection which is obliged to be passed to victim. In Defice Criminal Code National, the formula of rape crime has been wider so that the form of sexsual violence has been extention as a rape with the sanction for this crime also is harder than in Indonesian Criminal Code.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis persembahkan kehadapan Ilahi Rabbi yang telah begitu

banyak melimpahkan karunia dan berkah-Nya, karena dengan izin-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang diberi judul ” Kebijakan Legislasi Tindak Pidana

Perkosaan di Indonesia”

Seiring Salawat dan Salam kepada Muhammad, SAW, Nabi dan Rasul Allah SWT yang telah membawa kita sekalian ke alam yang terang benderang dan penuh

ilmu pengetahuan agar kita mampu melihat kebesaran dan keagungan sang pencipta alam semesta ini dan mensyukurinya.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tesis ini, karena

keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, untuk itu penulis sangat mengharapkan pengarahan dan sumbangan pemikiran dari semua pihak untuk penyempurnaannya.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Chairudin P. Lubis DTM&H, SpA (K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara

2. Prof. DR. Ir. Chairun Nisa B., MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. DR. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

(11)

5. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H. M.S, selaku Dosen Pembimbing II penulis

6. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing III

Penulis

7. Prof. Warsani, S.H. selaku Dosen Penguji

8. Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji

Terimakasih yang tak terhingga kepada Rektor Universitas Syiah Kuala dan Dekan Fakultas Hukum Unsyiah yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk menyelesaikan pendidikan pascasarjana ini dengan segala dukungan baik moril maupun materil yang sangat membantu penulis selama ini.

Terima kasih yang tak terhingga dan kasih sayang yang tak terputus yang

penulis persembahkan kepada ayahanda Muhammad Amin, SH (Alm) dan Ibunda Tjoet Meurah Asiah (Alm) serta Adinda Muhammad Nur, SP (Alm) yang dalam

kepergiannya tetap memberikan insprirasi dan kekuatan kepada penulis.

Terima kasih dan cinta kepada Suamiku Dede Suhendra, S.Sos, dan anak-anakku Ananda Desti Aqilla dan Fauzan Abbiyu Zihny, yang dengan cinta dan

pengertian telah memberikan dukungan yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Terima kasih pula kepada kakanda dan adinda, Drh. Nuzul Asmilia, MSc, Nurul Asmiati, Nurchaily, SPd. M.Kom, Nurbaiti, MPd serta Muhammad Yasin beserta seluruh anggota keluarganya yang selalu memberikan perhatian dan kasih

(12)

adik-adik Teti, Erna, Erni, Tuti dan Didi serta keluarga di Tanjung Balai atas kasih sayang dan bantuan dalam meringankan tugas-tugas selama proses pendidikan ini

berlangsung.

Terima kasih kepada Bapak Prof. Dahlan, SH, M.Hum dan Bapak Abdul

Muis, SH, M.Hum yang selalu memberikan perhatian dan bimbingan sejak penulis menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Unsyiah sampai dengan saat ini. Dan saudaraku Ria Fitri, SH, M.Hum yang telah mengambil alih sebagian tanggung jawab

sehingga pendidikan ini dapat berjalan dengan baik.

Terima kasih buat teman-teman di Komnas Perempuan, LBH Apik Aceh dan Jakarta, Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh (KKTGA), Balai Syura Ureung

Inong Aceh yang telah menjadi teman diskusi yang mencerahkan dan menyumbangkan banyak referensi kepada penulis.

Terima kasih buat Desi, Siti, Nunung, Bibah, Putri dan Sangkot, serta teman-teman S2 lainnya yang telah mau berbagi dan memberikan suasana yang menyenangkan serta memberi motivasi dalam penyelesaian tesis ini.

Akhirnya penulis mengharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan penulis berdoa semoga ilmu yang telah diperoleh dapat dipergunakan untuk

(13)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Nursiti

Tempat/ Tgl Lahir : Banda Aceh, 15 Oktober 1972

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Alamat : Jl. Tgk Cot Plieng No. 13 Lampineng, Banda Aceh Pendidikan:

- SD Negeri No. 11 Banda Aceh (Lulus Tahun 1985)

- SMP Negeri No. 1 Banda Aceh (Lulus Tahun 1988) - SMA Negeri No. 6 Pekanbaru (Lulus Tahun 1991)

(14)

DAFTAR ISI

ABSTRACK ...ii

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR ISI...vii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR ISTILAH ...xii

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian... 9

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 10

1. Kerangka Teori. ... 10

2. Kerangka Konsepsional ... 22

G. METODE PENELITIAN... 36

1. Jenis Penelitian... 36

2. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data... 38

(15)

H. Sitematika Penulisan ... 40

BAB II TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM KUHP... 42

A. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan dan Unsur-Unsurnya ... 42

1. Pasal 285 KUHP ... 42

2. Pasal 286 KUHP ... 50

3. Pasal 287 KUHP ... 52

4. Pasal 288 KUHP ... 56

B. Asas Hukum dalam Perumusan Kebijakan Pidana ... 58

1. Asas Legalitas ... 58

2. Asas Kesamaan ... 66

3. Asas Proporsionalitas... 66

4. Asas Personalitas ... 67

5. Asas Publisitas ... 67

6. Asas Subsideritas ... 67

C. Penempatan Tindak Pidana Perkosaan dalam Sistematika Legislasi.... 68

D. Analisis Kebijakan Legislasi Tindak Pidana Perkosaan dengan Metode Pemecahan Masalah (MPM)... 74

1. Rule (Peraturan) ... 78

2. Opportunity (Peluang) ... 79

3. Capability (Kemampuan)... 80

(16)

5. Interest (Kepentingan) ... 81

6. Process (Proses)... 82

7. Idiology (Idiologi). ... 83

BAB III KEBIJAKAN LEGISLASI DI LUAR KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN ... 85

A. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT... 86

1. Bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang ... 96

2. Unsur-unsur yang harus dipenuhi. ... 98

3. Akibat... 99

4. Pelaku... 100

5. Korban... 101

6. Jenis tindak pidana ... 102

7. Pembuktian. ... 103

8. Ketentuan Pidana ... 107

9. Upaya Perlindungan... 112

B. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ... 114

1. Bentuk-bentuk perbuatan yang dilarang ... 120

2. Unsur-unsur yang harus dipenuhi ... 121

3. Akibat... 122

4. Pelaku... 122

(17)

6. Jenis Tindak Pidana ... 123

7. Pembuktian ... 124

8. Ketentuan Pidana ... 124

9. Upaya perlindungan ... 126

BAB IV KONSEP TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM RANCANGAN KUHP NASIONAL... 128

A. Urgensi KUHP Nasional... 128

B. Pengertian, Unsur-Unsur dan Sistematisasi Tindak Pidana Perkosaan Dalam Rancangan KUHP Nasional ... 135

C. Rekomendasi Tentang Pembaharuan Rumusan dan Sistematika Legislasi Tindak Pidana Perkosaan. ... 140

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 156

A. Kesimpulan ... 156

B. Saran ... 158

(18)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1 Aktor Dan Prilaku Bermasalah Dalam Tindak Pidana

Perkosaan... 75

2 Ketentuan Pidana Undang-Undang No. 23 Tahun 2004... 90

3 Perbandingan Ketentuan Pidana Antara KUHP dengan Undang-

undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT ... 109

4 Perlindungan dan Pelayanan Terhadap Korban KDRT (Kekerasan

Seksual)... 113

5 Perbandingan Ketentuan Pidana Antara KUHP Dengan Undang-

(19)

DAFTAR ISTILAH Bedreiging met geweld: ancaman kekerasan

Beleid: kebijakan

Booking: pesanan

Capacity: kapasitas

Comunication: komunikasi

Confiracy of silence: kesepakatan diam-diam

Counter culture: budaya tandingan

Crime: kejahatan

Criminal act: undang-undang pidana

Criminal liability: pertanggungjawaban pidana Criminal policy: kebijakan kriminal

Decent: kepatutan

Dubius: memiliki arti ganda/ mendua

Dwingen: perbuatan memaksa

Ends means: metode merancang kebijakan dengan menetapkan

tujuan terlebih dahulu

Ethics: kesusilaan

Geen straf zonder schuld: tidak ada tindak pidana tanpa kesalahan Geweld: kekerasan

(20)

Ikra’h: pemaksaan

In casu: dalam kasus ini

In concreto: pada kenyataannya

In cremental: metode merancang peraturan yang mengharapkan

perubahan pada terjadi secara bertahap

Inherent: sejenis

Interest: kepentingan

Implementing agent: pelaksana peraturan

Law enforcement policy: kebijakan dalam penegakan hukum Law in books: hukum dalam perundang-undangan

Legal substance: substansi hukum

Legistis positivistis: hukum yang diundangkan oleh lembaga berwenang

Marital rape: perkosaan dalam perkawinan Misdrijven tegen de zeden: kejahatan terhadap kesopanan Mu’asyarah bi al-ma’ruf: dengan cara yang baik

Opportunity: peluang

Over tredingen betreffende de zeden: pelanggaran terhadap kesopanan

Penal policy: kebijakan pidana Penal reform: pembaharuan hukum pidana

Policy: kebijakan

(21)

Rule: peraturan Role occupant: pemegang peran

Revictimisasi: menjadi korban untuk kesekian kalinya Social defence: keamanan sosial

Social policy: kebijakan sosial Social welfare: kesejahteraan sosial

Statutory rape: perkosaan yang ditentukan oleh undang-undang

Sub culture: bagian budaya bangsa

Value oriented approach: pendekatan yang berorientasi pada nilai Verkrachting: perkosaan untuk bersetubuh

Wet boek van strafrecht: kitab undang-undang hukum pidana

(22)

DAFTAR SINGKATAN

CEDAW: Convention of Discrimination Againts Womens

KUHAP: Kitan Undang-undang Hukum Acara Perdata KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana

MPM: Metode Penyelesaian Masalah

PBB: Perserikatan Bangsa-bangsa

PKDRT: Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

UU: Undang-undang

UUD: Undang-undang Dasar

(23)

A. Latar Belakang

Perkosaan adalah masalah sangat serius. Namun secara statistik, pendataan kasus perkosaan masih sangat lemah. Data yang ada seringkali tidak akurat, belum lagi adanya keengganan perempuan korban untuk melaporkan karena tidak didukung

oleh keluarga dan masih melekatnya budaya malu di dalam masyarakat untuk mendiskusikan persoalan perkosaan secara terbuka. Hanya sedikit korban dan keluarganya yang kemudian melaporkan kasusnya kepada pihak berwajib. Selain itu

media massa juga hanya mengungkapkan sebagian kecil dari kasus-kasus yang dilaporkan pada polisi.

Perkosaan adalah tindak pidana konvensional yang saat ini semakin sering terjadi namun selalu sulit untuk diadili. Hingga saat ini masih terjadi pro dan kontra atas konsepsi dan pengertian tindak pidana perkosaan serta cara penanggulangannya.

Akan tetapi tindak pidana perkosaan baik secara yuridis dan sosiologis merupakan tindakan yang sangat dicela dan sangat merugikan pihak korban.

(24)

1. Pasal 285 KUHP :

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya, bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.1

Perumusan tersebut menetapkan beberapa kriteria untuk dapat menyebut suatu

perbuatan sebagai tindak pidana perkosaan yaitu :

a. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

b. memaksa perempuan (berarti tidak ada persetujuan dari si korban) c. yang bukan istrinya

d. untuk bersetubuh

2. Pasal 286 KUHP:

Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.2

Pasal ini berkaitan dengan perkosaan kepada perempuan bukan istrinya yang

sedang berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Beberapa permasalahan muncul berkaitan dengan pengertian pingsan atau tidak berdaya, apakah termasuk di dalam pengertiannya kondisi tidak waras atau kondisi berada di bawah kekuasaan

(tidak berdaya).

3. Pasal 287 KUHP:

(1) Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15

1

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994), hlm. 210.

2

(25)

tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan kalau ada pengaduan, kecuali kalau umur perempuan itu belum sampai 12 tahun atau jika ada salah satu yang disebut pada pasal 291 dan 294.3

Pasal ini berkaitan dengan perkosaan terhadap perempuan bukan istrinya yang

masih belum cukup umur (belum 15 tahun). Kalimat yang menyatakan “patut disangkanya belum cukup masanya untuk kawin” seringkali dijadikan alasan bagi

pelaku perkosaan bahwa kondisi fisik korban yang seperti perempuan dewasa membuat pelaku tidak menyangka bahwa korban belum berumur 15 tahun. Penilain fisik seperti ini seringkali merugikan korban karena dirinyalah yang kemudian dinilai

menjadi penyebab terjadinya perkosaan. 4. Pasal 288 KUHP:

(1) Barang siapa bersetubuh dengan istrinya yang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa perempuan itu belum masanya buat dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun, kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu mendapat luka.

(2) Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.

(3) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian perempuan itu, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.4

Pasal ini merupakan satu-satunya pasal yang mengatur tentang perkosaan

yang dilakukan di dalam lembaga perkawinan, hanya saja hal ini dibatasi pada pasangan yang istrinya ternyata belum cukup umur atau belum masanya untuk kawin.

3

Ibid, hlm. 211.

4

(26)

Yang berdasarkan pasal 287 KUHP artinya belum berumur 15 tahun. Pasal ini hanya menjatuhkan hukuman kepada pelaku jika tindakan perkosaan tersebut menyebabkan

korban mengalami luka-luka pada badan (luka fisik) atau meninggal dunia.

Kriteria dan pembatasan oleh pasal-pasal yang berkaitan dengan perkosaan di

atas menjadikan tindak pidana perkosaan berdefinisi sempit dan menimbulkan banyak masalah bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan. Hal ini menyebabkan banyak kasus kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan seringkali

akhirnya hanya dikenai pasal pencabulan, atau bahkan perkara tidak dapat dilanjutkan ke pengadilan karena tidak adanya bukti seperti persyaratan legal KUHP.

Berikut ini adalah beberapa contoh kasus perkosaan yang terungkap namun

tidak diadili karena adanya kelemahan dalam perumusan kebijakan legislasi yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan dan penegakannya:

Kasus 1; Perkosaan terhadap anak perempuan:

“Yeni dan Yana (bukan nama sebenarnya) adalah anak kelima dan keenam dari tujuh bersaudara, berusia 14 dan 12 tahun, telah mengalami perkosaan berulang kali dari ayah kandungnya. Kejadian terungkap atas keberanian anak bungsu (laki-laki) dalam keluarga yang menelepon polisi dan mengajak ibunya datang melapor. Dalam pemeriksaan polisi, sang ayah menolak tuduhan perkosaan dan mengatakan bahwa sebelum mengajak berhubungan seks, ia selalu bertanya apakah kamu iklas? dan dijawab “iklas” oleh anak-anaknya. Dalam pendampingan anak-anak mengaku mereka memang menjawab demikian karena mereka sangat takut pada ayahnya.”5

Dari kasus tersebut dapat dijumpai adanya perbedaan posisi antara pelaku

dengan korban yaitu pelaku sebagai orang tua (ayah) yang sangat ditakuti oleh

5

(27)

anaknya, sehingga korban menuruti keinginan pelaku tanpa perlu adanya paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pelaku berdalih dengan perkataan iklas

yang diberikan oleh korbannya. Tidak terbukti adanya pemaksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dapat menyebabkan pelaku terlepas dari tuntutan perkosaan.

Kasus 2; Perkosaan terhadap pekerja seks:

“Seorang pekerja seks di-“booking”- seseorang dengan perjanjian pembayaran Rp. 100.000,- dan mendapat uang muka Rp. 50.000,-. Ternyata ia diberikan kepada tiga tentara yang kemudian menyekapnya, membungkam mulutnya, mengikat tangan dan kakinya. Ia kemudian diperkosa bergiliran dan pingsan. Korban ditemukan tukang sapu hotel.”6

Status sosial dan pekerjaan korban sebagai pekerja seks komersial seringkali

menjadikan faktor utama yang dapat menyebabkan kasus seperti ini tidak dapat ditindaklanjuti sebagai tindak pidana perkosaan. Korban dianggap memiliki cacat

sosial dan sudah selayaknya mendapatkan prilaku kekerasan perkosaan tersebut. Kasus 3; perkosaan dalam wilayah konflik:

“Pada tahun 1997, setelah pembebasan sandera di Nggeselema, rumah kami didatangi anggota ABRI. Mereka meminta saya dan anak saya untuk pergi ke pos mereka. Untuk menghindari ancaman mereka, sering saya sembunyikan anak di kandang babi. Suatu hari ABRI datangi saya dan minta pakaian mereka untuk saya jahit. Tapi mereka tidak membayar saya. Kalau saya minta mereka bayar, mereka kasih peluru. Saat itu saya berontak. Mereka lepas pakaian saya secara paksa dan mereka memperkosa saya, sambil ada yang memotret.”7

Dalam kondisi konflik, perkosaan tidak hanya dapat dipandang sebagai tindak

pidana biasa, tetapi dapat juga menjadi pelanggaran hak asasi manusia sebagai

6

Kasus didampingi oleh Griya Lentera, PKBI Yogyakarta, sebagaimana dikutip dalam Ibid, hlm. 134.

7

Testimoni SG, 25 tahun dari Papua, sebagaimana dikutip dalam tulisan Galuh Wandita,

Memahami Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Prasyarat sebuah Transformasi, (Jakarta:

(28)

pelanggaran HAM berat dengan persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. Perkosaan seringkali digunakan sebagai alat atau strategi untuk menghancurkan

lawan. Sebagai pihak yang memegang kekuasaan, menindak pelaku perkosaan dalam kondisi konflik adalah sesuatu yang sangat sulit. Pelaku seringkali tak tersentuh oleh

ketentuan hukum.

Kasus 4; Perkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998:

“. . . . peristiwa perkosaan massal itu terjadi dalam rentetan peristiwa kerusuhan, pengrusakan dan pembakaran,… Sekelompok orang tak dikenal memasuki ruko korban dan menjarah barang-barang. Sebagian lainnya menelanjangi R dan memaksanya menyaksikan kedua adiknya diperkosa. Setelah diperkosa, kedua gadis itu dilempar ke lantai bawah yang sudah mulai terbakar, kedua gadis itu mati…..”8

Contoh kasus di atas hanyalah satu cerita dari tragedi Mei 1998. Sangat

banyak kasus perkosaan yang ditemukan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998, namun bukannya penegakan hukum dan keadilan yang

didapatkan oleh korban dan keluarganya, bahkan peristiwa perkosaan tersebut disangkal telah terjadi oleh pemerintah. Alasan yang dikemukakan oleh aparat penegak hukum adalah tidak adanya pengaduan dari korban. Padahal tindak pidana

perkosaan pada dasarnya bukanlah delik aduan (kecuali Pasal 286 KUHP untuk persetubuhan yang terjadi dengan anak perempuan yang berumur antara 12 sampai

dengan 15 tahun).

8

Kesaksian keluarga R, L, M tentang peristiwa 14 Mei 1998 sebagaimana dikutip dalam Komnas Perempuan, Seri Dokumentasi Kunci, Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa

Kerusuhan Mei 1998, Laporan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan, (Jakarta: Publikasi Komnas

(29)

Kasus-kasus tersebut di atas diharapkan dapat menggambarkan beberapa problematika yang dihadapi oleh korban yang mengalami tindak pidana perkosaan

yang disebabkan karena adanya kelemahan-kelemahan dalam perumusan undang-undang, baik mengenai unsur-unsur maupun sanksi dan proses pemeriksaan serta

pembuktiannya.

Dalam perkembangan pembaharuan hukum pidana Indonesia, telah dikaji dan dibicarakan berbagai hal yang menyangkut dengan kelemahan KUHP yang ada saat

ini dan besarnya keinginan untuk merumuskan suatu KUHP Nasional yang baru. Dalam kaitannya dengan tindak pidana perkosaan, kelemahan KUHP terletak pada sempitnya ruang lingkup pengertian tindak pidana perkosaan yang

mengecualikan beberapa hal, diantaranya tidak mengenal perkosaan yang terjadi dalam rumah tangga, mengkesampingkan perkosaan yang tidak dilakukan tanpa

penetrasi penis ke dalam vagina, mengkesampingkan perkosaan yang dilakukan tanpa paksaan fisik tetapi karena alasan perbedaan posisi tawar antara pelaku dengan korban.

Kajian lainnya adalah penempatan tindak pidana perkosaan ke dalam delik yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kesusilaan, yang mengacu kepada

moralitas masyarakat dan bukannya melindungi perempuan korban perkosaan yang tubuh dan harkatnya telah diperkosa.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dikaji dan dianalis melalui metode

(30)

perkosaan tersebut dirumuskan dalam berbagai perundang-undangan yang ada baik dalam KUHP maupun undang-undang pidana di luar KUHP, sebagai kerangka untuk

menyusun suatu perumusan yang lebih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan.

Rumusan tersebut kemudian akan disandingkan untuk diperbandingkan dengan konsep tindak pidana perkosaan yang sudah dirumuskan oleh para pengambil kebijakan dalam konsep Rancangan KUHP Nasional yang baru.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka batasan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

1. Apakah perumusan Tindak Pidana Perkosaan yang di atur dalam KUHP sudah sesuai dengan nilai-nilai dan asas hukum?

2. Bagaimanakah kebijakan normatif di luar KUHP tentang tindak pidana perkosaan?

3. Bagaimanakah konsep Rancangan KUHP Nasional mengatur tentang tindak

pidana perkosaan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis perumusan Tindak Pidana Perkosaan yang diatur dalam KUHP 2. Menganalisis kebijakan legislasi secara normatif tentang tindak pidana

(31)

3. Menganalisis konsep Rancangan KUHP Nasional tentang tindak pidana perkosaan.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan manfaatkan sebagai berikut:

1. Bersifat teoritis

Memberi sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan bidang ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum pidana yang berkaitan dengan tindak pidana

perkosaan pada khususnya.

Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembentuk hukum dalam pembaharuan hukum pidana, khususnya rancangan KUHP

Nasional.

2. Bersifat Praktis

Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum, akademisi dan aparat penegak hukum tentang kebijakan legislasi yang berkaitan dengan tindak pidana perkosaan di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap judul dan masalah

yang sama, maka penulis melakukan pengumpulan data dan juga pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada mengenai berbagai kebijakan legislasi yang terkait dengan tindak pidana perkosaan, ternyata penelitian ini belum pernah

(32)

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

a. Teori-teori Pembaharuan Hukum Pidana

Masalah pembaharuan hukum pidana merupakan salah satu masalah penting

yang perlu ditinjau dari segala aspek. Hukum pidana seringkali dikiaskan oleh ahli hukum sebagai pedang bermata dua. Pada satu pihak merupakan hukum untuk melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan, namun pada pihak lain adakalanya

merenggut hak asasi manusia yang berwujud perampasan kemerdekaan seseorang untuk sementara atau untuk selama-lamanya.9

Dalam kaitannya dengan pembaharuan dalam hukum pidana, maka ada tiga

alasan urgensi diperbaharuinya KUHP menurut Sudarto,10 yaitu : 1) Alasan Politik

2) Alasan Sosiologis

3) Alasan Praktis (kebutuhan dalam praktek)

Saat ini pembaharuan hukum pidana di Indonesia dilakukan melalui dua jalur

yaitu: 11

a. Pembaharuan perundang-undangan pidana dengan cara mengubah,

menambah dan melengkapi KUHP yang ada sekarang.

9

Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1987), hlm. 1.

10

Sudarto, op. cit., hlm. 66-68.

11

(33)

b. Pembuatan konsep rancangan KUHP Nasional.

Penyusunan konsep KUHP yang baru dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan

tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus perubahan/ penggantian KUHP lama (Wet Boek van Strafrecht) warisan kolonial Belanda. Jadi

hal ini berkaitan erat dengan ide ”penal reform” (pembaharuan hukum pidana) yang pada hakekatnya juga merupakan bagian dari ide yang lebih besar yaitu pembangunan/pembaharuan (sistem) hukum nasional.

Upaya melakukan pembaharuan hukum pidana (penal reform) pada hakekatnya termasuk bidang ”penal policy” yang merupakan bagian dan terkait erat dengan ”law enforcement policy”, ”criminal policy” dan ”social policy”, ini berarti

pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya adalah: 12

a. merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

b. Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memberantas/ menanggulangi kejahatan dalam rangka perlindungan masyarakat.

c. Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka mencapai/menunjang tujuan nasional yaitu ”social defence” dan” social welfare”

d. Merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar atau nilai-nilai sosio-filosofik, sosio-politik, dan sosio-kultural yang melandasi kebijakan kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama ini. Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai dan hukum pidana lama warisan penjajah.

12

(34)

Dengan demikian pembaharuan hukum pidana harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan

sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach).

b. Kebijakan Legislasi dan Metode Perancangan Legislasi

Pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah ”policy” atau ”beleid” khususnya dimaksudkan dalam arti ”wijsbeleid”. Menurut Robert R. Mayer dan Ernest Greenwood, kebijakan dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang

menggariskan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan secara kolektif13.

David L Sills, sehubungan dengan pengertian kebijakan menyatakan sebagai

suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan

sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan.14

Dalam kaitannya dengan kajian kebijakan legislasi ini maka akan digunakan kerangka teori yang dikemukakan oleh Robert Seidman melalui teori Bekerjanya

Hukum. Seidmen mengajukan empat prosisi yaitu:

1) Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seseorang pemegang peran (role occupant) itu diharapkan bertindak.

2) Bagaimana seseorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respon terhadap suatu peraturan hukum yang merupakan fungsi

13

Sutan Zanti Arbi dan Wayan Ardhana, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, Pustekom Dikbud dan CV Rajawali, yang merupakan terjemahan dari The Desing of Social Policy” tulisan Robert P Mayer dan Ernest Greenwood, dalam Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: CV Utomo, 2004), hlm. 139.

14

(35)

peraturan yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan politik, sosial dan lain-lain mengenai dirinya.

3) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum yang merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan politik, sosial dan lain-lainya mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran.

4) Bagaimana peran pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, politik, ideologi, dan lain-lain mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran secara birokrasi15

Teori Seidman kemudian dikembangkan menjadi Metode Penyelesaian Masalah (MPM) dengan pemikiran bahwa pembuatan suatu peraturan akan lebih efektif jika tidak hanya dijadikan alat untuk mengatur dan menertibkan masyarakat,

tetapi juga menempatkan pemecahan masalah sosial sebagai tujuan16

Selain MPM dikenal pula beberapa metode perancangan peraturan yaitu

metode ”ends-means”. Dalam metode ini penentu kebijakan terlebih dahulu akan menentukan suatu tujuan tertentu, kemudian meminta perancang untuk merancang peraturan agar dapat mencapai tujuan tersebut. Perancang peraturan akan membuat

pilihan-pilihan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan tersebut dan kemudian akan mengambil satu pilihan yang paling efektif dan efisien dari segi biaya sosial dan

ekonomi untuk dijadikan isi suatu peraturan.17

15

Robert B. Seidman, The State Law and Development, (New York: St. Martin’s Press, 1978), hlm. 75 dalam Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 46-47.

16

Lihat PSHK, 9 Jurus Merancang Peraturan untuk Transformasi Sosial, Sebuah Manual

Untuk Praktisi, (Jakarta, PSHK, 2007), hlm. 39

17

(36)

Metode perancangan peraturan lainnya adalah metode”incremental” dimana perubahan akan terjadi secara perlahan setahap demi setahap. Menurut metode ini,

perubahan yang cepat dan besar hanya akan menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang terlalu tinggi. Dalam metode ini penentu kebijakan juga menetapkan tujuan,

tetapi tugas para perancang bukanlah menentukan pilihan yang paling efektif, melainkan menentukan langkah yang harus diambil agar tujuan tersebut dapat dicapai secara perlahan dan bertahap dengan risiko yang minimal.18

Perbedaan antara MPM dengan metode ”ends means” dan ”incremental” adalah bahwa MPM harus dimulai dari analisis adanya prilaku bermasalah yang berulang dan harus dipecahkan, karena itu membutuhkan suatu penelitian yang

mendalam. Perancang juga akan menentukan pilihan isi peraturan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya. Selain itu metode ini juga mewajibkan perancang

untuk memperhitungkan biaya sosial dan ekonomi yang timbul dari suatu peraturan. MPM selalu mensyaratkan analisis sosial dalam merancang sebuah peraturan. Untuk menemukan penyebab sebuah prilaku bermasalah maka pertanyaan yang

diajukan adalah mengapa seseorang berprilaku tertentu dihadapan hukum. Menggunakan MPM berarti mengharuskan perancangan peraturan melalui

tahapan-tahapan sebagai berikut:19

18

Ibid, hlm.41

19

(37)

a. Memahami masalah sosial

Masalah sosial adalah suatu rangkaian perilaku yang berulang yang

menimbulkan dampak negatif bagi manusia dan lingkungan fisik. Ada tiga pertanyaan yang dapat diajukan untuk menentukan suatu masalah sosial yaitu apakah

masalah itu terjadi secara berulang-ulang atau sekali saja? apakah masalah tersebut punya dampak negatif yang dapat dirasakan? apakah masalah itu dibentuk oleh prilaku majemuk atau hanya oleh satu prilaku tunggal? Jika ketiga pertanyaan

tersebut menunjukkan serangkaian prilaku berulang yang menimbulkan dampak negatif, maka dapat disebut sebagai masalah sosial. Dalam menemukan pemecahan masalah sosial, yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah membuktikan adanya

dampak negatif yang terjadi yang dapat dilihat dari adanya gejala-gejala yang muncul di masyarakat yang merupakan akibat logis dari masalah sosial yang ada. Dalam

MPM, pihak-pihak yang prilakunya terkait dengan masalah sosial dibagi menjadi dua bagian yaitu:

- Aktor (role occupant): yaitu pihak-pihak sebagai individu, kelompok atau

organisasi yang prilakunya menimbulkan masalah sosial.

- Pelaksana peraturan (implementing agent): yaitu pihak-pihak yang diberi

kewenangan oleh peraturan untuk memastikan aktor berprilaku sesuai aturan. Seringkali prilaku bermasalah juga dilakukan oleh pelaksana peraturan. Dalam hal seperti ini maka pelaksana peraturan juga dapat diperlakukan

(38)

b. Menemukan penyebab prilaku bermasalah

Peraturan dinilai berhasil bila mampu mengubah atau menghilangkan

berbagai penyebab prilaku bermasalah. Dengan demikian menjadi penting untuk mengetahui penyebab terjadinya prilaku bermasalah, sehingga cara-cara

pemecahannya dapat disusun. Suatu prilaku bermasalah bisa disebabkan oleh beberapa penyebab. Karena itu perlu dirumuskan dugaan-dugaan tentang sebab-sebab terjadinya prilaku bermasalah. Berbagai dugaan tersebut harus dibuktikan secara

empirik dan dijelaskan secara logis ke dalam hubungan sebab akibat. c. Menyusun solusi

Dalam MPM, solusi adalah tindakan-tindakan yang mampu menghilangkan

penyebab-penyebab prilaku bermasalah. Usulan solusi harus memuat tentang rician prilaku yang harus dilakukan oleh aktor dan pelaksana peraturan. Usulan solusi juga

harus berupa rangkaian tindakan yang saling mendukung dan mendorong lahirnya prilaku baru.

Dalam melakukan analisis kebijakannya untuk mendapatkan penjelasan atas

penyebab prilaku bermasalah tersebut, MPM menggunakan suatu alat bernama ROCCIPI. Alat ini disusun oleh Robert B Seidman, Ann Seidman dan Nalin

Abeysekere. ROCCIPI merupakan singkatan dari 1) Rule (peraturan),

2) Opportunity (peluang),

(39)

4) Communications (komunikasi),

5) Interest (kepentingan),

6) Process (proses)

7) Idiology (idiologi).

Ketujuh kategori tersebut di atas bukanlah merupakan suatu urutan prioritas. Dalam melakukan analisis tidak seluruh kategori tersebut harus terpenuhi. ROCCIPI juga masih merupakan kategori yang terbuka untuk ditambahkan dengan kategori lain

yang diperkirakan penting untuk dianalisis.

c. Tindak Pidana

Ada beberapa istilah yang dapat digunakan untuk tindak pidana, antara lain

delict (delik), perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum,

pelanggaran pidana, criminal act dan sebagainya. Tindak pidana berarti suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.20

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pidana berarti hukum kejahatan tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan lain sebagainya. Pidana juga berarti

hukuman. Dengan demikian kata mempidana berarti menuntut berdasarkan hukum pidana, menghukum seseorang karena melakukan tindak pidana. Dipidana berarti

20

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Hukum Pidana Islam dalam

(40)

dituntut berdasarkan hukum pidana, dihukum berdasarkan hukum pidana, sehingga terpidana berarti orang yang dikenai hukuman21

Dari pengertian secara etimologis ini menunjukkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan kriminal, yakni perbuatan yang diancam dengan hukuman. Dalam

pengertian ilmu hukum, tindak pidana dikenal dengan istilah crime dan criminal. Kata crime menurut Stefen H. Gifis adalah:

A wrong that government has determined is injurious to the public and that may therefore be prosecuted in a criminal proceeding. Crimes include felonies and misdemeanors. A common law crime was one declared to be offense by the developed case law of the common law courts. Today all criminal offenses are exclusively statutory in nearly every American jurisdiction22

(sebuah kesalahan yang ditetapkan pemerintah adalah yang merugikan orang banyak dan berkemungkinan menyebabkan adanya tuntutan secara pidana. Tindak pidana meliputi kekerasan dan pelanggaran hukum. Dalam sistem hukum Common Law, kini seluruh pelaku tindak pidana dinyatakan secara tegas di hampir setiap jurisdiksi Amerika).

Pengertian criminal menurut Gifis adalah; a). done with malicious intent,

with a disposition to injure person or property b). one who has been convicted of a

violation of the criminal laws. Dengan terjemahan a) dilakukan dengan niat jahat

dengan kecenderungan perbuatan untuk melukai/ menyakiti seseorang atau hak milik.

b). seseorang yang telah menjadi narapidana karena kejahatannya. Perbuatan kriminal adalah perbuatan kejam dan jahat yang dilarang dan diancam dengan hukuman.23

21

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 766.

22

Steffen H. Gifis, Dictionary of Legal Terms; A Siplified Guide To the Language of Law, (New York: Barron’s Educational Series, 1993), hlm. 112.

23

(41)

George Dix, sebagaimana dikutip Topo Santoso mendefinisikan tindak pidana sebagai berikut “an act or mission prohibitied by law for the protection of the public,

the violation of which is prosecuted by the state in its own name, and punishedable by

fine, incarceration, other restrictions up to liberty, or some combination of these”24

(suatu perbuatan atau rencana yang dilarang oleh hukum guna perlindungan publik, kekerasan yang telah ditetapkan oleh negara dengan jenis dan namanya, dan dapat dihukum, denda, pembatasan-pembatasan kemerdekaan, atau gabungan dari

semuanya).

Sementara itu Bryan A. Garner dalam Black’s Law Dictionary memberikan pengertian crime sebagai “an act that the law makes punishable; the breach of a

legal duty treated as the subject matter of a criminal proceeding”25 (suatu perbuatan yang oleh hukum dapat dihukum, pelanggaran terhadap jaminan perundang-undangan

sebagai subjek yang diatur dalam hukum acara pidana).

Perbuatan atau tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang juga disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu

bagi siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana,

larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada

24

Topo Santoso, loc. cit.

25

(42)

hubungan yang erat, karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu harus ada hubungan yang erat pula, yang tidak dapat dipisahkan satu dari

yang lain. Suatu kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkannya bukanlah orang. Seseorang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang

ditimbulkan olehnya. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakaikanlah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaaan kongkrit yaitu adanya kejadian yang tertentu dan adanya orang yang

menimbulkan kejadian itu.26

Dari pengertian ini, maka menurut Moeljatno, setidaknya terdapat 5 (lima) unsur perbuatan pidana, yaitu:

1) kelakuan dan akibat,

2) ihwal atau keadaan yang menyertai perbuatan,

3) keadaan tambahan yang memberatkan pidana, 4) unsur melawan hukum yang objektif,

5) unsur melawan hukum yang subjektif.27

Pembatasan unsur-unsur perbuatan pidana ini merupakan langkah limitatif guna memperoleh kejelasan tentang pengertian perbuatan pidana. Hal ini penting

mengingat perbuatan pidana akan berkaitan secara langsung dengan pertanggungjawaban pidana (criminal liability).

26

Lihat Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 37.

27

(43)

Jika orang telah melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat dijatuhi pidana sebab masih harus dilihat apakah orang tersebut dapat disalahkan atas

perbuatan yang telah dilakukannya sehingga orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dengan demikian, orang yang telah

melakukan perbuatan pidana tanpa adanya kesalahan, maka orang tersebut tidak dapat dipidana, sesuai dengan asas hukum yang tidak tertulis, geen straf zonder schuld, yaitu tidak ada pidana tanpa adanya kesalahan.28

Sementara itu, Simons sebagaimana dikutip oleh Moeljatno mengatakan bahwa istilah schuld diartikan pula dengan kesalahan atau pertanggungjawaban. Simons merumuskannya sebagai berikut: ”kesalahan adalah adanya keadaan psikis

yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa

hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi”.29

Simons menyatakan perbuatan pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang

28

Sataochid Kartanegara, Hukum Pidana I, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun), hlm. 289. Menurut Sataochid Kartanegara, asas geen straf zonder schuld memiliki beberapa pengertian. Dari sudut etika sosial, kata schuld (kesalahan) adalah hubungan antara jiwa seseorang, yaitu yang melakukan perbuatan, dengan perbuatannya, atau hubungan jiwa si pembuat dengan akibat perbuatannya. Dan hubungan jiwa itu adalah sedemikian rupa, sehingga perbuatan atau akibat daripada perbuatan yang dilakukannya itu, berdasar pada jiwa si pelaku, dapat dipersalahkan kepadanya. Dari sudut hukum pidana (instraftrechterlijke zin) yang dimaksud dengan kata schuld adalah bentuk kesalahan dengan intensitas, yakni dengan kesengajaan (dolus) dan kesalahan (culpa).

29

(44)

yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. 30

Dalam literatur hukum pidana positif, perbuatan pidana merupakan peristiwa hukum kongkrit yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian,31 yaitu:

1) Kejahatan dan Pelanggaran.

2) Perbuatan Pidana Materil dan Formil. 3) Perbuatan Pidana Komisi dan Omisi.

4) Perbuatan Pidana Selesai dan Terus-menerus. 5) Perbuatan Pidana Sederhana dan Berat. 6) Perbuatan Pidana Biasa dan Aduan.

7) Perbuatan Pidana Umum dan Khusus.

2. Kerangka Konsepsional

Konsep adalah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu teori. Peranan konsep pada dasarnya adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang

menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi operasional.

Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain

30

Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Di Hukum (Delik), (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm. 4.

31

(45)

itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian tesis ini. Dalam tesis ini ada beberapa landasan konsepsional yaitu: perkosaan, Perbuatan

memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dan perempuan sebagai korban perkosaan.

a. Perkosaan

Kejahatan perkosaan dalam KUHP diatur dalam Pasal 285 sampai dengan Pasal 288 KUHP. Walaupun kata perkosaan hanya akan ditemukan dalam bunyi

Pasal 285 KUHP. Pasal-pasal lainnya menggunakan rumusan ”bersetubuh”.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkosaan adalah ”menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi, melanggar dengan

menyerang dengan kekerasan”32

Menurut Wirjono, kata perkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya

dalam bahasa Belanda yakni verkrachting tidaklah tepat. Dalam bahasa Belanda istilah verkrachting sudah berarti perkosaan untuk bersetubuh. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata perkosaan saja sama sekali belum menunjuk pada pengertian

perkosaan untuk bersetubuh.33

Makna persetubuhan menurut R. Soesilo, mengacu pada Arrest Hooge Raad

tanggal 5 Februari 1912 yaitu “peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus

32 Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3 (Jakarta, Balai Pustaka, 2005)

33

(46)

masuk ke dalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani”.34 Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka tindakan itu beralih menjadi perbuatan cabul.

Menurut komentar para penulis Belanda, sebagaimana yang dituliskan dalam Wirjono,35 perbuatan yang dipaksakan dalam Pasal 289 (perbuatan cabul) merupakan

pengertian umum yang meliputi perbuatan bersetubuh dari Pasal 285 sebagai pengertian khusus.

Perbedaan lain antara tindak pidana perkosaan dan pencabulan adalah bahwa

perkosaan untuk bersetubuh hanya dapat dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, sedangkan perkosaan untuk cabul dapat juga dilakukan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki36

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, Perkosaan disebutkan sebagai “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi,….”37

Makna ini sangat luas karena tidak membatasi karakteristik pelaku, korban, maupun bentuk perilakunya. Persamaan antara Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan KUHP hanya dalam hal yang berkaitan dengan kata memaksa dengan kekerasan.

Sementara itu dalam Webster’s New World Dictionary, 1976, perkosaan atau Rape adalah: “… I a) the crime of having sexsual intercourse with a women or girl

forcibly and without her consent, or (statutory rape) with a girl below the age of consent (See AGE OF CONSENT). b) any sexsual assault upon a person. 2.

(47)

(nowrare) the act of seizing and carrying away by force. 3. the plundering or violent destruction (of a city, etc) as in warfare. 4. any outrageous assault or flagrant

violation.”38

Dalam batasan ini, perkosaan dapat didefinisikan dalam cakupan yang lebih

luas, tidak hanya berkonotasi penetrasi penis terhadap vagina, tetapi mencakup bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya.

Gadis Arivia menyatakan bahwa dalam arti luas, memperkosa adalah

pemaksaan kehendak yang dapat membuat perasaan subjek dikecilkan, dilecehkan dan dicampakkan. Perkosaan intelektual, perkosaan seni atau perkosaan budaya memperlihatkan ‘kerusakan’ yang disebabkan oleh si aggressor, pemaksaan

kehendak ini dilakukan melalui berbagai cara seperti operasi idiologi, kekuatan senjata atau penguasaan diskursus. Sementara itu perkosaan dalam arti seksual adalah

perkosaan yang dilakukan dengan penetrasi antara penis dengan vagina atau penetrasi dengan objek-objek lainnya seperti kayu, botol dan lainnya yang sejenis. Pembelaian, penatapan mata dan verbal yang kurang pantas dianggap sebagai pelecehan seksual.

Perkosaan biasanya mengikutsertakan pelecehan seksual namun tidak sebaliknya.”39 Dalam rumusan UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dan UU

No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak menggunakan istilah perkosaan tetapi menggunakan istilah Kekerasan Seksual. Istilah Kekerasan Seksual jauh lebih luas dari istilah perkosaan, karena di dalam kekerasan seksual dapat dimasukkan

38

Ibid, hlm. 205-206.

39

(48)

berbagai bentuk perbuatan lainnya yang berkaitan dengan seksualitas seseorang seperti perbuatan cabul, pelecehan seksual dan lain-lain.

b. Perbuatan Memaksa dengan Kekerasan dan Ancaman Kekerasan

Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan

pada orang lain dengan menekan kehendak orang tersebut yang bertentangan dengan kehendak hatinya agar dirinya menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri.40 Menerima kehendaknya ini setidaknya ada dua

macam, yaitu:

a. Menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya (misal; Pasal 285; memaksa bersetubuh atau bersedia disetubuhi, Pasal 289; membiarkan

dilakukan perbuatan cabul atas dirinya).

b. Orang yang dipaksa berbuat yang sama sesuai dengan apa yang

dikehendaki oleh orang yang memaksa. (misal: Pasal 368 tentang Pemerasan dan 369 tentang Pengancaman).

Dalam Fiqh, pemaksaan dirumuskan sebagai ajakan untuk melakukan suatu

perbuatan yang disertai dengan ancaman. Beberapa syarat pemaksaan (ikrâh) antara lain: pelaku pemaksaan memiliki kekuasaan untuk merealisasikan ancamannya.

Sebaliknya, objek pemaksaan (korban) tidak memiliki kemampuan untuk menolaknya disertai dugaan kuat bahwa penolakan atasnya akan mengakibatkan ancaman tersebut benar-benar dilaksanakan, padahal ancaman itu berupa hal-hal yang

40

(49)

membahayakannya seperti membunuh, menghajar (memukul), mengikat dan memenjarakannya dalam tempo cukup lama atau menghancurkan harta bendanya.41

Cara-cara memaksa yang dirumuskan dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan perkosaan, dibatasi dengan dua cara yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman

kekerasan (bedreiging met geweld). Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam KUHP. Hanya mengenai kekerasan, ada pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti kekerasan.42

Berdasarkan pasal 89 KUHP maka yang disamakan dengan melakukan kekerasan adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Menurut R. Soesilo; melakukan kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau

kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tangan, atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.43

Menurut Satochid, kekerasan adalah setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat.44 Ada dua fungsi kekerasan dalam hubungannya dengan tindak pidana perkosaan, yaitu sebagai

berikut:45

1) Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu perbuatan.

41

Al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’, Juz VII, hlm, 175-176; whbah az Zuhaili, Al-Fiqh-al Islami

wa Adillatuh, Juz VI, (Damaskus: Dar Al Fikr, 1997), hlm. 4446, dalam Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 215.

42

Adami Chazawi, op. cit., hlm. 64.

43

R. Soesilo, KUHP, op.cit., hlm. 98.

44

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana II, Delik-Delik Tertentu, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun), dalam Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, loc. cit.

45

(50)

Kekerasan di sini memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan korban. Ada

causal verband antara kekerasan dengan ketidakberdayaan korban. Contohnya

kekerasan pada perkosaan yang digunakan sebagai cara dari memaksa bersetubuh. Juga pada pemerasan (Pasal 368 KUHP) yang mengakibatkan korban tidak berdaya.

Dengan ketidakberdayaan itulah yang menyebabkan korban dengan terpaksa menyerahkan benda, membuat utang atau menghapuskan piutang.

2) Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana, bukan

cara melakukan perbuatan.

Berdasarkan fungsinya, maka kekerasan dalam pengertian pasal 285 KUHP dapatlah didefinisikan sebagai suatu cara/ upaya berbuat (sifatnya abstrak)46 yang

ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi

orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Dalam keadaan tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya (walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau

melakukan perbuatan sesuai atau sama dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri.47

Toeti Heraty Noerhadi menyatakan: ”kekerasan mempunyai ciri khas pemaksaan, sedangkan pemaksaan dapat mengambil wujud pemaksaan persuasif dan

46

Sifat kekerasan itu disebut abstrak karena wujud kongkret cara kekerasan itu ada bermacam-macam dan tidak terbatas, misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menendang, menusuk dengan pisau dan lain sebagainya, lihat Ibid, hlm. 65.

47

(51)

pemaksaan fisik, atau gabungan keduanya. Pemaksaan berarti terjadi pelecehan terhadap kehendak pihak lain, yang mengalami pelecehan hak-haknya secara total,

eksistensinya sebagai manusia dengan akal, rasa, kehendak dan integritas tubuhnya tidak diperdulikan lagi.”48

Pengertian kekerasan menurut Johan Galtung terjadi pada saat ada penyalahgunaan sumber-sumber daya, wawasan dan hasil kemajuan untuk tujuan lain atau dimonopoli oleh sekelompok orang tertentu. Kekerasan dapat berbentuk

kekerasan fisik dan kekerasan psikologis, dan keduanya dapat terjadi secara bersamaan. Sasaran pada kekerasan fisik adalah menyerang tubuh manusia. Sedangkan sasaran pada kekerasan psikologis berkaitan dengan kebohongan,

indoktrinasi, ancaman, tekanan yang berakibat pada minimalisasi kemampuan mental dan otak.49

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai ”perihal (yang bersifat, berciri) keras, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau menderita orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik

atau barang orang lain. Kekerasan juga dapat diartikan dengan paksaan.50

Sedangkan ancaman kekerasan menurut Adam Chazawi adalah ancaman

kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan

48

Toeti Heraty Noerhadi, Kekerasan Negara Terhadap Perempuan, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), hlm. 25.

49

I. Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, (Jakarta: Kanisius, 1992), hlm. 64. dalam tulisan Luh Ayu Saraswati A. Kekerasan Negara, Perempuan dan

Refleksi Negara Patriarkhi, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), hlm. 43.

50

(52)

fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan

mungkin segera dilakukan/ diwujudkan kemudian bilamana ancaman tersebut tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku.51

Ancaman kekerasan mengandung dua aspek penting yaitu sebagai berikut: 1) Aspek objektif yaitu a) wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupa

perbuatan persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan

pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang lebih besar yakni kekerasan secara sempurna; dan b). Menyebabkan orang yang menerima kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut dan rasa cemas (aspek

subjektif yang diobjektifkan).

2) Aspek subjektif ialah timbulnya suatu kepercayaan bagi si penerima

kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka kekerasan tersebut akan benar-benar diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangat penting dalam

ancaman kekerasan, sebab jika kepercayaan ini tidak muncul pada diri korban, tidaklah mungkin korban akan membiarkan dilakukan sesuatu perbuatan

terhadap dirinya.

Antara kekerasan dengan ketidakberdayaan perempuan itu terdapat hubungan kausal dan karena tidak berdaya itulah maka persetubuhan dapat terjadi. Jadi

51

(53)

sebenarnya terjadinya persetubuhan pada dasarnya adalah akibat dari perbuatan memaksa dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan itu.52

c. Perempuan Korban Perkosaan.

Kekerasan muncul akibat adanya kekuasaan yang tidak bermoral. Kekuasaan

dalam semua level kehidupan memiliki peluang untuk menggunakan kekerasan. Pada kekuasaan yang tidak bermoral, kekerasan seringkali dimanifestasikan sebagai sesuatu yang absah. Jika persoalan ini dihadapkan pada perempuan, logikanya akan

mengarah pada kemungkinan adanya kekuasaan laki-laki terhadap perempuan yang bukan didasarkan pada prinsip moral dan hak-hak asasi. Kekuasaan lelaki atas perempuan ini dibentuk berdasarkan kecenderungan-kecenderungan konstruksi sosial

yang dimapankan. Kenyataan ini sepertinya telah berlangsung selama berabad-abad dan berlaku secara universal sehingga menjadi sebuah budaya, dan kemudian menjadi

sebuah kebenaran dan dibenarkan oleh banyak pikiran-pikiran, fiqh, norma dan idiologi.53

Yang diancam hukuman dalam pasal 285 KUHP ialah dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa seseorang yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia. Menurut R. Soesilo, pembuat undang-undang ternyata menganggap tidak

perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukanlah semata-mata karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi karena justru bagi laki-laki

52

Ibid

53

(54)

dipandang tidak mengakibatkan sesuatu yang buruk atau yang merugikan. Sedangkan pada diri perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak akibat perkosaan

tersebut.54

Dari pasal-pasal yang mengatur tentang perkosaan di dalam KUHP, yang diatur

hanyalah mengenai perkosaan terhadap perempuan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Perempuan yang bukan istrinya. (Pasal 285 KUHP)

Ketentuan dalam Pasal 285 KUHP mensyaratkan bahwa perempuan yang

menjadi korban perkosaan bukanlah istri dari si pelaku. Dengan demikian KUHP tidak mengakui adanya perkosaan oleh suami kepada istrinya (marital rape). Walaupun hal tersebut kemudian diatur di dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 23 tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan menggunakan istilah kekerasan seksual.

Perkosaan dalam perkawinan diakui dan dirumuskan dalam Pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh PBB pada tahun 1993 yang menyatakan bahwa “kekerasan terhadap perempuan harus dipahami

mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada, . . . tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis terjadi dalam keluarga termasuk . . . perkosaan dalam perkawinan . . .”

Dalam bidang relasi seksual antara suami istri, mu’asyarah bi al-ma’ruf yang harus dijalankan oleh suami dan istri adalah bahwa diantara keduanya harus saling memberi dan menerima, saling mengasihi dan menyayangi, tidak saling menyakiti,

54

(55)

tidak memperlihatkan kebencian dan masing-masing tidak saling mengabaikan hak dan kewajibannya.55

Islam mensyaratkan agar relasi seksual antara suami dan istri harus dilakukan secara wajar, sebagaimana hadist Nabi Saw. Yang menyatakan: ”adalah terlaknat

laki-laki yang mendatangi (menyetubuhi) istrinya pada dubur (anus)”56. Larangan lainnya yang dinyatakan dalam ajaran Islam adalah bersetubuh dengan istri yang sedang menstruasi atau masih dalam masa nifas (sehabis melahirkan).

Beberapa batasan tersebut di atas dapat dijadikan pegangan bahwa walaupun hubungan seksual diantara suami istri merupakan hak dan kewajiban, namun persetubuhan yang dilakukan dengan paksaan dan kekerasan serta cara-cara yang

tidak dikehendaki adalah tidak dibenarkan dalam ajaran agama Islam.

2) Perempuan yang bukan istrinya yang dalam keadaan pingsan atau tidak

berdaya (Pasal 286 KUHP).

Perempuan yang menjadi korban dalam pasal ini adalah seorang perempuan yang bukan istrinya yang secara objektif berada dalam keadaan pingsan atau tidak

berdaya. Di dalam Pasal 286 KUHP ini terdapat unsur subjektif yaitu diketahuinya perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.57

R. Soesilo menjelaskan bahwa pingsan artinya ”tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya” umpamanya dengan memberi minum racun kecubung atau lain-lain

55

Husein Muhammad, op. cit., hlm. 153.

56

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, juz II, no 2162, hal. 249, dalam Husein Muhammad, ibid, hlm. 154.

57

(56)

obat sehingga orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai

kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kedua kaki dan tangannya, mengurung

dalam kamar, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.58

Sejalan dengan hal tersebut, Adami Chazawi menyatakan bahwa keadaan

pingsan dan tidak berdaya memiliki perbedaan makna walaupun orang pingsan pada dasarnya juga tidak berdaya. Perbedaan makna tersebut ialah, bahwa pada keadaan pingsan orang itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri, dalam keadaan ini dia

tidak mengetahui apa yang telah diperbuat orang lain in casu disetubuhi terhadap dirinya. Seseorang yang sedang dalam keadaan tidur, tidaklah disebut dalam keadaan

pingsan kecuali jika orang tersebut menelan obat tidur, atau disuntik dengan obat tidur, maka keadaan tidur itu dapat disebut dengan keadaan pingsan. Dalam keadaan tidak berdaya, orang itu mengerti dan sadar tentang apa yang telah diperbuat oleh

orang lain terhadap dirinya. Misalnya perempuan itu ditodong dengan pisau, atau tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan tenaga seorang laki-laki yang

memperkosanya, atau dirinya dalam keadaan sakit sehingga tidak berdaya.59

Unsur dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya adalah unsur objektif yang disadari atau diketahui oleh si pembuat. Kondisi pingsan atau tidak berdaya itu

58

R. Soesilo, KUHP, op. cit., hlm.

59

(57)

bukanlah akibat dari perbuatan si pelaku melainkan suatu kondisi yang sudah terjadi. Si pelaku hanya disyaratkan untuk secara subjektif mengetahui bahwa perempuan

tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

3) Perempuan yang belum 15 tahun atau belum masanya untuk dikawin (Pasal

287 KUHP)

Berbeda dengan Pasal 285 KUHP dan Pasal 286 KUHP yang mensyaratkan tidak adanya persetujuan dari perempuan korban, melalui tindakan pemaksaan berupa

kekerasan atau ancaman kekerasan, maka pada pasal 287 KUHP, persetubuhan yang dilakukan adalah dengan persetujuan dari si perempuan korban. Hubungan tersebut dilakukan dengan suka sama suka. Letak pidananya adalah pada umur perempuan

korban yang belum cukup 15 tahun atau belum masanya untuk dikawin.60

Menurut Adami Chazawi, pengertian belum waktunya untuk dikawin adalah

belum waktunya untuk disetubuhi. Indikator belum waktunya untuk disetubuhi ini adalah pada bentuk fisik dan secara psikis. Secara fisik tampak pada wajah atau tubuhnya, yang masih tubuh anak kecil seperti tubuh anak-anak pada umumnya,

belum tumbuh buah dadanya atau belum tumbuh rambut kemaluannya, atau mungkin belum datang haidnya. Secara psikis dapat dilihat pada kelakuannya, misalnya masih

senang bermain-main seperti pada umumnya anak belum berumur 15 tahun.

4) Perempuan yang merupakan istrinya tapi belum masanya untuk kawin (Pasal 289 KUHP)

60

Gambar

Tabel  1. Aktor dan Prilaku Bermasalah Dalam Tindak Pidana Perkosaan
Tabel  2. Ketentuan Pidana Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
Tabel 3. Perbandingan Ketentuan Pidana Antara KUHP dan UU PKDRT
Tabel  4.  Perlindungan dan Pelayanan Terhadap Korban KDRT (Kekerasan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh pengetahuan dan sikap terhadap perilaku higienis penjamah makanan di Kantin SMA Muhammadiyah 2 Surabaya

Data diperoleh melalui observasi dengan teknik Simak Libat Cakap (SLC) dan teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC). SLC mengharuskan peneliti untuk terlibat langsung dalam

Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Harahap dkk dan Seifer et al yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara jumlah anak dengan gangguan emosi dan

Nanang yang sudah dikenal sebagai seseorang yang mampu berkomunikasi sosial dengan orang sekitarnya dapat dan mudah untuk melakukan tugas pendataan

Hasil laju filtrasi rata-rata kerang Totok ( P. erosa ) yang mendapat perlakuan pakan T. costatum dan Campuran dengan konsentrasi yang berbeda dapat disajikan

Lupiyoadi (2001:134) mendefinisikan Pelanggan adalah seorang individu yang secara continue dan berulang kali datang ke tempat yang sama untuk

The writer gives her gratitude to God for giving her everything in her life, so that s he can finish writing the research entitled “ The Ability in Writing Daily

Bab IV Analisa Perubahan Kebijakan Indonesia terhadap Imigran Ilegal Ketika Adanya Kasus Oceanic Viking ………IV-1 IV.1 Perubahan Potensi Ancaman Mendorong Adanya