• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM KUHP

D. Analisis Kebijakan Legislasi Tindak Pidana Perkosaan dengan Metode

7. Idiology (Idiologi)

Ketujuh kategori tersebut di atas bukanlah merupakan suatu urutan prioritas. Dalam melakukan analisis tidak seluruh kategori tersebut harus terpenuhi. ROCCIPI juga masih merupakan kategori yang terbuka untuk ditambahkan dengan kategori lain yang diperkirakan penting untuk dianalisis.

c. Tindak Pidana

Ada beberapa istilah yang dapat digunakan untuk tindak pidana, antara lain

delict (delik), perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum,

pelanggaran pidana, criminal act dan sebagainya. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.20

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pidana berarti hukum kejahatan tentang pembunuhan, perampokan, korupsi dan lain sebagainya. Pidana juga berarti hukuman. Dengan demikian kata mempidana berarti menuntut berdasarkan hukum pidana, menghukum seseorang karena melakukan tindak pidana. Dipidana berarti

20

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Hukum Pidana Islam dalam

dituntut berdasarkan hukum pidana, dihukum berdasarkan hukum pidana, sehingga terpidana berarti orang yang dikenai hukuman21

Dari pengertian secara etimologis ini menunjukkan bahwa tindak pidana adalah perbuatan kriminal, yakni perbuatan yang diancam dengan hukuman. Dalam pengertian ilmu hukum, tindak pidana dikenal dengan istilah crime dan criminal.

Kata crime menurut Stefen H. Gifis adalah:

A wrong that government has determined is injurious to the public and that may therefore be prosecuted in a criminal proceeding. Crimes include felonies and misdemeanors. A common law crime was one declared to be offense by the developed case law of the common law courts. Today all criminal offenses are exclusively statutory in nearly every American jurisdiction22

(sebuah kesalahan yang ditetapkan pemerintah adalah yang merugikan orang banyak dan berkemungkinan menyebabkan adanya tuntutan secara pidana. Tindak pidana meliputi kekerasan dan pelanggaran hukum. Dalam sistem hukum Common Law, kini seluruh pelaku tindak pidana dinyatakan secara tegas di hampir setiap jurisdiksi Amerika).

Pengertian criminal menurut Gifis adalah; a). done with malicious intent,

with a disposition to injure person or property b). one who has been convicted of a violation of the criminal laws. Dengan terjemahan a) dilakukan dengan niat jahat

dengan kecenderungan perbuatan untuk melukai/ menyakiti seseorang atau hak milik. b). seseorang yang telah menjadi narapidana karena kejahatannya. Perbuatan kriminal adalah perbuatan kejam dan jahat yang dilarang dan diancam dengan hukuman.23

21

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 766.

22

Steffen H. Gifis, Dictionary of Legal Terms; A Siplified Guide To the Language of Law, (New York: Barron’s Educational Series, 1993), hlm. 112.

23

George Dix, sebagaimana dikutip Topo Santoso mendefinisikan tindak pidana sebagai berikut “an act or mission prohibitied by law for the protection of the public,

the violation of which is prosecuted by the state in its own name, and punishedable by fine, incarceration, other restrictions up to liberty, or some combination of these”24

(suatu perbuatan atau rencana yang dilarang oleh hukum guna perlindungan publik, kekerasan yang telah ditetapkan oleh negara dengan jenis dan namanya, dan dapat dihukum, denda, pembatasan-pembatasan kemerdekaan, atau gabungan dari semuanya).

Sementara itu Bryan A. Garner dalam Black’s Law Dictionary memberikan pengertian crime sebagai “an act that the law makes punishable; the breach of a

legal duty treated as the subject matter of a criminal proceeding”25 (suatu perbuatan yang oleh hukum dapat dihukum, pelanggaran terhadap jaminan perundang-undangan sebagai subjek yang diatur dalam hukum acara pidana).

Perbuatan atau tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang juga disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada

24

Topo Santoso, loc. cit.

25

hubungan yang erat, karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu harus ada hubungan yang erat pula, yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Suatu kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkannya bukanlah orang. Seseorang tidak dapat diancam pidana, jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakaikanlah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaaan kongkrit yaitu adanya kejadian yang tertentu dan adanya orang yang menimbulkan kejadian itu.26

Dari pengertian ini, maka menurut Moeljatno, setidaknya terdapat 5 (lima) unsur perbuatan pidana, yaitu:

1) kelakuan dan akibat,

2) ihwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, 3) keadaan tambahan yang memberatkan pidana, 4) unsur melawan hukum yang objektif,

5) unsur melawan hukum yang subjektif.27

Pembatasan unsur-unsur perbuatan pidana ini merupakan langkah limitatif guna memperoleh kejelasan tentang pengertian perbuatan pidana. Hal ini penting mengingat perbuatan pidana akan berkaitan secara langsung dengan pertanggungjawaban pidana (criminal liability).

26

Lihat Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 37.

27

Jika orang telah melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat dijatuhi pidana sebab masih harus dilihat apakah orang tersebut dapat disalahkan atas perbuatan yang telah dilakukannya sehingga orang tersebut dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dengan demikian, orang yang telah melakukan perbuatan pidana tanpa adanya kesalahan, maka orang tersebut tidak dapat dipidana, sesuai dengan asas hukum yang tidak tertulis, geen straf zonder schuld, yaitu tidak ada pidana tanpa adanya kesalahan.28

Sementara itu, Simons sebagaimana dikutip oleh Moeljatno mengatakan bahwa istilah schuld diartikan pula dengan kesalahan atau pertanggungjawaban. Simons merumuskannya sebagai berikut: ”kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi”.29

Simons menyatakan perbuatan pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang

28

Sataochid Kartanegara, Hukum Pidana I, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun), hlm. 289. Menurut Sataochid Kartanegara, asas geen straf zonder schuld memiliki beberapa pengertian. Dari sudut etika sosial, kata schuld (kesalahan) adalah hubungan antara jiwa seseorang, yaitu yang melakukan perbuatan, dengan perbuatannya, atau hubungan jiwa si pembuat dengan akibat perbuatannya. Dan hubungan jiwa itu adalah sedemikian rupa, sehingga perbuatan atau akibat daripada perbuatan yang dilakukannya itu, berdasar pada jiwa si pelaku, dapat dipersalahkan kepadanya. Dari sudut hukum pidana (instraftrechterlijke zin) yang dimaksud dengan kata schuld adalah bentuk kesalahan dengan intensitas, yakni dengan kesengajaan (dolus) dan kesalahan (culpa).

29

yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. 30

Dalam literatur hukum pidana positif, perbuatan pidana merupakan peristiwa hukum kongkrit yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian,31 yaitu:

1) Kejahatan dan Pelanggaran.

2) Perbuatan Pidana Materil dan Formil. 3) Perbuatan Pidana Komisi dan Omisi.

4) Perbuatan Pidana Selesai dan Terus-menerus. 5) Perbuatan Pidana Sederhana dan Berat. 6) Perbuatan Pidana Biasa dan Aduan. 7) Perbuatan Pidana Umum dan Khusus.

2. Kerangka Konsepsional

Konsep adalah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu teori. Peranan konsep pada dasarnya adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi operasional.

Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain

30

Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Di Hukum (Delik), (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm. 4.

31

itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian tesis ini. Dalam tesis ini ada beberapa landasan konsepsional yaitu: perkosaan, Perbuatan memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dan perempuan sebagai korban perkosaan.

a. Perkosaan

Kejahatan perkosaan dalam KUHP diatur dalam Pasal 285 sampai dengan Pasal 288 KUHP. Walaupun kata perkosaan hanya akan ditemukan dalam bunyi Pasal 285 KUHP. Pasal-pasal lainnya menggunakan rumusan ”bersetubuh”.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkosaan adalah ”menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi, melanggar dengan menyerang dengan kekerasan”32

Menurut Wirjono, kata perkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya dalam bahasa Belanda yakni verkrachting tidaklah tepat. Dalam bahasa Belanda istilah verkrachting sudah berarti perkosaan untuk bersetubuh. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata perkosaan saja sama sekali belum menunjuk pada pengertian perkosaan untuk bersetubuh.33

Makna persetubuhan menurut R. Soesilo, mengacu pada Arrest Hooge Raad tanggal 5 Februari 1912 yaitu “peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus

32 Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3 (Jakarta, Balai Pustaka, 2005)

33

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm. 118.

masuk ke dalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani”.34 Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka tindakan itu beralih menjadi perbuatan cabul. Menurut komentar para penulis Belanda, sebagaimana yang dituliskan dalam Wirjono,35 perbuatan yang dipaksakan dalam Pasal 289 (perbuatan cabul) merupakan pengertian umum yang meliputi perbuatan bersetubuh dari Pasal 285 sebagai pengertian khusus.

Perbedaan lain antara tindak pidana perkosaan dan pencabulan adalah bahwa perkosaan untuk bersetubuh hanya dapat dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, sedangkan perkosaan untuk cabul dapat juga dilakukan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki36

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, Perkosaan disebutkan sebagai “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi,….”37 Makna ini sangat luas karena tidak membatasi karakteristik pelaku, korban, maupun bentuk perilakunya. Persamaan antara Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan KUHP hanya dalam hal yang berkaitan dengan kata memaksa dengan kekerasan.

Sementara itu dalam Webster’s New World Dictionary, 1976, perkosaan atau Rape adalah: “… I a) the crime of having sexsual intercourse with a women or girl forcibly and without her consent, or (statutory rape) with a girl below the age of consent (See AGE OF CONSENT). b) any sexsual assault upon a person. 2.

34

R. Soesilo, KUHP, op. cit., hlm. 209.

35

Wirjono, loc. cit

36

Ibid, hlm. 118.

37

(nowrare) the act of seizing and carrying away by force. 3. the plundering or violent destruction (of a city, etc) as in warfare. 4. any outrageous assault or flagrant violation.”38

Dalam batasan ini, perkosaan dapat didefinisikan dalam cakupan yang lebih luas, tidak hanya berkonotasi penetrasi penis terhadap vagina, tetapi mencakup bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya.

Gadis Arivia menyatakan bahwa dalam arti luas, memperkosa adalah pemaksaan kehendak yang dapat membuat perasaan subjek dikecilkan, dilecehkan dan dicampakkan. Perkosaan intelektual, perkosaan seni atau perkosaan budaya memperlihatkan ‘kerusakan’ yang disebabkan oleh si aggressor, pemaksaan kehendak ini dilakukan melalui berbagai cara seperti operasi idiologi, kekuatan senjata atau penguasaan diskursus. Sementara itu perkosaan dalam arti seksual adalah perkosaan yang dilakukan dengan penetrasi antara penis dengan vagina atau penetrasi dengan objek-objek lainnya seperti kayu, botol dan lainnya yang sejenis. Pembelaian, penatapan mata dan verbal yang kurang pantas dianggap sebagai pelecehan seksual. Perkosaan biasanya mengikutsertakan pelecehan seksual namun tidak sebaliknya.”39

Dalam rumusan UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak menggunakan istilah perkosaan tetapi menggunakan istilah Kekerasan Seksual. Istilah Kekerasan Seksual jauh lebih luas dari istilah perkosaan, karena di dalam kekerasan seksual dapat dimasukkan

38

Ibid, hlm. 205-206.

39

Gadis Arivia, Logika Kekerasan Negara Terhadap Perempuan, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), hlm. 11.

berbagai bentuk perbuatan lainnya yang berkaitan dengan seksualitas seseorang seperti perbuatan cabul, pelecehan seksual dan lain-lain.

b. Perbuatan Memaksa dengan Kekerasan dan Ancaman Kekerasan

Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang tersebut yang bertentangan dengan kehendak hatinya agar dirinya menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri.40 Menerima kehendaknya ini setidaknya ada dua macam, yaitu:

a. Menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya (misal; Pasal 285; memaksa bersetubuh atau bersedia disetubuhi, Pasal 289; membiarkan dilakukan perbuatan cabul atas dirinya).

b. Orang yang dipaksa berbuat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang memaksa. (misal: Pasal 368 tentang Pemerasan dan 369 tentang Pengancaman).

Dalam Fiqh, pemaksaan dirumuskan sebagai ajakan untuk melakukan suatu perbuatan yang disertai dengan ancaman. Beberapa syarat pemaksaan (ikrâh) antara lain: pelaku pemaksaan memiliki kekuasaan untuk merealisasikan ancamannya. Sebaliknya, objek pemaksaan (korban) tidak memiliki kemampuan untuk menolaknya disertai dugaan kuat bahwa penolakan atasnya akan mengakibatkan ancaman tersebut benar-benar dilaksanakan, padahal ancaman itu berupa hal-hal yang

40

Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 63.

membahayakannya seperti membunuh, menghajar (memukul), mengikat dan memenjarakannya dalam tempo cukup lama atau menghancurkan harta bendanya.41

Cara-cara memaksa yang dirumuskan dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan perkosaan, dibatasi dengan dua cara yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met geweld). Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam KUHP. Hanya mengenai kekerasan, ada pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti kekerasan.42

Berdasarkan pasal 89 KUHP maka yang disamakan dengan melakukan kekerasan adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Menurut R. Soesilo; melakukan kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tangan, atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.43

Menurut Satochid, kekerasan adalah setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat.44 Ada dua fungsi kekerasan dalam hubungannya dengan tindak pidana perkosaan, yaitu sebagai berikut:45

1) Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu perbuatan.

41

Al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’, Juz VII, hlm, 175-176; whbah az Zuhaili, Al-Fiqh-al Islami

wa Adillatuh, Juz VI, (Damaskus: Dar Al Fikr, 1997), hlm. 4446, dalam Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 215.

42

Adami Chazawi, op. cit., hlm. 64.

43

R. Soesilo, KUHP, op.cit., hlm. 98.

44

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana II, Delik-Delik Tertentu, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun), dalam Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, loc. cit.

45

Kekerasan di sini memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan korban. Ada

causal verband antara kekerasan dengan ketidakberdayaan korban. Contohnya

kekerasan pada perkosaan yang digunakan sebagai cara dari memaksa bersetubuh. Juga pada pemerasan (Pasal 368 KUHP) yang mengakibatkan korban tidak berdaya. Dengan ketidakberdayaan itulah yang menyebabkan korban dengan terpaksa menyerahkan benda, membuat utang atau menghapuskan piutang.

2) Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana, bukan cara melakukan perbuatan.

Berdasarkan fungsinya, maka kekerasan dalam pengertian pasal 285 KUHP dapatlah didefinisikan sebagai suatu cara/ upaya berbuat (sifatnya abstrak)46 yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Dalam keadaan tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya (walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau melakukan perbuatan sesuai atau sama dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri.47

Toeti Heraty Noerhadi menyatakan: ”kekerasan mempunyai ciri khas pemaksaan, sedangkan pemaksaan dapat mengambil wujud pemaksaan persuasif dan

46

Sifat kekerasan itu disebut abstrak karena wujud kongkret cara kekerasan itu ada bermacam-macam dan tidak terbatas, misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menendang, menusuk dengan pisau dan lain sebagainya, lihat Ibid, hlm. 65.

47

pemaksaan fisik, atau gabungan keduanya. Pemaksaan berarti terjadi pelecehan terhadap kehendak pihak lain, yang mengalami pelecehan hak-haknya secara total, eksistensinya sebagai manusia dengan akal, rasa, kehendak dan integritas tubuhnya tidak diperdulikan lagi.”48

Pengertian kekerasan menurut Johan Galtung terjadi pada saat ada penyalahgunaan sumber-sumber daya, wawasan dan hasil kemajuan untuk tujuan lain atau dimonopoli oleh sekelompok orang tertentu. Kekerasan dapat berbentuk kekerasan fisik dan kekerasan psikologis, dan keduanya dapat terjadi secara bersamaan. Sasaran pada kekerasan fisik adalah menyerang tubuh manusia. Sedangkan sasaran pada kekerasan psikologis berkaitan dengan kebohongan, indoktrinasi, ancaman, tekanan yang berakibat pada minimalisasi kemampuan mental dan otak.49

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai ”perihal (yang bersifat, berciri) keras, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau menderita orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan juga dapat diartikan dengan paksaan.50

Sedangkan ancaman kekerasan menurut Adam Chazawi adalah ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan

48

Toeti Heraty Noerhadi, Kekerasan Negara Terhadap Perempuan, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), hlm. 25.

49

I. Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, (Jakarta: Kanisius, 1992), hlm. 64. dalam tulisan Luh Ayu Saraswati A. Kekerasan Negara, Perempuan dan

Refleksi Negara Patriarkhi, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), hlm. 43.

50

fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan mungkin segera dilakukan/ diwujudkan kemudian bilamana ancaman tersebut tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku.51

Ancaman kekerasan mengandung dua aspek penting yaitu sebagai berikut: 1) Aspek objektif yaitu a) wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupa

perbuatan persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang lebih besar yakni kekerasan secara sempurna; dan b). Menyebabkan orang yang menerima kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut dan rasa cemas (aspek subjektif yang diobjektifkan).

2) Aspek subjektif ialah timbulnya suatu kepercayaan bagi si penerima kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka kekerasan tersebut akan benar-benar diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangat penting dalam ancaman kekerasan, sebab jika kepercayaan ini tidak muncul pada diri korban, tidaklah mungkin korban akan membiarkan dilakukan sesuatu perbuatan terhadap dirinya.

Antara kekerasan dengan ketidakberdayaan perempuan itu terdapat hubungan kausal dan karena tidak berdaya itulah maka persetubuhan dapat terjadi. Jadi

51

sebenarnya terjadinya persetubuhan pada dasarnya adalah akibat dari perbuatan memaksa dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan itu.52

c. Perempuan Korban Perkosaan.

Kekerasan muncul akibat adanya kekuasaan yang tidak bermoral. Kekuasaan dalam semua level kehidupan memiliki peluang untuk menggunakan kekerasan. Pada kekuasaan yang tidak bermoral, kekerasan seringkali dimanifestasikan sebagai sesuatu yang absah. Jika persoalan ini dihadapkan pada perempuan, logikanya akan mengarah pada kemungkinan adanya kekuasaan laki-laki terhadap perempuan yang bukan didasarkan pada prinsip moral dan hak-hak asasi. Kekuasaan lelaki atas perempuan ini dibentuk berdasarkan kecenderungan-kecenderungan konstruksi sosial yang dimapankan. Kenyataan ini sepertinya telah berlangsung selama berabad-abad dan berlaku secara universal sehingga menjadi sebuah budaya, dan kemudian menjadi sebuah kebenaran dan dibenarkan oleh banyak pikiran-pikiran, fiqh, norma dan idiologi.53

Yang diancam hukuman dalam pasal 285 KUHP ialah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia. Menurut R. Soesilo, pembuat undang-undang ternyata menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukanlah semata-mata karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi karena justru bagi laki-laki

52

Ibid

53

dipandang tidak mengakibatkan sesuatu yang buruk atau yang merugikan. Sedangkan pada diri perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak akibat perkosaan tersebut.54

Dari pasal-pasal yang mengatur tentang perkosaan di dalam KUHP, yang diatur hanyalah mengenai perkosaan terhadap perempuan dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Perempuan yang bukan istrinya. (Pasal 285 KUHP)

Ketentuan dalam Pasal 285 KUHP mensyaratkan bahwa perempuan yang menjadi korban perkosaan bukanlah istri dari si pelaku. Dengan demikian KUHP tidak mengakui adanya perkosaan oleh suami kepada istrinya (marital rape). Walaupun hal tersebut kemudian diatur di dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan menggunakan istilah kekerasan seksual.

Perkosaan dalam perkawinan diakui dan dirumuskan dalam Pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh PBB pada tahun 1993 yang menyatakan bahwa “kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada, . . . tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis terjadi dalam keluarga termasuk . . . perkosaan dalam perkawinan . . .” Dalam bidang relasi seksual antara suami istri, mu’asyarah bi al-ma’ruf yang harus dijalankan oleh suami dan istri adalah bahwa diantara keduanya harus saling memberi dan menerima, saling mengasihi dan menyayangi, tidak saling menyakiti,

54

tidak memperlihatkan kebencian dan masing-masing tidak saling mengabaikan hak

Dokumen terkait