• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penempatan Tindak Pidana Perkosaan dalam Sistematika Legislasi

BAB II TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM KUHP

C. Penempatan Tindak Pidana Perkosaan dalam Sistematika Legislasi

dengan tindak pidana perkosaan, merupakan bagian dari Bab tentang tindak Pidana Terhadap Kesopanan.

Tindak pidana kesopanan di bentuk untuk melindungi kepentingan hukum (rechtsbelang) terhadap rasa kesopanan masyarakat (rasa kesusilaan termasuk didalamnya). Kehidupan sosial manusia dalam pergaulan sesamanya selain dilandasi oleh norma-norma hukum yang mengikat secara hukum, juga dilandasi oleh norma- norma pergaulan yaitu norma-norma kesopanan.89

Norma-norma kesopanan berpijak pada tujuan menjaga keseimbangan batin dalam hal rasa kesopanan bagi setiap manusia dalam pergaulan kehidupan bermasyarakat. Patokan patut dan atau tidak patutnya suatu tingkah laku yang dianggap menyerang kepentingan hukum mengenai rasa kesopanan itu tidaklah semata-mata bersifat individual, tetapi lebih kearah sifat universal walaupun mungkin mengenai hal tertentu lebih terbatas pada lingkungan suatu masyarakat. Nilai-nilai kesopanan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat yang mencerminkan sifat dan

89

karakter suatu lingkungan masyarakat bahkan suatu bangsa (bersifat nasional), telah diadopsi dalam norma-norma hukum mengenai tindak pidana terhadap kesopanan ini.

Dalam usaha negara menjamin terjaganya nilai-nilai kesopanan yang dijunjung tinggi oleh warga masyarakat inilah dibentuk tindak pidana dalam Bab XIV Buku II KUHP mengenai Kejahatan Terhadap Kesopanan (Misdrijven tegen de

zeden) dan Bab VI buku III KUHP mengenai Pelanggaran Terhadap Kesopanan (Overtredingen betreffende de zeden).

Pembagian dan penempatan tersebut membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yang menitik beratkan pada pertimbangan pembentuk undang-undang mengenai objek rasa kesopanan masyarakat tersebut. Penyerangan terhadap rasa kesopanan yang bercorak kejahatan, sifat penyerangan pada kepentingan hukum mengenai rasa kesopanan lebih berat jika dibandingkan dengan penyerangan rasa kesopanan yang dikategorikan dalam pelanggaran terhadap kesopanan.

Kata “zeden” oleh para penulis hukum diartikan sebagai kesusilaan dan kesopanan. Kata kesusilaan dipahami sebagai suatu pengertian adab sopan santun dalam hal berhubungan dengan seksual atau dengan nafsu birahi. Kesusilaan adalah suatu pengertian adat-istiadat mengenai tingkah laku dalam pergaulan hidup yang baik dalam hal yang berhubungan dengan masalah seksual.

Kata kesusilaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai:90 1) Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib

2) Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban

90

3) Pengetahuan tentang adat

Kata susila dalam bahasa Inggris adalah moral, ethics, decent. Kata-kata tersebut biasanya diartikan secara berbeda. Kata moral diterjemahkan menjadi moril atau kesopanan. Kata ethics diartikan dengan kesusilaan dan kata decent diterjemahkan dengan kepatutan.

Kejahatan terhadap kesusilaan diatur dalam BAB XIV KUHP yang terdiri dari pasal 281 sampai dengan pasal 303, sejumlah 25 pasal. Tiga pasal diantaranya memuat hukuman tambahan/ pemberatan yakni Pasal 283 bis, Pasal 291 dan Pasal 298. Tujuh pasal di dalam bab tersebut tidak berkenaan dengan ”behaviour in

relation to sexual matter” yaitu:

- Pasal 297: tentang memperniagakan perempuan/ laki-laki yang belum dewasa. - Pasal 299: tentang dapat gugurnya kandungan karena pengobatan.

- Pasal 300: tentang menjual/ memaksa meminum minuman yang memabukkan.

- Pasal 301: tentang perlindungan anak yang belum berumur 12 tahun dari pekerjaan sebagai pengemis.

- Pasal 302: tentang penganiayaan ringan pada binatang. - Pasal 303 dam 303 bis: tentang judi.

Beberapa ahli hukum di Indonesia menginterpretasikan tindak pidana kesusilaan yang ternyata membuat pengertiannya bertambah bias dan merugikan perempuan korban. Hal ini bisa dilihat dalam pengertian kesusilaan yang ditulis dan

dianalisis oleh R. Soesilo yang mendefinisikan kesusilaan sebagai ”...suatu perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin, misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan perempuan atau laki-laki, mencium dan sebagainya yang semuanya dilakukan dengan perbuatan...”91 selanjutnya R. Soesilo menyatakan bahwa ”...sifat merusak kesusilaan perbuatan-perbuatan tersebut kadang- kadang amat tergantung pada pendapat umum, pada waktu dan di tempat itu...”.92

Dalam definisi tersebut yang juga merupakan pemahaman umum di masyarakat, kesusilaan dipahami dalam lingkup budaya sopan santun yang berkaitan dengan nafsu kelamin, yang berhubungan dengan nilai budaya dan adat istiadat setempat. Dapat dibayangkan apa yang terjadi kemudian ketika definisi kesusilaan ini digunakan dalam tindak pidana perkosaan, perbuatan cabul, pelacuran serta perdagangan anak dan perempuan. Akibatnya, yang sesungguhnya merupakan kejahatan seksual akan dipahami sekedar sebagai kejahatan terhadap kesusilaan dan lebih memberikan perhatian dengan cara menyalahkan korbannya.93

Penempatan tindak pidana perkosaan yang merupakan salah satu kekerasan seksual, dalam KUHP hanya dikategorikan sebagai “kejahatan terhadap kesusilaan/ kesopanan” dan bukan kejahatan terhadap tubuh (dalam hal ini korban) sebagai pemiliknya. Lebih lanjut lagi batasan atau pengertian kesusilaan dalam KUHP lebih

91

R. Soesilo, KUHP, Op. Cit, hlm

92

Ibid

93

Kertas posisi LBH APIK tentang Kejahatan Seksual dan Perlunya RUU Perkosaan, 3-4 Februari, Cimanggis

mengacu kepada moralitas masyarakat dan bukan bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual (perkosaan).

Penempatan kejahatan seksual dalam bab kejahatan terhadap kesusilaan telah mengaburkan persoalan mendasar dari kejahatan seksual yaitu pelanggaran terhadap integritas dan eksistensi manusia. Hal ini kemudian sangat menyulitkan pemahaman konseptual yang utuh mengenai apa yang sesungguhnya menjadi inti dan terjadi berkenaan dengan berbagai diskriminasi, perendahan dan kekerasan yang dialami perempuan dalam masyarakat yang bertitik tolak pada pengalaman dan kepentingan laki-laki. Dengan sendirinya derajat keseriusan masalah tidak terungkap, diselubungi mitos-mitos dan keyakinan-keyakinan yang sangat merugikan korban dan menguntungkan pelaku.

Dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kesusilaan, korban justru bertugas menjaga dan sekaligus menjadi ukuran moralitas publik. Dengan kata lain, dasar pandangannya adalah apabila perempuannya baik, maka moralitas masyarakat akan terjaga.

Dalam penerapannya, pasal-pasal dalam KUHP dipahami dan diterapkan dengan sangat bias sehingga merugikan perempuan sebagai korbannya. Memprihatinkan bahwa perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang sangat berat implikasinya, seringkali malah digolongkan sebagai kejahatan tanpa korban.94

94

Lihat Kunarto (Penyunting), Merenungi Kritik Terhadap Polri, Buku Ke 6 Kejahatan Tanpa Korban, (Jakarta: Citra Manunggal, 1999), hal-hal berkenaan dengan kekerasan terhadap

Dengan konsep ”kejahatan terhadap kesusilaan” dengan mudah akan terperangkap dalam situasi melihat kekerasan terhadap perempuan hanya sebagai suatu masalah susila atau moral, yang tidak ditujukan langsung pada individu- individu yang menjadi korbannya. Mengakibatkan ketidakmampuan berempati pada perempuan yang langsung menjadi korban, karena perempuan korbanlah yang sesungguhnya tubuh dan kehidupan psiko-sosialnya dianiaya. Perempuan korban seringkali justru berada dalam posisi yang rentan, karena pelaku dapat mengajukan tuntutan balik tentang mencemarkan nama baik pelaku, atau sanksi moral karena dianggap merusak ”kondisi moral” masyarakat. Kepada perempuan korban perkosaan langsung terlekatkan ”stigma sosial” yang melihatnya sebagai perempuan yang kotor, tidak suci lagi, tidak pantas disebut perempuan baik-baik. Perempuan korban akan menjadi semakin rentan dan mengalami ketidakadilan yang berlanjut.

Pemahaman kejahatan terhadap kesusilaan seringkali berpadu dengan mitos- mitos yang menyatakan kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini perkosaan, terjadi karena ”undangan” dari si korban, dan korban seringkali dipersepsikan sebagai penanggung jawab terjadinya kejahatan susila. Dalam situasi demikian, masyarakat dan aparat justru dapat berpihak pada pelaku. Sehingga kemudian yang diintrogasi dengan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan adalah perempuan korban yang dianggap seperti tertuduh.

perempuan, pembantu rumah tangga dan TKW, anak jalanan, prostitusi dan aborsi dianggap sebagai kejahatan tanpa korban, dijadikan satu dengan masalah-masalah narkotika dan judi.

D. Analisis Kebijakan Legislasi Tindak Pidana Perkosaan dengan Metode

Dokumen terkait