• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Kerangka Teori dan Konsep

2. Kerangka Konsepsional

Konsep adalah suatu bagian yang terpenting dari perumusan suatu teori. Peranan konsep pada dasarnya adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang disebut dengan definisi operasional.

Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian antara penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain

30

Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Di Hukum (Delik), (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm. 4.

31

itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian tesis ini. Dalam tesis ini ada beberapa landasan konsepsional yaitu: perkosaan, Perbuatan memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dan perempuan sebagai korban perkosaan.

a. Perkosaan

Kejahatan perkosaan dalam KUHP diatur dalam Pasal 285 sampai dengan Pasal 288 KUHP. Walaupun kata perkosaan hanya akan ditemukan dalam bunyi Pasal 285 KUHP. Pasal-pasal lainnya menggunakan rumusan ”bersetubuh”.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkosaan adalah ”menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi, melanggar dengan menyerang dengan kekerasan”32

Menurut Wirjono, kata perkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya dalam bahasa Belanda yakni verkrachting tidaklah tepat. Dalam bahasa Belanda istilah verkrachting sudah berarti perkosaan untuk bersetubuh. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata perkosaan saja sama sekali belum menunjuk pada pengertian perkosaan untuk bersetubuh.33

Makna persetubuhan menurut R. Soesilo, mengacu pada Arrest Hooge Raad tanggal 5 Februari 1912 yaitu “peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota laki-laki harus

32 Balai Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3 (Jakarta, Balai Pustaka, 2005)

33

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm. 118.

masuk ke dalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani”.34 Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi maka tindakan itu beralih menjadi perbuatan cabul. Menurut komentar para penulis Belanda, sebagaimana yang dituliskan dalam Wirjono,35 perbuatan yang dipaksakan dalam Pasal 289 (perbuatan cabul) merupakan pengertian umum yang meliputi perbuatan bersetubuh dari Pasal 285 sebagai pengertian khusus.

Perbedaan lain antara tindak pidana perkosaan dan pencabulan adalah bahwa perkosaan untuk bersetubuh hanya dapat dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, sedangkan perkosaan untuk cabul dapat juga dilakukan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki36

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, Perkosaan disebutkan sebagai “menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, menggagahi,….”37 Makna ini sangat luas karena tidak membatasi karakteristik pelaku, korban, maupun bentuk perilakunya. Persamaan antara Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan KUHP hanya dalam hal yang berkaitan dengan kata memaksa dengan kekerasan.

Sementara itu dalam Webster’s New World Dictionary, 1976, perkosaan atau Rape adalah: “… I a) the crime of having sexsual intercourse with a women or girl forcibly and without her consent, or (statutory rape) with a girl below the age of consent (See AGE OF CONSENT). b) any sexsual assault upon a person. 2.

34

R. Soesilo, KUHP, op. cit., hlm. 209.

35

Wirjono, loc. cit

36

Ibid, hlm. 118.

37

(nowrare) the act of seizing and carrying away by force. 3. the plundering or violent destruction (of a city, etc) as in warfare. 4. any outrageous assault or flagrant violation.”38

Dalam batasan ini, perkosaan dapat didefinisikan dalam cakupan yang lebih luas, tidak hanya berkonotasi penetrasi penis terhadap vagina, tetapi mencakup bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya.

Gadis Arivia menyatakan bahwa dalam arti luas, memperkosa adalah pemaksaan kehendak yang dapat membuat perasaan subjek dikecilkan, dilecehkan dan dicampakkan. Perkosaan intelektual, perkosaan seni atau perkosaan budaya memperlihatkan ‘kerusakan’ yang disebabkan oleh si aggressor, pemaksaan kehendak ini dilakukan melalui berbagai cara seperti operasi idiologi, kekuatan senjata atau penguasaan diskursus. Sementara itu perkosaan dalam arti seksual adalah perkosaan yang dilakukan dengan penetrasi antara penis dengan vagina atau penetrasi dengan objek-objek lainnya seperti kayu, botol dan lainnya yang sejenis. Pembelaian, penatapan mata dan verbal yang kurang pantas dianggap sebagai pelecehan seksual. Perkosaan biasanya mengikutsertakan pelecehan seksual namun tidak sebaliknya.”39

Dalam rumusan UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak menggunakan istilah perkosaan tetapi menggunakan istilah Kekerasan Seksual. Istilah Kekerasan Seksual jauh lebih luas dari istilah perkosaan, karena di dalam kekerasan seksual dapat dimasukkan

38

Ibid, hlm. 205-206.

39

Gadis Arivia, Logika Kekerasan Negara Terhadap Perempuan, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), hlm. 11.

berbagai bentuk perbuatan lainnya yang berkaitan dengan seksualitas seseorang seperti perbuatan cabul, pelecehan seksual dan lain-lain.

b. Perbuatan Memaksa dengan Kekerasan dan Ancaman Kekerasan

Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang tersebut yang bertentangan dengan kehendak hatinya agar dirinya menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri.40 Menerima kehendaknya ini setidaknya ada dua macam, yaitu:

a. Menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya (misal; Pasal 285; memaksa bersetubuh atau bersedia disetubuhi, Pasal 289; membiarkan dilakukan perbuatan cabul atas dirinya).

b. Orang yang dipaksa berbuat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang memaksa. (misal: Pasal 368 tentang Pemerasan dan 369 tentang Pengancaman).

Dalam Fiqh, pemaksaan dirumuskan sebagai ajakan untuk melakukan suatu perbuatan yang disertai dengan ancaman. Beberapa syarat pemaksaan (ikrâh) antara lain: pelaku pemaksaan memiliki kekuasaan untuk merealisasikan ancamannya. Sebaliknya, objek pemaksaan (korban) tidak memiliki kemampuan untuk menolaknya disertai dugaan kuat bahwa penolakan atasnya akan mengakibatkan ancaman tersebut benar-benar dilaksanakan, padahal ancaman itu berupa hal-hal yang

40

Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 63.

membahayakannya seperti membunuh, menghajar (memukul), mengikat dan memenjarakannya dalam tempo cukup lama atau menghancurkan harta bendanya.41

Cara-cara memaksa yang dirumuskan dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan perkosaan, dibatasi dengan dua cara yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met geweld). Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam KUHP. Hanya mengenai kekerasan, ada pasal 89 KUHP yang merumuskan tentang perluasan arti kekerasan.42

Berdasarkan pasal 89 KUHP maka yang disamakan dengan melakukan kekerasan adalah membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Menurut R. Soesilo; melakukan kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah, misalnya memukul dengan tangan, atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya.43

Menurut Satochid, kekerasan adalah setiap perbuatan yang terdiri atas digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat.44 Ada dua fungsi kekerasan dalam hubungannya dengan tindak pidana perkosaan, yaitu sebagai berikut:45

1) Kekerasan yang berupa cara melakukan suatu perbuatan.

41

Al-Kasani, Badai’ ash-Shanai’, Juz VII, hlm, 175-176; whbah az Zuhaili, Al-Fiqh-al Islami

wa Adillatuh, Juz VI, (Damaskus: Dar Al Fikr, 1997), hlm. 4446, dalam Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 215.

42

Adami Chazawi, op. cit., hlm. 64.

43

R. Soesilo, KUHP, op.cit., hlm. 98.

44

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana II, Delik-Delik Tertentu, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun), dalam Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, loc. cit.

45

Kekerasan di sini memerlukan syarat akibat ketidakberdayaan korban. Ada

causal verband antara kekerasan dengan ketidakberdayaan korban. Contohnya

kekerasan pada perkosaan yang digunakan sebagai cara dari memaksa bersetubuh. Juga pada pemerasan (Pasal 368 KUHP) yang mengakibatkan korban tidak berdaya. Dengan ketidakberdayaan itulah yang menyebabkan korban dengan terpaksa menyerahkan benda, membuat utang atau menghapuskan piutang.

2) Kekerasan yang berupa perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana, bukan cara melakukan perbuatan.

Berdasarkan fungsinya, maka kekerasan dalam pengertian pasal 285 KUHP dapatlah didefinisikan sebagai suatu cara/ upaya berbuat (sifatnya abstrak)46 yang ditujukan pada orang lain yang untuk mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu menjadi tidak berdaya secara fisik. Dalam keadaan tidak berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya (walaupun bertentangan dengan kehendaknya), atau melakukan perbuatan sesuai atau sama dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri.47

Toeti Heraty Noerhadi menyatakan: ”kekerasan mempunyai ciri khas pemaksaan, sedangkan pemaksaan dapat mengambil wujud pemaksaan persuasif dan

46

Sifat kekerasan itu disebut abstrak karena wujud kongkret cara kekerasan itu ada bermacam-macam dan tidak terbatas, misalnya memukul dengan kayu, menempeleng, menendang, menusuk dengan pisau dan lain sebagainya, lihat Ibid, hlm. 65.

47

pemaksaan fisik, atau gabungan keduanya. Pemaksaan berarti terjadi pelecehan terhadap kehendak pihak lain, yang mengalami pelecehan hak-haknya secara total, eksistensinya sebagai manusia dengan akal, rasa, kehendak dan integritas tubuhnya tidak diperdulikan lagi.”48

Pengertian kekerasan menurut Johan Galtung terjadi pada saat ada penyalahgunaan sumber-sumber daya, wawasan dan hasil kemajuan untuk tujuan lain atau dimonopoli oleh sekelompok orang tertentu. Kekerasan dapat berbentuk kekerasan fisik dan kekerasan psikologis, dan keduanya dapat terjadi secara bersamaan. Sasaran pada kekerasan fisik adalah menyerang tubuh manusia. Sedangkan sasaran pada kekerasan psikologis berkaitan dengan kebohongan, indoktrinasi, ancaman, tekanan yang berakibat pada minimalisasi kemampuan mental dan otak.49

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan diartikan sebagai ”perihal (yang bersifat, berciri) keras, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau menderita orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Kekerasan juga dapat diartikan dengan paksaan.50

Sedangkan ancaman kekerasan menurut Adam Chazawi adalah ancaman kekerasan fisik yang ditujukan pada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan

48

Toeti Heraty Noerhadi, Kekerasan Negara Terhadap Perempuan, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), hlm. 25.

49

I. Marsana Windhu, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung, (Jakarta: Kanisius, 1992), hlm. 64. dalam tulisan Luh Ayu Saraswati A. Kekerasan Negara, Perempuan dan

Refleksi Negara Patriarkhi, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2000), hlm. 43.

50

fisik, perbuatan fisik mana dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk dilakukan perbuatan fisik yang besar atau lebih besar yang berupa kekerasan, yang akan mungkin segera dilakukan/ diwujudkan kemudian bilamana ancaman tersebut tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diinginkan pelaku.51

Ancaman kekerasan mengandung dua aspek penting yaitu sebagai berikut: 1) Aspek objektif yaitu a) wujud nyata dari ancaman kekerasan yang berupa

perbuatan persiapan dan mungkin sudah merupakan perbuatan permulaan pelaksanaan untuk dilakukannya perbuatan yang lebih besar yakni kekerasan secara sempurna; dan b). Menyebabkan orang yang menerima kekerasan menjadi tidak berdaya secara psikis, berupa rasa takut dan rasa cemas (aspek subjektif yang diobjektifkan).

2) Aspek subjektif ialah timbulnya suatu kepercayaan bagi si penerima kekerasan (korban) bahwa jika kehendak pelaku yang dimintanya tidak dipenuhi yang in casu bersetubuh dengan dia, maka kekerasan tersebut akan benar-benar diwujudkan. Aspek kepercayaan ini sangat penting dalam ancaman kekerasan, sebab jika kepercayaan ini tidak muncul pada diri korban, tidaklah mungkin korban akan membiarkan dilakukan sesuatu perbuatan terhadap dirinya.

Antara kekerasan dengan ketidakberdayaan perempuan itu terdapat hubungan kausal dan karena tidak berdaya itulah maka persetubuhan dapat terjadi. Jadi

51

sebenarnya terjadinya persetubuhan pada dasarnya adalah akibat dari perbuatan memaksa dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan itu.52

c. Perempuan Korban Perkosaan.

Kekerasan muncul akibat adanya kekuasaan yang tidak bermoral. Kekuasaan dalam semua level kehidupan memiliki peluang untuk menggunakan kekerasan. Pada kekuasaan yang tidak bermoral, kekerasan seringkali dimanifestasikan sebagai sesuatu yang absah. Jika persoalan ini dihadapkan pada perempuan, logikanya akan mengarah pada kemungkinan adanya kekuasaan laki-laki terhadap perempuan yang bukan didasarkan pada prinsip moral dan hak-hak asasi. Kekuasaan lelaki atas perempuan ini dibentuk berdasarkan kecenderungan-kecenderungan konstruksi sosial yang dimapankan. Kenyataan ini sepertinya telah berlangsung selama berabad-abad dan berlaku secara universal sehingga menjadi sebuah budaya, dan kemudian menjadi sebuah kebenaran dan dibenarkan oleh banyak pikiran-pikiran, fiqh, norma dan idiologi.53

Yang diancam hukuman dalam pasal 285 KUHP ialah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia. Menurut R. Soesilo, pembuat undang-undang ternyata menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukanlah semata-mata karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap seorang laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi karena justru bagi laki-laki

52

Ibid

53

dipandang tidak mengakibatkan sesuatu yang buruk atau yang merugikan. Sedangkan pada diri perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak akibat perkosaan tersebut.54

Dari pasal-pasal yang mengatur tentang perkosaan di dalam KUHP, yang diatur hanyalah mengenai perkosaan terhadap perempuan dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Perempuan yang bukan istrinya. (Pasal 285 KUHP)

Ketentuan dalam Pasal 285 KUHP mensyaratkan bahwa perempuan yang menjadi korban perkosaan bukanlah istri dari si pelaku. Dengan demikian KUHP tidak mengakui adanya perkosaan oleh suami kepada istrinya (marital rape). Walaupun hal tersebut kemudian diatur di dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan menggunakan istilah kekerasan seksual.

Perkosaan dalam perkawinan diakui dan dirumuskan dalam Pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dikeluarkan oleh PBB pada tahun 1993 yang menyatakan bahwa “kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak hanya terbatas pada, . . . tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis terjadi dalam keluarga termasuk . . . perkosaan dalam perkawinan . . .” Dalam bidang relasi seksual antara suami istri, mu’asyarah bi al-ma’ruf yang harus dijalankan oleh suami dan istri adalah bahwa diantara keduanya harus saling memberi dan menerima, saling mengasihi dan menyayangi, tidak saling menyakiti,

54

tidak memperlihatkan kebencian dan masing-masing tidak saling mengabaikan hak dan kewajibannya.55

Islam mensyaratkan agar relasi seksual antara suami dan istri harus dilakukan secara wajar, sebagaimana hadist Nabi Saw. Yang menyatakan: ”adalah terlaknat laki-laki yang mendatangi (menyetubuhi) istrinya pada dubur (anus)”56. Larangan lainnya yang dinyatakan dalam ajaran Islam adalah bersetubuh dengan istri yang sedang menstruasi atau masih dalam masa nifas (sehabis melahirkan).

Beberapa batasan tersebut di atas dapat dijadikan pegangan bahwa walaupun hubungan seksual diantara suami istri merupakan hak dan kewajiban, namun persetubuhan yang dilakukan dengan paksaan dan kekerasan serta cara-cara yang tidak dikehendaki adalah tidak dibenarkan dalam ajaran agama Islam.

2) Perempuan yang bukan istrinya yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 286 KUHP).

Perempuan yang menjadi korban dalam pasal ini adalah seorang perempuan yang bukan istrinya yang secara objektif berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Di dalam Pasal 286 KUHP ini terdapat unsur subjektif yaitu diketahuinya perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.57

R. Soesilo menjelaskan bahwa pingsan artinya ”tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya” umpamanya dengan memberi minum racun kecubung atau lain-lain

55

Husein Muhammad, op. cit., hlm. 153.

56

Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, juz II, no 2162, hal. 249, dalam Husein Muhammad, ibid, hlm. 154.

57

obat sehingga orangnya tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kedua kaki dan tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga orang itu lumpuh. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.58

Sejalan dengan hal tersebut, Adami Chazawi menyatakan bahwa keadaan pingsan dan tidak berdaya memiliki perbedaan makna walaupun orang pingsan pada dasarnya juga tidak berdaya. Perbedaan makna tersebut ialah, bahwa pada keadaan pingsan orang itu berada dalam keadaan tidak sadarkan diri, dalam keadaan ini dia tidak mengetahui apa yang telah diperbuat orang lain in casu disetubuhi terhadap dirinya. Seseorang yang sedang dalam keadaan tidur, tidaklah disebut dalam keadaan pingsan kecuali jika orang tersebut menelan obat tidur, atau disuntik dengan obat tidur, maka keadaan tidur itu dapat disebut dengan keadaan pingsan. Dalam keadaan tidak berdaya, orang itu mengerti dan sadar tentang apa yang telah diperbuat oleh orang lain terhadap dirinya. Misalnya perempuan itu ditodong dengan pisau, atau tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan tenaga seorang laki-laki yang memperkosanya, atau dirinya dalam keadaan sakit sehingga tidak berdaya.59

Unsur dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya adalah unsur objektif yang disadari atau diketahui oleh si pembuat. Kondisi pingsan atau tidak berdaya itu

58

R. Soesilo, KUHP, op. cit., hlm.

59

bukanlah akibat dari perbuatan si pelaku melainkan suatu kondisi yang sudah terjadi. Si pelaku hanya disyaratkan untuk secara subjektif mengetahui bahwa perempuan tersebut sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

3) Perempuan yang belum 15 tahun atau belum masanya untuk dikawin (Pasal 287 KUHP)

Berbeda dengan Pasal 285 KUHP dan Pasal 286 KUHP yang mensyaratkan tidak adanya persetujuan dari perempuan korban, melalui tindakan pemaksaan berupa kekerasan atau ancaman kekerasan, maka pada pasal 287 KUHP, persetubuhan yang dilakukan adalah dengan persetujuan dari si perempuan korban. Hubungan tersebut dilakukan dengan suka sama suka. Letak pidananya adalah pada umur perempuan korban yang belum cukup 15 tahun atau belum masanya untuk dikawin.60

Menurut Adami Chazawi, pengertian belum waktunya untuk dikawin adalah belum waktunya untuk disetubuhi. Indikator belum waktunya untuk disetubuhi ini adalah pada bentuk fisik dan secara psikis. Secara fisik tampak pada wajah atau tubuhnya, yang masih tubuh anak kecil seperti tubuh anak-anak pada umumnya, belum tumbuh buah dadanya atau belum tumbuh rambut kemaluannya, atau mungkin belum datang haidnya. Secara psikis dapat dilihat pada kelakuannya, misalnya masih senang bermain-main seperti pada umumnya anak belum berumur 15 tahun.

4) Perempuan yang merupakan istrinya tapi belum masanya untuk kawin (Pasal 289 KUHP)

60

KUHP tidak mengancam pidana kepada pelaku yang menyetubuhi perempuan yang belum berumur 15 tahun jika perempuan itu adalah istrinya, kecuali bila perbuatan tersebut menimbulkan akibat luka-luka, luka berat atau kematian.61

G. Metode Penelitian

Dokumen terkait