• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

G. ASAM ASKORBAT

Asam askorbat atau lebih dikenal dengan vitamin C merupakan senyawa yang sangat mudah larut dalam air dan mempunyai sifat asam dan sifat pereduksi yang kuat. Dalam bentuk murni vitamin C merupakan kristal putih,

14 tidak berwarna, tidak berbau, dan mencair pada suhu 190-192oC (Winarno, 1997). Vitamin C relatif lebih stabil pada pH rendah dibandingkan dengan pada pH tinggi.

Vitamin C dapat berbentuk sebagai asam askorbat dan asam L-dehidroaskorbat, keduanya mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Asam askorbat sangat mudah teroksidasi secara reversible menjadi asam dehidroaskorbat . Asam L-dehidroaskorbat secara kimia sangat labil dan dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi asam L-diketogulonat yang tidak memiliki keaktifan vitamin C lagi. Dari semua vitamin yang ada, vitamin C merupakan vitamin yang mudah rusak. Di samping sangat larut air, vitamin C juga mudah teroksidasi dan proses tersebut dapat dipercepat oleh panas, sinar, alkali, dan enzim. Oksidasi terhambat bila vitamin C dibiarkan dalam keadaan asam atau pada suhu rendah. Banyaknya kehilangan vitamin C tergantung pada pH, suhu, rasio air dan bahan, rasio permukaan volume, kematangan, dan faktor lain (Winarno, 1997).

Asam askorbat dan garamnya sering digunakan sebagai antioksidan pada berbagai produk pangan olahan, antara lain buah kaleng, sayuran kaleng, ikan kaleng, daging kaleng, minuman ringan, dan beverages (Madhavi et al., 1996) Tabel 4. Jumlah asam askorbat yang digunakan dalam berbagai produk pangan olahan

Produk Asam Askorbat (%)

Jus buah 0.005 – 0.02 Minuman ringan 0.005 – 0.015 Citrus Oils 0.01 Anggur 0.005 – 0.015 Bir 0.002 – 0.006 Buah segar 0.03 – 0.045 Buah kaleng 0.025 – 0.04 Sayur kaleng 0.1 Daging segar 0.02 – 0.05 Cured meat 0.02 – 0.05 Susu bubuk 0.02 – 0.2

15 H. PENGEMASAN

Plastik merupakan bahan pengemas yang berkembang pesat saat ini. Plastik digunakan untuk mengemas berbagai jenis makanan. Jenis plastik bermacam-macam dan dapat dibedakan berdasarkan senyawa penyusunnya. Plastik memiliki berbagai keunggulan, yaitu fleksibel, transparan, tidak mudah pecah, bentuk laminasi, tidak korosif, dan harganya relatif murah.

Menurut Lutkemeyer (1989), semua jenis film plastik yang mudah dibentuk dengan panas dapat digunakan sebagai bahan pembuat plastic cup (gelas plastik). Bahan kemasan plastik cup yang banyak digunakan adalah polipropilen (PP). Polipropilen merupakan jenis termoplastik yang memiliki densitas yang rendah. PP merupakan bahan yang memiliki kegunaan dan banyak aplikasinya, seperti untuk transportasi, alat tekstil, film , dan kemasan. PP dibuat melalui proses polimerisasi dengan bantuan katalisator pada monomer propilen di bawah panas dan tekanan.

Polipropilen bersifat hidrofob, tahan korosi, dan dibuat dari bahan baku yang murah dan mudah diperoleh. PP mempunyai sifat tidak bereaksi dengan bahan, dapat mengurangi kontak bahan dan oksigen, tidak menimbulkan racun, dan mampu melindungi bahan dari kontaminan. Polipropilen dibandingkan dengan polietilen lebih mudah terurai karena memiliki gugus CH3 pada rantai percabangannya (Sudirman et al., 2001)

Polipropilen termasuk jenis plastik oleolefin dan merupakan polimer dari propilen. Menurut Syarief (1989), sifat-sifat umum dari propilen adalah : memiliki permeabilitas uap air yang rendah, permeabilitas gas sedang, tidak baik untuk makanan yang peka terhadap O2, tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 150oC sehingga dapat dipakai untuk makanan yang disterilisasi, titik leburnya tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak, baik untuk kemasan sari buah dan minyak, ringan, kaku, densitasnya 0.9 g/cm3, mudah dibentuk, dan rapuh pada suhu beku.

Permeabilitas PP terhadap O2 adalah 2.3 x 1011 cm3/cm2/mm/cmHg, terhadap CO2 adalah 9.2 x 1011 cm3/cm2/mm/cmHg, dan terhadap H2O adalah 6.8 x 1012 cm3/cm2/mm/cmHg (Buckle et al., 1978).

16 I. PROSES TERMAL

Proses termal merupakan salah satu cara untuk memusnahkan mikroba selain cara irradiasi, tekanan osmotik tinggi, listrik bertegangan tinggi, kombinasi ultrasonik, panas, dan tekanan (Sala et al., 1995). Proses termal erat kaitannya dengan ketahanan bakteri termasuk sporanya. Ketahanan bakteri terhadap proses pemanasan umumnya dinyatakan dengan istilah nilai D dan nilai z. Nilai D adalah waktu dalam menit yang dibutuhkan untuk memusnahkan 90% dari populasi bakteri dalam suatu medium termasuk bahan pangan pada suhu tetap yang tertentu. Nilai z adalah selang suhu terjadinya penambahan atau pengurangan organisme atau spora sepuluh kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan baik untuk menurunkan 90% atau pembinasaan seluruhnya (Heldman dan Singh, 2001).

Sel vegetatif bakteri termasuk bakteri pembentuk spora, kapang, dan khamir pada umumnya memiliki nilai D berkisar 0.5-3 menit pada suhu 65oC. Sedangkan nilai z untuk sel vegetatif bakteri, kapang, dan khamir berkisar 5-8oC, dan nilai z untuk bakteri pembentuk spora adalah berkisar 6-16oC (Garbutt, 1997). Ketahanan panas mikroba dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain : umur dan keadaan organisme sebelum dipanaskan, komposisi medium pertumbuhan organisme, pH dan aw medium, waktu pemanasan, dan suhu pemanasan (Supardi dan Sukamto, 1999).

Sejumlah kapang dan khamir terdapat pada sari buah yang terbuat dari konsentrat dan memiliki aw rendah. Kapang lebih dominan pada jenis konsentrat, sedangkan bakteri lebih dominan merusak dalam fermentasi buah dan sayur yang memiliki aw tinggi (Gilliland, 1986). Khamir bersama sporanya dapat dieliminasi dengan mudah pada proses pasteurisasi, tetapi kapang yang berspora perlu pemanasan lebih lama jika produk berupa konsentrat (Frazier dan Westhoff, 1978).

Keberhasilan penuh dari proses pengolahan yang melibatkan panas pada produk pangan adalah terpenuhinya kecukupan panas untuk inaktivasi mikroba yang menyebabkan kebusukan dan keracunan. Untuk itu perlu diketahui sejauh mana ketahanan mikroba terhadap panas untuk dapat tercapai pada kombinasi suhu dan waktu yang tepat (Holdsworth, 1997). Nilai pH makanan merupakan

17 faktor yang penting dan kritis dalam menentukan besarnya pengolahan dengan panas yang dibutuhkan untuk menjamin tercapainya sterilisasi komersial. Di atas pH 4.6, bakteri pembusuk anaerobik dan pembentuk spora yang patogen, seperti C.botulinum dapat tumbuh. Beberapa spora bakteri dapat tumbuh sampai kira-kira pH 3.7, seperti B.thermoacidurans atau B.coagulans. Bahan pangan dengan nilai pH di bawah 3.7 tidak rusak oleh bakteri berspora (Fardiaz, 1992).

Dua cara umum untuk melawan mikroba penyebab kebusukan atau mikroba patogen penyebab penyakit karena makanan (foodborn diseases) adalah : (1) menghambat atau mencegah pertumbuhannya, dan (2) memusnahkannya (Fardiaz, 1996). Menghambat atau mencegah pertumbuhan mikroba dapat dilakukan dengan proses pemanasan.

Pasteurisasi merupakan proses pemanasan pada produk pangan dengan menggunakan suhu relatif rendah (kurang dari 100oC) dengan tujuan membunuh sel vegetatif (khususnya patogen) dan menginaktifkan enzim (Jongen, 2002). Prinsip dari pasteurisasi adalah pemanasan produk secara singkat sampai mencapai kombinasi suhu dan waktu tertentu, yang cukup untuk membunuh semua mikroorganisme patogen, tetapi hanya menyebabkan kerusakan (khususnya kerusakan gizi) seminimal mungkin terhadap produk akibat panas (Woodroof, 1976). Contoh produk pasteurisasi diantaranya adalah susu dan sari buah.

Pasteurisasi biasanya digunakan untuk produk yang mudah rusak bila dipanaskan atau tidak dapat disterilisasi secara komersial (Desrosier, 1983). Pasteurisasi membunuh seluruh mikroorganisme psikrofilik, mesofilik, dan sebagian yang bersifat termofilik.

Penggunaan panas yang relatif rendah menyebabkan sedikit perubahan pada karakteristik sensori dan nilai gizinya (Jongen, 2002). Produk pasteurisasi memiliki umur simpan yang tidak lama, kualitas produk akan berubah selama proses penyimpanan. Umur simpan produk tergantung pada pengemasan dan kondisi penyimpanan.

Kecukupan proses panas tergantung pada kondisi alami produk, pH, mikroorganisme atau enzim yang resisten, sensitivitas produk, dan tipe aplikasi

18 panas (Fellows, 2000). Pasteurisasi sari buah, dimana pH produk kurang dari 4.6 bahaya C.botulinum dapat dihindari sebab C.botulinum dan kebanyakan bakteri pembentuk spora tidak dapat tumbuh.

Kecukupan panas dapat diperoleh dengan memberikan perlakuan panas pada suhu yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat, atau sebaliknya. Sejak saat itu dan selanjutnya percobaan dan perhitungan kecukupan panas dijadikan dasar dalam penetapan proses pengalengan pangan (schedule process). Pasteurisasi dapat dilakukan pada suhu yang relatif rendah dalam waktu yang relatif lama, yaitu 65oC selama 30 menit atau pada suhu yang tinggi dalam waktu singkat yaitu 72oC selama 15 detik (Fardiaz, 1992). Semakin tinggi suhu pasteurisasi, semakin singkat proses pemanasan, beberapa bakteri vegetatif yang tahan panas (termofilik) dan spora tahan terhadap proses pasteurisasi. Oleh sebab itu, setelah proses pasteurisasi produk harus didinginkan dengan cepat untuk mencegah pertumbuhan bakteri yang masih hidup (Fardiaz, 1992). Dalam pasteurisasi konsep yang umum digunakan adalah konsep 5 D. Menurut Fellows (2000), konsep ini cukup memadai dari segi kualitas dan keamanan pangan.

Dokumen terkait