• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Akses Masyarakat Miskin

Dalam dokumen Tinjauan Partisipasi Swasta dalam Penyed (Halaman 72-79)

Bab IV Kinerja PDAM Tirta Pakuan dan Adhya Tirta Batam

IV.6. Aspek Akses Masyarakat Miskin

Selain Terminal Air dan Hidran Umum (TAHU) yang diatur melalui Perda, secara umum bisa dikatakan bahwa PDAM Tirta Pakuan memiliki program khusus untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Itu bisa terlihat dari kelompok pelanggan Rumah Tangga A (RA) dalam struktur tarif PDAM Tirta Pakuan yang telah disampaikan pada halaman 18 (Tabel III.2).

Kelompok pelanggan RA ini membayar tarif air lebih murah dari Rumah Tangga B (RB). Dengan asumsi pelanggan RA sepadan dengan “MBR”, maka berdasarkan data terakhir per tahun 2007, terdapat sekitar 12,9% “masyarakat kurang mampu” yang terlayani PDAM Tirta Pakuan. Angka tersebut diperoleh dengan asumsi bahwa satu Rumah Tangga terdiri dari 5,42 (hasil survey 150 pelanggan) orang di mana jumlah pelanggan RA pada tahun tersebut sebanyak 11.396 SL dan total jumlah penduduk Kota Bogor tahun 2007 sebanyak 879.138 jiwa. Angka tersebut mungkin masih sangat jauh jika dibandingkan dengan jumlah penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) pada tahun 2006, yaitu sebanyak 40.269 orang.

Kotak 6.

Perda Kota Bogor No. 5 tahun 2006 Tentang Pelayanan Air Minum PDAM Tirta Pakuan

Pasal 6 :

PDAM memberikan pelayanan untuk kepentingan umum sesuai dengan kemampuan yang meliputi:

a. Menyediakan hidran kebakaran di tempat-tempat tertentu

b. Menyediakan Terminal Air dan Hidran Umum (TAHU) bagi masyarakat Kota Bogor yang belum mendapat pelayanan sambungan air minum secara langsung dengan sistem perpipaan dan bagi masyarakat yang kurang

mampu.

c. Menyediakan loket pembayaran rekening air yang memberikan kemudahan bagi pelanggan.

Studi ini juga telah melakukan interview langsung dengan pelanggan RA PDAM Tirta Pakuan untuk mengecek “kepantasan” mereka sebagai pelanggan RA, dan menemukan bahwa ada pelanggan RA yang relatif sudah mapan secara ekonomi. Terkait dengan temuan ini, PDAM Tirta Pakuan menyatakan bahwa untuk penggolongan tarif pelanggan telah terdapat kriteria-kriteria yang tercantum pada peraturan daerah tentang pelayanan. Secara garis besar bahwa penentuan golongan RA, RB, dan RC ditentukan oleh keadaan jalan dan keadaan rumah. Untuk rumah yang berada di jalan protokol, jalan biasa, gang penilaiannya akan berbeda. Selain itu keadaan rumah juga berpengaruh. Untuk rumah yang besar dan kecil akan berbeda. Untuk rumah tipe 36 yang tertata rapi maka digolongkan kedalam tarif RB, sedangkan rumah yang berada di gang-gang dan tidak tertata rapi digolongkan kedalam tarif RA.

Secara garis besar, sebelum dilakukan pemasangan sambungan pelanggan baru akan dilakukan pemeriksaan untuk menggolongkan jenis pelanggan yang sesuai. Pemeriksaan dilakukan oleh sub bagian pengawasan teknik, yang merupakan sub bagian perencanaan dan pengawasan. PDAM juga mengkonfirmasi bahwa proses pengecekan ulang “kelas pelanggan” juga rutin dilakukan. Dengan adanya program Ho To Ho (House to house), PDAM melakuan “jemput bola” pelayanan kepada konsumen mulai dari masalah pengaliran air, situasi instalasi, keadaan meter air, keluhan kebocoran, dan sebagainya. Dari aktivitas Ho to Ho tersebut, para petugas PDAM juga bisa memanfaatkan sekaligus untuk memeriksa kondisi rumah pelanggan apakah telah berkembang yang menyebabkan harus dilakukan reklasifikasi golongan pelanggan. Manajemen PDAM Tirta Pakuan menyatakan bahwa bisa saja terjadi perubahan/penurunan golongan tarif, misalnya dari RB menjadi RA. Masyarakat juga dibolehkan untuk mengajukan komplain dan mengecek kembali golongan tarif yang dibebankan kepadanya.

Studi ini juga menemukan sampel-sampel masyarakat berpenghasilan rendah yang belum menjadi pelanggan PDAM Tirta Pakuan. Acuannya adalah mereka penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai), dan mengaku bahwa penghasilan bulanan mereka berada di kisaran Rp. 250 Ribu sampai dengan Rp. 750 Ribu sebulan. Mereka umumnya memiliki keinginan untuk menjadi pelanggan PDAM, tapi terkendala biaya untuk penyambungan baru. Meskipun begitu, mereka menyatakan kemampuan mereka jika diberi kesempatan untuk mencicil pembayaran tersebut.

Berbeda dengan PDAM Tirta Pakuan, ATB menyatakan bahwa mereka tidak memiliki program khusus untuk melayani MBR20. Meskipun dalam struktur tarif ATB sudah terdapat kelompok pelanggan yang membayar tarif subsidi, implementasi di lapangan tidak dapat menjamin bahwa penerima subsidi tersebut adalah mereka yang pantas. Kelompok pelanggan tersebut adalah yang masuk dalam kategori “low cost” yang jumlahnya sekitar 11.616 SL atau setara dengan 9,73% dari jumlah seluruh pelanggan ATB pada tahun 2006 yang berjumlah 119.348 SL21. Dengan asumsi bahwa 1 (satu) Rumah Tangga (RT) dihuni oleh 4,99 jiwa (asumsitelah dibahas pada bagian indikator kinerja jumlah penduduk dilayani), maka jumlah pelanggan low cost tersebut setara

20 Disampaikan oleh Manajemen ATB dalam Focus Group Discussion, 12 Februari 2009 di Kota

Batam, yang dihadiri oleh para pihak terkait pelayanan air minum di Kota Batam.

21

dengan 57.964 jiwa atau 8,11% dari total jumlah penduduk Kota Batam pada tahun 2006 yang mencapai 713,96022 jiwa.

Studi ini menemukan bahwa yang terjadi di lapangan banyak pelanggan low cost yang “tidak pantas” menerima tarif subsidi karena mereka relatif sudah mapan secara ekonomi. Kebalikannya, masyarakat yang seharusnya diklasifikasikan sebagai pelanggan low cost, kenyataannya dikelompokkan ke dalam pelanggan domestik yang sudah tentu membayar tarif penuh. Terkait dengan temuan studi, manajemen ATB menyatakan bahwa kriteria low cost

didefinisikan sebagai pelanggan yang memiliki rumah tipe 21 dan dinding belum diplester. Dalam perjalanannya, jika secara ekonomi mereka sudah mapan maka pasti akan meningkatkan dan memperbaiki fasilitas rumahnya. Oleh karena itu, jika studi ini menemukan rumah yang telah mengalami renovasi namun tarifnya masih low-cost, maka kemungkinan ATB tidak mendeteksinya karena tidak mungkin memeriksa satu-persatu, atau terdeteksi tapi pelanggan tidak mau direklasifikasi ke kelompok domestik (masih mengaku keluarga miskin). Berdasar pengalaman, ATB menyatakan bahwa terdapat sekitar 7000 pelanggan low cost yang dengan kesadaran mengakui bahwa mereka bukan low cost.

Kios Air: Pengurangan NRW vs Pemerataan Pelayanan

ATB memiliki program Kios Air, tapi lebih ditujukan untuk mengurangi NRW yang dikontribusikan oleh sambungan ilegal (illegal connection). Maraknya sambungan ilegal karena tidak semua penduduk di Kota Batam mendapat air dari ATB. Peraturan setempat melarang ATB mengalirkan air ke rumah-rumah yang ada di kawasan ilegal yang dikenal dengan sebutan “RULI” alias rumah liar23. Untuk itu, dengan persetujuan OB, ATB berinisiatif mengembangkan Kios Air sejak tahun 2003. Namun terlepas dari polemik keterlayanan masyarakat miskin melalui Kios Air, secara umum Kios Air telah membantu masyarakat yang tinggal di RULI.

22 Ini adalah angka resmi Pemerintah, karena ditengarai masih banyak penduduk yang tidak terdata

dengan jumlah sangat signifikan, umumnya bermukim di kawasan-kawasan liar dan berkategori kurang mampu secara ekonomi.

23

Selain itu, berdasarkan perjanjian konsesi, ATB tidak dibolehkan menyambung langsung ke pelanggan, karena itu adalah domain pihak ketiga, dalam hal ini para investor (pengembang), baik

untuk kawasan-kawasan perumahan terencana seperti real estate maupun rumah-rumah yang

dibangun secara individu. Akibat yang muncul adalah seringkali biaya penyambungan baru di sisi pengguna melonjak hingga lebih dari Rp. 2,5 Juta, padahal harga di ATB hanya sekitar Rp. 375 Ribu. Studi ini menemukan di lapangan masih terdapat aktivitas penyambungan-penyambungan ilegal di rumah-rumah yang bersertifikat (bukan RULI), dengan alasan sulitnya mengakses sambungan ATB secara resmi.

Interview dengan sejumlah warga yang dilayani oleh Kios Air ATB menunjukkan bahwa para warga mengaku bahagia dengan adanya Kios Air, kendati harus mengeluarkan biaya Rp. 5000 hingga Rp. 6000 untuk menebus setiap drum (± 200 L) air yang mereka peroleh. Alasannya, dengan Kios air mereka setidaknya telah mendapatkan dua keuntungan sekaligus. Pertama, dengan adanya kios air, mereka bisa mendapatkan air dengan kualitas lebih baik dari sebelumnya (air lori). Kedua, harga air dari kios air lebih “murah” karena sebelumnya mereka membayar lebih tinggi untuk air lori yang dijual dengan truk-truk swasta, yakni Rp. 7000 sampai Rp. 8000 setiap drumnya.

Kotak 7.

Sistem Pengelolaan Kios Air ATB

Kios Air

Tanggungjawab ATB

Tanggungjawab pengelola Kios Air

Meter Induk ATB

Tarif progressif

lowcost (> 40 M3 Rp. 3000)

Tarif flat

Rp. 5000 – 6000 per Drum (216 L)

Dalam hal keterjangkauan tarif, studi ini telah melakukan survey kepada 150 pelanggan PDAM Tirta Pakuan dan ATB untuk mengukur proporsi tagihan air mereka setiap bulan terhadap total penghasilan yang diperoleh pada bulan tersebut. Acuan normatifnya sesuai Permendagri No. 23/2006, bahwa prinsip keterjangkauan adalah apabila pengeluaran setiap rumah tangga untuk memenuhi standar kebutuhan pokok air minumnya tidak melampaui 4% dari total pendapatan masyarakat pelanggan. Oleh karena itu sebagai informasi awal, survey ini telah menanyakan rata-rata penghasilan para pelanggan setiap bulannya seperti yang terlihat pada Gambar IV.35 di halaman berikut.

4% 7% 11% 12% 9% 7% 16% 19% 6% 3% 2% 4% 0.69% 1.39% 0.69% 4.17% 9.03% 5.56% 15.97% 18.75% 17.36% 8.33% 9.03% 9.03% 0% 5% 10% 15% 20% 25% <250rb 250rb-500rb 500rb-750rb 750rb-1jt 1jt-1,25jt 1,25jt-1,5jt 1,5jt-2jt 2jt-2,5jt 2,5jt-3jt 3jt-4jt 4jt-5jt >5jt P e n g h a si la n p e r B u la n % Responden

Gambar IV.35. Penghasilan bulanan pelanggan PDAM Tirta Pakuan vs ATB

Para pelanggan (sampel) juga diminta untuk memberi informasi mengenai jumlah tagihan air PDAM/ATB yang mereka bayar setiap bulannya. Secara umum hasil survey yang dilakukan menunjukkan bahwa rata-rata pelanggan PDAM Tirta Pakuan mengalokasikan 8,8% dari total penghasilan bulanannya untuk membayar tagihan air PDAM, sedangkan para pelanggan ATB hanya mengalokasikan 3,8% dari total penghasilan mereka. Dengan mengacu pada Permendagri No. 23/2006, maka relatif hanya para pelanggan ATB yang telah memenuhi prinsip-prinsip keterjangkauan, karena belanja air mereka terhadap penghasilan kurang dari 4%.

Setidaknya ada dua hal yang bisa menjelaskan fakta adanya perbedaan alokasi belanja air pelanggan di kedua kota. Pertama, rata-rata pemakaian air pelanggan (sampel) ATB setiap bulan adalah 24 M3, atau lebih sedikit 5 M3 dibanding pelanggan PDAM Tirta Pakuan, yaitu 29 M3. Kedua, rata-rata penghasilan bulanan pelanggan ATB lebih tinggi dari PDAM Tirta Pakuan. Diketahui 33,3% pelanggan (sampel) PDAM Tirta Pakuan mengakui pendapatan mereka kurang dari Rp. 1 Juta, sedangkan pelanggan ATB dengan penghasilan yang sama hanya sekitar 6,9%.

Kedua informasi tadi mengindikasikan bahwa pelanggan ATB relatif lebih mampu secara ekonomi, tapi bisa berarti juga pelanggan ATB lebih hemat dibanding pelanggan PDAM Tirta Pakuan dalam hal pemakaian air. Masalah “hemat” ini sebenarnya bisa dipahami karena seperti dijelaskan pada halaman-halaman sebelumnya, setiap KK pelanggan PDAM Tirta Pakuan dihuni oleh 5,42 jiwa, lebih banyak dari pelanggan ATB yang hanya 4,99 jiwa.

Namun demikian perlu dicermati juga karena studi ini menemukan bahwa rumah-rumah keluarga “miskin” di Kota Bogor, bisa dihuni oleh lebih dari 1 (satu) keluarga, yang hanya dilayani oleh 1 (satu) meteran pelanggan. Kondisi tersebut tentu akan berdampak pada pemakaian air secara kumulatif dalam 1 (satu) KK lebih besar dari Rumah Tangga pada umumnya, dalam hal ini pelanggan akan terkena tarif progresif. Untuk diketahui juga bahwa kasus tarif progresif ini juga berlaku bagi warga Kota Batam yang menggunakan Kios Air ATB. Meskipun yang dibebankan adalah tarif “low cost”, karena menggunakan sistem 1 (satu) meteran maka para warga harus membayar tarif yang tertinggi (> 40 M3) sebagai konsekuensi pemakaian mereka yang dikumulatifkan pada satu meteran saja (lihat ilustrasi pada Kotak 7 di halaman 67).

Dalam dokumen Tinjauan Partisipasi Swasta dalam Penyed (Halaman 72-79)

Dokumen terkait