• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENUTUP DAN PEMBELAJARAN

PDAM TIRTA

Studi ini mengkaji berbagai aspek kinerja PDAM Tirta Pakuan dan ATB untuk menyediakan gambaran yang seimbang mengenai penyelenggaraan pelayanan air minum dengan atau tanpa implementasi KPS. Secara umum, dari enam aspek kinerja yang dikaji, bisa dikatakan para penyedia air minum yang menjadi obyek studi memiliki kekhasan masing-masing yang saling membedakan satu dengan yang lainnya dan beberapa diantaranya berada di luar konteks peyedia milik publik atau swasta.

Tinjauan Kinerja

Tingkat kehilangan air ATB lebih rendah dan cakupan pelayanan ATB telah meningkat pesat dibanding masa-masa awal konsesi. Namun kehilangan air ATB yang didominasi oleh illegal connection telah tertangani dengan program Kios Air, yang secara kebetulan juga ditanggapi secara positif oleh warga yang tinggal di permukiman liar dan kumuh di Kota Batam. Sedangkan bagi PDAM Tirta Pakuan, mempertahankan pelayanan pelanggan lebih penting dibanding penurunan secara radikal tingkat kehilangan air teknisnya akibat kebocoran-kebocoran pipa. Sehingga tidak mengherankan PDAM Tirta Pakuan terlihat lebih baik pada indikator-indikator teknis dan pelayanan pelanggan, seperti kontinuitas suplai, tekanan pengaliran serta tingkat kepuasan pelanggan.

Indikator-indikator keuangan menunjukkan tidak mudah membandingkan skala bisnis PDAM Tirta Pakuan dengan ATB. ATB memiliki basis pendapatan yang lebih lebih besar, yaitu pada jumlah pelanggan, terutama kelompok pelanggan niaga dan industri yang jumlahnya lebih besar dari yang dimiliki PDAM Tirta Pakuan. Namun poin pentingnya bahwa kedua perusahaan sama- sama memperlihatkan performa keuangan yang baik, dilihat dari rasio-rasio: pendapatan terhadap biaya operasi (di luar biaya pinjaman dan penyusutan), kemampuan membayar kewajiban-kewajiban hutang (jatuh tempo maupun jangka pendek), serta kemampuan untuk full cost recovery.

BAB

6

Dalam hal pengelolaan usaha, kedua perusahaan, baik PDAM Tirta Pakuan maupun ATB sama-sama mengkonfirmasi bahwa mereka telah menerapkan GCG. Dewan Direksi kedua perusahaan relatif diberi kebebasan dalam membuat perencanaan-perencanaan dan pengambilan keputusan oleh para pemegang saham (shareholders) atau pemilik. Dalam hal transparansi laporan, PDAM Tirta Pakuan masih bersikap berhati-hati untuk menghindari penyalahgunaan yang bisa berdampak negatif bagi perusahaan. Adapun ATB terlihat lebih normatif karena sesuai perjanjian konsesi, pihak ATB hanya bertanggungjawab kepada OB. Namun demikian, ATB juga tidak menutup mata dengan adanya MoU antara OB dengan Pemko Batam dan DPRD untuk ikut mengawasi aktivitas ATB.

Rasio karyawan per 1000 pelanggan ATB lebih rendah dari PDAM Tirta Pakuan. Produktivitas karyawan ATB lebih tinggi dari PDAM Tirta Pakuan. Namun hal itu wajar terjadi karena secara nyata volume air terjual ATB memang lebih banyak mengacu pada banyaknya jumlah pelanggan mereka dibandingkan dengan PDAM Tirta Pakuan. Indikator ini cukup bermakna karena dari jumlah karyawan, ATB memang lebih sedikit, sebaliknya, dari segi produksi dan penjualan, ATB jauh lebih banyak.

PDAM Tirta Pakuan memiliki sejumlah program yang memihak pada masyarakat miskin seperti TAHU, cicilan sambungan dan pelanggan RA yang membayar tarif lebih rendah. Namun PDAM Tirta Pakuan harus selalu mengecek dan mengevaluasi secara berkala agar pelanggan RA adalah mereka yang pantas menerima tarif subsidi. Sebaliknya ATB, meskipun mereka menyatakan belum memiliki program khusus untuk melayani masyarakat miskin, tapi keberadaan pelanggan low cost yang membayar tarif lebih rendah perlu dioptimalkan keberadaannya, karena ditemukan pelanggan-pelanggan yang tidak pantas menerima tarif subsidi. Kios Air ATB meskipun tujuan awalnya adalah mengurangi NRW, namun secara kebetulan diterima dengan baik oleh masyarakat yang tinggal di kawasan-kawasan illegal dan kumuh di Kota Batam.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja

Studi ini mengindikasikan terdapat sejumlah hal yang mempengaruhi kinerja para penyedia layanan air minum yang menjadi obyek studi, yang akan diuraikan di bawah ini.

Pertama, ketersediaan dan kualitas sumber air yang bisa diakses langsung. Cakupan pelayanan PDAM Tirta Pakuan cenderung stabil dibandingkan dengan ATB. Studi ini menengarai, selain porsi investasi di kedua perusahaan yang memang tidak berimbang, keberadaan kompetitor yang secara alamiah ada memberi dampak yang sangat nyata. Dalam konteks ini ketersediaan sumber air yang bisa diakses langsung masyarakat Kota Bogor harus dilihat sebagai persoalan yang serius oleh pembuat kebijakan, khususnya di Kota Bogor. Studi ini menemukan bahwa sebagian besar masyarakat (sampel) Kota Bogor yang saat survey dilakukan belum menjadi pelanggan PDAM, tidak berkeinginan untuk menjadi pelanggan PDAM Tirta Pakuan. Hal itu dikarenakan mereka sudah puas dengan sumber air yang mereka akses hingga saat ini, diantaranya adalah sumber-sumber mata air yang relatif tersedia secara melimpah dengan kualitas yang tidak diragukan, sumur-sumur dangkal maupun sumur dalam yang disedot dengan menggunakan pompa- pompa elektrik.

Kedua, kondisi politik dan pemerintahan lokal. Dalam kurun waktu tahun 2003

hingga 2007, PDAM Tirta Pakuan telah mengalami 3 (tiga) kali kenaikan tarif, yakni 70% pada tahun 2004, 25% pada tahun 2006, dan 25% lagi pada tahun 2007. PDAM Tirta Pakuan relatif tidak mengalami kesulitan berarti ketika mengusulkan kenaikan tarif, karena hal ini telah diatur dalam peraturan daerah, “PDAM melakukan penyesuaian tarif air minum setiap tahun dengan presentase kenaikan paling tinggi adalah 25 % (dua puluh lima persen) dengan pertimbangan adanya perubahan inflasi, kenaikan tarif listrik dan bahan bakar minyak dan biaya-biaya lain yang mempengaruhi biaya produksi dan biaya operasional PDAM. Selain itu DPRD Kota Bogor juga bersikap lebih kooperatif dengan memberikan semacam komitmen untuk selalu memberi dukungan bagi terlaksananya program-program dan kebijakan PDAM Tirta Pakuan dalam melayani masyarakat Kota Bogor.

Lain halnya dengan ATB, ketidakpastian penyesuaian tarif telah menjadi masalah serius bagi kesinambungan usaha mereka. Sesuai dengan perjanjian konsesi, penyesuaian tarif adalah domain Otorita Batam, namun perkembangan saat ini menuntut keterlibatan yang lebih dalam dari Pemko Batam termasuk DPRD Kota Batam. Sejak kenaikan tarif yang terakhir pada tahun 2003, ATB perlu waktu 5 (lima) tahun untuk menunggu persetujuan tarif yang berikutnya yang akhirnya baru disetujui pada akhir Desember tahun 2007, dan mulai berlaku pada awal tahun 2008.

Melihat perdebatan-perdebatan yang terjadi tentang boleh-tidaknya tarif ATB dinaikkan, proses persetujuan tarif yang terakhir dapat dikatakan telah menguras tenaga semua pihak yang berkepentingan dengan pelayanan air minum di Kota Batam.

Ketiga, akses terhadap sumber pinjaman. Cakupan pelayanan ATB

meningkat pesat dibanding tahun-tahun awal masa konsesi. Kunci dari peningkatan cakupan pelayanan ATB terletak pada kemampuan ATB memobilisasi investasi. ATB terlihat tidak mengalami kesulitan yang cukup berarti dalam memobilisasi pinjaman-pinjaman untuk memenuhi kebutuhan investasinya, sepanjang parameter-parameter “viability” proyek terpenuhi, seperti kepastian tarif dan IRR. Kepastian persetujuan tarif ini juga terkait dengan tingkat imbal hasil proyek yang telah oleh dipatok ATB sebesar 26,5%. Dengan demikian akses pada pinjaman menjadi faktor yang sangat mempengaruhi dalam memobilisasi investasi melalui sumber pinjaman, dan hal itu seyogyanya juga bisa dilakukan oleh PDAM.

Keempat, strategi komunikasi perusahaan. PDAM Tirta Pakuan mampu

mengkomunikasikan program atau kebijakan yang dilakukan kepada masyarakat dengan baik. Sebagai timbal baliknya, masukan berupa kritikan maupun saran dari masyarakat dapat membantu suksesnya pengelolaan PDAM Tirta Pakuan. Strategi komunikasi tersebut merupakan inisiatif Tim Hubungan Masyarakat (Humas) dari PDAM Tirta Pakuan sendiri, tidak terdapat bantuan dari pihak lain. Salah satu contoh keberhasilan PDAM Tirta Pakuan dalam strategi komunikasinya adalah ketika menaikkan tarif tidak ditemui masalah yang berarti.

Arah Riset Selanjutnya

Studi ini diharapkan bisa menyediakan gambaran mengenai arah riset kedepan yang lebih luas terkait penyelenggaraan KPS di sektor air minum termasuk sanitasi di Indonesia. Dalam kaitan tersebut studi ini telah mengidentifikasi sejumlah kendala yang ditemui, sehingga diperlukan studi tersendiri yang lebih spesifik dan mendalam, sebagi berikut.

Pertama, diperlukan studi yang secara khusus bertujuan untuk

mengembangkan metoda “benchmarking” untuk membandingkan kinerja para penyedia layanan air minum, baik publik maupun swasta. Studi ini perlu difokuskan pada upaya untuk mencari tahu besaran-besaran kuantitatif

maupun kualitatif yang lebih terukur yang berguna sebagai acuan bagi para pihak yang ingin menilai sejauh mana suatu perusahaan telah mencapai kinerjanya;

Kedua, studi ini belum sampai pada upaya pengidentifikasian faktor-faktor

kunci keberhasilan dalam penyelenggaraan pelayanan air minum. Hal itu dikarenakan upaya mengidentifikasi faktor-faktor kunci keberhasilan memerlukan cara yang lebih terstruktur dengan sampel yang representatif. Oleh karena itu diperlukan studi yang secara khusus bertujuan mendefinisikan faktor-faktor kunci keberhasilan dalam penyelenggaraan pelayanan air minum;

Ketiga, studi ini mengindikasikan bahwa seringkali tidak mudah menentukan

para pihak yang pantas mendapatkan tarif subsidi atau program-program khusus bagi pelayanan masyarakat miskin. Harus diakui bahwa sebenarnya telah tersedia data dari sejumlah instansi yang berkompeten, tapi pelaksanaan di lapangan sering tidak mudah. Oleh karena itu perlu dibuka kemungkinan untuk mengkaji secara khusus karakteristik “low-income” yang sesuai untuk pelayanan bagi masyarakat miskin dan bentuk penyelenggaraan pelayanan air minum yang sesuai bagi masyarakat miskin;

Keempat, studi-studi sejenis umumnya me-review pre dan post implementasi

KPS untuk mengukur ketercapaian target-target yang telah disyaratkan. Dalam kaitan tersebut, sesuatu bisa dikatakan “tercapai” jika memang sebelumnya telah ada pernyataan mengenai hal-hal yang perlu dicapai. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan untuk mengkaji secara khusus bagaimana perusahaan-perusahaan penyedia air minum, tidak terbatas pada perusahaan swasta tapi juga publik, dalam mencapai target-target kinerja yang sudah disyaratkan.

Daftar Pustaka

Abdel Aziz, A.M. (2007). “Successful delivery of public-private partnerships for infrastructure development”, Journal of Construction Engineering and

Management, 133 (12), 918-931.

Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (2007).

Direktori Kinerja PDAM Tahun 2007”, Jakarta.

Batam Industrial Development Authority (2008). “Development Progress of

Batam First Semester of 2008”, Batam, Indonesia.

Budds, J., dan McGranahan, G. (2003). “Are the debates on water privatization missing the point? Experiences from Africa, Asia and Latin America”, Environment & Urbanization, 15 (2), 87-113.

European International Contractor (2003). EIC White book on PPP/BOT, Germany.

Hall, D., dan Lobina, E. (2002). “Water privatisation in Latin America”, Public Services International Research Unit, UK.

Kelompok Kerja Air Minum dan penyehatan Lingkungan (2008).

Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia:

Pembelajaran dari Berbagai Pengalaman”, Jakarta.

Kepmendagri No. 47 Tahun 1999 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum

National Working Group The Water Dialogues Indonesia (2009). “Buku Putih”, Jakarta.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum

Permendagri No. 23 Tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum Pusat Komunikasi Publik Departemen Pekerjaan Umum (2008). “Eksklusif

PDAM: Pemenang Penilaian Kinerja Pemerintah Daerah Bidang PU”,

Dalam dokumen Tinjauan Partisipasi Swasta dalam Penyed (Halaman 97-102)

Dokumen terkait